A.
Latar
Belakang Masalah
Setiap
manusia secara sadar atau tidak sadar pasti memiliki masalah. Ketika manusia mempunyai masalah yang tidak bisa
diselesaikan pasti membutuhkan tempat atau sosok yang mempunyai kekuatan yang
luar biasa untuk mengadu segala permasalahan yang dihadapinya. Sosok tersebut
adalah Tuhan. Semua orang menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat
untuk mengadu dan meminta bantuan untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Aliyah B. Purwakania Hasari (2008:287) sejak
awal penciptaannya, manusia selalu mencari jawaban dari tiga pertanyaan yang
fundamental, yakni “siapa Tuhan?”, “siapa saya?” dan “mengapa saya lahir?”. Ketiga
pertanyaan yang fundamental itu, mencerminkan pemahaman makna spiritualitas
seseorang. Perkembangan spiritual merupakan proses individu untuk menjawab
pertanyaaan tentang identitas, tujuan dan makna kehidupan. Perkembangan
spiritualitas merupakan hal yang bersifat intrinsik dari pengalaman manusia.
Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang
asal, tujuan dan nasib. Dengan kata lain, spiritualitas memberi jawaban siapa
dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran). Jika seseorang ingin memahami
dasar kehidupan dan mencapai tujuan perjalanan kosmik, ia harus memahami makna spiritualitas
secara keseluruhan.
Terlepas
dari aspek spiritualitas, Islam juga sangat
memerhatikan perkembangan kognitif seseorang. Hal ini terlihat dari
banyaknya ayat al Qur’an maupun Hadits, tentang anjuran menggunakan akal untuk
memahami gejala alam semesta yang memperlihatkan kebesaran Allah. Ayat al Qur’an
yang pertama kali diturunkan bahkan telah menyebutkan pentingnya proses
belajar, yakni QS. al-Alaq: 1-5.
ù&tø%$#
ÉOó$$Î/
y7În/u
Ï%©!$#
t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$#
y7/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ Ï%©!$#
zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ zO¯=tæ
z`»|¡SM}$#
$tB
óOs9
÷Ls>÷èt
ÇÎÈ
Artinya : bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Disisi
lain Islam juga memandang mereka yang memiliki ilmu pengetahuan derajat yang
lebih tinggi dari pada mereka yang enggan belajar. Dalam QS. QS. al-Mujadilah:
11.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
@Ï%
öNä3s9
(#qßs¡¡xÿs?
Îû
ħÎ=»yfyJø9$#
(#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿt
ª!$#
öNä3s9
( #sÎ)ur
@Ï%
(#râà±S$#
(#râà±S$$sù
Æìsùöt
ª!$#
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
öNä3ZÏB
tûïÏ%©!$#ur
(#qè?ré&
zOù=Ïèø9$#
;M»y_uy
4 ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
×Î7yz
ÇÊÊÈ
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penguasaan kognitif pada diri seseorang itu tidak terlepas
dari bagaimana orang menerima dan mempersepsikan informasi, bagaimana proses
belajar yang terjadi, bagaimana perkembangan kognitif manusia, bagaimana
informasi tersebut diolah dan bagaimana meningkatkan intelegensi (kecerdasan)
tersebut. Semua itu berkembang sejak masa anak-anak.
Menurut
Abdul Rahman dan Muhbib Abdul (2004:179), intelegensi (kecerdasan secara umum)
adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat
sesuatu dengan cara tertentu. Namun, intelegensi ini bisa terbentuk secara
maksimal dengan cara berlatih. Perkembangan intelegensi anak mengandung tiga
aspek yaitu structure, content, dan function. Jadi,
intelegensi anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur (structure)
dan content intelegensinya berubah atau berkembang. Dimana fungsi
dan adaptasi akan tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian
perkembangan dan mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan
intelegensi anak. Piaget membagi tingkat perkembangan intelegensi anak menjadi
beberapa tahap, yaitu sensori motor (0-2 tahun), berpikir pra operasional (2-7
tahun), berpikir operasional konkret (7-11 tahun) dan berpikir operasional
formal (11-dewasa). Pada penelitian ini hanya membahas intelegensi pada anak
remaja usia 18-21 tahun. Tahapan perkembangan intelegensi pada anak remaja usia
18-21 tahun adalah tahap berfikir operasional formal. Pada usia ini seseorang
sudah bisa berfikir dan bernalar dengan baik, sehingga seseorang sudah bisa menyelesaikan masalah
yang dihadapi serta mengetahui makna kehidupan.
Menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Djoko Hartono (2013) yang meneliti tentang
pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan, bahwa seseorang yang
memiliki tingkat spiritualitas tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki
kepemimpinan yang baik, begitu juga sebaliknya. Artinya, spiritualitas memiliki
pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan dalam kepemimpinan.
Sedangkan, menurut hasil penelitian Arif Kennedy (2013) yang meneliti tentang
pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap tingkat pemahaman
akuntansi mahasiswa fakultas
ekonomi universitas maritim raja ali haji angkatan 2010, bahwa
secara simultan kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh
signifikan terhadap pemahaman akuntansi mahasiswa fakultas
ekonomi UMRAH angkatan 2010.
Dengan
berbekal kedua teori dan hasil penelitian terdahulu peneliti mencoba menguak
sebuah fenomena yang ada di Desa Suruhan Lor. Penelitian ini dilakukan di Desa
Suruhan Lor, karena mayoritas masyarakat di desa ini bekerja sebagai petani.
Masyarakat khususnya orang tua, sehari-hari menghabiskan waktunya untuk
mengurus sawah. Waktu yang dipakai untuk mengontrol perkembangan dan membimbing
anak sangat kurang. Namun, orang tua tersebut selalu menuntut anak-anak mereka
untuk menjadi juara saat di sekolah. Orang tua mempercayakan pendidikan anak
kepada ustadz saat di madrasah dan kepada guru saat di sekolah formal. Mayoritas orang tua beranggapan bahwa dirinya
tidak mampu untuk mendidik anaknya dan guru atau ustadz yang bisa mendidik
anaknya. Sehingga, orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada guru atau ustadz.
Selain itu, di desa tersebut memiliki kebudayaan yang unik yang lain dari desa
yang lain. Seorang anak ketika berusia 8 tahun harus sudah pandai dalam menjalankan
sholat dan membaca al Qur’an, kemudian akan diadakan sebuah hajatan untuk
memperingati kepandaian sang anak. Karena kebudayaan yang seperti itu,
masyarakat di desa ini selalu mengutamakan pemahaman makna spiritualitas
terhadap anak. Sehingga masyarakat memiliki keyakinan bahwa, seorang anak yang
sejak kecil diajarkan tentang makna spiritualitas, maka setelah anak berusia
7-10 tahun mereka memiliki kecenderungan untuk memiliki intelegensi
(kecerdasan) diatas rata-rata teman seusianya. Sedangkan, seorang anak yang
diajarkan tentang makna spiritualitas setelah usianya memasuki usia sekolah
yakni 7 tahun, maka ketika berusia 7-10
tahun memiliki kecenderungan memiliki intelegensi yang rendah.
Berdasarkan
anggapan masyarakat tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian tentang
pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun. Hal
ini, dilakukan karena kehidupan yang ada pada masyarakat tersebut selalu
mengutamakan makna spiritualitas anak dan anggapan masyarakat bahwa makna spiritualitas
menjadi penentu intelegensi seorang anak pada usia 7-10 tahun. Akhirnya
peneliti ini ingin mengetahui bagaimana pengaruh makna spiritualitas terhadap
intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas,
maka dapat disimpulkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah
ada pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun
di Desa Suruhan Lor?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh makna spiritualitas terhadap
intelegensi remaja usia 18-21 tahun di Desa Suruhan Lor.
D.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang yang dipaparkan diatas, maka peneliti mencoba membuat hipotesis
sebagai berikut:
1.
Hipotesis
Alternatif
Hipotesis
Alternatif (HA) adalah suatu hipotesis kerja yang menyatakan
hubungan antar variabel X dengan Y atau adanya perbedaan antara hal tertentu
pada kelompok yang berbeda. Dalam penelitian ini, pernyataan yang menunjukkan HA adalah ada
pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun di
Desa Suruhan Lor.
2.
Hipotesis Nol
Hipotesis
Nol (HO) adalah nama lain dari hipotesis statistik, karena diuji
dengan perhitungan statistik. Dalam
penelitian ini, pernyataan yang menunjukkan HO adalah tidak ada
pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun di
Desa Suruhan Lor.
E.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini
memiliki manfaat untuk menambah wacana keilmuan, sehingga mampu menunjang
pengembangan ilmu khususnya dalam bidang pemahaman makna spiritualitas dan
intelegensi anak.
2.
Secara Praktis
Penelitian
ini memiliki manfaat untuk menambah pengalaman dan memberikan peluang yang
cukup besar untuk mengamplikasikan teori yang sudah didapatkan dibangku kuliah
ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga peneliti bisa merasakan manfaat dari
ilmu yang sudah didapatkan.
F.
Ruang
Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Desa Suruhan Lor, jadi hasil penelitian ini tidak bisa dipakai
ditempat atau wilayah lain. Karena fenomena ini hanya terjadi di Desa Suruhan
Lor. Kriteria utama untuk subyek yang akan diteliti adalah anak usia 7-10 tahun,
anak yang yang terlahir dalam kelurga agama Islam dan berdomisili di Desa
Suruhan Lor sejak kecil. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mencari tahu
tentang pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun
di Desa Suruhan Lor.
G.
Definisi
Operasional
Untuk
mengetahui makna spiritualitas, peneliti mencoba mencari tahu makna
spiritualitas yang anak-anak pahami selama ini. Untuk melihat pemahaman anak
7-10 tahun di Desa Suruhan Lor terhadap makna spiritualitas tersebut, peneliti
memberikan beberapa pernyataan kepada subyek berupa kuesiner. Berdasarkan hasil
pengisian kuesioner tersebut, peneliti bisa mengukur pemahaman makna
spiritualiatas anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
Sedangkan
untuk mengukur intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor, peneliti
memberikan pernyataan kepada subyek dalam bentuk kuesioner. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, peneliti bisa mengukur taraf intelegensi anak usia 7-10
tahun di Desa Suruhan Lor.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan
dari perhitungan kuesioner makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10
tahun di Desa Suruhan Lor, Peneliti akan memberikan kesimpulan bagaimana
pemahaman anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor tentang kedua variabel
tersebut, sehingga peneliti bisa menemukan ada atau tidaknya pengaruh makna spiritualitas
terhadap intelegensi 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
H.
Landasan
Teori
1.
Makna
Spiritualitas
a.
Pengertian
Spiritualitas
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa
latin ‘‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) kata
kerjanya “Spirare” artinya bernafas. Melihat asal katanya, untuk
hidup adalah untuk bernafas dan memiliki nafas artinya memiliki spirit, maka spiritualitas
berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau
kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas
merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan
tujuan hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan
kesehatan dan kesejahteraan seseorang.
Spiritualitas dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan
dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang
berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan sesuatu
yang bersifat duniawi dan sementara. Didalamnya terdapat kepercayaan terhadap
kekuatan supranatural seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap
pengalaman pribadi. Spiritualitas merupakan eksperesi dari kehidupan yang
dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam
pandangan hidup seseorang dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. Salah
satu aspek dari menjadi spiritualitas adalah memiliki arah tujuan yang secara
terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari
seseorang mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta
serta menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra,
perasaan dan pikiran. Pihak lain mengatakan, bahwa aspek spiritualitas memiliki
dua proses. Pertama, proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal
yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses kebawah yang
ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal.
Konotasi lain, perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya
kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar
melalui pengalaman dan kemajuan diri.
b.
Spiritualitas dan Religiusitas
Spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu
tentang asal, tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan
yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku
tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi
tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi
tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman,
komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa
dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan
jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang
bisa saja mengikuti agama tertentu, namun memiliki spiritualitas. Orang-orang
dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau
tingkat spiritualitas yang sama. Pembedaan juga harus di buat antara spiritualitas yang
berbeda dengan agama dan spiritualitas dalam agama.
c.
Perkembangan Spiritualitas
1)
Tahap Perkembangan Kepercayaan Fowler
James W. Folwer dalam buku Stages of Faith mengembangkan
teori tentang tahap perkembangan dalam keyakinan seseorang ( Stages of
Faith Development ) sepanjang rentang kehidupan manusia. Menurut
Fowler, kepercayaan merupakan orientasi holistik yang menunjukan hubungan
antara individu dengan alam semesta.
Teori perkembanggan spiritual Fowler terbagi atas 6 tahap pada tahap pertama,
kepercayaan intuitif-proyektif (usia 3-7 tahun), masih terdapat karakter
kejiwaan yang berlum terlindungi dari ketidak sadaran. Anaka masih belajar
untuk membedakan hayalanya dengan realitas yang sesungguhnya pada tahap kedua,
kepercayaan mythikal-literal (usia sekolah), seseorang telah mulai
mengembangkan keimanan yang kuat dalam kepercayaannya anak juga sudah mengalami
prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta, namun ia masih melihat
kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat pada manusia. Pada tahap ke
tiga kepercayaan sintetik-konvensional (usia remaja) seseorang mengembangkan
karakter keimanan terhadap kepercayaan yang di milikinya. Ia mempelajari sistem
kepercayaannya dari orang lain disekitarnya, namun masih terbatas pada sistem
kepercayaan yang sama. Tahap ke empat kepercayaan individuatif-reflektif (usia
20-awal 40an), merupakan tahap percobaan dan pergolakan, dimana individu mulai
mengembangkan tanggung jawab pribadi dan persaannya terhadap kepercayaan.
Individu memperluas pandangannya untuk mencapai jalan kehidupannya. Pada
tahap kelima kepercayaan kondingtif seseorang mulai mengetahui berbagai
pertentangan yang terdapat dalam realitas kepercayaannya. Terjadi transendensi
terhadap kenyataan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh sistem. Pada
tahap ke enam, kepercayaan universal, terjadi sesuatu yang disebut pencerahan
manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang lebih tinggi
sebagai dari pemahamannya terhadap lingkungan yang konfliktual dan penuh
parakdoksal. Menurut Fowler kebanyakan manusia berhenti pada tahap ke
empat, dan kebanyakan tidak mencapai tahap lima dan enam.
Teori Fowler banyak di pertanyakan, baik dari perspektif psikologi maupun
teologi dan dianggap belum memiliki validitas empirik. Meskiun terdapat bukti
bahwa anak berusia 12 tahun cenderung pada dua tahap awal perkembangan. Namun
terdapat bukti pada orang dewasa yang berusia 60-an memiliki variasi yang
diperhatikan pada tahap tiga keatas. Model ini mendapat serangan dari metode
ilmiah, karena kelemahan metodelogi. Kritik lain mempertanyakan apakah tahap
ini menunjukan komitmen Fowler sendiri berada dalam tahap perkembangan
spiritual tertinggi. Namun teori Fowler mendapatkan lingkaran akademik
keagamaan, dan menjadi titik awal yang penting untuk berbagai dari penelitian
lanjutan.
2)
Tahap perkembangan spiritual sufistik
Menurut Islam, manusia yang lahir dengn jiwa yang suci (nafsi
zakiya). Namun, manusia juga lahir di dunia dengan memiliki eksistensi
fisik yang terdiri daridaging dan tulang. Keberadaan fisik manusia menimbulkan
keterkaitan dengan dunia tempat mereka tinggal, dan dapat memberikan kegelapan
dan menutupi keindahan dan kebijaksanaan yang tersimpan dalam diri mereka. Pada
asalnya, manusia dapat menjadi lupadan terus-menerus hidup dalam kesombongan.
Tujuan dari sufisme, seperti juga mistik lainnya, adalah untuk membersihkan
hati, mendidik dan mentransformasikan jiwa untuk menemukan Tuhan. Tingkat
terendah dalam jiwa manusia di dominasi oleh dorongan-dorongan yang untuk
memuaskan diri yang bersifat egois dan tamak yang menjauhkan seseorang
mendapatkan kebenaran. Tingkat yang paling tinggi adalah jiwa yang murni, yang
tidak memiliki dualitas dan tidak terpisahkan dari Tuhan.
Terpada tujuh tingkatan spiritualitas manusia, dari yang bersifat egoistik
sampai yang suci secara spiritual, yang dinilai bukan oleh manusia, namun langsung
oleh Allah. Sebelum naik pada tingkat perjalanan yang lebih tinggi, satu hal
yang harus di ingat adalah mengenal karakteristik dari masing-masing tingkatan,
tingkatan ini terdiri dari:
a) Nafs Ammarah (The Commanding Self)
Orang yang berada pada tahap ini adalah orang yang nafsunya didominasi
godaan yang mengajaknya kearah kejahatan. Pada tahap ini, seseorang tidak dapat
mengontrol kepentingan dirinya dan tidak memiliki moralitas atau perasaan
kasih. Hal ini menunjukan keinginan fisik dan egoisme. Pada tahap ini kesadaran
akal manusia dikalahkan oleh keinginan nafsu hewani. Manusai tidak memiliki
batasan moral untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Jiwa manusia pada awalnya
suci dan beriman, namun manusia terlena dengan kenikmatan duniawi dan
tenggelam dalam nilai materialistik.
b) Nafs Lawwamah (The Regretful Self)
Manusia memiliki kesadaran terhadap prilaku, ia dapat membedakan yang baik
dan yang buruk, dan menyesali kesalahan-kesalahannya. Namun, ia belum memiliki
kemampuan untuk merubah gaya hidupnya dengan cara yang signifikan.
Pada tahap ini, terdapat tiga hal yang akan menjadi bahaya, yaitu
kemunafikan, kesombongan, dan kemarahan, yaitu mereka yang berada pada tahap
ini, ingin orang ain megetahui bahwa dirinya sedang berusaha untuk berubah. Dia
menunnjukan segala kebaikan dihadapan orang lain dan mengharap pujian dari
segala pihak. Orang yang munafik menginginkan pujian orang lain. Kesombongan
terjadi karena orang tersebut memandang bahwa segala usaha untuk melakukan hal
yang baik merupakan prestasi. Hal ini membuat dirinya merasa sebagai orang yang
terbaik, bahkan lebih baik dari pada semua orang. Kemudian, kemarahan dapat
timbul jika ia merasa dirinya tidak dihargai.
Mereka yang ada pada tingkat ini tidak bebas dari godaan. Kekecewaan
terhadap penghargaan orang lain atas perbuatan prilakunya dapat membuat kembali
pada tahap sebelumnya. Semakin orang lama pada tahap ini, semakin banyak godaan
yang ia terima.
c) Nafs mulhimah ( The Inspired Self)
Pada tahap ini orang mulaimerasakan ketulusan dari ibadahnya. Ia
benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral.
Tahap ini awal dari praktek sufisme yang sesungguhnya. Perilaku yang umum pada
tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan tindakan moral.
Secara keseluruhan, orang yang berada pada tahap ini memiliki emosi yang matang,
menghargai dan dihargai orang lain.
Pada saat ini, manusia mulai mendapatkan pesan dar nuraninya sendiri:
semacam bisikan tnpa kata-kata yang memberinya inspirasi tentang arah tujuan,
mendorongnya dan memperkuat usahanya. Namun, terkadang kejahatan menyamar dalam
bisikan tersebut dengann mendorong sesuatu yang tampaknya baik padahal
tidak.untuk belajar membedakannya, orang ini harus belajar dengan bantuan orang
yang lebih berpengalaman, yaitu orang yang mampu membedakan ilham yang
sesungguhnyadengan imajinasi palsu yang jahat. Suara ego dapat dengan mudah
dianggap sebagai petunjuk, terutama jika ego mengubah bahasanya dari material
ke spiritual. Dalam badai ini, salah satu cara untuk menyelamatkannya adalah
mematuhi aturan agamanya, ia harus shalat, puasa, membayar zakat dan lebih
berhati-hati atas perbuatannya. Hadangan lain dalam tahap ini adalah perubahan
pemahaman dan pengindraan. Ia seolah lupa akan segala hal yang diketahuiya,
bahkan lupa pada diri sendiri. Ia melihat sesuatu berbeda, salah memahaminya,
dan membuat kesalahan. Ia merasa seperti dirinya sendiri tidak benar-benar ada
dan berimajinasi bahwa ia melebur dengan Allah. Namun, sebenarnya ia menyadari
bahwa ia memasuki periode ketidakberdayaan, kekosongan dan kecemasan. Jika ia
telah berperang dengan ego dan menjadi lelah dengan aturan dan kewajiban
agamanya, ia melakukan segala sesuatu seolah-olah semuanya berasal dari Allah.
Ia merasa telah menyatu dengan Allah, namun hal ini menjadikannya kehilangan
ketakwaan terhadap Allah. Ia melakukan berbagai dosa atas nama Allah, dan
menjadi budak kejahatan.
d) Nafs Muthma’innah ( The contended Self)
Pada tahap ini orangmerasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal
telal lewat. kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tak lagi penting. Kepentingan
diri mulai lenyap, membuat orang lebih dekat dengan Tuhannya. Tingkatan
ini membuat seseorang menjadi berpikiran terbuka, bersyukur, dapat di percaya,
dan penuh kasih sayang. Jika seseorang menerima segala kesulitan dengan
kesabaran dan ketakwaan, tidak berbeda ketika ia memperoleh kenikmatan, dapat
dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tingkat jiwa yang tenang.
Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai
melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam dirinya.
Tahap ini merupakan tahap yang dilalui setelah perjalanan panjang dan sulit
setelah ia berperang dengan segala kejahatan dan nafsu dalam dirinya, dengan
godaan yang selalu menerpa kehidupan duniawinya. Ada saat ini seseorang menerim
perintah dari nafsu insani, yang menandakan kenikmatan dari mengikuti
aturan agama dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad Saw.. ia memiliki kualitas
prilaku yang tinggi, seperti pengasih, pemurah, sabar, pemaaf, ikhlas,
bersyukur, bahagia dan damai.
e) Nafs Riyadhiyah ( The Pleased Self )
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya namun juga tetap
bahagia dalam keadaan sulit, musibah cobaan dalam kehidupan. Ia menyadari
bahwa kesulitan datang dari Allah untuk memperkuat keimanan. Keadaan bahagia
tidak bersifat hedonistik atau materialistik, dan sangat berbeda dengan hal
biasa dialami orang-orang yang beroreantasi pada hal yang bersifat duniawi,
prinsip memenuhi kesenanagan (pleasure principle) dan
menghindari rasa sakit (pain priciple). Jika seseorang telah
sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur pada Allah, ia telah mencapai tahap
perkembangan spiritual ini. Namun, sedikit sekali yang dapat ,encapai tahap
ini.
Dari tahap sebelumnya sampai tahap ini, seseorang mempelajari kata-kata atau
contoh orang lain tentang dirinya melalui Ilm al- yaqin medapatkan
pengetahuan melalui pengalaman pribadi dan pewahyuan, melalui Ayn
al-Yaqin dari keyakinan. Sampai pada tahap ini, segalanya bersifat
relatif, namun sekarang ia telah mencapai kebenaran abadi. Manifestasi dari hal
ini adalah keadaan pengasih dan penyayang. Ia melihat segalanya sebagai
tindakan Allah yang sempurna, yang mencintai mereka dalam setiap setiap
situasi. Ia akan mendapatkan penyempurnaan dari segala yang terjadi. Hal ini
adalah “Kebenaran Islam”. Terdapat keseimbangan yang sempurna yang harus
disadari. Tidak ada kemungkinan kesalahan ketika dia menguasai nafsunya dalam
kepasrahan kepada Allah. Ia tidak menginginkan hal lain kecuali yang
dimilikinya. Namun, ketika ia berdoa, ia dengan cepat mendapatkan jawabannya.
Ia berada dalam tahta spiritualnya, di mana dunia luar ada untuk melayaninya.
Ketaqwaan, kepasrahan, kesabaran ,keyukuran, dan kecintaan kepada Allah
demikian sempurna, sehingga Allah menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya
kembali kepada-Nya.
f) Nafs Madhiyah (The self Pleasing to God)
Mereka yang telah mencapai tahap lanjutmenyadari bahwa segala kekuatan
berasal dari Allah, dan tidak dapatvterjadi begitu saja. Mereka tidak lagi
mengalami rasa takut dan tidak lagi meminta. Mereka yang berada dalam tahap ini
telah mencapai kesatuan internal. Pada tahap awal, seseorang mengalami
pergolakan, karena mengalaqmi ketwerpecahan. Kaca yang pecah menghasilkan
ribuan bayangan dari satu pencitraan. Jika kaca menjadi bersatu kembali, akan
terlihat bayangan yang utuh, kesatuan penciptaan. Dengan menyembuhkan
keterpecahan dalam dirinya, seoarang sufi mengalami dunia sebagai kesatuan yang
utuh.
Tahap ini termaniffestasi melalui ikatan antara sang pencipta dengan yang
diciptakan-Nya, melalui persaan cinta yang mendasarinya. Sang pencipta
menemukan manusian yang sempurna (insan kamil) dalam kualitas yang
dianugrahi-Nya ketika ia menciptakannya. Nama atau sifat Allah temanifestasi
dalam diri manusia pada tingkat ini. Manusia yang sempurna ini telah kehilngan
karakteristik fisik hewan yang membuatnya menjadi tidak sempurna dibah perintah
nafsu. Sifat keilahiannya melekat dalam dirinya, dan ia telah melihat realitas
sejati, yaitu Kebenaran, karena ia telah dianugrahi Ayn al- yaqin, keyakunan. Ia
melihat keindahan dalam segalanya, memaafkan dalam kesalahan yang tidak
diketahui, ia sabar, murah hati, selalu memberi tidak pernah meminta, mengabdi
dengan membawa orang lain cahaya jiwa, dan melindungi orang lain dari bahaya
nafsu dan kegelapan duniawi. Segalanya dilakukan demi Allah dan di dalam nama
Allah.
Sulit untuk mengenali eksistensi mereka, karena tidak dapat digambarkan
dengan kata-kata. Mereka todak dapat dibandingkan dengan konsep biasnya
diketahui. Salah satu karakter yang dapat diberikan pada mereka adalah mereka
selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang sempurna, sepertipusat lingkaran,
seperti pusat keseimbangan, tepat di tengah-tengah, tidak kuran atau lebih.
Tidak dapat yang dicapai keseimbangan tujuan, kecuali manusia yang sempurna.
g) Nafs Safiyah ( The Pure Self )
Mereka yang telah mencapai tahap akhir telah mengalami trandensi diri
yang seutuhnya. Tidak ada nafs yang tersisa, pada pencapaian dengan Allah di
tahap ini, ia telah menyadari kebenaran sejati, “Tidak ada Tuhan selain Allah”
. sekarang ia menyadari tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah dan setiap indra
manusia atau keterpisahan adalah suatu ilusi.
2.
Intelegensi
a.
Pengertian
Intelegensi
Menurut
Abdul Rahman dan Muhbib Abdul (2004), intelegensi adalah kemampuan yang dibawa
sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
Artinya, kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap suatu situasi atau masalah kemampuan
yang bersifat umum tersebut meliputi berbagai jenis psikis seperti abstrak,
berfikir mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan sebagainya.
Intelegensi
atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup
yang hanya dimiliki oleh manusia. Intelegensi ini diperoleh manusia, dan sejak
itulah potensi intelegensi ini mulai berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas
perkembangan inidividu, dan mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan
lingkungan.
Mengingat
begitu kompleknya definisi dari intelegensi tersebut, maka peneliti tertarik
untuk menelitinya. Namun, pada penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada
intelegensi anak usia 7-10 tahun. Menurut analisis Peaget
(Human Developmen, 2009:443), anak usia 7-11 tahun sedang dalam kondisi
transisi yaitu dalam perkembangan operasional konkret. Dimana anak bisa
menggunakan berbagai operasi mental seperti penalaran dan memecahkan
masalah-masalah konkret. Anak-anak pada
usia ini dapat berfikir dengan logis karena mereka tidak terlalu egosentris
dari sebelumnya dan dapat mempertimbangkan banyak sekali aspek dari sutuasi.
Pada masa ini anak-anak sudah mulai bisa melakukan bermacam-macam tugas. Pada
masa operasional konkret anak telah mengerti proses apa yang terjadi diantara
kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
b.
Teori-Teori
Intelegensi
Teori – Teori
mengenai intelegensi ada beberapa macam, diantaranya:
1)
Teory Two- Faktor
Inteligensi terdiri dari faktor G (general factor) kecerdasan umum yang berfungsi
dalam setiap aktivitas mental & faktor S (specific
factors) kemampuan khusus
seseorang: verbal, numerikal, mekanikal, perhatian, imajinasi, dll.(Charles
Spearman)
2)
Teory Primary Mental Abilities
Inteligensi terdiri sekelompok faktor (primary Mental Abilities):
verbal comprehension, numerical, spasial visualization, perseptual ability,
memory, reasoning & word fluency. (L.L Thurstone).
3)
Teory Triarchis
Menggambarkan
proses berpikir sebagai komponen yang diklasifikasikan menurut fungsi &
sifat:
a)
Meta component: mengidentifikasi masalah,
merencanakan, menunjukan perhatian dan memantau sejauh mana strategi yang
dipilih tersebut bekerja.
b)
Performance component: melaksanakan
strategi yang telah dipilih.
c)
Knowledge acquisition component : menyangkut
perolehan pengetahuan (Sternberg).
c.
Pengukuran
Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2
orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai
untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus
(anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini
kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari
Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya
adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio
(perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini
disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan
oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal
dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan
untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes
Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang
ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu
faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor
yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of
Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS
(Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler
Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan
alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di
mana alat tes tersebut dibuat.
1)
Validitas dan Reliabilitas
Test intelegensi kebanyakan menggunakan prestasi sekolah
sebagai promotor atau kriteria utamanya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
tes intelegensi memang mempunyai korelasi yang amat tinggi dengan prestasi
sekolah. Jadi dalam hal ini tes tersebut valid. Pertanyaan validitas, dan
khususnya reliabilitas tes intelegensi menyangkut pada pengaruh budaya. Bila
tes dapat dibuat sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya (Culture Fair atau
Culture Free) maka tes tersebut dapat diharapkan reliabel (dapat dipakai di
mana saja).
2)
Jenis-Jenis Tes Intelegensi
Berdasarkan
penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
a) Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
Ø Stanford – Binet Intelegence Scale.
Ø Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
Ø Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC)
Ø Wechster – Adult Intelegence Scale (WAIS)
Ø Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence
(WPPSI)
b) Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
Ø Pintner Cunningham Prymary Test
Ø The California Test of Mental Makurity
Ø The Henmon – Nelson Test Mental Ability
Ø Otis – Lennon Mental Ability Test
Ø Progassive Matrices
c) Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan:
Ø The California Test of Mental Maturity (CTMM)
Ø The Henmon – Nelson Test Mental Ability
Ø Otis – Lennon Mental Ability Test
d.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Intelegensi
Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu
memiliki tingkat intelegensi yang berbeda. Hal ini seperti yang disebutkan
diatas ada pandangan yang menekankan pada bawaan (pandangan kualitatif) dan ada
yang menekankan pada proses belajar (pandangan kuantitatif) sehingga dengan
adanya perbedaan pandangan tersebut dapat diketahui bahwa intelegensi
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.
1)
Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu
yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ
mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi
dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – + 0,20 ).
2)
Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang
dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi
dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah
satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang
amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain
(khususnya pada masa-masa peka).
3)
Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep
umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes
intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari
intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
4)
Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang
jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
5)
Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi.
6)
Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan
dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan
(motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
7)
Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih
metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai
kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan
kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama
lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat
hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah
faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan
intelegensi seseorang.
3.
Kajian
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan
berdasarkan penelitian yang terdahulu, yakni :
Pertama,
hasil penelitian yang dilakukan Rista Apriani
(2009) yang meneliti tentang hubungan pendidikan usia dini dengan perkembangan
kognitif anak pra sekolah di Kelurahan Tinjimiyo, Kecamatan Bayumanik, Semarang
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan usia dini
dengan perkembangan kognitif anak pra sekolah di Kelurahan Tinjimiyo, kecamatan
Bayumanik, Semarang.
Kedua, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Djoko Hartono (2013) yang meneliti tentang pengaruh
spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan, bahwa seseorang yang memiliki
tingkat spiritualitas tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki kepemimpinan
yang baik, begitu juga sebaliknya. Artinya, spiritualitas memiliki pengaruh
yang sangat signifikan terhadap keberhasilan dalam kepemimpinan.
Ketiga, menurut hasil penelitian
Arif Kennedy (2013) yang meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap tingkat pemahaman
akuntansi mahasiswa fakultas
ekonomi universitas maritim raja ali haji angkatan 2010 bahwa
secara simultan kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh
signifikan terhadap pemahaman akuntansi mahasiswa fakultas
ekonomi UMRAH angkatan 2010.
4.
Kerangka
Berfikir Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang mengangkat tentang pengaruh makna spiritualitas
terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor dan kajian
pustaka yang telah di paparkan diatas maka
peneliti menentukan variabel bebas: Makna Spriritualitas dan variabel
terikat : Intelegensi anak usia 7-10 tahun. Berikut di kemukakan kerangka
berfikir penelitian :
I.
Metode
Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam
penelitian ini, menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dan jenis
penelitian diskriptif. Menurut Whitney (1960), jenis penelitian deskriptif
adalah pencarian fakta
dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat dan
situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan
dan proses-proses yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari suatu fenomena.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguak suatu fenomena yang terjadi
pada kehidupan masyarakat, yakni pengaruh makna spiritualitas terhadap
inetelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor. Menurut peneliti, jenis
penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang paling tepat digunakan
dalam penelitian kuantitatif ini.
2.
Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
a.
Populasi
Menurut Sugiyono (2011:80), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga
objek dan benda-benda yang ada di sekitar kita.
Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh anak-anak usia 7-10 tahun yang berdomisili di Desa Suruhan Lor,
baik yang bersekolah di SD ataupun MI. Penelitian ini memiliki populasi
berjumlah 54 anak yang terdiri dari 18 laki-laki dan 36 perempuan.
b. Sampel
Menurut Sugiyono (2011:81), sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Pada penelitian ini,
sampel diambil dari MI Jati Salam, SDN Suruhan Lor dan MI al Azhar.
c.
Teknik Sampling
Penelitian ini memakai teknik sampling berupa sampel kuota. Sampel kuota
adalah suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan pada jumlah yang ditentukan,
dimana subjek memenuhi persyaratan dari
populasi. Pada penelitian ini, membutuhkan subjek sebanyak 54 anak. Setiap anak
yang menjadi subjek harus memenuhi persyaratan. Persyaratannya adalah anak-anak
usia 7-10 tahun, anak yang yang terlahir dalam kelurga agama Islam dan
berdomisili di Desa Suruhan Lor sejak kecil.
3.
Sumber Data,
Variabel dan Skala Pengukuran
a.
Sumber Data
Pada
penelitian ini sumber data didapatkan dari penelitian-penelitian terdahulu dan
teori-teori tentang makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun.
b.
Variabel
Menurut Hatch dan Farhady (1981) dalam Sugiyono (2011:38) mendefinisikan
variabel sebagai atribut seseorang atau subjek yang mempunyai “variasi” antara
satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain. Dalam
penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yaitu:
1) Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
terikat. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen (variabel bebas)
adalah makna spiritualitas.
2) Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat karena variabel bebas. Pada penelitian ini yang
menjadi variabel dependen (variabel terikat) adalah intelegensi anak usia 7-10
tahun.
c. Skala Pengukuran
Skala pengukuran yang dipakai pada penelitian ini adalah skala likert.
Sebelum dihitung menggunakan pengukuran skala likert, maka teori dalam
penelitian ini diolah sebagai berikut:
Blue print
skala makna spiritualitas
|
||
No
|
Indikator
|
Banyak Item
|
1.
|
Memiliki tujuan hidup yang jelas
|
20
|
2.
|
Memiliki prinsip hidup
|
20
|
3.
|
Selalu merasakan kehadiran Tuhan
|
20
|
4.
|
Cenderung selalu berbuat baik
|
20
|
5.
|
Memiliki kebesaran jiwa
|
20
|
6.
|
Memiliki empati terhadap sesama
|
20
|
Total
|
120
|
Blue print
intelegensi anak usia 7-10 tahun
|
||
No
|
Indikator
|
Banyak Item
|
1.
|
Suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berfikir secara rasional
|
10
|
2.
|
Tindakan yang terarah pada
penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul
daripadanya.
|
15
|
Total
|
25
|
Setelah dibuat dalam tabel blue print masing-masing, kemudian
indikator tersebut dibuat kedalam pernyataan favorable dan unfavorable. Didalam
tabel ini peneliti memberikan pernyataan favorable dan unfavorable secara acak
dari variabel makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun.
No
|
Indikator
|
Favorabel
|
Unfavorabel
|
1.
|
Memiliki tujuan hidup yang jelas
|
3, 6, 15, 28,
35, 40, 59, 62, 88,100
|
9, 17, 25,
39, 55, 67, 75, 97, 105, 120
|
2.
|
Memiliki prinsip hidup
|
1, 22, 44,
73, 94, 102, 111, 125
|
11, 20, 27,
30, 49, 52, 66, 76, 82, 99, 106, 117
|
3.
|
Selalu merasakan kehadiran Tuhan
|
19, 33, 41,
58, 63, 79, 93, 101, 104, 119, 123
|
2, 21, 37,
42, 77, 91, 107, 113, 118
|
4.
|
Cenderung selalu berbuat baik
|
14, 48, 51,
71, 96, 124
|
4, 8, 18,
26, 46, 57, 61, 69, 78, 87, 109, 112, 116, 122
|
5.
|
Memiliki kebesaran jiwa
|
5, 31, 36,
56, 60, 98, 126, 129, 131, 134, 144,
145
|
24, 50, 70,
81, 110, 127, 133, 141
|
6.
|
Memiliki empati terhadap sesama
|
10, 12, 47,
54, 65, 74, 83, 89, 92, 115, 128, 130,
143
|
7, 34, 90,
103, 132, 135, 139
|
7.
|
Suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berfikir secara rasional
|
38, 64, 85,
95, 137
|
29, 45, 80,
108, 142
|
8.
|
Tindakan yang terarah pada
penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul
daripadanya
|
16, 68, 86,
121
|
13, 23, 32,
43, 53, 72, 84, 114, 136, 138, 140
|
Ketika favorable dan unfavorable
sudah disebar secara acak, maka peneliti akan membuat pernyataan sesuai
dengan nomor sebaran tersebut. Kemudian akan dibuat dalam bentuk kuesioner yang
akan disebarkan kepada 54 subyek. Didalam kuesioner akan terdapat empat pilihan,
yakni :
SS : Sangat Setuju
S : Setuju
TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak
Setuju
Selanjutnya hasil dari jawaban responden diolah dalam bentuk skor
yang akan dihitung menggunakan skala likert.
4.
Teknik
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
a.
Teknik
Pengumpulan Data
Pada
penelitian ini teknik pengumpulan data melalui kuesioner. Didalam kuesioner
terdapat pernyataan yang berjumlah 145 yang terdiri dari indikator makna
spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun. Kuesioner disebar kepada 54
subyek yang telah memenuhi persyaratan tertentu.
b.
Instrumen
Penelitian
Menurut Sugiyono (2011:102), instrumen penelitian adalah suatu alat yang
digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik
semua fenomena ini disebut variabel penelitian.
Dalam penelitian
ini ada dua instrumen yang digunakan, yaitu:
1)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur makna spiritualitas.
2) Instrumen yang digunakan untuk mengukur
intelegensi anak usia 7-10 tahun.
5.
Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang dipakai
adalah statistik inferensial. Satistik inferensial adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk
populasi.[1] Peneliti menggunakan jenis statistik inferensial
yaitu statistik parametrik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hasari, Aliah B. Purwakania, 2008, Psikologi Perkembangan Islam,
Jakarta: Grafindo
Persada
Papalia, 2009,
Human Developmen, Jakarta: Salemba Humanika
Rahman, Abdul dan Muhbib Addul, 2004, Psikologi Suatu Pengantar,
Jakarta: Prenada Media
Sugiyono,
2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta
Internet :
Apriani, Rista,
2009, Hubungan Pendidikan Usia Dini Dengan Perkembangan Kognitif Anak Pra
sekolah di Kelurahan Tinjimiyo, Kecamatan Bayumanik, Semarang, http://www.google.com/url?sa=D&q=http://eprints.undip.ac.id/9475/1/articel.pdf&usg=AFQjCNH8SzAUsB5UdzJNLhav_bsYSm5luA
(online) /2014/05/24/12:45
Hartono, Djoko, 2013, Pengaruh
Spiritualitas Terhadap Keberhasilan Kepemimpinan, http://www.scribd.com/doc/51257778/Pengaruh-Spiritualitas-Terhadap-Keberhasilan-Kepemimpinan
(online) /2014/05/25/15:12
Kennedy, Arif, 2013, Pengaruh
Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan
Spiritual Terhadap Tingkat Pemahaman
Akuntansi Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Angkatan 2010, http://jurnal.umrah.ac.id/?p=1559
(online) /2014/05/25/16:05
Rahmadani, Anisa, 2011, Intelegensi Manusia, http://www.google.com/kmjppb.wordpress.com2011/10/15/intelegensi-Manusia
(online) /2012/05/25/16:30
Rosito, Asina Christina, 2010, Spiritualitas
Dalam Perspektif Psikologi Positif,
http://www.google.com/akademik.nommensen-id.org/portal/public_html/MM/VISI-UHN/2010/VISI_Vol_18_No_1-2010/3_ASINA_CR.doc
(online) / 2014/05/25/13:30
Yenti, Fitra, 2012, Ciri-Ciri Pemahaman Makna
Spiritualitas, http://www.
google.com/yentifitra70.blogspot.com201101ciri-ciri-kecerdasan-spiritual.html
(online) /2014/05/30/11:30
[1]Sugiyono, metode penelitian kuantitatif,
kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar