Selasa, 11 Oktober 2016

Proposal Metode Penelitian Kuantitatif dengan judul “Pengaruh Makna Spiritualitas Terhadap Intelegensi Remaja Usia 12 - 15 Tahun di Desa Suruhan Lor.”

A.           Latar Belakang Masalah
Setiap manusia secara sadar atau tidak sadar pasti memiliki masalah. Ketika  manusia mempunyai masalah yang tidak bisa diselesaikan pasti membutuhkan tempat atau sosok yang mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengadu segala permasalahan yang dihadapinya. Sosok tersebut adalah Tuhan. Semua orang menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat untuk mengadu dan meminta bantuan untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Aliyah B. Purwakania Hasari (2008:287) sejak awal penciptaannya, manusia selalu mencari jawaban dari tiga pertanyaan yang fundamental, yakni “siapa Tuhan?”, “siapa saya?” dan “mengapa saya lahir?”. Ketiga pertanyaan yang fundamental itu, mencerminkan pemahaman makna spiritualitas seseorang. Perkembangan spiritual merupakan proses individu untuk menjawab pertanyaaan tentang identitas, tujuan dan makna kehidupan. Perkembangan spiritualitas merupakan hal yang bersifat intrinsik dari pengalaman manusia. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib. Dengan kata lain, spiritualitas memberi jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran). Jika seseorang ingin memahami dasar kehidupan dan mencapai tujuan perjalanan kosmik, ia harus memahami makna spiritualitas secara keseluruhan.
Terlepas dari aspek spiritualitas, Islam juga sangat memerhatikan perkembangan kognitif seseorang. Hal ini  terlihat dari banyaknya ayat al Qur’an maupun Hadits, tentang anjuran menggunakan akal untuk memahami gejala alam semesta yang memperlihatkan kebesaran Allah. Ayat al Qur’an yang pertama kali diturunkan bahkan telah menyebutkan pentingnya proses belajar, yakni QS. al-Alaq: 1-5.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
Artinya : bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
                   Disisi lain Islam juga memandang mereka yang memiliki ilmu pengetahuan derajat yang lebih tinggi dari pada mereka yang enggan belajar. Dalam QS. QS. al-Mujadilah: 11.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penguasaan kognitif pada diri seseorang itu tidak terlepas dari bagaimana orang menerima dan mempersepsikan informasi, bagaimana proses belajar yang terjadi, bagaimana perkembangan kognitif manusia, bagaimana informasi tersebut diolah dan bagaimana meningkatkan intelegensi (kecerdasan) tersebut. Semua itu berkembang sejak masa anak-anak.
Menurut Abdul Rahman dan Muhbib Abdul (2004:179), intelegensi (kecerdasan secara umum) adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Namun, intelegensi ini bisa terbentuk secara maksimal dengan cara berlatih. Perkembangan intelegensi anak mengandung tiga aspek yaitu structure, content, dan function. Jadi, intelegensi anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur (structure) dan content intelegensinya berubah atau berkembang. Dimana fungsi dan adaptasi akan tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian perkembangan dan mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan intelegensi anak. Piaget membagi tingkat perkembangan intelegensi anak menjadi beberapa tahap, yaitu sensori motor (0-2 tahun), berpikir pra operasional (2-7 tahun), berpikir operasional konkret (7-11 tahun) dan berpikir operasional formal (11-dewasa). Pada penelitian ini hanya membahas intelegensi pada anak remaja usia 18-21 tahun. Tahapan perkembangan intelegensi pada anak remaja usia 18-21 tahun adalah tahap berfikir operasional formal. Pada usia ini seseorang sudah bisa berfikir dan bernalar dengan baik, sehingga  seseorang sudah bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi serta mengetahui makna kehidupan.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Djoko Hartono (2013) yang meneliti tentang pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan, bahwa seseorang yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki kepemimpinan yang baik, begitu juga sebaliknya. Artinya, spiritualitas memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan dalam kepemimpinan. Sedangkan, menurut hasil penelitian Arif Kennedy (2013) yang meneliti tentang pengaruh  kecerdasan emosional  dan kecerdasan spiritual  terhadap tingkat  pemahaman  akuntansi  mahasiswa  fakultas  ekonomi universitas maritim raja ali haji angkatan 2010, bahwa secara  simultan  kecerdasan  emosional  dan  kecerdasan spiritual  berpengaruh  signifikan  terhadap  pemahaman akuntansi mahasiswa fakultas ekonomi UMRAH angkatan 2010.
Dengan berbekal kedua teori dan hasil penelitian terdahulu peneliti mencoba menguak sebuah fenomena yang ada di Desa Suruhan Lor. Penelitian ini dilakukan di Desa Suruhan Lor, karena mayoritas masyarakat di desa ini bekerja sebagai petani. Masyarakat khususnya orang tua, sehari-hari menghabiskan waktunya untuk mengurus sawah. Waktu yang dipakai untuk mengontrol perkembangan dan membimbing anak sangat kurang. Namun, orang tua tersebut selalu menuntut anak-anak mereka untuk menjadi juara saat di sekolah. Orang tua mempercayakan pendidikan anak kepada ustadz saat di madrasah dan kepada guru saat di sekolah formal.  Mayoritas orang tua beranggapan bahwa dirinya tidak mampu untuk mendidik anaknya dan guru atau ustadz yang bisa mendidik anaknya. Sehingga, orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada guru atau ustadz. Selain itu, di desa tersebut memiliki kebudayaan yang unik yang lain dari desa yang lain. Seorang anak ketika berusia 8 tahun harus sudah pandai dalam menjalankan sholat dan membaca al Qur’an, kemudian akan diadakan sebuah hajatan untuk memperingati kepandaian sang anak. Karena kebudayaan yang seperti itu, masyarakat di desa ini selalu mengutamakan pemahaman makna spiritualitas terhadap anak. Sehingga masyarakat memiliki keyakinan bahwa, seorang anak yang sejak kecil diajarkan tentang makna spiritualitas, maka setelah anak berusia 7-10 tahun mereka memiliki kecenderungan untuk memiliki intelegensi (kecerdasan) diatas rata-rata teman seusianya. Sedangkan, seorang anak yang diajarkan tentang makna spiritualitas setelah usianya memasuki usia sekolah yakni 7  tahun, maka ketika berusia 7-10 tahun memiliki kecenderungan memiliki intelegensi yang rendah.
Berdasarkan anggapan masyarakat tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian tentang pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun. Hal ini, dilakukan karena kehidupan yang ada pada masyarakat tersebut selalu mengutamakan makna spiritualitas anak dan anggapan masyarakat bahwa makna spiritualitas menjadi penentu intelegensi seorang anak pada usia 7-10 tahun. Akhirnya peneliti ini ingin mengetahui bagaimana pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah  dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun di Desa Suruhan Lor?
C.           Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun di Desa Suruhan Lor.
D.           Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka peneliti mencoba membuat hipotesis sebagai berikut:
1.    Hipotesis Alternatif
Hipotesis Alternatif (HA) adalah suatu hipotesis kerja yang menyatakan hubungan antar variabel X dengan Y atau adanya perbedaan antara hal tertentu pada kelompok yang berbeda. Dalam penelitian ini, pernyataan  yang menunjukkan HA adalah ada pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun di Desa Suruhan Lor.
2.    Hipotesis Nol
Hipotesis Nol (HO) adalah nama lain dari hipotesis statistik, karena diuji dengan perhitungan  statistik. Dalam penelitian ini, pernyataan yang menunjukkan HO adalah tidak ada pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi remaja usia 18-21 tahun di Desa Suruhan Lor.
E.            Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
1.      Secara Teoritis
Penelitian ini memiliki manfaat untuk menambah wacana keilmuan, sehingga mampu menunjang pengembangan ilmu khususnya dalam bidang pemahaman makna spiritualitas dan intelegensi anak.
2.        Secara Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat untuk menambah pengalaman dan memberikan peluang yang cukup besar untuk mengamplikasikan teori yang sudah didapatkan dibangku kuliah ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga peneliti bisa merasakan manfaat dari ilmu yang sudah didapatkan.
F.            Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Suruhan Lor, jadi hasil penelitian ini tidak bisa dipakai ditempat atau wilayah lain. Karena fenomena ini hanya terjadi di Desa Suruhan Lor. Kriteria utama untuk subyek yang akan diteliti adalah anak usia 7-10 tahun, anak yang yang terlahir dalam kelurga agama Islam dan berdomisili di Desa Suruhan Lor sejak kecil. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mencari tahu tentang pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
G.           Definisi Operasional
Untuk mengetahui makna spiritualitas, peneliti mencoba mencari tahu makna spiritualitas yang anak-anak pahami selama ini. Untuk melihat pemahaman anak 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor terhadap makna spiritualitas tersebut, peneliti memberikan beberapa pernyataan kepada subyek berupa kuesiner. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner tersebut, peneliti bisa mengukur pemahaman makna spiritualiatas anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
Sedangkan untuk mengukur intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor, peneliti memberikan pernyataan kepada subyek dalam bentuk kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti bisa mengukur taraf intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
  Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan dari perhitungan kuesioner makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor, Peneliti akan memberikan kesimpulan bagaimana pemahaman anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor tentang kedua variabel tersebut, sehingga peneliti bisa menemukan ada atau tidaknya pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor.
H.           Landasan Teori
1.      Makna Spiritualitas
a.      Pengertian Spiritualitas
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) kata kerjanya “Spirare” artinya bernafas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernafas dan memiliki nafas artinya memiliki spirit, maka spiritualitas berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. 
Spiritualitas dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Didalamnya terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supranatural seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritualitas  merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritualitas adalah memiliki arah tujuan yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta serta menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra, perasaan dan pikiran. Pihak lain mengatakan, bahwa aspek spiritualitas memiliki dua proses. Pertama, proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain, perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri.
b.      Spiritualitas dan Religiusitas
Spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu, namun memiliki spiritualitas. Orang-orang dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama. Pembedaan juga harus di buat antara spiritualitas yang berbeda dengan agama dan spiritualitas dalam agama.
c.       Perkembangan Spiritualitas
1)      Tahap Perkembangan Kepercayaan Fowler
James W. Folwer dalam buku Stages of Faith mengembangkan teori tentang tahap perkembangan dalam keyakinan seseorang ( Stages of Faith Development ) sepanjang rentang kehidupan manusia. Menurut Fowler, kepercayaan merupakan orientasi holistik yang menunjukan hubungan antara individu dengan alam semesta.
Teori perkembanggan spiritual Fowler terbagi atas 6 tahap pada tahap pertama, kepercayaan intuitif-proyektif (usia 3-7 tahun), masih terdapat karakter kejiwaan yang berlum terlindungi dari ketidak sadaran. Anaka masih belajar untuk membedakan hayalanya dengan realitas yang sesungguhnya pada tahap kedua, kepercayaan mythikal-literal (usia sekolah), seseorang telah mulai mengembangkan keimanan yang kuat dalam kepercayaannya anak juga sudah mengalami prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta, namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat pada manusia. Pada tahap ke tiga kepercayaan sintetik-konvensional (usia remaja) seseorang mengembangkan karakter keimanan terhadap kepercayaan yang di milikinya. Ia mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain disekitarnya, namun masih terbatas pada sistem kepercayaan yang sama. Tahap ke empat kepercayaan individuatif-reflektif (usia 20-awal 40an), merupakan tahap percobaan dan pergolakan, dimana individu mulai mengembangkan tanggung jawab pribadi dan persaannya terhadap kepercayaan. Individu memperluas pandangannya untuk mencapai jalan kehidupannya. Pada  tahap kelima kepercayaan kondingtif seseorang mulai mengetahui berbagai pertentangan yang terdapat dalam realitas kepercayaannya. Terjadi transendensi terhadap kenyataan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh sistem. Pada tahap ke enam, kepercayaan universal, terjadi sesuatu yang disebut pencerahan manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang lebih tinggi sebagai dari pemahamannya terhadap lingkungan yang konfliktual dan penuh parakdoksal. Menurut Fowler  kebanyakan manusia berhenti pada tahap ke empat, dan kebanyakan tidak mencapai tahap lima dan enam.
Teori Fowler banyak di pertanyakan, baik dari perspektif psikologi maupun teologi dan dianggap belum memiliki validitas empirik. Meskiun terdapat bukti bahwa anak berusia 12 tahun cenderung pada dua tahap awal perkembangan. Namun terdapat bukti pada orang dewasa yang berusia 60-an memiliki variasi yang diperhatikan pada tahap tiga keatas. Model ini mendapat serangan dari metode ilmiah, karena kelemahan metodelogi. Kritik lain mempertanyakan apakah tahap ini menunjukan komitmen Fowler sendiri berada dalam tahap perkembangan spiritual tertinggi. Namun teori Fowler mendapatkan lingkaran akademik keagamaan, dan menjadi titik awal yang penting untuk berbagai dari penelitian lanjutan.
2)      Tahap perkembangan spiritual sufistik
Menurut Islam, manusia yang lahir dengn jiwa yang suci (nafsi zakiya). Namun, manusia juga lahir di dunia dengan memiliki eksistensi fisik yang terdiri daridaging dan tulang. Keberadaan fisik manusia menimbulkan keterkaitan dengan dunia tempat mereka tinggal, dan dapat memberikan kegelapan dan menutupi keindahan dan kebijaksanaan yang tersimpan dalam diri mereka. Pada asalnya, manusia dapat menjadi lupadan terus-menerus hidup dalam kesombongan.
Tujuan dari sufisme, seperti juga mistik lainnya, adalah untuk membersihkan hati, mendidik dan mentransformasikan jiwa untuk menemukan Tuhan. Tingkat terendah dalam jiwa manusia di dominasi oleh dorongan-dorongan yang untuk memuaskan diri yang bersifat  egois dan tamak yang menjauhkan seseorang mendapatkan kebenaran. Tingkat yang paling tinggi adalah jiwa yang murni, yang tidak memiliki dualitas dan tidak terpisahkan dari Tuhan.
Terpada tujuh tingkatan spiritualitas manusia, dari yang bersifat egoistik sampai yang suci secara spiritual, yang dinilai bukan oleh manusia, namun langsung oleh Allah. Sebelum naik pada tingkat perjalanan yang lebih tinggi, satu hal yang harus di ingat adalah mengenal karakteristik dari masing-masing tingkatan, tingkatan ini terdiri dari:
a)   Nafs Ammarah (The Commanding  Self)
Orang yang berada pada tahap ini adalah orang yang nafsunya didominasi godaan yang mengajaknya kearah kejahatan. Pada tahap ini, seseorang tidak dapat mengontrol kepentingan dirinya dan tidak memiliki moralitas atau perasaan kasih. Hal ini menunjukan keinginan fisik dan egoisme. Pada tahap ini kesadaran akal manusia dikalahkan oleh keinginan nafsu hewani. Manusai tidak memiliki batasan moral untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Jiwa manusia pada awalnya suci dan beriman, namun manusia terlena dengan kenikmatan  duniawi dan tenggelam dalam nilai materialistik.
b)   Nafs Lawwamah (The Regretful Self)
Manusia memiliki kesadaran terhadap prilaku, ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk, dan menyesali kesalahan-kesalahannya. Namun, ia belum memiliki kemampuan untuk merubah gaya hidupnya dengan cara yang signifikan. 
Pada tahap ini, terdapat tiga hal yang akan menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan, dan kemarahan, yaitu mereka yang berada pada tahap ini, ingin orang ain megetahui bahwa dirinya sedang berusaha untuk berubah. Dia menunnjukan segala kebaikan dihadapan orang lain dan mengharap pujian dari segala pihak. Orang yang munafik menginginkan pujian orang lain. Kesombongan terjadi karena orang tersebut memandang bahwa segala usaha untuk melakukan hal yang baik merupakan prestasi. Hal ini membuat dirinya merasa sebagai orang yang terbaik, bahkan lebih baik dari pada semua orang. Kemudian, kemarahan dapat timbul jika ia merasa dirinya tidak dihargai.
Mereka yang ada pada tingkat ini tidak bebas dari godaan. Kekecewaan terhadap penghargaan orang lain atas perbuatan prilakunya dapat membuat kembali pada tahap sebelumnya. Semakin orang lama pada tahap ini, semakin banyak godaan yang ia terima.
c)    Nafs mulhimah ( The Inspired Self)
Pada tahap ini orang mulaimerasakan ketulusan dari ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral. Tahap ini awal dari praktek sufisme yang sesungguhnya. Perilaku yang umum pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan tindakan moral. Secara keseluruhan, orang yang berada pada tahap ini memiliki emosi yang matang, menghargai dan dihargai orang lain.
Pada saat ini, manusia mulai mendapatkan pesan dar nuraninya sendiri: semacam bisikan tnpa kata-kata yang memberinya inspirasi tentang arah tujuan, mendorongnya dan memperkuat usahanya. Namun, terkadang kejahatan menyamar dalam bisikan tersebut dengann mendorong sesuatu yang tampaknya baik padahal tidak.untuk belajar membedakannya, orang ini harus belajar dengan bantuan orang yang lebih berpengalaman, yaitu orang yang mampu membedakan ilham yang sesungguhnyadengan imajinasi palsu yang jahat. Suara ego dapat dengan mudah dianggap sebagai petunjuk, terutama jika ego mengubah bahasanya dari material ke spiritual. Dalam badai ini, salah satu cara untuk menyelamatkannya adalah mematuhi aturan agamanya, ia harus shalat, puasa, membayar zakat dan lebih berhati-hati atas perbuatannya. Hadangan lain dalam tahap ini adalah perubahan pemahaman dan pengindraan. Ia seolah lupa akan segala hal yang diketahuiya, bahkan lupa pada diri sendiri. Ia melihat sesuatu berbeda, salah memahaminya, dan membuat kesalahan. Ia merasa seperti dirinya sendiri tidak benar-benar ada dan berimajinasi bahwa ia melebur dengan Allah. Namun, sebenarnya ia menyadari bahwa ia memasuki periode ketidakberdayaan, kekosongan dan kecemasan. Jika ia telah berperang dengan ego dan menjadi lelah dengan aturan dan kewajiban agamanya, ia melakukan segala sesuatu seolah-olah semuanya berasal dari Allah. Ia merasa telah menyatu dengan Allah, namun hal ini menjadikannya kehilangan ketakwaan terhadap Allah. Ia melakukan berbagai dosa atas nama Allah, dan menjadi budak kejahatan.
d)     Nafs Muthma’innah ( The contended Self)
Pada tahap ini orangmerasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal  telal lewat. kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tak lagi penting. Kepentingan diri mulai lenyap, membuat  orang lebih dekat dengan Tuhannya. Tingkatan ini membuat seseorang menjadi berpikiran terbuka, bersyukur, dapat di percaya, dan penuh kasih sayang. Jika seseorang menerima segala kesulitan dengan kesabaran dan ketakwaan, tidak berbeda ketika ia memperoleh kenikmatan, dapat dikatakan bahwa seseorang  telah mencapai tingkat jiwa yang tenang. Seseorang mulai dapat melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan dalam dirinya.
Tahap ini merupakan tahap yang dilalui setelah perjalanan panjang dan sulit setelah ia berperang dengan segala kejahatan dan nafsu dalam dirinya, dengan godaan yang selalu menerpa kehidupan duniawinya. Ada saat ini seseorang menerim perintah dari nafsu insani, yang menandakan kenikmatan dari  mengikuti aturan agama dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad Saw.. ia memiliki kualitas prilaku yang tinggi, seperti pengasih, pemurah, sabar, pemaaf, ikhlas, bersyukur, bahagia dan damai.
e)      Nafs Riyadhiyah ( The Pleased Self )
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit,  musibah cobaan dalam kehidupan. Ia menyadari bahwa kesulitan datang dari Allah untuk memperkuat keimanan. Keadaan bahagia tidak bersifat hedonistik atau materialistik, dan sangat berbeda dengan hal biasa dialami orang-orang yang beroreantasi pada hal yang bersifat duniawi, prinsip memenuhi kesenanagan (pleasure principle) dan menghindari rasa sakit (pain priciple). Jika seseorang telah sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur pada Allah, ia telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini. Namun, sedikit sekali yang dapat ,encapai tahap ini.
Dari tahap sebelumnya sampai tahap ini, seseorang mempelajari kata-kata atau contoh orang lain tentang dirinya melalui Ilm al- yaqin medapatkan pengetahuan melalui pengalaman pribadi dan pewahyuan, melalui Ayn al-Yaqin dari keyakinan. Sampai pada tahap ini, segalanya bersifat relatif, namun sekarang ia telah mencapai kebenaran abadi. Manifestasi dari hal ini adalah keadaan pengasih dan penyayang. Ia melihat segalanya sebagai tindakan Allah yang sempurna, yang mencintai mereka dalam setiap setiap situasi. Ia akan mendapatkan penyempurnaan dari segala yang terjadi. Hal ini adalah “Kebenaran Islam”. Terdapat keseimbangan yang sempurna yang harus disadari. Tidak ada kemungkinan kesalahan ketika dia menguasai nafsunya dalam kepasrahan kepada Allah. Ia tidak menginginkan hal lain kecuali yang dimilikinya. Namun, ketika ia berdoa, ia dengan cepat mendapatkan jawabannya. Ia berada dalam tahta spiritualnya, di mana dunia luar ada untuk melayaninya. Ketaqwaan, kepasrahan, kesabaran ,keyukuran, dan kecintaan kepada Allah demikian sempurna, sehingga Allah menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya.
f)       Nafs Madhiyah (The self Pleasing to God)
Mereka yang telah mencapai tahap lanjutmenyadari bahwa segala kekuatan berasal dari Allah, dan tidak dapatvterjadi begitu saja. Mereka tidak lagi mengalami rasa takut dan tidak lagi meminta. Mereka yang berada dalam tahap ini telah mencapai kesatuan internal. Pada tahap awal, seseorang mengalami pergolakan, karena mengalaqmi ketwerpecahan. Kaca yang pecah menghasilkan ribuan bayangan dari satu pencitraan. Jika kaca menjadi bersatu kembali, akan terlihat bayangan yang utuh, kesatuan penciptaan. Dengan menyembuhkan keterpecahan dalam dirinya, seoarang sufi mengalami dunia sebagai kesatuan yang utuh.
Tahap ini termaniffestasi melalui ikatan antara sang pencipta dengan yang diciptakan-Nya, melalui persaan cinta yang mendasarinya. Sang pencipta menemukan manusian yang sempurna (insan kamil) dalam kualitas yang dianugrahi-Nya ketika ia menciptakannya. Nama atau sifat Allah temanifestasi dalam diri manusia pada tingkat ini. Manusia yang sempurna ini telah kehilngan karakteristik fisik hewan yang membuatnya menjadi tidak sempurna dibah perintah nafsu. Sifat keilahiannya melekat dalam dirinya, dan ia telah melihat realitas sejati, yaitu Kebenaran, karena ia telah dianugrahi Ayn al- yaqin, keyakunan. Ia melihat keindahan dalam segalanya, memaafkan dalam kesalahan yang tidak diketahui, ia sabar, murah hati, selalu memberi tidak pernah meminta, mengabdi dengan membawa orang lain cahaya jiwa, dan melindungi orang lain dari bahaya nafsu dan kegelapan duniawi. Segalanya dilakukan demi Allah dan di dalam nama Allah.
Sulit untuk mengenali eksistensi mereka, karena tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Mereka todak dapat dibandingkan dengan konsep biasnya diketahui. Salah satu karakter yang dapat diberikan pada mereka adalah mereka selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang sempurna, sepertipusat lingkaran, seperti pusat keseimbangan, tepat di tengah-tengah, tidak kuran atau lebih. Tidak dapat yang dicapai keseimbangan tujuan, kecuali manusia yang sempurna.
g)      Nafs Safiyah ( The Pure Self )
Mereka yang telah mencapai tahap akhir telah mengalami trandensi diri yang seutuhnya. Tidak ada nafs yang tersisa, pada pencapaian dengan Allah di tahap ini, ia telah menyadari kebenaran sejati, “Tidak ada Tuhan selain Allah” . sekarang ia menyadari tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah dan setiap indra manusia atau keterpisahan adalah suatu ilusi.





2.      Intelegensi
a.      Pengertian Intelegensi
Menurut Abdul Rahman dan Muhbib Abdul (2004), intelegensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Artinya, kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan penyesuaian diri  terhadap suatu situasi atau masalah kemampuan yang bersifat umum tersebut meliputi berbagai jenis psikis seperti abstrak, berfikir mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan sebagainya.
Intelegensi atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia. Intelegensi ini diperoleh manusia, dan sejak itulah potensi intelegensi ini mulai berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas perkembangan inidividu, dan mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungan.
Mengingat begitu kompleknya definisi dari intelegensi tersebut, maka peneliti tertarik untuk menelitinya. Namun, pada penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada intelegensi anak usia 7-10 tahun. Menurut analisis Peaget (Human Developmen, 2009:443), anak usia 7-11 tahun sedang dalam kondisi transisi yaitu dalam perkembangan operasional konkret. Dimana anak bisa menggunakan berbagai operasi mental seperti penalaran dan memecahkan masalah-masalah  konkret. Anak-anak pada usia ini dapat berfikir dengan logis karena mereka tidak terlalu egosentris dari sebelumnya dan dapat mempertimbangkan banyak sekali aspek dari sutuasi. Pada masa ini anak-anak sudah mulai bisa melakukan bermacam-macam tugas. Pada masa operasional konkret anak telah mengerti proses apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
b.      Teori-Teori Intelegensi
Teori – Teori mengenai intelegensi ada beberapa macam, diantaranya:
1)      Teory Two- Faktor
Inteligensi terdiri dari faktor G (general factor) kecerdasan umum yang berfungsi dalam setiap aktivitas mental & faktor S (specific factors) kemampuan khusus seseorang: verbal, numerikal, mekanikal, perhatian, imajinasi, dll.(Charles Spearman)
2)      Teory Primary Mental Abilities
Inteligensi terdiri sekelompok faktor (primary Mental Abilities): verbal comprehension, numerical, spasial visualization, perseptual ability, memory, reasoning & word fluency. (L.L Thurstone).
3)      Teory Triarchis
Menggambarkan proses berpikir sebagai komponen yang diklasifikasikan menurut fungsi & sifat:
a)      Meta component: mengidentifikasi masalah, merencanakan, menunjukan perhatian dan memantau sejauh mana strategi yang dipilih tersebut bekerja. 
b)      Performance component: melaksanakan strategi yang telah dipilih. 
c)      Knowledge acquisition component : menyangkut perolehan pengetahuan (Sternberg).
c.       Pengukuran Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
1)      Validitas dan Reliabilitas
Test intelegensi kebanyakan menggunakan prestasi sekolah sebagai promotor atau kriteria utamanya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tes intelegensi memang mempunyai korelasi yang amat tinggi dengan prestasi sekolah. Jadi dalam hal ini tes tersebut valid. Pertanyaan validitas, dan khususnya reliabilitas tes intelegensi menyangkut pada pengaruh budaya. Bila tes dapat dibuat sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya (Culture Fair atau Culture Free) maka tes tersebut dapat diharapkan reliabel (dapat dipakai di mana saja).
2)      Jenis-Jenis Tes Intelegensi
Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
a)       Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
Ø  Stanford – Binet Intelegence Scale.
Ø  Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
Ø  Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC)
Ø  Wechster – Adult Intelegence Scale (WAIS)
Ø  Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI)
b)      Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
Ø  Pintner Cunningham Prymary Test
Ø  The California Test of Mental Makurity
Ø  The Henmon – Nelson Test Mental Ability
Ø  Otis – Lennon Mental Ability Test
Ø  Progassive Matrices
c)       Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan:
Ø  The California Test of Mental Maturity (CTMM) 
Ø  The Henmon – Nelson Test Mental Ability 
Ø  Otis – Lennon Mental Ability Test
Ø  Progassive Matrices. (22)
d.      Faktor-faktor yang mempengaruhi Intelegensi
Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat intelegensi yang berbeda. Hal ini seperti yang disebutkan diatas ada pandangan yang menekankan pada bawaan (pandangan kualitatif) dan ada yang menekankan pada proses belajar (pandangan kuantitatif) sehingga dengan adanya perbedaan pandangan tersebut dapat diketahui bahwa intelegensi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.
1)      Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – + 0,20 ).
2)      Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
3)      Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
4)      Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
5)      Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
6)      Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
7)      Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.
3.      Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian yang terdahulu, yakni :
Pertama, hasil penelitian yang dilakukan Rista Apriani (2009) yang meneliti tentang hubungan pendidikan usia dini dengan perkembangan kognitif anak pra sekolah di Kelurahan Tinjimiyo, Kecamatan Bayumanik, Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan usia dini dengan perkembangan kognitif anak pra sekolah di Kelurahan Tinjimiyo, kecamatan Bayumanik, Semarang.
Kedua, hasil penelitian yang dilakukan oleh Djoko Hartono (2013) yang meneliti tentang pengaruh spiritualitas terhadap keberhasilan kepemimpinan, bahwa seseorang yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi memiliki kecenderungan untuk memiliki kepemimpinan yang baik, begitu juga sebaliknya. Artinya, spiritualitas memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan dalam kepemimpinan.
Ketiga, menurut hasil penelitian Arif Kennedy (2013) yang meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional  dan kecerdasan spiritual  terhadap tingkat  pemahaman  akuntansi  mahasiswa  fakultas  ekonomi universitas maritim raja ali haji angkatan 2010 bahwa secara  simultan  kecerdasan  emosional  dan  kecerdasan spiritual  berpengaruh  signifikan  terhadap  pemahaman akuntansi mahasiswa fakultas ekonomi UMRAH angkatan 2010.
4.      Kerangka Berfikir Penelitian
Rectangle: Rounded Corners: Makna SpiritualitasBerdasarkan rumusan masalah yang mengangkat tentang pengaruh makna spiritualitas terhadap intelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor dan kajian pustaka yang telah di paparkan diatas maka  peneliti menentukan variabel bebas: Makna Spriritualitas dan variabel terikat : Intelegensi anak usia 7-10 tahun. Berikut di kemukakan kerangka berfikir penelitian :
Text Box: Gambar 1 :


 












I.         Metode Penelitian
1.      Pendekatan  dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dan jenis penelitian diskriptif. Menurut Whitney (1960),  jenis penelitian deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat dan situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan dan proses-proses yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari suatu fenomena.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguak suatu fenomena yang terjadi pada kehidupan masyarakat, yakni pengaruh makna spiritualitas terhadap inetelegensi anak usia 7-10 tahun di Desa Suruhan Lor. Menurut peneliti, jenis penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang paling tepat digunakan dalam penelitian kuantitatif ini.
2.      Populasi, Sampel dan Teknik Sampling   
a.       Populasi
Menurut Sugiyono (2011:80), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas  objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda yang ada di sekitar kita.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak-anak usia 7-10 tahun yang berdomisili di Desa Suruhan Lor, baik yang bersekolah di SD ataupun MI. Penelitian ini memiliki populasi berjumlah 54 anak yang terdiri dari 18 laki-laki dan 36 perempuan.
b.      Sampel
Menurut Sugiyono (2011:81), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Pada penelitian ini, sampel diambil dari MI Jati Salam, SDN Suruhan Lor dan MI al Azhar.
c.       Teknik Sampling
Penelitian ini memakai teknik sampling berupa sampel kuota. Sampel kuota adalah suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan pada jumlah yang ditentukan, dimana subjek  memenuhi persyaratan dari populasi. Pada penelitian ini, membutuhkan subjek sebanyak 54 anak. Setiap anak yang menjadi subjek harus memenuhi persyaratan. Persyaratannya adalah anak-anak usia 7-10 tahun, anak yang yang terlahir dalam kelurga agama Islam dan berdomisili di Desa Suruhan Lor sejak kecil.
3.    Sumber Data, Variabel dan Skala Pengukuran
a.      Sumber Data
Pada penelitian ini sumber data didapatkan dari penelitian-penelitian terdahulu dan teori-teori tentang makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun.
b.      Variabel
Menurut Hatch dan Farhady (1981) dalam Sugiyono (2011:38) mendefinisikan variabel sebagai atribut seseorang atau subjek yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain. Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yaitu:
1)      Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen (variabel bebas) adalah makna spiritualitas.
2)      Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena variabel bebas. Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen (variabel terikat) adalah intelegensi anak usia 7-10 tahun.
c.       Skala Pengukuran
Skala pengukuran yang dipakai pada penelitian ini adalah skala likert. Sebelum dihitung menggunakan pengukuran skala likert, maka teori dalam penelitian ini diolah sebagai berikut:
Blue print skala makna spiritualitas
No
Indikator
Banyak Item
1.       
Memiliki tujuan hidup yang jelas
20
2.       
Memiliki prinsip hidup
20
3.       
Selalu merasakan kehadiran Tuhan
20
4.       
Cenderung selalu berbuat baik
20
5.       
Memiliki kebesaran jiwa
20
6.       
Memiliki empati terhadap sesama
20
Total
120

Blue print intelegensi anak usia 7-10 tahun
No                                                                
Indikator
Banyak Item
1.       
Suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional

10
2.       
Tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya.

15
Total
25
Setelah dibuat dalam tabel blue print masing-masing, kemudian indikator tersebut dibuat kedalam pernyataan favorable dan unfavorable. Didalam tabel ini peneliti memberikan pernyataan favorable dan unfavorable secara acak dari variabel makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun.
No
Indikator
Favorabel
Unfavorabel
1.       
Memiliki tujuan hidup yang jelas
3, 6, 15, 28,  35, 40, 59, 62, 88,100
9, 17, 25, 39, 55, 67, 75, 97, 105, 120
2.       
Memiliki prinsip hidup
1, 22, 44, 73, 94, 102, 111, 125
11, 20, 27, 30, 49, 52, 66, 76, 82, 99, 106, 117
3.       
Selalu merasakan kehadiran Tuhan
19, 33, 41, 58, 63, 79, 93, 101, 104, 119, 123
2, 21, 37, 42, 77, 91, 107, 113, 118
4.       
Cenderung selalu berbuat baik
14, 48, 51, 71, 96, 124
4, 8, 18, 26, 46, 57, 61, 69, 78, 87, 109, 112, 116, 122
5.       
Memiliki kebesaran jiwa
5, 31, 36, 56, 60, 98, 126, 129,  131, 134, 144, 145
24, 50, 70, 81, 110, 127, 133, 141
6.       
Memiliki empati terhadap sesama
10, 12, 47, 54, 65, 74, 83, 89, 92,  115, 128, 130, 143
7, 34, 90, 103, 132, 135, 139
7.       
Suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional
38, 64, 85, 95, 137
29, 45, 80, 108, 142
8.       
Tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya
16, 68, 86, 121
13, 23, 32, 43, 53, 72, 84, 114, 136, 138, 140
Ketika favorable dan unfavorable  sudah disebar secara acak, maka peneliti akan membuat pernyataan sesuai dengan nomor sebaran tersebut. Kemudian akan dibuat dalam bentuk kuesioner yang akan disebarkan kepada 54 subyek. Didalam kuesioner akan terdapat empat pilihan, yakni :
SS             : Sangat Setuju                       
S               : Setuju
TS             : Tidak Setuju                                    
STS          : Sangat Tidak Setuju
Selanjutnya hasil dari jawaban responden diolah dalam bentuk skor yang akan dihitung menggunakan skala likert.
4.      Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
a.      Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data melalui kuesioner. Didalam kuesioner terdapat pernyataan yang berjumlah 145 yang terdiri dari indikator makna spiritualitas dan intelegensi anak usia 7-10 tahun. Kuesioner disebar kepada 54 subyek yang telah memenuhi persyaratan tertentu.
b.      Instrumen Penelitian
Menurut Sugiyono (2011:102), instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian.
Dalam penelitian ini ada dua instrumen yang digunakan, yaitu:
1)        Instrumen yang digunakan untuk mengukur makna spiritualitas.
2)     Instrumen yang digunakan untuk mengukur intelegensi anak usia 7-10 tahun.
5.      Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang dipakai adalah statistik inferensial. Satistik inferensial adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi.[1] Peneliti menggunakan jenis statistik inferensial yaitu statistik parametrik. 
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hasari, Aliah B. Purwakania, 2008, Psikologi Perkembangan Islam, Jakarta: Grafindo
Persada
Papalia, 2009, Human Developmen, Jakarta: Salemba Humanika
Rahman, Abdul dan Muhbib Addul, 2004, Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta: Prenada Media
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif  Dan R&D,  Bandung: Alfabeta
Internet :
Apriani, Rista, 2009, Hubungan Pendidikan Usia Dini Dengan Perkembangan Kognitif Anak Pra sekolah di Kelurahan Tinjimiyo, Kecamatan Bayumanik, Semarang, http://www.google.com/url?sa=D&q=http://eprints.undip.ac.id/9475/1/articel.pdf&usg=AFQjCNH8SzAUsB5UdzJNLhav_bsYSm5luA (online) /2014/05/24/12:45
Hartono, Djoko, 2013, Pengaruh Spiritualitas Terhadap Keberhasilan Kepemimpinan, http://www.scribd.com/doc/51257778/Pengaruh-Spiritualitas-Terhadap-Keberhasilan-Kepemimpinan (online) /2014/05/25/15:12
Kennedy, Arif, 2013, Pengaruh Kecerdasan Emosional  Dan Kecerdasan Spiritual  Terhadap Tingkat  Pemahaman  Akuntansi  Mahasiswa  Fakultas  Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji Angkatan 2010, http://jurnal.umrah.ac.id/?p=1559 (online) /2014/05/25/16:05
Rahmadani, Anisa, 2011, Intelegensi Manusia, http://www.google.com/kmjppb.wordpress.com2011/10/15/intelegensi-Manusia (online) /2012/05/25/16:30
Rosito, Asina Christina, 2010, Spiritualitas Dalam Perspektif Psikologi Positif, http://www.google.com/akademik.­nommensen-­id.­org/­portal/­public_html/­MM/­VISI-­UHN/­2010/­VISI_Vol_18_No_1­-­2010/­3_ASINA_CR.­doc (online) / 2014/05/25/13:30
Yenti, Fitra, 2012, Ciri-Ciri Pemahaman Makna Spiritualitas, http://www. google.com/yentifitra70.blogspot.com201101ciri-ciri-kecerdasan-spiritual.html (online) /2014/05/30/11:30


[1]Sugiyono, metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar