Disusun Oleh :
1. Yuni Lestari
(2833123020)
2. Tri Abdul Rohman (2833123017)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keadaan sesudah mati adalah misteri diatas misteri karena mati
adalah fakta yang tidak seorangpun mampu menolaknya. Misteri ini pulalah yang
menyebabkan beberapa pemikir mengungkapkan beberapa teori tentang kematian dan implikasinya,
seperti freud yang menyatakan bahwa manusia paling takut dengan kematian,
karena kematian itu tidak dapat ditolak, dia mencari perlindungan kepada
kekuatan supernatural, yaitu Tuhan. Dan Sartre, seorang tokoh eksistensialis, yang
sangat menegaskan kebebasan manusia, akhirnya dia mengakui bahwa manusia tidak
akan bebas lagi bebas ketika menghadapi sebuah kematian. Dengan demikian,
kematian merupakan berakhirnya eksistensi dan kembali ke esensi.[1]
kepercayaan tentang
keabadian hidup tidak saja didominasi oleh agama-agama besar, namun juga
kepercayaan kuno. Oleh karena sebab itu pada makalah ini, penulis akan membahas
tentang eskatologi agama-agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan konsep
eskatologi dalam agama?
2.
Bagaimana konsep eskatologi dalam
agama-agama besar di dunia?
3.
Bagaimanakah konsep eskatologi dalam
Agama menurut para tokoh?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
konsep eskatologi dalam agama.
2.
Mengetahui konsep eskatologi dalam
agama-agama besar di dunia.
3.
Mengetahui bagaimana konsep
eskatologi dalam Agama menurut para tokoh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Eskatologi dalam Agama
Konsep
eskatologi dalam agama adalah suatu fenomena hidup sesudah mati (kehidupan alam
ghaib) di pandang dari perspektif agama.
Agama-agama
besar tidak luput membicarakan tentang kematian dan keadaan setelah mati. Baik
agama yang berdasarkan wahyu maupun tidak berdasarkan wahyu, sama-sama memiliki
perhatian besar terhadap kematian dan keadaan setelah mati.[2]
B.
Konsep Eskatologi
dalam Agama-Agama besar di Dunia
1.
Eskatologi dalam agama Budha dan Hindu
a.
Eskatologi dalam agama Budha
Dalam agama
budha menekankan pada nirwana, yaitu keadaan yang tidak ada. Jiwa manusia terpenjara dalam
tubuh, untuk membebaskan manusia dari keterikatan yang demikian, dia harus
menyucikan dirinya dari rayuan nafsu dunia agar dia dapat kembali ke alam
spiritual yang tidak bertepi. Kalau tidak sanggup menyucikan dirinya selama
hidup, manusia akan kembali ke alam materi, yaitu dengan jalan reinkarnasi.[3]
b.
Eskatologi dalam agama Hindu
Dalam agama
Hindu, kelahiran kembali (reinkarnasi) merupakan ajaran pokok karena kelahiran
inilah yang menjadi ukuran bagi perbuatan seseorang di dunia. Jika semasa
hidupnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan duniawi, maka dia akan
kembali dalam bentuk manusia atau dalam bentuk mahluk lain. Sebaliknya, jika
mampu melepaskan ikatan-ikatan dunia, dia akan mengalami moksa, yaitu besatunya
Roh dengan Sang Hyang Widhi. Moksa dalam agama hindu adalah jalan yang
tertinggi dan merupakan tujuan hidup orang hindu. Ketika moksa, manusia tidak
saja bersatu dengan Tuhan, tetapi juga mengalami kebahagiaan dan ketentraman
batin.[4]
2.
Eskatologi dalam Agama Yahudi,
Kristen dan Islam
Agama yahudi,
kristen, dan islam memandang bahwa kehidupan setelah mati adalah suatu
keyakinan yang pokok setelah iman kepada Tuhan.[5]
Dalam agama
islam, kehidupan setelah mati adalah kehidupan yang hakiki karena kehidupan di
akhirat lebih mulia daripada kehidupan di dunia, sebagaimana tercantum dalam
QS. Ad-Dhuha Ayat 4 :
äotÅzEzs9ur ×öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ
Artinya: dan
Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan).
Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi
Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya
penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang
mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan pula
dengan arti kehidupan dunia.
Sebagian yang
lain mengatakan bahwa yang diaksud dengan akhir adalah perjuangan akhir nabi,
sedangkan permulaan adalah perjuangan awal zaman nabi.
Agama tanpa ada
doktrin hidup sesudah mati bagaikan bergantung tanpa tali, karena kepercayaan
pada akhirat itu merupakan pegangan sekaligus faktor yang mendorong pemeluk
agama taat beribadah, barakhlak mulia, dan menjalankan semua perintah Tuhan.
Dalam
agama-agama besar, seperti yahudi, kristen dan islam, kehidupan sesudah mati
merupakan doktrin setelah kepercayaan kepada Tuhan. Sebab, salah satu tujuan
agama adalah mencari kerelaan Tuhan dan berusaha mendekatkan diri
sedekat-dekatnya kepada-Nya. Tuhan maha suci, dan hanya dapat didekati dengan
yang suci pula. Dengan demikian, manusia yang sucilah yang mampu mendekatkan
diri pada Tuhan. Doktrin ini merupakan pandangan masa depan yang optimistik dan
juga sekaligus memberikan dorongan bagi umat beragama agar selalu bertindak
sesui dengan peraturan Tuhan.[6]
C. Pandangan beberapa tokoh tentang konsep Eskatologi Agama
Para pemikir
dan filosof agama sepakat tentang kehidupan setelah mati dan kebangkitan.
Namun, mereka berbeda pandangan tentang bentuk kebangkitan tersebut.
1.
Al-Gazali
Al-Gazali
menolak pandangan para filosof tentang kebangkitan jiwa saja. Menurutnya, Tuhan
mampu menciptakan manusia dari yang tidak ada menjadi ada. Secara logika,
menurut Al-Gazali, lebih mudah bagi Tuhan membangkitkan sesuatu dari yang ada
dibandingkan menjadikan sesuatu dari tidak ada. Oleh karena itu, tidak ada
halangan bagi Tuhan untuk membangkitkan jasad manusia di dalam akhirat, baik dengan
jasad yang lama maupun jasad yang baru.
Menurut
Al-Gazali, dalam al-Qur’an dengan jelas diterangkan bahwa tubuh dan jiwa manusia
akan dibangkitkan di akhirat kelak. Bahkan anggota badan manusia akan menjadi
saksi bagi perbuatannya.[7]
2.
Ibnu Rusyd
Menurutnya,
kebangkitan jiwa lebih cocok dengan pemahaman filosof karena alam akhirat
bersifat immateri. Karena itu, jiwa bersifat immateri lebih cocok dibangkitkan
ketimbang jasad di akhirat kelak. Adapun pemahaman kebangkitan jasmani,
demikian ibnu Rusyd di tujukan kepada orang-orang awam, hal tersebut dikarena
dalam al-Qur’an surga dan neraka digambarkan dalam bentuk-bentuk fisik.
Ibnu Rusyd
menambahkan bahwa Nabi pernah menggambarkan keadaan di akhirat itu dengan
ungkapan yang lebih ruhani, “surga itu tidak bisa dilihat, di dengar, dan
terlintas dalam hati manusia”.[8]
3.
Harun Nasution
Harun nasution
berpendapat bahwa kekekalan abadi dapat diterima dengan sebagai suatu hal yang
logis. Menurutnya, ilmu modern telah menyatakan bahwa otak manusia tidak
berfungsi produktif tetapi transitif. Sebab otak adalah jaringan materi yang
bisa rusak dan digantikan dengan jaringan yang baru. Kendati jaringan otak yang
lama telah hilang dan rusak, pengalaman manusia dan ingatannya tidak hilang.
Kalau otak bersifat produktif, pengalamannya yang diperoleh dari jaringan
sel-sel yang telah hilang tentu tidak dapat di ingat lagi.
Menurut Harun
Nasution, otak manusia lebih berfungsi secara transitif dan daya akallah yang
merupakan sumber berfikir. Daya inilah yang merupakan wujud dibelakang otak dan
tidak akan mati dengan matinya otak atau badan. Keabadian pribadi manusia bisa
diterima dan tidak bertentangan dengan penemuan ilmu.[9]
4.
Plato
Menurut Plato,
manusia terbagi menjadi 2 unsur, yaitu jiwa dan jasad. Jiwa bersifat tetap,
suci, dan mencintai kebenaran, sedangkan jasad selalu berubah, tidak suci dan
jauh dari kebenaran. hidup yang sebenarnya, menurut olato bukan yang bersifat
fisik tetapi bersifat jiwa. Hidup di dunia ini tidak sempurna, bagaikan pohon
yang tidak ada artinya. Hidup berarti batang pohon yang kembali utuh. Keutuhan
itu apabila jiwa kembali ke asalnya, yaitu ke alam ide kebaikan.
Dengan
demikian, jiwa terpenjara dalam badan. Jiwa kalau mau bebas, dia harus
melepaskan keinginan-keinginan yang bersifat materi. Setelah merdeka, jiwa baru
sadar bahwa tempatnya bukan dalam manusia, tetapi ditempat yang lebih tinggi.[10]
5.
Ibnu Sina
Ibnu Sina
berpendapat bahwa jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan jasad, tetapi jiwa
itu bersifat kekal. Ibnu Sina berpendapat bahwa sesuatu yang rusak disebabkan
oleh faktor lain, sepatutnya dia tergantung padanya. Namun, jiwa terpisah
wujudnya dari jasad karena tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh, sedangkan
jiwa telah ditetapkan sebagai esensi yang berdiri sendiri. Jiwa juga tidak
mendahului jasad karena kalau jiwa mendahului jasad terkesan jasad yang
menyebabkan jiwa, dan jiwa seakan akan ada untuk mengabdi pada jasad. Jadi,
dalam hal ini tidak ada hubungan kausalitas. Hubungan jasad dengan jiwa menurut
ibnu Sina bukan hubungan korelatif atau keharusan, tetapi hubungan Tuhan dengan
hambanya atau antara pemilik dengan miliknya. Pemilik tidak akan terpengaruh
kendati miliknya berubah. Jiwa adalah yang memerintah dan jasad yang
diperintah, bukan sebaliknya.
Ibnu Sina
selanjutnya memperkuat argumennya dengan mengemukakan dalil keluasan. Jiwa
adalah substansi yang luas dan sesuatu yang luas, tidak mengalami kerusakan ,
sebab yang rusak itu adalah sesuatu yang terbatas dan mengandung aspek potensi
dan aktus. Karena tidak mengandung potensi dan aktus, jiwa tidak rusak, tidak
berubah, dan secara fitrah jiwa adalah independen.[11]
Dalam dua
argumen Ibu Sina dengan jelas memepertahankan jiwa. Jiwa yang abadi menurut
Ibnu Sina adalah jiwa yang sudah sampai pada taraf yang tertinggi, yaitu akal
mustafad. Ibnu sina memebagi jiwa bertingkat-tingakat, yang paling rendah adalah
jiwa tumbuh-tumbuhan dan yang paling tinggi adalah jiwa manusia. Jiwa manusia
terbagi menjadi tiga tingkat yaitu akal materi, akal aktual, akal mustafat.
Akal mustafat adalah akal yang bisa menangkap realitas yang tertinggi tanpa
tergantung lagi pada wujud materi. Akal ini mampu berhubungan dengan akal aktif
yaitu jibrl atau akal X. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina adalah keabadian akal
mustafat ini seseorang yang telah mencapai kesempurnaan jiwa-akal
mustafat-sebelum mati, dia di akhirat akan menikmati kesenanagn abadi.
Sebaliknya seseorang ketika matinya tidak sampai pada taraf kesempurnaan jiwa
karena godaan nafsu dan lain sebagainya maka dia di akhirat hidup dalam keadaan
menyesal dan terkutuk.[12]
6.
Immanuel kant
Immanuel kant
mengemukakan argumen moral untuk mendukung adanya keabadian pribadi setelah
mati. Menurutnya , setiap manusia memperjuangkan ide-ide moral yang tertinggi.
Dengan binasanya seseorang, tidak semua kesempurnaan moral tercapai. Karena
tujuan moral tidak tercapai seluruhnya di dunia, tentu mustahil manusia
dipaksaan untuk mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan tersebut hanya dapat
tercapai kalau ada kelangsungan hidup sesudah hidup yang sekarang. Menurut
Kant, keabadian adalah syarat yang lazim bagi kesempurnaan moral.[13]
Dalam Al-Quran masalah kebangkitan
mendapat perhatian cukup banyak. Juz ke 30 dalam Al-Quran bisa di simpulkan
sebagai juz tentang hari kiamat, karena sebagian besar nama surat dan
kandungannya bercerita tentang informasi serta keadaan hari kiamat. Disamping
itu, istilah kiamat adalah istilah yang terbanyak disebut dalam Al-Quran. Ada
10 nama surat dalam Al-Quran yang menunjukkan hari kebangkitan, yaitu
Al-Waqi’ah (hari kiamat), Al-Haqqah (yang pasti terjadi), Al-Qiyamah (kiamat),
An-Naba’(besar), Al-Takwir (yang menggulung), al-infithar (terbelah),
al-insyiqaq (terbelah), al-ghasiyah (hari pembalasan), al-zalzalah
(kegoncangan), al-qari’ah (yang memukul dengan keras). Di samping itu, ada juga
surat yang sebagian kandungan berisi tentang keadaan sesudah mati, seperti
surat yasin.
Dengan argumen rasional dan dukungan
dari kitab suci, tentu akan menambah keyakinan umat beragama akan adanya
kehidupan setelah di dunia. Kendati argumen rasional itu dan berita dari kitab
suci mampu memperkuat keimanan seseorang yang beragama belum tentu argumen itu
memuaskan bagi penganut agnostisisme dan atheisme. Penganut atheisme menangkis
argumen tersebut dengan berbagi alasan. Namun sekedar bahan pertimbangan kaum
atheis perlu merenungkan kepandaian sebagai berikut, “seandinya hari
pemabalasan itu tidak ada, maka penganut agama dan atheis sama-sama selamat.
Artinya, skor sama-sama kosong karena baik orang yang percaya dan orang yang
tidak percaya pada hari kebangkitan sama-sama tidak merugi namun, kalau hari
pembalasan benar-benar terjadi, maka yang teis selamat sementara yang atheis
tidak selamat hasinya skor berubah menjadi satu kosong untuk kemenangan
penganut teisme.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa pengertian yang telah di cantumkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa di setiap kepercayaan atau agama itu pasti ada yang namanya
Eskatologi atau kebangkitan setelah mati. Konsep eskatologi dalam agama adalah suatu fenomena hidup sesudah
mati (kehidupan alam ghaib) di pandang dari perspektif agama. Dalam agama budha
menekankan pada nirwana, yaitu keadaan yang
tidak ada. Jiwa manusia terpenjara dalam tubuh, untuk membebaskan
manusia dari keterikatan yang demikian, dia harus menyucikan dirinya dari
rayuan nafsu dunia agar dia dapat kembali ke alam spiritual yang tidak bertepi.
Dalam agama Hindu, kelahiran kembali (reinkarnasi) merupakan ajaran pokok
karena kelahiran inilah yang menjadi ukuran bagi perbuatan seseorang di dunia.
Agama yahudi, kristen, dan islam memandang bahwa kehidupan setelah mati adalah
suatu keyakinan yang pokok setelah iman kepada Tuhan.
B.
Saran
Di sarankan kepada pembaca, agar lebih memahami
tentang “Konsep Eskatologi dalam Agama” agar lebih baik mencari referensi lain selain makalah ini.
Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna untuk di jadikan sebuah buku pedoman
dalam sistem pembelajaran dan penulis
mengharapkan saran dan kritik dari bapak dosen untuk perbaikan makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amshal, fisatat agama: wisata pemikiran
dan kepercayaan manusia. (jakarta: pustaka jaya, 1989)
[1]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari:Fuad Hassan, berkenalan dengan eksistensialisme, (jakarta:
pustaka jaya, 1989), h.49
[2]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, (jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2007), h.216
[3]Ibid.,
h.216
[4]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Mariasuasai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (yogyakarta:
kanisius, 1995), h.92
[5]Ibid.,
h.217
[6]Ibid.,
h.218
[7]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Al-Ghazali, tahafud, h.306
[8]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Ibn Rusyd, Tahafut Al-Tahafut, (kairo: Dar al-Ma’arif,
1971), jilid II, h.870
[9]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Nasution, filsafat agama, h.74
[10]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Bertrand Russell, history of western Philosophy, (London:
George Allen dan Unwin LTD, 1974), h.153
[11]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Ibrahim Maakour, filsafat islam (terj.), (jakarta:
Rajawali Pers, 1988), jilid I, h. 261
[12]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Nasution, filsafat agama, h.87
[13]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia,
mengutip dari: Allen W.Wood, Kant’s Moral Religion, (London: Comell
University Pres, 1970), h.115
[14]Amshal
Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, (jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2007), h.223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar