Sabtu, 13 Juli 2013

Makalah Tentang Insan Kamil

Disusun oleh :
1.     Lisna Mufidah Chasanah (2833123008)
2   2.  Tri Abdul Rohman          (2833123017)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.
            Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.
            Bagaimana konsep insan kamil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian insan kamil?
2.      Bagaimana konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf?
3.      Bagaimana insan kamil dalam Al-qur’an?
4.      Bagaimana kedudukan insankamil?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian insan kamil
2.      Mengetahui konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf
3.      Mengetahui insan kamil dalam Al-qur’an
4.      Mengetahui kedudukan insankamil


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Insan Kamil
            Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
            Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
            Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.[1]
B.     Insan Kamil Menurut Para Tokoh Tasawuf
            Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya. Yaitu:
1.      Insan Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
      Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.[2]
                  Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna.[3]
      Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
2.      Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
      Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
      Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.       Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.      Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.
      Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
      Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1)      Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2)      Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3)      Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[4]
C.     Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an
            Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
            Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
            Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah SWT
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)
D.    Kedudukan Insan Kamil
            Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
            Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār), ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[5] Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
            Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman.[6]
            Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.

BAB III
KESIMPULAN
            Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
            Menurut Ibnu ‘Arabi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
            Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal.
            Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang patut dicontoh oleh umat manusia.
            Insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI,   2002
spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil/,diakses pada 31 Mei 2013




[1] spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil/,diakses pada 31 Mei 2013
[2] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 60

            [3] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) h. 354
[4] Yunasril Ali, op.cit., h. 56.
            [5]Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 74.
            [6]Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 93.
       

Jumat, 28 Juni 2013

Makalah Pembahasan Qodhiyah Hamliyah


Disusun Oleh : 
1.      Tri Abdul Rohman     (2833123017) 
2.      Laylia Eka Cahyanti   (2833123006)



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Keistimewaan manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal fikiran. Maka manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada yang mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal dalam kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat. Disini Perlu kita ketahui secara garis besar bahwa pembahasan dalam ilmu mantiq ada 3 pembahasan yaitu: 1. pembahasan lafadz, 2. pembahasan qadhiyah, 3. pembahasan mencari dalil-dalil. Namun dari ketiga pembahsan di atas, cuman akan di bahas satu pembahasan saja yaitu pembahasan Qadhiyah (Qadhiyah Hamliyah). Maka dari itu, dalam penulisan makalah yang sederhana ini akan lebih membahas secara struktural dalam ilmu mantik (logika) yang di dalamnya terdapat pembahasan yaitu masalah Qadhiyah (Qadhiyah Hamliyah). Dalam membahas nya juga nanti akan dibahas pengertian Qadhiyah, pembagian Qadhiyah, dan pembahasan Qadhiyah Hamliyah.

B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Qadhiyah itu?
2.      Apa pembagian Qadhiyah itu ?
3.      Apa pembahasan Qadhiyah Hamliyah itu ?
4.      Apa Sur Qadhiyah Hamliyah itu ?

C.     Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui tentang pengertian Qadhiyah.
2.      Untuk mengetahui tentang pembagian Qadhiyah.
3.      Untuk mengetahui tentang pembahasan Qadhiyah Hamliyah.
4.      Untuk mengetahui tentang Sur Qadhiyah Hamliyah.







BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Qadhiyah
Qadhiyah dalam ilmu mantik adalah jumlah (mufidah) dalam Ilmu Nahwu dan kalimat dalam bahasa Indonesia. Jika demikian dapatlah dikatakan bahwa qadhiyah adalah rangkaian kata-kata yang mengandung pengertian. Contoh: Es dingin,.Apipanas,Udara segar, Mahasiswa tidak hadir, Tahun depan saya akan menjadi sarjana. Kalimat-kalimat itu merupakan contoh-contoh qadhiyah. Dan karena isi qadhiyah merupakan kabar maka nama lain untuk qadhiyah adalah khabar. Setiap qadhiyah (khabar) selalu mengundang kemungkinan benar atau salah. Qadhiyah itu benar jika kebetulan isinya sesuai dengan kenyataan (muthabiq li al-waqi). Sebaliknya, qadhiyah itu salah (tidak benar). Jika isinya tidak sesuai dengan kenyataan (ghairu muthabiq li al-waqi). Semua qadhiyah demikian halnya, yaitu bisa benar dan bisa pula salah. Jika ada qadhiyah yang isinya pasti benar, atau tidak mungkin salah, maka kepastian kebenarannya itu tidak disebabkan oleh qadhiyah itu sendiri, melainkan oleh kebenaran yang mengatakannya. Qadhiyah-qadhiyah berupa firman Allah di dalam al-Quran yang mengandung isi pasti kebenarannya, bukanlah kebenarannya itu karena qadhiyah-nya, tetapi karena kemahabenaran Allah yang memfirmankannya. Sebaliknya jika ada qadhiyah yang hanya mungkin salah, atau tidak mungkin dibenarkan isinya, maka yang salah dalam hal itu bukan qadhiyah-nya melainkan yang mengatakannya. Isi Qadhiyah itu dikatakan bohong, bukan karena qadhiyah itu sendiri,, tetapi karena yang mengatakannya adalah pembohong. Itulah sebabnya mengapa suatu qadhiyah selalu dikatakan mungkin benar dan mungkin pula salah di dalam dirinya.

B.     Pembagian Qadhiyah
Qadhiyah terbagi dua:
1.      Hamliyah (qadhiyah hamliyah)
Qadhiyah Hamliyah adalah rangkaian lafazh yang mengandung pengertian. Dalam bahasa Indonesia qadhiyah hamliyah dapat disamakan dengan kalimat. Contoh: Guru datang. Murid-murid duduk. Pelajaran dimulai.
2.      Syarthiyah (qadhiyah Syarthiyah)
Qadhiyah syarthiyah adalah dua qadhiyah yang dirangkai dengan menggunakan adat syarat: jika, kalau, betapapun, bagaimanapun (bahasa Arab: in, lau, kullama, mata, mahma, haitsuma dan banyak lagi) sehingga kedua qadhiyah tersebut muncul menjadi satu qadhiyah.  Contoh: Daging direbus(Q.I), Daging menjadi rapuh(Q.II). Kedua qadhiyah itu dirangkai dengan menggunakan adat syarat (kata pengandai), misalnya: Jika daging direbus maka daging menjadi rapuh. Kalimat itu diperbaiki dengan misalnya: Jika daging direbus, ia menjadi rapuh. Diperbaiki lagi: Daging, jika direbus, akan menjadi rapuh, atau: Daging akan menjadi rapuh, jika direbus, atau: Jika direbus, daging akan menjadi rapuh.
Kalimat-kalimat di atas, betapapun susunannya, tetap merupakan contoh qadhiyah syarthiyah. Sebab, semuanya berasal dari dua qadhiyah yang dirangkai menggunakan adat syarat sehingga muncul menjadi satu qadhiyah. Kedua qadhiyah yang dirangkai dalam contoh di atas terlihat saling menyatu dan mengikat secara kausalitas, yaitu terjadinya daging rapuh karena direbus. Dalam Ilmu Mantik, keterikatan semacam itu diistilahkan dengan tashahub dan talazum (menyatu dan mengikat secara kausalitas). Qadhiyah syarthiyah yang kondisinya semacam itu dinamakan muttashilah, sehingga secara lengkap, disebut qadhiyah syarthiyah muttashilah. Qadhiyah syarthiyah lainnya adalah dua qadhiyah yang diikat dengan kata adakalanya, mungkin, boleh jadi, kadang-kadang (bahasa Arab: Imma) sehingga muncul menjadi satu qadhiyah. Contoh: Muhammad di dalam rumah (Q.I), Muhammad di luar rumah (Q.II). Kedua qadhiyah itu diikat menjadi satu dengan menggunakan kata adakalanya, sehingga berbunyi: Adakalanya Muhammad di dalam rumah, adakalanya di luar rumah.
Kedua qadhiyah yang dirangkai itu ternyata berlawanan yang diperlihatkan oleh kata di dalam rumah dan di luar rumah. Hubungan dua qadhiyah semacam itu, di dalam ilmu mantik, disebut tabayun dan 'inad (berlawanan, bertentangan atau berpisah). Qadhiyah syarthiyah denga kondisi seperti itu diistilahkan dengan qadhiyah syarthiyah munfashilah.

C.     Pembahasan Qadhiyah Hamliyah
Dalam pengertiannya di atas telah terlihat bahwa qadhiyah hamliyah adalah kalimat sempurna dalam peristilahan bahasa Indonesia. Qadhiyah hamliyah dapat berbentuk positif (ijab) dan dapat pula negatif (salab). Contoh: Ahmad pergi (ijab. Ahmad tdak pergi (salab). Mahasiswa sibuk (ijab). Mahasiswa tidak sibuk (salab). Qadhiyah hamliyah mempunyai tiga unsur:
1.      Maudhu' (al-Mahkum 'alaih)
Maudhu' (al-Mahkum 'alaih), di dalam Ilmu Nahwu, disebut mubtada, fa'il atau na'ib fa'il. Dalam contoh di atas: Ahmad pergi. Ahmad tidak pergi. Mahasiswa sibuk dan Mahasiswa tidak sibuk, yang menjadi maudhu' adalah Ahmad dan Mahasiswa dalam peristilahan Ilmu Mantik.
2.      Mahmul (al-Mahkum bih)
Mahmul (al-Mahkum bih), di dalam Ilmu Nahwu disebut khabar, baik khabar mufrad maupun khabar ghairu mufrad. Dalam contoh di atas: Ahmad pergi dan Ahmad tidak pergi, begitu juga: Mahasiswa sibuk dan Mahasiswa tidak sibuk, yang menjadi mahmul adalah: pergi dan tidak pergi, sibuk dan tidak sibuk.
3.      Rabithah
Rabithah (yang mengikat) merupakan lafazh (kata-kata) yang menunjuk kepada adanya ikatan kuat antara maudhu' dengan mahmul. Rabithah itu biasanya terdiri atas dhamir (kata ganti), seperti hua, huma, hum, dan sebagainya, atau: fi'il naqish, seperti kana, kanu dan sebagainya. Contoh: (dalam bahasa Arab), Luthfi hua sa'iq (Lutfi dia sopir). Usman kana bulisiyan (Usman adalah polisi). Kadang-kadang suatu qadhiyah terdiri dari hanya maudhu' dan mahmul saja. Qadhiyah semacam ini disebut qadhiyah tsuna'iyah (qadhiyah yang terdiri dari dua kata atau rangkaian dua rangkuman kata). Contoh: Lutfi sopir (rangkaian dua kata).Usman polisi (rangkaian dua kata), Musuh yang pandai lebih baik daripada teman bodoh (rangkaian dua rangkuman kata). Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah (rangkaian dua rangkuman kata). Sedang qadhiyah yang mengikutisertakan rabithah, secara mantiki, disebut qadhiyah tsulatsiyah (tiga kata atau tiga rangkuman kata). Contoh: Hamdiyah bersama kakak-kakak dan adik-adiknya (I) adalah mereka itu seperti bersaudara akrab (II) dengan Aminah dan semua keluarganaya(III).

Qadhiyah Hamliyah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi mahmul dan dari sisi maudhu'. Dilihat dari sisi ada atau tidak adanya mahmul pada maudhu', qadhiyah hamliyah terbagi dua:
1.      Mujibah
Mujibah (qadhiyah hamliyah mujibah) adalah qadhiyah yang mahmul-nya ada atau terdapat pada maudhu'. Contoh: Jakarta adalah kota terbesar di Indonesia. Beras Cianjur adalah yang terbaik di Jawa Barat. Kota terbesar (mahmul) ada atau terdapat pada Jakarta (maudhu'). Terbaik (mahmul) ada atau terdapat pada beras Cianjur (maudhu').
2.      Salibah
Salibah (Qadhiyah hamliyah salibah) adalah qadhiyah yang mahmul-nya tidak ada atau tidak terdapat pada maudhu'. Contoh: Jakarta bukanlah kota kecil. Sebagian petani Indonesia belum berfikir maju. Kota kecil (mahmul) tidak ada atau tidak terdapat pada Jakarta (maudhu'). Demikian juga , berfikir maju (mahmul) tidak ada atau tidak terdapat pada sebagian petani Indonesia (maudhu'), karena belum seluruh mereka sudah berfikir maju.

Qadhiyah Hamliyah dilihat dari segi maudhu'.
Dilihat dari sisi maudhu'-nya, qadhiyah hamliyah terbagi empat:
1.      Syakhshiyah
Syakhshiyah (Qadhiyah hamliyah syakhshiyah) adalah qadhiyah yang maudhu'-nya merupakan orang (manusia) tertentu, atau maudhu'-nya salah satu dari isim-isim ma'rifah.
Contoh: Abu Bakar adalah Khalifah Rasulullah yang pertama. Anda adalah mahasiswa terpuji. Jakarta adalah ibu kota RI.
2.      Muhmalah
Muhmalah (qadhiyah hamliyah muhmalah) adalah qadhiyah yang maudhu'-nya lafazh kulli, tetapi mahmulnya belum tentu ada atau terdapat pada semua atau sebagian satuan maudhu'. Contoh: Manusia (kulli) dapat mengikuti pengajaran tinggi. Contoh ini dikatakan muhmalah karena dapat mengikuti pengajaran tinggi (mahmul), tidak ada atau tidak melekat kepada manusia secara kulli, yakni keseluruhan manusia, melainkan kepada sebagian manusia saja yang mempunyai biaya, kemampuan dan kesempatan untuk itu.
3.      Kulliyah
Kulliyah (qadhiyah hamliyah kulliyah) adalah qadhiyah yang maudhu'-nya lafazh kulli dan mahmul-nya ada atau melekat kepada seluruh satuan maudhu'. Contoh: Seluruh makhluk hidup butuh akan makanan. Seluruh makhluk hidup adalah maudhu' yang lafazhnya kulli. Sedang butuh akan makanan adalah mahmul yang ada dan melekat kepada keselurahan maudhu', yaitu seluruh makhluk hidup.
4.      Juz'iyah
Juz'iyah (qadhiyah hamliyah juz'iyah) adalah qadhiyah yang maudhu'-nya lafazh kulli, sedang mahmul-nya ada atau terdapat pada sebagian dari satuan maudhu' itu saja. Contoh:
Sebagian makhluk hidup, Sebagian benda cair. Sebagian tumbuh-tumbuhan tanaman keras..
Sebagian makhluk, sebagian benda, dan sebagian tumbuh-tumbuhan adalah lafazh juz'i yang menjadi maudhu' dalam contoh-contoh di atas. Sedang hidup, mahmul pada contoh pertama, terdapat pada sebagian makhluk. Cair, mahmul pada contoh kedua, terdapat pada sebagian benda. Demikian juga tanaman keras, mahmul pada contoh ketiga, terdapat pada sebagian tumbuh-tumbuhan.

Qadhiyah hamliyah syakhshiyah digabungkan oleh kebanyakan pakar mantik ke dalam Qadhiyah hamliyah kulliyah. Sedangkan qadhiyah hamliyah muhmalah mereka gabungkan ke dalam qadhiyah hamliyah juz'iyah. Penggabungan itu telah menyebabkan pembagian qadhiyah hamliyah menjadi empat saja: Pertama, dilihat dari maudhu'-nya, qadhiyah hamliyah terbagi kepada: (1) kulliyah dan (2) Juz'iyah.
Kedua, dilihat dari segi mahmulnya, qadhiyah hamliyah terbagi kepada (1) mujibah dan (2) salibah. Dengan cara lain, qadhiyah hamliyah dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Qadhiyah hamliyah mujibah kulliyah.
2.      Qadhiyah hamliyah mujibah juz'iyah.
3.      Qadhiyah hamliyah salibah kulliyah.
4.      Qadhiyah hamliyah salibah juz'iyah.
Atau
Qadhiyah Hamliyah:
1.      Mujibah kulliyah
2.      Mujibah juz'iyah
3.      Salibah kulliyah
4.      salibah juz'iyah

D.     Sur Qadhiyah Hamliyah
Sur secara lughawi, adalah pagar yang sekaligus mengandung arti batas. Pagar kebun mengandung arti batas kebun. Secara terminologi mantiki, sur adalah lafazh (kata-kata) yang menunjuk kepada kamiyah (keberapaan) ketentuan yang berlaku atas maudhu'. Qadhiyah yang diberi sur disebut qadhiyah musawarah atau mahshurah (secara lughawi: dipagari atau dibatasi). Contoh: Berapa banyak peserta yang yang hadir dalam pertemuan itu? Pertanyaan ini dijawab dengan qadhiyah yang memakai sur (batas keberapaan). Misalnya: Semua peserta hadir (kullu. Sebagaian peserta hadir (ba'dhu). Tidak ada seorang pun hadir (la syai', la ahad. Tidaklah sebagian peserta hadir (laisa ba'dhu). Contoh lain: Firman Allah: Ya Ayyuhal-ladzina amanudkhulu fis-silmi (Wahai orang-orang yang beriman, mauklah kamu ke dalam Islam). Pertanyaan muncul: Berapa banyak harus masuk ke dalam Islam itu? Jawabannya segera menyusul: dengan sur, yaitu kaffah (secara keseluruhan).
Pembagian Sur terbagi ke dalam bagian-bagian sebagai berikut:
1.      Sur Kulli Ijabi
Lafazh (kata) untuk sur kulli ijabi adalah tiap-tiap (kullun), sekalian (jami'un), umumnya ('ammatun), seluruhnya (kaffatun), dan yang semacamnya yang menunjuk kepada ada atau terdapatnya mahmul pada seluruh satuan maudhu'. Contoh: Semua mahasiswa hadir. Semua orang menyambut kedatangannya. Tiap-tiap mahasiswa yang lulus mendapat ijazah. Pada umumnya, mahasiswa mendapat IP sedang.
2.      Sur Kulli Salabi
Lafazh (kata untuk sur kulli salabi adalah tidak satupun (la syai'), tidak seorang pun (la ahada), tiada satu pun upaya (la haula), tiada satu pun kekuatan (la quwwata), tiada seorang laki-laki pun (la rajula) dan yang semacamnya yang menunjuk kepada tidak ada atau tidak melekatnya mahmul kepada seluruh satuan maudhu'. Contoh: Tidak seorang pun mahasiswa hadir. Tidak ada kekuatan yang bias menghalanginya.
3.      Sur Juz'i Ijabi
Lafazh (kata) untuk sur juz'I ijabi adalah: sebagian (ba'dhu), banyak (katsiru), sebagian besar (mu'zhamu), sedikit (qalilu) dan yang semacamnya yang menunjuk kepada ada atau terdapatnya mahmul pad sebagian satuan maudhu'. Contoh: Sebagian mahasiswa hadir. Sebagian besar petani mengubah nasibnya. Sedikit saja orang kota mau ke desa.
4.      Sur Juz'i Salabi
Lapazh (kata) untuk sur juz'i salabi adalah: tidaklah sebagian (laisa ba'dhu), tidaklah setiapnya (lasa kulluhu), tidaklah semuanya (laisa jami'u), sebagian tidak (ba'dhun laisa) dan yang semacamnya yang menunjuk kepada tidak ada atau tidak terdapatnya mahmul pada sebagian satuan maudhu'. Contoh: Tidak ada sebagian mahasiswa hadir. Tidak semua orang senang kepada pertunjukan itu.





















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Secara garis besar penulis dapat mengambil kesimpulan dari pembahasan awal bahwa pembahasan ilmu mantiq ada tiga pembahasan yaitu lafdhiyah, qadhiyah, dan mencari dalil-dalil. Dan disini penulis hanya mambahas tentang Qadhiyah (Qadhiyah Hamliyah). Sedangkan lafadh qadhiyah adalah “qaulun mufidun alladzi yahtamilu ashdiqawal kadziba lidzatihi” artinya ialah: suatu perkataan yang berfaidah, yang mengandung kemungkinan benar atau salah. Dengan melihat perkataan itu sendiri tidak melihat dari siapa yang mengatakannya.

B.     Saran
Dalam hal ini, penulis cuma bisa memberikan sedikit gambaran secara global tentang pembuatan makalah ini terutama pada awal dan penutup, namun secara detailnya teman-teman terutama Bapak dosen pengajar diharapkan bukan hanya dapat membaca pada makalah ini yang tertera diatas, tapi juga pada makalah atau buku-buku sejenisnya yang lain, yang lebih baik lagi. Dan akhirnya, harapan dari penulis kritik dan saran terhadap penulisan makalah ini demi penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.























DAFTAR PUSTAKA

H. Baihaqi A. K . 2002. Ilmu Mantik Teknik Dasar Berpikir Logika. Jakarta: Darul Ulum Press.
Mu’in Taib Thahir Abd K.H.M, Prof. 1964. Ilmu Mantiq, Jakarta: Widjaya Jakarta.
Hasan, M. Ali. 1995. Ilmu Mantiq Logika. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
www.google.com