Jumat, 28 Maret 2014

Makalah konsep Estakologi dalam Agama

Disusun Oleh :
1.      Yuni Lestari               (2833123020)
2.      Tri Abdul Rohman     (2833123017)


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Keadaan sesudah mati adalah misteri diatas misteri karena mati adalah fakta yang tidak seorangpun mampu menolaknya. Misteri ini pulalah yang menyebabkan beberapa pemikir mengungkapkan beberapa teori tentang kematian dan implikasinya, seperti freud yang menyatakan bahwa manusia paling takut dengan kematian, karena kematian itu tidak dapat ditolak, dia mencari perlindungan kepada kekuatan supernatural, yaitu Tuhan. Dan  Sartre, seorang tokoh eksistensialis, yang sangat menegaskan kebebasan manusia, akhirnya dia mengakui bahwa manusia tidak akan bebas lagi bebas ketika menghadapi sebuah kematian. Dengan demikian, kematian merupakan berakhirnya eksistensi dan kembali ke esensi.[1]
 kepercayaan tentang keabadian hidup tidak saja didominasi oleh agama-agama besar, namun juga kepercayaan kuno. Oleh karena sebab itu pada makalah ini, penulis akan membahas tentang eskatologi agama-agama.
  
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan konsep eskatologi dalam agama?
2.      Bagaimana konsep eskatologi dalam agama-agama besar di dunia?
3.      Bagaimanakah konsep eskatologi dalam Agama menurut para tokoh?
  
C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep eskatologi dalam agama.
2.      Mengetahui konsep eskatologi dalam agama-agama besar di dunia.
3.      Mengetahui bagaimana konsep eskatologi dalam Agama menurut para tokoh.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Eskatologi dalam Agama
Konsep eskatologi dalam agama adalah suatu fenomena hidup sesudah mati (kehidupan alam ghaib) di pandang dari perspektif agama.
Agama-agama besar tidak luput membicarakan tentang kematian dan keadaan setelah mati. Baik agama yang berdasarkan wahyu maupun tidak berdasarkan wahyu, sama-sama memiliki perhatian besar terhadap kematian dan keadaan setelah mati.[2]
B.   Konsep Eskatologi dalam Agama-Agama besar di Dunia
1.    Eskatologi dalam agama Budha dan Hindu
a.    Eskatologi dalam agama Budha
Dalam agama budha menekankan pada nirwana, yaitu keadaan yang  tidak ada. Jiwa manusia terpenjara dalam tubuh, untuk membebaskan manusia dari keterikatan yang demikian, dia harus menyucikan dirinya dari rayuan nafsu dunia agar dia dapat kembali ke alam spiritual yang tidak bertepi. Kalau tidak sanggup menyucikan dirinya selama hidup, manusia akan kembali ke alam materi, yaitu dengan jalan reinkarnasi.[3]
b.    Eskatologi dalam agama Hindu
Dalam agama Hindu, kelahiran kembali (reinkarnasi) merupakan ajaran pokok karena kelahiran inilah yang menjadi ukuran bagi perbuatan seseorang di dunia. Jika semasa hidupnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan duniawi, maka dia akan kembali dalam bentuk manusia atau dalam bentuk mahluk lain. Sebaliknya, jika mampu melepaskan ikatan-ikatan dunia, dia akan mengalami moksa, yaitu besatunya Roh dengan Sang Hyang Widhi. Moksa dalam agama hindu adalah jalan yang tertinggi dan merupakan tujuan hidup orang hindu. Ketika moksa, manusia tidak saja bersatu dengan Tuhan, tetapi juga mengalami kebahagiaan dan ketentraman batin.[4]
2.    Eskatologi dalam Agama Yahudi, Kristen dan Islam
Agama yahudi, kristen, dan islam memandang bahwa kehidupan setelah mati adalah suatu keyakinan yang pokok setelah iman kepada Tuhan.[5]
Dalam agama islam, kehidupan setelah mati adalah kehidupan yang hakiki karena kehidupan di akhirat lebih mulia daripada kehidupan di dunia, sebagaimana tercantum dalam QS. Ad-Dhuha Ayat 4 :
äotÅzEzs9ur ׎öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ  
Artinya: dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).
 Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan pula dengan arti kehidupan dunia.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang diaksud dengan akhir adalah perjuangan akhir nabi, sedangkan permulaan adalah perjuangan awal zaman nabi.
Agama tanpa ada doktrin hidup sesudah mati bagaikan bergantung tanpa tali, karena kepercayaan pada akhirat itu merupakan pegangan sekaligus faktor yang mendorong pemeluk agama taat beribadah, barakhlak mulia, dan menjalankan semua perintah Tuhan.  
Dalam agama-agama besar, seperti yahudi, kristen dan islam, kehidupan sesudah mati merupakan doktrin setelah kepercayaan kepada Tuhan. Sebab, salah satu tujuan agama adalah mencari kerelaan Tuhan dan berusaha mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada-Nya. Tuhan maha suci, dan hanya dapat didekati dengan yang suci pula. Dengan demikian, manusia yang sucilah yang mampu mendekatkan diri pada Tuhan. Doktrin ini merupakan pandangan masa depan yang optimistik dan juga sekaligus memberikan dorongan bagi umat beragama agar selalu bertindak sesui dengan peraturan Tuhan.[6]
C.  Pandangan beberapa tokoh tentang konsep Eskatologi Agama
Para pemikir dan filosof agama sepakat tentang kehidupan setelah mati dan kebangkitan. Namun, mereka berbeda pandangan tentang bentuk kebangkitan tersebut.
1.    Al-Gazali
Al-Gazali menolak pandangan para filosof tentang kebangkitan jiwa saja. Menurutnya, Tuhan mampu menciptakan manusia dari yang tidak ada menjadi ada. Secara logika, menurut Al-Gazali, lebih mudah bagi Tuhan membangkitkan sesuatu dari yang ada dibandingkan menjadikan sesuatu dari tidak ada. Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi Tuhan untuk membangkitkan jasad manusia di dalam akhirat, baik dengan jasad yang lama maupun jasad yang baru.
Menurut Al-Gazali, dalam al-Qur’an dengan jelas diterangkan bahwa tubuh dan jiwa manusia akan dibangkitkan di akhirat kelak. Bahkan anggota badan manusia akan menjadi saksi bagi perbuatannya.[7] 
2.    Ibnu Rusyd
Menurutnya, kebangkitan jiwa lebih cocok dengan pemahaman filosof karena alam akhirat bersifat immateri. Karena itu, jiwa bersifat immateri lebih cocok dibangkitkan ketimbang jasad di akhirat kelak. Adapun pemahaman kebangkitan jasmani, demikian ibnu Rusyd di tujukan kepada orang-orang awam, hal tersebut dikarena dalam al-Qur’an surga dan neraka digambarkan dalam bentuk-bentuk fisik.
Ibnu Rusyd menambahkan bahwa Nabi pernah menggambarkan keadaan di akhirat itu dengan ungkapan yang lebih ruhani, “surga itu tidak bisa dilihat, di dengar, dan terlintas dalam hati manusia”.[8]  
3.    Harun Nasution
Harun nasution berpendapat bahwa kekekalan abadi dapat diterima dengan sebagai suatu hal yang logis. Menurutnya, ilmu modern telah menyatakan bahwa otak manusia tidak berfungsi produktif tetapi transitif. Sebab otak adalah jaringan materi yang bisa rusak dan digantikan dengan jaringan yang baru. Kendati jaringan otak yang lama telah hilang dan rusak, pengalaman manusia dan ingatannya tidak hilang. Kalau otak bersifat produktif, pengalamannya yang diperoleh dari jaringan sel-sel yang telah hilang tentu tidak dapat di ingat lagi.
Menurut Harun Nasution, otak manusia lebih berfungsi secara transitif dan daya akallah yang merupakan sumber berfikir. Daya inilah yang merupakan wujud dibelakang otak dan tidak akan mati dengan matinya otak atau badan. Keabadian pribadi manusia bisa diterima dan tidak bertentangan dengan penemuan ilmu.[9]
4.    Plato
Menurut Plato, manusia terbagi menjadi 2 unsur, yaitu jiwa dan jasad. Jiwa bersifat tetap, suci, dan mencintai kebenaran, sedangkan jasad selalu berubah, tidak suci dan jauh dari kebenaran. hidup yang sebenarnya, menurut olato bukan yang bersifat fisik tetapi bersifat jiwa. Hidup di dunia ini tidak sempurna, bagaikan pohon yang tidak ada artinya. Hidup berarti batang pohon yang kembali utuh. Keutuhan itu apabila jiwa kembali ke asalnya, yaitu ke alam ide kebaikan.
Dengan demikian, jiwa terpenjara dalam badan. Jiwa kalau mau bebas, dia harus melepaskan keinginan-keinginan yang bersifat materi. Setelah merdeka, jiwa baru sadar bahwa tempatnya bukan dalam manusia, tetapi ditempat yang lebih tinggi.[10]
5.    Ibnu Sina
Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan jasad, tetapi jiwa itu bersifat kekal. Ibnu Sina berpendapat bahwa sesuatu yang rusak disebabkan oleh faktor lain, sepatutnya dia tergantung padanya. Namun, jiwa terpisah wujudnya dari jasad karena tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh, sedangkan jiwa telah ditetapkan sebagai esensi yang berdiri sendiri. Jiwa juga tidak mendahului jasad karena kalau jiwa mendahului jasad terkesan jasad yang menyebabkan jiwa, dan jiwa seakan akan ada untuk mengabdi pada jasad. Jadi, dalam hal ini tidak ada hubungan kausalitas. Hubungan jasad dengan jiwa menurut ibnu Sina bukan hubungan korelatif atau keharusan, tetapi hubungan Tuhan dengan hambanya atau antara pemilik dengan miliknya. Pemilik tidak akan terpengaruh kendati miliknya berubah. Jiwa adalah yang memerintah dan jasad yang diperintah, bukan sebaliknya.
Ibnu Sina selanjutnya memperkuat argumennya dengan mengemukakan dalil keluasan. Jiwa adalah substansi yang luas dan sesuatu yang luas, tidak mengalami kerusakan , sebab yang rusak itu adalah sesuatu yang terbatas dan mengandung aspek potensi dan aktus. Karena tidak mengandung potensi dan aktus, jiwa tidak rusak, tidak berubah, dan secara fitrah jiwa adalah independen.[11]
Dalam dua argumen Ibu Sina dengan jelas memepertahankan jiwa. Jiwa yang abadi menurut Ibnu Sina adalah jiwa yang sudah sampai pada taraf yang tertinggi, yaitu akal mustafad. Ibnu sina memebagi jiwa bertingkat-tingakat, yang paling rendah adalah jiwa tumbuh-tumbuhan dan yang paling tinggi adalah jiwa manusia. Jiwa manusia terbagi menjadi tiga tingkat yaitu akal materi, akal aktual, akal mustafat. Akal mustafat adalah akal yang bisa menangkap realitas yang tertinggi tanpa tergantung lagi pada wujud materi. Akal ini mampu berhubungan dengan akal aktif yaitu jibrl atau akal X. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina adalah keabadian akal mustafat ini seseorang yang telah mencapai kesempurnaan jiwa-akal mustafat-sebelum mati, dia di akhirat akan menikmati kesenanagn abadi. Sebaliknya seseorang ketika matinya tidak sampai pada taraf kesempurnaan jiwa karena godaan nafsu dan lain sebagainya maka dia di akhirat hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk.[12]
6.    Immanuel kant
Immanuel kant mengemukakan argumen moral untuk mendukung adanya keabadian pribadi setelah mati. Menurutnya , setiap manusia memperjuangkan ide-ide moral yang tertinggi. Dengan binasanya seseorang, tidak semua kesempurnaan moral tercapai. Karena tujuan moral tidak tercapai seluruhnya di dunia, tentu mustahil manusia dipaksaan untuk mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan tersebut hanya dapat tercapai kalau ada kelangsungan hidup sesudah hidup yang sekarang. Menurut Kant, keabadian adalah syarat yang lazim bagi kesempurnaan moral.[13]

Dalam Al-Quran masalah kebangkitan mendapat perhatian cukup banyak. Juz ke 30 dalam Al-Quran bisa di simpulkan sebagai juz tentang hari kiamat, karena sebagian besar nama surat dan kandungannya bercerita tentang informasi serta keadaan hari kiamat. Disamping itu, istilah kiamat adalah istilah yang terbanyak disebut dalam Al-Quran. Ada 10 nama surat dalam Al-Quran yang menunjukkan hari kebangkitan, yaitu Al-Waqi’ah (hari kiamat), Al-Haqqah (yang pasti terjadi), Al-Qiyamah (kiamat), An-Naba’(besar), Al-Takwir (yang menggulung), al-infithar (terbelah), al-insyiqaq (terbelah), al-ghasiyah (hari pembalasan), al-zalzalah (kegoncangan), al-qari’ah (yang memukul dengan keras). Di samping itu, ada juga surat yang sebagian kandungan berisi tentang keadaan sesudah mati, seperti surat yasin.
Dengan argumen rasional dan dukungan dari kitab suci, tentu akan menambah keyakinan umat beragama akan adanya kehidupan setelah di dunia. Kendati argumen rasional itu dan berita dari kitab suci mampu memperkuat keimanan seseorang yang beragama belum tentu argumen itu memuaskan bagi penganut agnostisisme dan atheisme. Penganut atheisme menangkis argumen tersebut dengan berbagi alasan. Namun sekedar bahan pertimbangan kaum atheis perlu merenungkan kepandaian sebagai berikut, “seandinya hari pemabalasan itu tidak ada, maka penganut agama dan atheis sama-sama selamat. Artinya, skor sama-sama kosong karena baik orang yang percaya dan orang yang tidak percaya pada hari kebangkitan sama-sama tidak merugi namun, kalau hari pembalasan benar-benar terjadi, maka yang teis selamat sementara yang atheis tidak selamat hasinya skor berubah menjadi satu kosong untuk kemenangan penganut teisme.[14]
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari beberapa pengertian yang telah di cantumkan di atas, dapat disimpulkan bahwa di setiap kepercayaan atau agama itu pasti ada yang namanya Eskatologi atau kebangkitan setelah mati. Konsep eskatologi dalam agama adalah suatu fenomena hidup sesudah mati (kehidupan alam ghaib) di pandang dari perspektif agama. Dalam agama budha menekankan pada nirwana, yaitu keadaan yang  tidak ada. Jiwa manusia terpenjara dalam tubuh, untuk membebaskan manusia dari keterikatan yang demikian, dia harus menyucikan dirinya dari rayuan nafsu dunia agar dia dapat kembali ke alam spiritual yang tidak bertepi. Dalam agama Hindu, kelahiran kembali (reinkarnasi) merupakan ajaran pokok karena kelahiran inilah yang menjadi ukuran bagi perbuatan seseorang di dunia. Agama yahudi, kristen, dan islam memandang bahwa kehidupan setelah mati adalah suatu keyakinan yang pokok setelah iman kepada Tuhan.

B.     Saran
Di sarankan kepada pembaca, agar lebih memahami tentang “Konsep Eskatologi dalam Agama” agar lebih baik mencari referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam sistem pembelajaran dan penulis  mengharapkan saran dan kritik dari bapak dosen untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amshal, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia. (jakarta: pustaka jaya, 1989)



[1]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari:Fuad Hassan, berkenalan dengan eksistensialisme, (jakarta: pustaka jaya, 1989), h.49
[2]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, (jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), h.216
[3]Ibid., h.216
[4]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Mariasuasai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (yogyakarta: kanisius, 1995), h.92
[5]Ibid., h.217
[6]Ibid., h.218
[7]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Al-Ghazali, tahafud, h.306
[8]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Ibn Rusyd, Tahafut Al-Tahafut, (kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), jilid II, h.870
[9]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Nasution, filsafat agama, h.74
[10]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Bertrand Russell, history of western Philosophy, (London: George Allen dan Unwin LTD, 1974), h.153
[11]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Ibrahim Maakour, filsafat islam (terj.), (jakarta: Rajawali Pers, 1988), jilid I, h. 261
[12]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Nasution, filsafat agama, h.87
[13]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, mengutip dari: Allen W.Wood, Kant’s Moral Religion, (London: Comell University Pres, 1970), h.115
[14]Amshal Bakhtiar, fisatat agama: wisata pemikiran dan kepercayaan manusia, (jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), h.223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar