Jumat, 28 Maret 2014

Teori Belajar Sosial (Social Learning Teory) Albert Bandura

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Teori
Penelitian Bandura mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas. Penelitian ini meliputi studi tentang imitasi dan identifikasi, Perkuatan Sosial, Perkuatan Diri dan Pemonitoran, serta Perubahan Tingkah Laku melalui pemodelan.
Bersama Richard Wakters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolescent Aggression (1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan dimana prinsip-prinsip belajar sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok remaja pria delinkuen dari kelas menengah, disusul dengan Social Learning and personality development (1963), sebuah buku dimana ia dan Walters memaparkan prinsip-prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti yang menjadi dasar bagi teori tersebut. Pada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku dan pada tahun 1973, ”Aggression: A social learning analysis”.
Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977), ia telah “berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis pikiran dan tingkah laku manusia”.
Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.
Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke dalam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.







BAB II
TINJAUAN TEORI
A.      Biografi Tokoh
Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada 04 Desember 1925. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di desa kecil dan juga mendapat pendidikan disana. Pada tahun 1949 beliau mendapat pendidikan di University of British Columbia, dalam jurusan psikologi. Dia memperoleh gelar Master didalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi klinik, setelah lulus ia bekerja di Standford University.Beliau banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen.Pada tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor dan seterusnya menerima anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahub 1980.
Pada tahun berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku social dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti tentang agresi pembelajaran social dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama mendapat gelar doctor sebagai asistennya. Bandura berpendapat, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi.
B.       Esensi Teori
Bagi bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperthatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme.
Definisi Belajar sosial (social kognitif) adalah perilaku dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari baik, sebagai hasil reinformecement maupun reiforcement.
Pertama, Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata – mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi.
Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.
Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai determinan resiprokal, beyond reinforcement, dan self regulation.
1.    Determinis resiprokal
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan / mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determenis resiprokal adalah konsep penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling detirminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan interpersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif sari organisasi dan sistem sosial.
Gambar berikut menunjukkan Nilai komperhensif dari determinis resiprokal Bandura dibandingkan dengan teori Behaviorisme lainnya.
Bandura: Hubungan antara Pribadi, Lingkungan dan Tingkah laku saling mempengaruhi
2.      Tanpa Reinforsemen
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unik respon sosial yang orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu – satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.
3.      Kognisi dan Regulasi diri
Teori belajar  tradisional sering terhalang oleh ke-tidak-senangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan  menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang.
Bandura melukiskan :
Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkahlaku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977)
C.      Struktur Kepribadian
Sistem Self (Self System)
Tidak seperti Skinner yang teorinya tidak memiliki konstruk self, Bandura yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkah laku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan & kekuatan peramalan.
Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Saling determinis menempatkan semua hal saling berinteraksi di mana pusat atau pemula-nya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungs – fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh self tidak otomatis atau mengatur tingkah laku secara otonom, tetapi self menjadi bagian dari interaksi resiprokal.
Regulasi Diri
Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Balikannya dalam bentuk determinis resiprokal berarti orang dapat untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Orang memotivasi dan membimbing tingkahlakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dipakai untuk mengevaluasi tingkahlaku internal. Tingkahlaku manusia adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan faktor internal.
1.    Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh – pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru anak – anak belajar baik-buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk menilai prestasi diri.
Kedua, faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan intensif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya kerja sama; ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
2.    Faktor Internal dalam Regulasi Diri
Faktor internal dalam regulasi diri dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal.
Faktor Eksternal
Faktor Internal
Self Observation
Judgmental Process
Sel Responses
Standar masyarakat
Dimensi Performansi
Kualita
Keseringan
Kuantita
Orisinalitas
Kebenaran
bukti
Dampak
Penyimpangan
Etika

Standar Pribadi
Sumber model
Sumber penguat
Pedoman performasi
Norma standar
Perbandingan sosial
Perbandingan personal
Perbandingan kolektif
Menghargai Aktivitas
Sangat dihormati
Netral
Direndahkan
Atribusi Performansi
Lokus pribadi
Lokus eksternal

Reaksi evaluasi diri
Positif
Negatif
Dampak terhadap self
Dihadiahi
Dihukum
Tanpa respon self

Efikasi Diri (Self Effication)
Bagaimana orang bertingkahlaku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efiksasi diri,dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.
1.      Efiksasi diri atau ekspektasi (self effication – efficacy expectation) adalah “Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu”. Efikasi dari berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
2.      Ekspektasi hasil (outcome expectations) adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.
Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita – cita), karena cita – cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai. Sedangkan efikasi menggambarkan ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar profesional. Namun ekspektasi hasilnya bisa rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung pada daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotik, sterilitas dan infeksi, dan sebagainya. Orang bisa memiliki ekspektasi hasil yang realistik (apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan hasilnya), atau sebaliknya, ekspektasi hasilnya tidak realistik (mengharap terlalu tinggi dari hasil nyata yang dipakai). Orang yang ekspektasinya tinggi (percaya bahwa dia dapat mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistik (memperkirakan hasil sesuai dengan kemampuan diri). Orang itu akan bekerja keras dan bertahan mengerjakan tugas sampai selesai.
Sumber Efikasi Diri
Perubahan tingkah laku, dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi social (social persuation) dan pembangkitan emosi (Emotinal/Physiological states).
Pengalaman performansi
Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan member dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya :
1.      Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi.
2.      Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok, dibantu orang lain.
3.      Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin.
4.      Kegagalan dalam suasana emosional/stress, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal.
5.      Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.
6.      Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.
Pengalaman Vikarius
Diperoleh melalui model social. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figure yang diamati berbeda dengan diri sipengamat, pengaruh vikarius tidak  besar. Sebaliknya ketika mengamati kegagalan figure yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.
Tabel Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi
Sumber
Cara Induksi
Pengalaman Performansi
Participant modelling
Meniru model yang berprestasi
Performance desenzation
Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu
Performance exposure
Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
Selfinstructed performance
Melatih diri untuk melakukan yang terbaik
Pengalaman Vikarius
Live modeling
Mengamati model yang nyata
Symbolic modelling
Mengamati model simbolik,film,komik,cerita.
Persuasi Verbal
Suggestion
Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan
Exhortation
Nasihat,peringatan yang mendesak/memaksa.
Self-instruction
Memerintah diri sendiri
Interpretive treatment
Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah
Pembangkitan Emosi
Attribution
Mengubah atribusi, penanggungjawab suatu kejadian emosional
Relaxation biofeedback
Relaksasi
Symbolic desensitization
Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik
Symbolic exposure
Memunculkan emosi secara simbolik

Persuasi Sosial
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi social. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.
Keadaan Emosi
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa terjadi, peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri.
Perubahan tingkah laku akan terjadi kalau sumber ekspektasi efikasinya berubah. Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral. Keempat sumber itu diubah dengan berbagai strategi yang diringkas dalam Tabel 36.
Efikasi Diri sebagai Prediktor Tingkah laku
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting, yang kalau digabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkah laku mendatang yang penting. Berbeda dengan konsep-diri (Rogers) yang bersifat kesatuan umum, efikasi diri bersifat fragmental. Setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada :
1.      Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu.
2.      Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi itu.
3.      Keadaan fisiologis dan emosional ; kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku (Tabel)
Table Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai Prediktor Tingkahlaku

Efikasi
Lingkungan
Prediksi hasil tingkah laku
Tinggi
Responsif
Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya
Rendah
Tidak responsif
Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit
Tinggi
Tidak responsif
Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif, melakukan protes, aktivitas social, bahkan memaksakan perubahan.
Rendah
Responsif
Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu

Efikasi Kolektif (Collective Efficacy)
Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan perubahan social tertentu, disebut efikasi kolektif. Ini bukan ‘jiwa kelompok’ tetapi lebih sebagai efikasi pribadi dari banyak orang yang bekerja bersama. Bandura berpendapat, orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui efikasi diri individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif. Misalnya, dalam bidang kesehatan, orang memiliki efikasi diri yang tinggi untuk berhenti merokok atau melakukan diet, tetapi mungkin memiliki efikasi kolektif yang rendah dalam hal mengurangi polusi lingkungan, bahaya tempat kerja, dan penyakit infeksi. Efikasi diri dan efikasi kolektif bersama-sama saling melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia. Efikasi kolektif timbul berkaitan dengan masalah-masalah perusakan hutan, kebijakan perdagangan internasional, perusakan ozone, kemajuan teknologi, hukum dan kejahatan, birokrasi, perang, kelaparan, bencana alam, dan sebagainya.
D.      Dinamika Kepribadian
Menurut Bandura, motivasi adalah konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber, gambaran hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi tingkah laku saat ini), dan harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan antara. Dengan kata lain, harapan mendapat reinforsemen pada masa yang akan datang memotivasi seseorang untuk bertingkah laku tertentu. Juga, dengan menetapkan tujuan atau tingkat performansi yang diinginkan, dan kemudian mengevaluasi performansi dirinya, orang temotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Anak yang lemah dalam matematik, tampak meningkat performansinya ketika mereka menetapkan dan berusaha mencapai serangkaian tujuan yang berurutan yang memungkinkan evaluasi diri segera daripada menetapkan tujuan yang jauh dan membutuhkan waktu lama mencapainya. Jadi, terus menerus mengamati,memikirkan, dan menilai tingkah laku diri, akan member intensif-diri sehingga bertahan dalam berusaha mencapai standar yang telah ditentukan.
Bandura setuju bahwa penguatan menjadi penyebab belajar. Namun orang juga dapat belajar dengan penguat yang diwakilkan (vicarious reinforcement), penguat yang ditunda(expectation reinforcement), atau bahkan tanpa penguat (beyond reinforcement):
  1. Penguatan Vikarius (vicarious reinforcement): mengamati orang lain yang mendapat penguatan, membuat orang ikut puas dan berusaha belajar gigih agar menjadi seperti orang itu.
  2. Penguatan yang ditunda (expectation reinforcement): orang terus menerus berbuat tanpa mendapat penguatan, karena yakin akan mendapat penguatan yang sangat memuaskan pada masa yang akan datang.
  3. Tanpa penguatan (beyond reinforcement): belajar tanpa ada reinforsemen sama sekali, mirip dengan konsep otonomi fungsional dari Allport.
Ekspektasi penguatan dapat dikembangkan dengan mengenali dampak dari tingkah laku;pengamatan terhadap praktek mengganjar dan menghukum tingkah laku orang lain yang ada di lingkungan sosial, dan mengganjar dan menghukum tingkah laku orang lain yang ada dilingkungan sosial, dan mengganjar dan menghukum tingkah lakunya sendiri. Orang mengembangkan standar pribadi berdasarkan standar sosial melalui interaksinya dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya. Orang dapat mengganjar dan menghukum tingkah laku sendiri dengan menerima diri atau mengkritik diri. Penerimaan dan kritik diri ini sangat besar perannya dalam membimbing tingkah laku, sehingga tingkah laku orang menjadi tetap (konsisten), tidak terus menerus berubah akibat adanya perubahan sosial.
Dalam penelitian ditemukan, anak-anak yang diganjar dan dipuji untuk pencapaian yang relatif rendah akan tumbuh dan mengembangkan self-reward yang murah dibanding anak yang standar pencapaiannya tinggi. Begitu pula anak yang mengamati model yang diganjar pada standar pencapaian yang rendah akan menjadi orang dewasa yang murah dalam mengganjar diri sendiri dibanding anak yang mengamati model dengan standar ganjaran tinggi.
E.       Perkembangan Kepribadian
Belajar Melalui Observasi
Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat reinforsemen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan.
Peniruan (Modelling)
Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tinkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.
Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak: Kelompok pertama disuruh mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan verbal, terhadap boneka karet. Kelompok kedua diminta mengobservasi model orang dewasa yang duduk tenang tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya. Kelompok ketiga menjadi kelompok control yang tidak ditugasi mengamati dua jenis model itu. Ketiga kelompok anak itu kemudian dibuat mengalami frustasi ringan, dan setiap anak sendirian ditempatkan di kamar yang ada boneka karet seperti yang dipakai penelitian. Ternyata tingkah laku setiap kelompok cenderung mirip dengan tingkah laku model yang diamatinya. Kelompok pertama bertingkah laku lebih agresif terhadap boneka dibanding kelompok lain. Kelompok kedua sedikit lebih agresif dibanding kelompok kontrol.
Contoh lain, berdasarkan social learnig theory menyatakan bahwa tingkah laku manusia bukan semata – mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari reaksi yang tombul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif. Menurut bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imitation) maupun penyajian contoh perilaku (modelling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak untuk menirukan perilaku membaca. Anggota keluarga yang sering dilihat oleh anak membaca atau memegang buku di rumah akan merangsang anak untuk mencoba mengenal buku.( Setianti, Fetiara dan Alfi Purnamasari, Efefektifitas Mendengarkan Pembacaan Cerita  Untuk Meningkatkan Minat Baca Anak Sekolah Dasar. Jurnal Humanistik Fakultas Psikologi Ahmad Dahlan, Vol 5, No.1 Januari 2008)
Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori belajar social dari Albert Bandura. Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang dirancang untuk mengajarkan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase di mana Dosen memodelkan atau mencontohkan melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.
Pada saat Dosen melakukan modeling Mahasiswa melakukan pengamatan terhadap keterampilan yang dimodelkan itu. Selanjutnya Mahasiswa diberi kesempatan untuk meniru model yang dilakukan oleh Dosen melalui kesempatan latihan di bawah bimbingan Dosen.
Modeling Tingkahlaku Baru
Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model ditransformasi menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransformasi menjadi symbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. Ketrampilan kognitif yang bersifat simbolik ini, membuat orang dapat mentransform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkah laku baru.
Modeling Mengubah Tingkahlaku Lama
Di samping dampak mempelajari tingkah laku baru, modeling mempunyai dua macam dmpak terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah.
Modeling Simbolik
Dewasa ini sebagian besar modeling tingkah laku berbentuk simbolik. Film dan televisi menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku.
Modeling Kondisioning
Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling pon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkah laku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon emosional yang sama di dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya (kondisioning klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek yang menjadi sasaran emosional model yang diamati. Emosi seksual yang timbul akibat menonton film cabul dilampiaskan ke obyek yang ada didekatnya saat itu (misalnya: menjadi kasus pelecehan dan perkosaan anak).
Motivasi Belajar dan Teori Perilaku (Bandura)
Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang  dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995).
Mengapa sejumlah siswa tetap bertahan dalam menghadapi kegagalan sedang yang lain menyerah? Mengapa ada sejumlah siswa yang bekerja untuk menyenangkan guru, yang lain berupaya mendapatkan nilai yang baik, dan sementara itu ada yang tidak berminat terhadap bahan pelajaran yang seharusnya mereka pelajari? Mengapa ada sejumlah siswa mencapai hasil belajar jauh lebih baik dari yang diperkirakan berdasarkan kemampuan mereka dan sementara itu ada sejumlah siswa mencapai hasil belajar jauh lebih jelek jika dilihat potensi kemampuan mereka? Mengkaji penguatan yang telah diterima dan kapan penguatan itu diperoleh dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, namun pada umumnya akan lebih mudah meninjaunya dari sudut motivasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Penghargaan (Reward) dan Penguatan (Reinforcement)
Suatu alasan mengapa penguatan yang pernah diterima merupakan penjelasan yang tidak memadai untuk motivasi karena motivasi belajar manusia itu sangat kompleks dan tidak bebas dari konteks (situasi yang berhubungan). Terhadap binatang yang sangat lapar kita dapat meramalkan bahwa makanan akan merupakan penguat yang sangat efektif. Terhadap manusia, meskipun ia lapar, kita tidak dapat sepenuhnya yakin apa yang merupakan penguat dan apa yang bukan penguat, karena nilai penguatan dari penguat yang paling potensial sebagian besar ditentukan oleh faktor-faktor pribadi dan situsional.
Penentuan Nilai dari Suatu Insentif
Ilustrasi berikut menunjukkan poin penting: nilai motivasi  belajar dari suatu insentif tidak dapat diasumsikan, karena nilai itu dapat bergantung pada banyak faktor (Chance, 1992). Pada saat guru mengatakan “Saya ingin kamu semua mengumpulkan laporan buku pada waktunya karena laporan itu akan diperhitungkan dalam menentukan nilaimu,” guru itu mungkin mengasumsikan bahwa nilai merupakan insentif yang efektif untuk siswa pada umumnya. Tetapi bagaimanapun juga sejumlah siswa dapat tidak menghiraukan nilai karena orang tua mereka tidak menghiraukannya atau mereka memiliki catatan kegagalan di sekolah dan telah mengambil sikap bahwa nilai itu tidak penting. Apabila guru mengatakan kepada seorang siswa, “Pekerjaan yang bagus! Saya tahu kamu dapat  mengerjakan tugas itu apabila kamu mencobanya!” Ucapan ini dapat memotivasi seorang siswa yang baru saja menyelesaikan suatu tugas yang ia anggap sulit namun dapat berarti hukuman (punishment) bagi siswa yang berfikir bahwa tugas itu mudah (karena pujian guru itu memiliki implikasi bahwa ia harus bekerja keras untuk menyelesaikan tugas itu). Seringkali sukar menentukan motivasi belajar siswa dari perilaku mereka karena banyak motivasi yang berbeda dapat mempengaruhi perilaku. Kadang-kadang suatu jenis motivasi jelas-jelas menentukan perilaku, tetapi pada saat yang lain, ada motivasi lain yang berpengaruh (mempengaruhi) terhadap perilaku belajar siswa.
Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi
Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat belajar, karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa factor atau prakondisi.   Menurut Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar melalui obsevasi dapat terjadi, yakni:
1.    Perhatian (attention process): Sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.
2.    Representasi (representation process): Tingkah laku yang akan ditiru, harus disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran, tanpa benar – benar melakukannya secara fisik.
3.    Peniruan tingkah laku model (behavior production process): sesudah mengamati dengan penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkah  laku. Mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan evaluasi; “Bagaimana melakukannya?” “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah sudah benar?” Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pembelajaran.
4.    Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process): Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pembelajaran memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.
Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan, pening dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model sesusilanya daripada model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya di luar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung melimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara ciri model dengan observernya. Anak cenderung melimitasi orang tuanya yang hangat dan open (jw), gadis lebih melimitasi ibunya
Dampak Belajar
Setiap kali respons dibuat, akan diikuti dengan berbagai konsekuensi; ada yang konsekuensinya menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, ada yang tidak masuk kekesadaran sehingga dampaknya sangat kecil. Penguatan baik positif maupun negatif nampaknya tidak otomatis sejalan dengan konsekuensi respons. Konsekuensi dari suatu respons mempunyai tiga fungsi:
1.    Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkah laku informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkah laku pada masa yang akan datang.
2.    Memotivasi tingkah laku yang akan datang: Menyajikan data sehingga orang dapat membayangkan secara simbolik hasil tingkah laku yang akan dilakukannya, dan bertingkah laku sesuai dengan peramalan-peramalan yang dilakukannya. Dengan kata lain, tingkah laku ditentukan atau dimotivasi oleh masa yang akan datang, di mana pemahaman mengenai apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu diperoleh dari pemahaman mengenai konsekuensi suatu tingkah laku.
3.    Penguat tingkah laku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkah laku menjadi diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat tingkah laku cenderung tidak diulang.
F.       Psikopatologi
Bandura sependapat dengan Eysenck dan Wolpe bahwa terapi tingkah laku dapat efektif mengurangi reaksi kecemasan. Dia tidak percaya bahwa tekanan emosional menjadi elemen kunci penyebab reaksi takut yang berlebihan, sehingga harus dihilangkan agar tingkah laku dapat berubah. Menurutnya, masalah pokoknya adalah orang percaya bahwa dirinya tidak dapat menangani situasi tertentu secara efektif. Karena itu perlu dikembangkan self-efficacy, agar terjadi perubahan tingkah laku. Konsep determinis resiprokal menganggap tingkah laku dipelajari sebagai akibat dari interaksi antara pribadi tingkah laku lingkungan, termasuk tingkah laku yang menyimpan. Tingkah laku patologis itu dipengaruhi oleh faktor kognitif, proses neurofisiologis, pengalaman masa lalu yang mendapat penguatan, dan nilai fasilitatif dan lingkungan.
1.    Reaksi Depresi: Standar pribadi dan penerapan tujuan yang terlalu tinggi, membuat orang rentan mengalami kegagalan, dan akan berakibat orang mengalami depresi. Sesudah dalam keadaan depresi, orang cenderung menilai rendah prestasi dirinya, sehingga “keberhasilan” tetap dipandang sebagai kegagalan. Akibatnya, terjadi kesengsaraan yang kronis, merasa tidak berharga, tidak mempunyai tujuan, dan depresi yang mendalam.
Penderita depresi melakukan regulasi diri pengamatan diri, proses sendiri, penderita depresi menilai salah performasinya, atau mengaburkan ingatan prestasinya yang telah lalu. Mereka meremehkan (underestimate) keberhasilannya sendiri, sebaliknya melebih-lebihkan (overestimate) kegagalan yang dilakukannya. Dalam proses penilaian, penderita depresi memasang standar yang sangat tinggi sehingga apapun pencapaian yang diperoleh dinilai sebagai kegagalan, bahkan ketika orang lain memandang dia sangat berhasil, dia tetap menghina prestasinya sendiri. Penderita menempatkan standar dan tujuan terlalu tinggi di atas kesadaran efikasi dirinya. Ketika melakukan reaksi diri, penderita depresi mengadili dirinya secara kasar, buruk, lebih-lebih terhadap kekurangan dirinya. Mereka menghukum diri sendiri secara berlebihan terhadap performasi diri yang kurang baik.
2.    Fobia: Perasaan takut yang sangat kuat dan mendalam, sehingga berdampak buruk terhadap kehidupan sehari-hari seseorang. Begitu mendalamnya perasaan takut itu, sehingga objek penyebabnya menjadi kabur, objek itu digeneralisasikan secara salah. Bandura mengemukan bahwa media, seperti televisi dan surat kabar tanpa sengaja menciptakan fobia. Cerita seram perkosaan, kekejaman perampok, pembunuhan berantai, meneror masyarakat sehingga mereka (yang sebagian besar tidak pernah mengalami hal itu) tetap merasa tidak aman walaupun pintu-pintu rumah telah terkunci rapat-rapat. Fobia yang dipelajari dari pengamatan lingkungan, menjadi eksis akibat efikasi diri yang rendah, orang merasa tidak mampu menangani suatu masalah yang mengancam sehingga muncul perasaan takut yang kronis.
3.    Agresi: Menurut Bandura, agresi diperoleh melalui pengamatan, pengalaman langsung dengan renforsemen positif dan negatif, latihan atau perintah, dan keyakinan yang ganjil (bandingkan dengan Freud dan kawan-kawannya yang menganggap agresi adalah dorongan bawaan). Agresi yang ekstrem menjadi disfungsi atau selahsuai psikologis. Dari penelitian yang dilakukan Bandura, observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respons peniruan yang berlebih. Pengamat akan bertingkah laku lebih agresif dibanding modelnya.
G.      Psikoterapi
Sama halnya dengan respons emosi yang dapat diperoleh secara langsung atau secara vicarious, menghilangkan tingkah laku (yang tidak dikehendaki) dapat dilakukan secara langsung atau secara vicarious pula. Penakut dapat mengubah rasa takutnya dengan melihat model yang tanpa rasa takut berinteraksi dengan hal yang ditakutkan itu.
Secara umum, terapi yang dilakukan Bandura adalah terapi kognitif sosial. Tujuannya untuk memperbaiki regulasi self, melalui pengubahan tingkah laku dan mempertahankan perubahan tingkah laku yang terjadi. Ada tiga tingkatan keefektifan suatu tritmen yakni; tingkah induksi perubahan, generalisasi, dan pemeliharaan.
1.    Tingkat induksi perubahan: tritmen dikatakan efektif kalau dapat mengubah tingkah laku. Misalnya terapi menghilangkan takut ketinggian penderi akrofobia, sehingga dia berani naik tangga yang tinggi.
2.    Tingkat Generalisasi: tritmen yang lebih tinggi, memungkinkan terjadinya generalisasi. Penderita akrofobia itu bukan hanya berani naik tangga, dia juga berani naik lift, naik kapal terbang, dan membersihkan kaca gedung bertingkat.
3.    Tingkat Pemeliharaan: Sering terjadi tingkah laku positif hasil terapi berubah kembali menjadi tingkah laku negatif (khususnya pada tingkah laku habit negatif, merokok, alkoholik, narkotik). Terapi mencapai tingkat efektif yang tertinggi kalau hasil induksi dan generaslisai dapat terpelihara, tidak berubah menjadi negatif.
Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni; latihan penguasaan (desensitisasi modeling), modeling terbuka, dan modeling simbolik.
  1. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling); mengajari klien untuk menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takuti). Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistematik yang pada paradigma behaviourisme desensitisasi sistematik dalam pikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut: modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.
  2. Modeling terbuka (modeling partisipan); Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.
  3. Modeling simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk mencoba/meniru tingkah laku modelnya.
Ketika hasilnya dibandingkan, desensitisasi modeling dan modeling simbolik relatif sama kekuatannya untuk menghilangkan rasa takut. Namun yang paling berhasil menghilangkan rasa takut adalah modeling partisipan.
H.      Metodologi
Bandura banyak meneliti masalah dunia nyata dalam laboratorium, seperti masalah agresi, fobia, penyembuhan dari serangan jantung, perolehan kemampuan matematik pada anak. Tujuan pokoknya adalah untuk menyatukan kerangka konseptual yang dapat mencakup berbagai hal yang mempengaruhi perubahan tingkah laku. Dalam setiap kegiatan, keterampilan dan keyakinan diri yang menjamin pemakaian kemampuan secara optimal dibutuhkan agar diri dapat berfungsi sukses.
Bandura mengembangkan microanalytic approach: riset yang mementingkan asesmen yang ditil sepanjang waktu untuk mencapai keselarasan antara persepsi diri dengan tingkah laku pada setiap tahap performasi tugas. Teknik ini cocok untuk strategi penelitian yang melacak perubahan setiap saat, penelitian yang menganalisis proses, bukan hasil.
I.         Penerapan Teori Bandura
Studi tentang Pendidikan moral
Pendidikan moral sendiri begitu penting dalam kehidupan manusia dan pada saat ini telah terjadi dekadensi moral (penurunan nilai-nilai moral) yang sangat parah dalam kehidupan sehari-hari.
Proses perkembangan sosial dan moral siswa menurut Albert Bandura selalu berkaitan dengan proses belajar sebab proses belajar tersebut sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, tradisi, hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan sehingga perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Terorisme dan Persepsi Lama Barat
Pada dasarnya perilaku seseorang bersandar pada ukuran-ukuran moral yang dia yakini (Albert Bandura, 2003). Menurut Bandura, seseorang tidak merasa nyaman jika perbuatan yang dilakukannya menyalahi atau melanggar nilai-nilai kebaikan yang diyakininya. Perasaan tidak nyaman tersebut mencegah seseorang dari perbuatan yang diyakininya tidak baik. Lalu bagaimana kaitannya dengan pelaku teror?
Bandura menyebutkan bahwa perbuatan baik maupun jahat itu dapat diinterpretasi secara luwes. Perbuatan membunuh bagi seorang aktivis HAM adalah kejahatan besar, namun tidak demikian halnya bagi seorang prajurit yang sedang berada dalam medan peperangan. Contoh nyata digambarkan oleh Bandura pada kasus sersan York, salah seorang pejuang fenomenal dalam sejarah perang modern (Albert Bandura, 2003). Lantaran keyakinan agamanya yang kuat, sersan York tercatat sebagai penolak wajib militer, tetapi segala pembelaan dirinya ditolak. Di tansi tentara, komandan Batalionnya mengutip surat dan ayat dari Injil untuk meyakinkan dia bahwa dalam keadaan-keadaan yang tepat agama Kristen memerintahkan untuk membunuh orang lain. Setelah itu akhirnya sersan York menjadi seorang prajurit yang bersemangat untuk membunuh.
Penjelasan Bandura itu menerangkan bahwa pelaku teror memiliki landasan moral. Teror dinilai sebagai sebuah perbuatan baik bahkan mulia. Namun, jauh sebelum memasuki pandangan itu, pelaku teror mengalami pergulatan nilai. Proses transformasi tersebut tidak sederhana. Teror bom bunuh diri di Palestina dan Irak misalnya, adalah potret tentang pergulatan nilai yang sangat rumit. Mereka memilih bom bunuh diri setelah mengalami pergulatan panjang dengan kekerasan dan ketidakadilan. Jadi, perubahan interpretasi tentang aksi teror melibatkan pengalaman dan perspektif. Di sinilah terorisme menemukan kekuatan militansinya.
Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku Belajar adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya tercakup perubahan-perubahan afektif, motorik dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain.
Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku. Stimulus control. Perilaku yang muncul di bawah pengendalian stimulus eksternal, seperti bersin, bernafas dan mengedipkan mata. Outcome control. Perilaku yang dilakukan untuk mencapai hasilnya, berorientasi pada hasil yang akan dicapai. Symbolic control. Perilaku yang diarahkan oleh kata-kata yang dirumuskan, atau diarahkan oleh antisipasi yang diimajinasikan dari hasil yang akan dicapai.
Beberapa ide umum tentang pengalaman belajar:
1.    Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting terhadap pembelajaran.
2.    Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak peserta didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko.
3.    Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting terhadap beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan penghargaan terhadap orang lain.
4.    Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal.
5.    Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (orang tua dan guru) sedang peserta didik berusaha menirunya.
Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah dalam situasi-situasi antara pribadi. Kepada guru diharapkan untuk menyadari bahwa setiap orang mempunyai cara yang tertentu untuk mempelajari informasi baru agar tercapai semaksimum mungkin. Pengalaman belajar seseorang sangat erat kaitannya dengan gaya belajar, cara belajarnya, yang dipengaruhi oleh berbagai variabel, yaitu faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis dan lingkungan.
Pada awal pengalaman belajar, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan.
Dalam mengajar, guru hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai metode mengajar agar setiap anak dapat menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat diperlukan. Hal ini hanya dapat dicapai bila guru mengetahui karakteristik murid-muridnya yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik.
Konsepsi pengajaran tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual kemudian berubah. Sekolah yang modern lebih memperhatikan seluruh pribadi anak itu, baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Sekolah berusaha dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan pelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi.
Sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah beberapa bagian yang terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Penyebaran Tv Kekerasan Melalui Modeling
Bandura punya alasan utama bahwa kita dapat belajar mengamati oleh orang lain. Dia menganggap pengalaman yang menjadi cara yang khas manusia berubah. Dia menggunakan istilah pemodelan untuk menjelaskan Campbell dari dua midrange proses akuisisi Tanggapan (pengamatan pihak lain respon dan pemodelan), dan ia mengklaim bahwa pemodelan dapat memiliki banyak dampak langsung sebagai pengalaman.
Teori belajar sosial adalah teori umum dari perilaku manusia, tetapi Bandura dan orang-orang yang berkaitan dengan komunikasi massa telah menggunakannya secara khusus untuk menjelaskan efek media. Bandura peringatan bahwa “anak-anak dan orang dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui televisi modeling dan film.
Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orangdewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.
Gambar perampas, pidana atau menggunakan kekuatan untuk mendapatkan cara sendiri. Sosial belajar teori postulates tiga tahapan penting dalam hubungan antara sebab-musabab televisi dan kekerasan fisik sebenarnya berbahaya lain: perhatian, ingatan, dan motivasi.
Mereduksi Kecemasan Menurut Bandura
Bandura mengatakan bahwa perkiraan individu terhadap kemampuan sendiri dalam mengatasi situasi merupakan salah satu faktor yang berguna dalam mereduksi kecemasan. Bandura menegaskan perkiraan yang positif terhadap kemampuan diri sendiri dalam mengatasi situasi dan perkiraan individu yang positif terhadap kemungkinan terjadinya akibat – akibat tertentu pada situasi yang akan dihadapi akan berpengaruh menurunkan kecemasan. Lebih lanjut Bandura menjelaskan bahwa disfungsi dan penderitaan termasuk kecemasan yang dialami manusia disebabkan karena masalah cara berpikirnya hal ini disebabkan karena dalam berpikirnya sering mengingat pengalaman yang menyakitkan dan masa depan yang tidak pasti, yang diciptakan sendiri sehingga manusia meragukan diri sendiri dan mempunyai ide menyalahkan diri sendiri. (Rahayu, Iin Tri dkk (Fakultas Psikologi UIN Malang). Hubungan Pola Pikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Psikologi UNDIP, V0l.1, No.2, Desember 2004)
Teori Bandura Dalam Penerapannya Dalam Bidang Computer Anxiety Dan Keahlian User Computing  Dalam Penggunaan  Teknologi Informasi
Teori kognitif sosial oleh Bandura dikembangkan dalam dua set ekspektasi kekuatan kognitif utama yang menjadi guide perilaku. Pada seting pertama,  ekspektasi dihubungkan dengan outcome. Para individu yang dapat lebih memahami aspek perilaku, akan percaya bahwa  outcome yang lebih.
bernilai bila dibandingkan dengan individu yang tidak mampu memahami konsekuensi yang menguntungkan.  Kedua, oleh Bandura  (dalam Compeau dan Higgins, 1995) ekspektasi ini disebut sebagai self efficacy yang merupakan kepercayaan individu mengenai kemampuan untuk membentuk suatu perilaku tertentu. Adapun definisi  self efficacy menurut Bandura (1986 dalam Campeau dan Higgins, 1995) adalah “People’s judgmentsof their capabilities to organize and executee courses of acion requird to attain designated types of performances. It is concernednot with the skills  one has but with judgements of what one can do with whatever skills one possesses.” Dari definisi tersebut menunjukan karakteristik kunci dari konstrak  self efficacy yakni komponen  skill/keahlian dan  ability/kemampuan dalam hal mengorganisir dan melaksanakan suatu tindakan.
Dalam konteks komputer, computer self efficacy menggambarkan persepsi individu tentang kemampuannya menggunakan komputer untuk menyelesaikan tugas-tugas seperti menggunakan paket-paket  software untuk analisis data, menulis surat  mail merge  dengan menggunakan  word processor lebih dari pada sekedar keahlian yang sederhana seperti memformat disket atau booting ulang komputer.
Istilah  self efficacy telah merupakan suatu konstrak penting dalam psikologi telah banyak digunakan para peneliti seperti  yang dikutip oleh Compeau dan Higgins (1995) yang dikaitkan dengan variabel-variabel lain seperti untuk mempengaruhi keputusan perihal perilaku yang dilakukan (Bandura, dkk,1977; Betz dan Hackett,1981), tanggapan emosional (termasuk stres dan  anxiety) dalam membentuk perilaku (Bandura, dkk1977; Stumpf,dkk, 1987), serta pencapaian kinerja aktual individu yang dihubungkan dengan perilaku (collins, 1985;Locke, dkk, 1984;Wood dan bandura, 1989).


BAB III
PENUTUP
A.       Evaluasi
Teori kognitif sosial Bandura mengembangkan hipotesis dan riset yang paling banyak jumlahnya, dibanding teori kepribadian lainnya. Di antara ratusan penelitian yang menguji asumsi-asumsi Bandura, topik yang paling luas diteliti adalah efikasi diri dan modeling kekerasan. Ranah pendidikan dan dunia kerja memanfaatkan efikasi diri untuk meramalkan taraf sukses seseorang pada masa yang akan datang. Penelitian modeling yang paling penting dan banyak dikutip orang adalah menguji dampak kekerasan dan agresi film televisi dan film bioskop. Memang hanya 10 % dari penonton film kekerasan yang terpengaruh oleh film kekerasan, di mana mereka menjadi lebih agresif dibandingkan kalau mereka tidak menonton film itu. Jumlah prosentase itu kalau dikalikan dengan populasi, memberi angka yang sangat besar. Belum tentu yang 10 % itu menjadi “Jahat” namun paling tidak mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengekspresikan agresi yang salahsuai.
Teori kognitif sosial dikelompokkan ke dalam paradigma behavioristik, karena hanya membahas aspek kepribadian yang ada di permukaan, tingkah laku yang tampak. Penekanan pada tingkah laku yang dapat diamati (observable) itu, berakibat Bandura melupakan atau mengabaikan aspek perbedaan manusia, kekuatan motivasi yang disadari dan tidak disadari. Fungsi kognitif sebagai wakil nilai-nilai kemanusiaan, penentu tingkah laku. Teori kognitif sosial mempelajari ekspektasi, kontrol, penguatan diri, kecemasan dan pertahanan, dan variabel yang terlibat dengan belajar melalui pengamatan. Namun semuanya dibiarkan dalam potongan-potongan dan tidak disatukan dalam satu sintesa yang komprehensif. Fungsi kognitif yang menjadi sentral dari variabel pribadi, tidak mendapat elaborasi yang cukup, sehingga cakupan proses kognitif bisa menjadi sangat luas semua atribut pribadi.
B.   Kesimpulan
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking).
Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda.
Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas. Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model). Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar). Pemrosesan kode-kode simbolik Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku, (Bandura, 1976).
Skema Proses Kognitif Pembelajar
Pembelajar mampu menunjukkan kompetensi/tingkah laku Performance/unjuk kerja
Motivasi pembelajar mengolah tingkah laku
Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan penting. Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi). Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku. Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2.      komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3.      hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).
4.      dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5.      dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.