1. Fitri Lutfiani (2833123004)
2. Tri Abdul Rohman (2833123017)
3. Linda Trisula (2833123007)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang
relasi antara agama dan sains khususnya dalam perspektif epistemologi keilmuan Islam kontemporer, tampaknya merupakan sebuah kerumitan
tersendiri. Agama Islam yang di masa awalnya sangat concern dengan
visi sains, belakangan justru dikesankan menjadi sebuah agama yang ‘menjauh’
dari hiruk-pikuk dunia sains.
Kalau kita perhatikan, berbagai prestasi
temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir
semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat. Temuan sains di dunia Muslim hampir-hampir dikatakan
tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul dari kalangan dunia Muslim
paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia fisika, atau Habibie yang
menemukan teori keretakan pesawat, sehingga Habibie digelar sebagai Mr. Crack.
Sedangkan ribuan jenis temuan lainnya masih didominasi oleh ilmuwan Barat.
Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa fenomena kemandekan temuan
sains bisa terjadi di dunia Muslim. Tentunya beragam jawaban bisa dikemukakan,
sekedar ilustrasi kecil, diantaranya akibat politik isolatif umat Islam
terhadap dinamika pengetahuan modern.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peran
dan tantangan Agama dalam Sains modern ?
2.
Apakah Tujuan
Agama dan Sains ?
3.
Bagaimana Agama
dan Sains modern sebagai kebutuhan manusia ?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui peran
dan tantangan agama dalam sains modern.
2.
Mengetahui
tujuan agama dan sains.
3.
Mengetahui Agama
dan Sains modern sebagai kebutuhan manusia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peranan dan
Tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi
Sebelum menguraikan peranan dan
tantangan agama dalam era sains dan teknologi, lebih baik kita tinjau sejenak
hubungan agama dan sains dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini sangat
penting karena peradaban umat manusia tidak lepas dari pergumulan antara
berbagai nilai, termasuk nilai sains dan agama. Setiap ada penemuan baru dalam
sains, selalu menimbulkan gejolak tertentu dalam masyarakat karena mereka belum
memiliki perangkat baru untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sedangkan
perangkat dan nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara
nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi
sekaligus kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam sejarah Yunani, kehadiran
pemikiran filsafat –sebagai induk dari ilmu dan sains modern- telah
menimbulkan gejolak dalam masyarakat karena penemuan filsafat bertentangan
dengan system kepercayaan dan mitos mereka. Masyarakat pada waktu itu
mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang terjadi didalamnya tidak
lepas dari aktifitas dewa. Gerhana, pelangi, atau gempa bumi dianggap
sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Pelangi dalam pandangan orang Yunani
adalah bidadari yang sedang mandi.
Ketika kepercayaan pada dewa mengkristal
dalam masyarakat Yunani, pemikiran filsafat menggugat kepercayaan tersebut.
Pemikiran filsafat mengatakan bahwa kejadian alam dan peristiwanya tidak
berkaitan dengan dewa, tetapi semuanya berasal dari alam sendiri. Dewa tidak
ada perannya dalam alam. Pelangi bukan bidadari yang sedang mandi, tetapi
gejala alam yang biasa dapat diterangkan secara rasional. Pelangi, dalam
pandangan filsafat dan ilmu, adalah bekas rintik-rintik hujan yang belum turun
kebumi yang diterpa oleh sinar matahari, sehingga membentuk warna merah,
kuning, dan hijau.
Thales, sebagai seorang pelopor filsafat
Yunani mengatakan bahwa kejadian alam bukan berasal dari perkawinan antara
dewa, tetapi alam berasal dari alam itu sendiri, yaitu air, semua berasal dari
air dan akan kembali menjadi air. Aristoteles kemudian berpendapat bahwa Thales
mengatakan hal itu karena bahan makanan semua makhluk mengandung zat lembab dan
merupakan benih dari semua makhluk hidup. Lagi pula air bias berubah bentuk
dari benda cair menjadi gas dan benda padat.[1]
Kendati secara sepintas pemikiran Thales
itu sangat sederhana, tetapi dampak pemikiran tersebut mampu mengubah pola
fikir sebagian besar masyarakat Yunani dari
masyarakat mitosentris menjadi logosentrais. Dan pemikiran
Yunani inilah yang kemudian menjadi dasar kebudayaan Barat dan perkembangan
sains modern. Munculnya Renaisans abad ke-15 adalah usaha untuk menghidupkan
kembali kebudayan Yunani dan menggali kesusastraannya.
Namun, perubahan dari masyarakat
mitosentris menjadi logosentris tidak luput dari gejolak. Terjadi benturan
kepentingan, terutama antara tokoh-tokoh tradisoional yang sudah lama menjadi
panutan masyarakat dengan para filosof. Benturan semacam ini tidak dapat
dielakkan karena bagaimanapun, orientasi, kepentingan dan struktur kepercayaan
masyarakat berubah secara total ketika masuknya faham baru yang sama sekali
berbeda dengan faham lama.
Benturan yang semacam ini tidak saja
terjadi di Yunani, tetapi juga dikawasan lain yang mengalami penemuan-penemuan
baru, terutama dalam bidang sains. Namun, ada juga benturan yang tidak terlalu
tajam, seperti pada masa awal-awal Islam (abad kedua dan ketiga Hijrah).
Kedatangan filsafat dan ilmu Yunani kedunia Islam tidak mengalami gejolak yang
besar sekali dalam masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor.
Pertama, masyarakat Islam pada waktu itu belum mengkristaldalam satu pola hidup
tertentu. Mereka masih bebas melakukan ijtihad dalam berbagai lapangan, baik
fiqih, teologi, filsafat, maupun ilmu. Jarak yang begitu dekat dengan sumber
pertama, yakni Nabi, mendorong mereka lebih berani untuk mengadakan pembaharuan
dalam berbagai bidang tersebut. Kedua, Al-Qur’an dan Hadits Nabi mendorong
untuk melakukan penelitian ilmiah dan mengobservasi kejadian-kejadian dialam
untuk dijadikan I’tibar bagi orang-orang yang berakal. Ketiga, para khalifah
pada waktu itu sangat menyokong kegiatan ilmiah, baik fasilitas maupun dana.
Masa khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, berbagai buku filsafat dan ilmu
diterjenahkan kedalam bahasa Arab. Para ilmuan diberi insentif oleh kerajaan
untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Karena itu, tidak heran kemudian
muncul ulama yang tidak hanya ahli dalam bidang agama, tetapi juga dalam bidang
fisika, kimia, matematika, dan kedokteran.
Namun, perkembangan ilmu kemudian hari
didunia Islam terhenti karena umat Islam terlena oleh kehebatan para faqih,
teolog, dan ilmuan pada masa kejayaan tersebut. Lagipula situasi politik umat
Islam pada waktu itu tidak mendukung berkembangnya pembaharuan pemikiran dan
penelitian ilmiah. Lala kelamaan ajaran para ulama itulah yang mengkristal
daalam diri umat Islam. Kristalisasi itu tidak saja terjadi dalam diri
atau kelompok, tetapi juga wilayah, seperti wilayah India terkenal dengan
mazhab Hanafi, dan Indonesia dengan mazhab Syafi’i. Fenomena yang demikian
membuat umat Islam tidak kreatif lagi, bahkan mengalami kejumudan karena mereka
mengambil apa saja yang sudah dikupas oleh imam mazhab dengan sedikit
perubahan. Keadaan yang demikian tidak saja terjadi dalam bidang fiqih, tetapi
juga dalam berbagai bidang, seperti teologi dan ilmu.
Gejolak antara agama dan sains kemudian
terjadi lagi pada era Renaisans. Gereja pada awal abad pertengahan sangat
berkuasa dan dominan, tidak saja dalam lapangan agama, tetapi juga dalam
lapangan ilmiah. Tradisi ilmiah yang sebenarnya tidak baku dan statis menjadi
sacral dan tidak bias diubah. Karena itu, ketika Nicolaus Copernitus dan
Galileo menemukan teori bahwa bumi bukan pusat jagat raya, tetapi mataharilah
yang merupakan pusat jagat raya, kalangan gereja sangat marah karena teori
tersebut sangat bertentangan dengan doktrin ‘ilmiah’ gereja. Ketegangan ini
rupanya merupakan cikal bakal Sekularisme di Barat. Agamawan berjalan menurut
kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan ilmuan berjalan sesuai dengan struktur
dan ukuran rasional dan empiris. Akibatnya antara agama dan ilmu tidak ada
persinggungan, sehingga sains di Barat tidak mengenal agama. Dari sini muncul
semboyan sains untuk sains, atau sains yang bebas nilai.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
penemuan sains di Barat tidak dapat diharmoniskan dengan dogma Kristen. Timbul
pertentangan keras antara gereja disatu fihak dan kaum filosof dan saintis
difihak lain. Kaum filosof, demikian Harun Nasution, yang membawa
pemikiran-pemikiran dan saintis yang menimbulkan penemuan-penemuan yang
bertentangan dengan pendapat gereja yang dikeluarkan dari gereja. Maka filsafat
dan sains yang mereka kembangkan menjadi terlepas dari ikatan agama. Dengan
demikian, berkembanglah filsafat dan sains yang sekuler di Eropa Barat
sebagaimana halnya filsafat dan sains di Yunani zaman klasik.
Sebagaimana halnya di Yunani zaman
klasik, rasionalisme yang berkembang di Eropa zaman modern, menurut Harun nasution, adalah rasionalisme yang tidak
terikat oleh pada apapun. Timbullah pemikiran-pemikiran ganjil di Eropa, sehingga
filsafat hedonisme Yunani muncul kembali dalam bentuk baru yang
disebut dengan utilitarianisme. Fissafat ini mengajarkan bahwa mencari
sebanyak mungkin kesenangan adalah prinsip yang dipakai dalam bidang moral.
Dalam bidang teologi, timbil teilogi Tuhan telah mati. Agama tidak ada artinya
lagi. Yang menentukan segala-galanya adalah akal manusia. Nilai yang absolut
lenyap digantikan dengan nilai yang relatif.
Pemakaian sains pun, demikian Harun
Nasution, tidak dikontrol oleh agama. Sains dikembangkan demi sains tanpa
mengindahkan kerusakan yang dibawanya kemasyarakat. Soal sains membawa bukanlah
urusan mereka, tetapi itu adalah masalah kaum agama dan moralis. Padahal kaum
agama dan moralis di barat boleh dikatakan tidak ada pengaruhnya lagi.
Fakta yang tidak dapat diingkari adalah
setelah renasains, pemikiran filsafat dan sains di Barat berkembang sangat
pesat. Sutan Takdir Alisyahbana menggambarkan bahwa tidak ada perkembangan
sains yang begitu cepat dalam masa 300 tahun terakhir belakangan ini. Sejak
ditemukannya mesin uap dan batu bara sebagai sumber energi, maka mulailah era
industrialisasi. Tenaga binatang dan manusia digantikan dengan mesin-mesin,
yang kekuatannya puluhan kali lipat dibandingkan dengan tenaga binatang dan
manusia.
Teknologi, demikian Takdir Alisyahbana,
adalah kecakapan manusia melipat gandakan tenaga-tenaga dan
kemungkinan-kemungkinan alam yang tiada berhingga besarnya. Menurut Takdir,
manusia yang pertama menyambung tangannya dengan galah agar dapat mengambil buah-buah
yang tinggi tergantung diujung dahan adalah ahli teknik yang pertama. Di zaman
sains modern ini, tangan manusia sudah begitu panjangnya sehingga dia dapat
mengambil batu di bulan. Sedangkan, tenaga manusia sedemikian besarnya sehingga
dengan mudah memusnahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta manusia dengan letusan
bom nuklir[2]
Roda adalah penemuan manusia yang
pertama untuk mempercepat tenaga kakinya. Pada zaman kemajuan sains dan
teknologi, roda yang telah ditemukan sejak ratusan tahun, dapat digerakkan
dengan mesin uap puluhan kali lebih cepat daripada tenaga manusia atau
binatang. Kalau roda digerakkan oleh kuda atau sapi, dibuthkan waktu beberapa
hari untuk menempuh jarak 1000 Km. Tapi, dengan penemuan mesin uap (api) dalam
12 jam. Bahkan, dengan pesawat terbang, jarak yang dulunya jauh menjadi dekat.
Dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, dunia semakin mengecil
karena tidak ada lagi jauh dikulit bumi ini. Arus informasi semakin terbuka.
Bola bergulir didaratan Eropa, orang Indonesia-yang jaraknya puluhan ribu
kilometer-pada saat yang bersamaan dapat menyaksikannya. Tetangga bukan saja
yang dekat jaraknya dengan kita, tetapi tetangga adalah yang selalu memberikan
informasi, kendati jaraknya ribuan kilometer dan tidak pernah bertatap muka.
Seiring dengan kemajuan sains dan
teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga bergeser
bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi kalangan ilmuan di Barat, agama adalah
penghalang kemajuan. Karena itu, mereka beranggapan, jika ingin maju, agama
tidak boleh lagi mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia, seperti
politik dan sains. Para pemikir dan saintis sering mengemukakan nada minor
terhadap agama, baik pada awal munculnya era industrialisasi maupun pada decade
belakangan ini. Karl Marx terkenal dengan pernyataannya bahwa“agama adalah
candu masyarakat”. August Comte mengatakan bahwa agama hanya cocok
untuk masyarakat yang masih primitif dan terbelakang. Sekarang, demikian Comte,
adalah era positivisme, yang semua kejadian dapat diukur dan diterangkan
dengan rasional. Bahkan para saintis pada suatu saat berpendapat bahwa
pencarian untuk menemukan ‘kebenaran’ akan membawa suat kecenderungan utama
untuk menyembah sains ketimbang agama. Kecenderungan ini memuncak pada filsafat
sekuler ‘Tuhan sudah mati’ yang diungkapkan teolog radikal Thomas JJ
Altizer ditahun 1960 dan 1970-an. Sekarang dengan pandangan millennium,
kekuatan kecenderungan berbalik, menuju kebangkitan agama dan menyangkal
kepercayaan yang buta terhadap sains dan teknologi.
Proses sekularisasi terus berlanjut
sepanjang abad ke-20 sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat,
disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang
semakin luas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutip oleh Sutan Takdir
Alisyahbana, mengatakan bahwa semua agama modern sedang mengalami suatu krisis
yang amat mendalam. Setiap orang dizaman kita yang melihat dan mengamati
kehidupan serta perkembangan agama dengan berbagai macam aliran-alirannya, kesangsiannya,
danm pertentangan diantara pengikut-pengikutnya, tak dapat dengan jujur berkata
lain daripada itu.[3]
Menurut B. R. Wilson, agama terlibat
sedikit dalam masyarakat. Namun, dia mengakui terlalu pagi untuk mengatakan
bahwa masyarakat modern dapat berfungsi tanpa agama. Masyarakat sekuler masa
kini, demikian Wilson, dimana pemikiran, praktek, dan institusi keagamaan hanya
sebagian kecil saja, hanya mewarisi sedikit nilai, watak, dan orientasi agama
masa lampau. Masyarakat yang sepenuhnya sekuler belum ada. Mungkin, apabila
respon terhadap institualisme makin subur, birokrasi dalam masyarakat modern
makin berkembang, demikian Wilson, agama akan menemukan fungsi-fungsi baru
untuk dijalankan-tetapi, bararangkali, bukan agama ekumenisme yang
menerima nilai-nilai institualisme baru, melainkan agama sekte-sekte.[4]
Disamping nada pesimistik terhadap
agama, ada juga nada optimis yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, seperti Jhon
Naisbitt, Patricia Aburdene, Harvey Cock, dan Sutan Takdir Alisyahbana. John
Naisbitt dan Patricia Aburdene, dalam bukunya Megatrend 2000 mengatakan bahwa
penekanan pada aspek spritualitas agama meningkat, sedangkan agama yang
terorganisasi mengalami kemunduran. Istilah yang dipakai oleh Naissbitt
adalah spritualty, yes, organized relegion, no (Aspek Spritual, Ya,
sedanagkan Agama yang Terorganisasi, Tidak). Dia berangggapan bahwa ada
kebangkitan agama pada abad ke-21 nanti dengan catatan bahwa kebangkitan
tersebut tidak terjadi pada agama-agama besar, tetapi kebangkitan sekte-sekte mistis
yang otonom dan fundamentalis. Menurut pengamatan Naisbitt, anak-anak muda di
Amerika Serikat pada tahun 1970-an meninggalkan gereja, tetapi sekarang mereka
mencari bentuk spritual baru atau mendirikan suatu perkumpulan yang
fundamentalis.
Menurut Naisbitt dan Patrecia, abad 21
nanti akan terjadi kecenderungan-kecenderungan yang sangat besar dalam
kehidupan umat manusia. Kecenderungan-kecenderungan itu otomatis akan
membutuhkan persiapan dan sekaligus kegoncangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dia menyimpulkan ada 10 kecenderungan yang akan timbul nantinya. Pertama,
ledakan ekonomi global. Kedua, Renaisans dalam bidang seni. Ketiga, munculnya
pasar bebas sosialisme. Keempat, gaya hidup global dan nasionalisme kebudayaan.
Kelima, pripatisasi dinegara makmur. Keenam, meningkatnya wilayah pasifik.
Ketujuh, era wanita dalam kepemimpinan. Kedelapan, era biologi. Kesembilan,
kebangkitan agama dimilenium ketiga. Kesepuluh, kemenangan individual.
Salah satu kecenderungan milenium
ketiga, menurut Naisbitt, dalah kebangkitan agama. Agama, demikian Naisbitt,
akhir abad 20 menunjukkan gejala yang semakin semarak, terutama agama yang
pinggiran dan tidak terikat secara hirarkis dan organisatoris. Empat persen
dari populasi Amerika adalah Muslim Budha atau Hindu. Ada sekitar seperempatnya
adalah orang-orang Afrika, tersebar diseluruh kota di amerika, seperti Colorado
dan Denver. Ada sekitar 600 penganut Budha berasal dari sekte utama Jepang dan
Asia Selatan. Bahkan imam tentara agama Budha diakui dalam angkatan bersenjata
Amerika.
Disamping itu, jutaan orang Amerika
belajar Yoga, meditasi, atau cara-cara lain yang diambil dari agama-agama
Timur. Para penganut agama-agama baru ini, baik Dari kalangan Kristen maupun
meditasi mencari hal yang sama, yaitu suatu hubungan antara kehidupan mereka
sehari-hari dengan yang transenden. Hubungan vital ini, demikian Naisbitt,
tidak ditemukan, baik digereja-gereja tradisional maupun dalam ‘penyembahan’
terhadap sains dan teknologi.
Fundamentalisme menawarkan suatu
cara-cara yang lebih gampang ketika nilai-nilai semakin berantakan. Para
penganut muda mengambil arah yang berbeda, yaitu menolak otoritas dari luar,
berbalik mencari petunjuk kedalam, baik lewat agama Timur, meditasi, maupun
potensi manusia. Seorang anak muda, demikian Naisbitt, ingin agama itu
dihadirkan secara tradisional kedalam diri sedikit demi sedikit, sehingga dia
memahami suatu kehidupan, merasakan spritualitas, dan belajar menyelami jiwa.
Kesadaran spritual ini tidak terdapat
dalam agama-agama utama dan terorganisasi, tetapi ada dalam sekte-sekte kecil
dan fundamentalis. Kebangkitan sekte-sekte pada akhir ini menjadi semakin
meningkat, baik dari segi jumlah pengikutnya, di Amerika, Kesaksian Johovah
meningkat dua kali lipat sejak tahun 1965 dari 330.000 menjadi 752.000 pengikut
(tahun 1990). Bahkan, pengikut Persekutuan Tuhan meningkat empat kali lipat
dari 572.000 menjadi 2.100.000 pengikut. Begitupula gerakan Kharismatik
meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi 277 juta
pengikut. Tahun 1978, 78% orang Amerika percaya kepada Tuhan Jesusu dan pada tahun
1988 meningkat menjadi 88%.
Munculnya kecenderungan masyarakat
Amerika mencari sekte-sekte fundamentalis menurut H.A.S Sukhedo, seorang
psikiater dari New Jersey, adalah karena masyarakat Amerika terlalu bebas dan
permisif, serta mereka memiliki banyak pilihan. Karena itu mereka tidak mampu
membuat keputusan sendiri secara efektif. Mereka menginginkan orang lain
membuatkan keputusan dan mereka akan mengikuti dengan patuh. Pernyataan ini
disimpulkan oleh Sukhedo dari hasil wawncara dengan salah seorang pengikut Jim
Jones yang terbebas dari maut ketika terjadi bunuh diri massal di Guyana.
Harvey Cock, seorang teolog lebih lanjut
mengatakan bahwa kebangkitan gama adalah fenomena global yang harus bekerja sama
menguraikan tentang kemodernan, yang dia meyakininya juga tanda-tanda akhir
dari semacam keyakinan bahwa sains dan tekhnologi akan mengatasi semua problem
kita.
Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana,
berpendapat bahwa dalam era globalisasi dan informasi yang semakin terbuka,
agama dapat memainkan diri dalam bidang moral dan etika. Sebab, agamaselalu
mengitkan segala aktivitas manusia kepada kekudusan. Tuhan dan memberikan
kepadanya perasaan kekecilan dan penyerahan. Khusus agama Islam , demikian Ali Syahbana,
menekankan pada etika yang menuju kepada kekudusan di alam baka, kehidupan
disini hanyalah sementara. disamping itu, al-Qur’an dengan jelas
menegaskan kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Oleh karena
itu, manusia harus selalu mengelola dan selalu meneliti alam sesuai dengan
diciptakan alam oleh Tuhan.[5]
Nilai Ilmu, menurut Takdir
Alisjahabana, sering dijelaskan dalam al-Qur’an. Dalam Islam yang pertama kali
diumumkan adalah hubungan antara akal dengan bahasa. Tuhan memberikan bahasa
kepada manusia dengan demikian manusia menjadi makhluk yang berbudi, malahan
lebih tinggi dari malaikat. Seperti diketahui, demikian Takdir, bahasa
ituadalah dasar dari pikiran. Sebab kata-kata itu mewakili konsep, dan yang
kita katakanan berpikir itu tidak lain dari memakai dan menyusun konsep-konsep
untuk merumusksn kenyataan[6]
Nilai ekonomi, menurut Takdir, adalah
ciri awal dari kebudayaan Islam karena nabi Muhammad SAW, adalah seorang
saudagar, yang tentu mengetahui nilai ekonomi. Islam mengajarkan umatnya untuk
terus berusaha mencari kesejahteraan hidup dengan ekonomi yang mantap dan
tangguh. Bahkan dalam beribadat pun, Islam membolehkan untuk melakukan
aktivitas ekonomi, seperti dibolehkan berdagang bagi seorang yang melakukan
ibadah haji.[7]
Nilai solidaritas, menurut Takdir, dalam
Islam tampak dengan jelas dalam bentuk kerjasama dengan golongan-golongan lain,
tanpa membedakan asal-usul, ras, dan agamanya. Takdir memperkuat argumennya
dengan mengutip ayat al-Qur’an yang artinya, “ Katakanlah , hai orang-orang
mukmin, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa
yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Iskhak, dan ya’qup dan anak cucunya,
dan yang dib erikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
Nabi-nabi dari Tuhannya, kami tidak membeda-bedakan seseorang pun diantara
mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.”
Nilai kekuasaan sangat ditekankan dalam
al-Qur’an, yakni kesamaan kedudukan manusia di muka bumi. Manusia dalam
al-Qur’an adalah khalifah. Dengan demikian manusia memiliki kemampuan untuk
mengolah dan merekayasa hukum-hukum Tuhan dengan penuh tanggung jawab.
Penguasa, misalnya tidak boleh menggunakan kekuasaan itu semuanya dengan
melanggar hak-hak rakyat. Rakyat bukan mendapat haknya dari penguasa, tetapi
yang berkuasa itu mendapatkan haknya dari rakyat.[8]
Nilai seni menurut Takdir tidak kalah
hebatnya dengan bangsa manapun setelah dia berkeliling ke Granada, Cordova,
Taksen, dan Turki. Islam memang menentang lukisan patung karena Tuhan tidak
dapat digambarkan dengan bentuk apapun. Karena itu, seni Islam yang menonjol
adalah dalam bidang arsitektur, pertamanan, mozaik, istana dan makam.
Kegairahan Islam dalam seni ini, rupanya disalurkan oleh Takdir dalam bentuk
yang rencananya masjidnya yang berupa kubah bunga yang sedang mekar. Bunga
menurut Takdir, adalah lambang dari keindahan dan sekaligus sikap umat Islam
yang selalu bergairah dan mekar. Orang yang sujud kepada Tuhan sewajarnyalah
hatinya selalu girang dan gembira sebab dia akan mendapatkan ketenangan dalam
beribadat.[9]
Konfigurasi nilai-nilai ini selalu
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Abad tengah nilai agama dan kekuasaan
yang menonjol sedangkan nilai-nilai yang lain tidak begitu berkembang. Setelah
renaisans, nilai sains dan ekonomi berkembang, akibatnya nilai kekuasaan dan
agama mundur. Dalam Islam nilai agama dan sains pernah maju bersama sehingga
menimbulkan zaman kejayaan Islam. Demikianlah seterusnya, setiap ada perubahan
dalam satu nilai, maka nilai yang lain juga ikut berubah. Melinium ketiga atau
abad ke-21 dianggap oleh para futurology sebagai abad penuh dengan perubahan,
terutama sains dan tekhnologi.
Alvin Toffler, salah seorang futurulog,
berpendapat bahwa perpindahan dari suatu tradisi ke tradisi yang baru selalu
menimbulkan gejolak dan merupakan awal suatu gelombang baru. Menurutnya,
sejarah peradaban manusia terbagi atas tiga gelombang, yaitu gelombang pertama
adalah agraris, mulai sekitar tahun 8000 SM, kedua industrialis,
mulai abad ke-17, dan yang ketiga masyarakat super-industri (era
globalisasi dan informasi), mulai abad ke-20.
Menurut Harun Nasution, agama dan sains
menghadapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi yang
demikian. Satu sisi sains di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari
jiwa agama sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler. Sebaliknya, di
Timur masayarakat taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk
‘sekularisasi’ juga dalam umat beragama. Karena itu Harun Nasution memberikan
alterenatif untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, menyesuaikan filasafat
dan sains yang sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga yang berkembang di
dunia bukan filsafat dan sains yang agamis. Kedua mengutamakan pendidikan moral
umat beragama, di samping pengajaran ibadat dan syari’at, sehingga terciptalah
masyarakat yang mulia.[10]
Jadi, peranan agama dalam menghadapi
tantangan sains dan teknologi adalah tetap menyesuaikan diri dengan
perkembangan sains dan tekhnologi dengan titik tekannya pada aspek moral dan
penggunaannya serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Agama harus
memberikan semangat spiritualitas yang bersifat global kepada umat manusia agar
para pelaku dan pengguna teknologi mawas diri. Agama, sebagaimana dinyatakan
oleh Naisbitt, akan bangkit pada abad ke-21. namun, kebangkitan agama tidak
dalam bentuk formal, tetapi semacam kesadaran atau kebutuhan akan suatu
spiritualitas. Dengan demikian, agama yang menghadirkan kebutuhan tersebut akan
mendapat tempat di berbagai lapisan masyarakat.
B. Tujuan Agama dan
Sains
Dalam pandangan sainstis agama dan sains
memiliki perbedaan yang sangat jauh dan sukar dipertemukan. Bidang kajian agama
adalah alam metafisik, sedangkan bidang kajian sains adalah alam empiris.
Sumber agama dari Tuhan sedangkan sains dari alam. Perbedaan agama deduktif
emosional sedangkan sains induktif rasional. Agama bersifat subjektif sedangkan
sains bersifat obyektif. Ukuran agama adalah mukmin atau kafir, sedangkan sains
adalah benar atau salah. Anggapan para sainstis yang demikian menunjukkan bahwa
titik singgung antara agama dan sains hampir tidak ada, dan kalau pun ada itu
terletak pada hal yang umum sekali, yaitu baik agama maupun sains, subyeknya
sama-sama manusia.
Namun, kalau diamati secara lebih dalam,
terutama dalam segi asal-usul dan tujuan agama dan ilmu, akan tampak titik
persamaan antara sains dan agama, kalau sainstis sekuler mengatakan bahwa
sumber sains adalah alam empiris, maka dari mana sumber alam empiris itu?
Mendapat pertanyaan seperti ini biasanya dia mengatakan bahwa alam empiris
terjadi sendirinya, tanpa pencipta. Toh kalaupun ada pencipta, maka dia tidak
dapat diketahui dengan jelas dan kehadirannya tidak membawa manfaat bagi
kehidupan manusia. Jawaban yang demikian terlihat tidak logis karena tidak ada
sesuatu yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal sainstis sangat
mengagungkan sekali teori sebab akibat- suatu akibat pasti ada sebab yang
berasal dari luar dirinya. Dari sini terlihat kalau diusut lebih jauh lagi,
para sainstis, baik yang sekuler, yang agnotis mengakui adanya sebab dibalik
alam nyata ini, bagi kalangan agamawan sebab itu dinamakan pencipta, bukan
sekedar sebab saja atau asal usul.
Dari segi tujuan, agama berfungsi
membimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Adapun sains dan tekhnologi berfungsi sebagai sarana mempermudah aktivitas
manusia di dunia. Di sini tampak lebih jelas titik singgung antara agama dan
sains. Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah prasyarat untuk mencapai
kehidupan akhirat. Sains adalah sarana untuk membahagiakan dan mempermudah
aktivitas manusia di dunia. Dengan tekhnologi mobil, dia dapat dengan cepat
sampai pada tujuan yang jauh. Dengan tekhnologi arsitektur, dia mampu membangun
rumah yang nyaman dan indah. Semua itu dalam pandangan agama, adalah penting
dan perlu sebab ketenangan dan kebahagiaan tersebut membuat dia leluasa
menjalankan ajaran-ajaran agama yang mengantarkan kebahagiaan di akhirat.
Sains, tujuannya adalah untuk
mempermudah aktivitas manusia di dunia dan dengan sains posisi manusia lebih
tinggi dri pada makhluk-makhluk lain, bahkan lebih tinggi dari malaikat.
Sebagaimana agama, sains juga bertujuan untuk menyenangkan sekaligus
membahagiakan manusia.
Pelaku kegiatan sains dan agama adalah
sama-sama manusia. Agama dan sains sama-sama mengakui bahwa manusia merupakan
makhluk yang tertinggi tingkatannya di bandingkan dengan makhluk lain. Dalam
konsep Islam manusia di anggap sebagai khalifah di bumi, yakni pengganti Allah.
Tugas umat manusia sebagai khalifah
Allah adalah mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Potensi yang
tertinggi dan yang membedakan dia dan makhluk lain adalah daya akal. Dengan
akal manusia dapat mengungguli kemampuan makhluk yang memiliki keahlian
tertentu, seperti manusia mampu terbang melebihi ketinggian dan kecepatan
burung.
Andi Hakim Nasition mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah kemampuan dia
mengambil keputusan, kemampuan dalam mengambil keputusan berdasarkan pada
kemampuan manusia berpikir dan bernalar. Kemampuan itu di mungkinkan pada
manusia karena ia memiliki susunan otak yang paling sempurna di bandingkan
dengan otak berbagai makhluk hidup lainnya. Menurutnya kemampuan akal itu
pulalah yang membuat manusia berkuasa di muka bumi ini dan siapa yang memiliki
ilmu dialah yanmg kuat dan berkuasa.
Dari dulu sampai sekarang peradaban umat
manusia selalu di tandai dengan kemajuan sains dan tekhnologi. Peradaban Mesir
kuno terkenal dengan peninggalan piramida dan mummi, yang merupakan hasil dari
arsitektur dan bahan-bahan pengawet. Peradaban Yunani terkenal dengan kemajuan
filsafat. Peradaban Islam berjaya selama lebih kurang lima abad merupakan
sumbangan bagi kemajuan ilmu dalam berbagai bidang, seperti kedokteran dan
astronomi. Sekarang peradaban Barat merupakan primadona dari peradaban dunia
karena di Barat sains maju dengan pesatnya. Jadi, dari sejarah peradaban
manusia, jelas bahwa sains mempunyai peranan sangat penting.
Namun, sains yang begitu dibanggakan
pada suatu saat dapat meruntuhkan suatu peradaban dan menimbulkan bencana bagi
umat manusia. Contohnya, kematian ratusan ribu rakyat Jepang ketika bom atom di
jatuhkan di Hirosima dan Nagasaki. Penemuan tekhnologi atom, di satu sisi
mendatangkan dampak yang baik, di sisi lain dapat menimbulkan bencana. Karena
itu, seorang sainstis kalau tidak memiliki komitmen moral terhadap nilai
kemanusiaan, dia bisa saja derbuat dengan bebas. Dia tidak
mempermasalahkan apakah tekhnologi yang di hasilkannya digunakan untuk hal yang
konstruktif atau destruktif. Di sini moral sebagai salah satu ajaran dasar
agama sangat diperlukan sekali. Hukuman yang diterima oleh para sainstis yang
menyalah gunakan penemuannya, tidak saja kutukan dari umat manusia, tetapi juga
kutukan dari Tuhan. Kalau kutukan dari Tuhan ini dapat di tanamkan lebih kuat,
niscaya tidak seorangpun sainstis yang menyalah gunakan sains dan tekhnologi.
Dalam beberapa agama dan sains
sebenarnya saling membutuhkan. Agama membutuhkan penjelasan sains tentang
fakta-fakta yang di alam, sebagai mana termaktub dalam kitab suci. Al-Qur’an
menegaskan agar selalu meneliti peredaran planet-planet dan meneliti kejadian
bumi dan langit. Sebaliknya, ilmu membutuhkan agama dalam memberikan dasar
moral bagi penerapan dan kegunaan sains tersebut bagi kehidupan umat manusia dan
lingkungan. Keterjalinan antar agama dan sains inilah yang akan merupakan kunci
kesuksesan dan kebahagiaan di dunia.
Perbedaan agama dan sains tentu ada dan
dalam beberapa hal perbedaan itu memang di perlukan agar tidak terjadi
kekacauan epistomologis dalam menguraikan suatu permasalahan. Kendati agama dan
sains dapat di bedakan, tetapi keduanya tidak dapat di pisah-pisahkan. Ukuran
kebenaran sains harus dapat di buktikan secara empiris. Adapun kebenaran agama
tidak perlu adanya pembuktian secara empiris.
Namun, dalam aspek praktek keagamaan
pengalaman empiris dari pemeluk agama telah membuktikan suatu kebenaran empiris
juga, sehingga antara kesadaran ilmiah dan kesadaran agama memiliki titik temu.
Orang yang melakukan zikir dan ibadat dengan teratur, jiwanya menjadi tenang
dan hidupnya semakin berarti, dan dia mampu mengendalikan diri dengan baik.
Pengalaman semacam ini tidak saja di alami satu dua orang , tetapi hampir semua
orang yang menjalankan ibadat agama secara konsisten.
Ilmu jiwa pada khususnya membahas
masalah hubungan tingkah laku manusia dengan keadaan jiwanya. Semakin tenagng
jiwa seseorang semakain mantap dan timbul rasa percaya dirinya yang besar.
Sebaliknya, semakin labil jiwanya, semakin hilang pegangan hidupnya dan tidak
heran juga banyak penyakit yang timbul karena factor kejiwaan. Fisik sebenarnya
sehat, tetapi jiwanya merasakan sebaliknya.
Agama dan sains memiliki titik singgung,
terutama dalam hal kepentingan dan kebutuhan dasar manusia. Manusia terdiri
atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani manusia terbatas, alat
indranya terbatas. Namun, dengan kekuatan daya akal, alat indra itu dapat di
maksimalkan. Tangan yang pendek dapat di perpanjang dengan tekhnologi ,
sehingga ia dapat menjangkau batu di bulan. Begitu juga dengan mata yang
terbatas melihat benda dalam ukuran tertentu saja, dengan tekhnologi mikroskop
benda yang paling kecil dapat di lihat. Singkatnya, sains dan tekhnologi dapat
saling membantu memudahkan pekerjaan fisik manusia. Dengan demikian secara
otomatis, manusia yang menguasai sains dan tekhnologi jiwanya senang dan
bahagia. Sebab, dia dapat menikmati hidup ini dengan penuh kemudahan.
Ketika kebutuhan fisik terpenuhi oleh
sains dan tekhnologi, maka unsur jiwa memiliki kebutuhan tertentu. Di antara
kebutuhan jiwa adalah ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sains dan tekhnologi
memang dapat menjadikan manusia bahagia, tetapi agar kebahagiaan itu tidak
bersifat materi semata, maka agama perlu memberikan nilai spiritual kedalam
hidup manusia. Lagi pula, agar manusia tidak di perbudak oleh penemuannya
sendiri. Kadang kala orang yang telah mampu membuat tekhnologi canggih, dia
kemudian berstruktur dan terkungkung oleh tekhnologi itu sendiri. Di sini,
agama memberikan petunjuk bahwa manusia setiap saat harus mampu mengendalikan
saons dan tekhnologi, bukan sebaliknya.
C. Agama dan Sains
Modern Sebagai Kebutuhan Manusia
Dalam pandangan positivisme atau
materialisme, jika sains dan tekhnologi sudah maju, maka masyarakat tidak
membutuhkan agama lagi sebab semua kebutuhan dan keinginan mereka sudah
terpenuhi oleh sains dan tekhnilogi. Sepintas pernyataan tersebut ada benarnya,
tetapi jika di renungkan lebih dalam timbul persoalan. Apakah keinginan manusia
betul-betul mampu di penuhi oleh sains dan tekhnologi?, padahal menurut aliran ini
manusia terbatas dalam alm sangat luas. Bagaimana dioa mampu memenuhi keinginan
yang tidak terbatas, seperti dia tidak ingin mati. Apakah tekhnologi yang super
canggih mampu mengatasi keinginan tersebit?. Kalau ada tekhnologi yang mampu
memenuhi keinginan tersebut, kemungkinan besar semua orang akan menganu
materialisme. Ternyata pandangan materialisme tersebut tidak dapat di
pertanggung jawabkan karena alur pikirannya tidak logis.
Kemajuan sains dan tekhnologi dalam satu
abad terakhir ini memang terasa sangat pesat. Boleh di katakana bahwa 99% dari
penduduk dunia sekarang telah menggunakan tekhnologi modern. Mingkin hanya
sebagian suku-suku terasing saja yang tidak menggunakan tekhnologi modern.
Sains dan tekhnologi adalah daya akal
manusia dan sekaligus kebutuhannya. Namun, kalau manusia tenggelam dalam
struktur sains dan tekhnologi, berarti eksistensinya sebagai manusia bisa
hilang. Jiwa manusia memiliki dua daya yaitu daya akal dan daya hati. Daya akal
di gunakan untuk mencaoai ilmu pengetahuan dan menemukan hal-hal yang baru.
Sifat akal progresif dan cinta pada ilmu. Daya berpikir adalah sifat yang
paling penting bagi akal.
Pada dasarnya manusia ingin kebutuhan
materinya cukup dan juga merasa sangat puas dan bahagia dengan kecukupan itu.
Agama mengajarkan pemeluknya agar selalu bersyukur atas apa yang di terimanya
sebab Tuhan itu maha pemurah dan bikjaksana. Kemurahan Tuhan itu dapat diamati
dalam struktur kebutuhan manusia. Semakin sesuatu itu di butuhkan semakin
semakin murah harga dan mudah diperoleh. Contohnya, udara lebih di butuhkan
ketimbang air sebab seseorang mampu hidup beberapa hari tanpa minum, tetapi dia
akan mati dalam hitungan menit kalau udara tidak ada. Seterusnya, air lebih di
butuhkan ketimbang makanan karena seseorang mampu bertahan hidup tanpa makan
sekian puluh hari dengan tetap minum air, demikian seterusnya.
Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu
jasmani dan rohani, secara otomatis kedua unsur itu memiliki
kebutuhan-kebutuhan tersendiri. Kebutuhan jasmani di penuhi oleh sains dan tekhnologi,
sedangkan kebutuhan rohani di penuhi oleh agama dan moralitas. Apabila dua
macam itu terpenuhi , menurut agama, dia akan bahagia di dunia dan di akhirat.
Bahkan agama menekankan bahwa kebahagiaan rohani lebih penting dan bernilai
dari pada kebahagiaan materi. Kebahagiaan materi menurut agama, bersifat
sementara dan akan hancur, sedangkan kebahagiaan rohani bersifat abadi.
Adanya konsep keabadian jiwa dalam agama
merupakan dorongan bagi pemeluknya agar selalu berpikir dan bertujuan jauh ke
depan. Pandangan jauh ke depan ini memiliki aspek yang positif, antara lain
kebahagiaan yang hakiki sulit di capai di dunia dan yang serba terbatas.karena
itu, sesungguhnya kebahagiaan yang hakiki itu ada pada alam yang tidak
terbatas, yaitu alam rohani dan surga.
Kebutuhan dalam meramal dan berpikiran
jauh ke depan sudah merupakan naluri manusia. Seirng dengan kemajuan sains dan
tekhnologi, di negara-negara Barat bermunculan para futurology yang terkenal,
seperti Naisbitt dan Alvin Toffler. Mereka meramal masa depan manusia dengan
berpijak pada kenyataan yang sekarang dan pengfalaman umat manusia yang telah
lewat. Hasil dari ramalannya itu di bukukan dan menjadi buku yang paling laris
di beli masyarakat.
Dengan demikian kebutuhan manusia modern
tidak saja sains dan tekhnologi, tetapi kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan
akan masa depan, baik di sunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani ini pada
agama. Agama Islam umpamanya memberikan petunjuk bahwa kebahagiaan rohani dan
jasmani itu saling terkait. Doa yang selalu dianjurkan agar di baca oleh
seorang muslim adalah permintaan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi,
kebahagiaan dunia menjadi prasayarat bagi kebahagiaan di akhirat.
BAB III
KESIMPULAN
Peranan
agama dalam menghadapi tantangan sains dan teknologi adalah tetap menyesuaikan
diri dengan perkembangan sains dan tekhnologi dengan titik tekannya pada aspek
moral dan penggunaannya serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Agama
harus memberikan semangat spiritualitas yang bersifat global kepada umat manusia
agar para pelaku dan pengguna teknologi mawas diri. Agama, sebagaimana
dinyatakan oleh Naisbitt, akan bangkit pada abad ke-21. namun, kebangkitan
agama tidak dalam bentuk formal, tetapi semacam kesadaran atau kebutuhan akan
suatu spiritualitas. Dengan demikian, agama yang menghadirkan kebutuhan
tersebut akan mendapat tempat di berbagai lapisan masyarakat.
Agama
dan sains memiliki titik singgung, terutama dalam hal kepentingan dan kebutuhan
dasar manusia. Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani.
Jasmani manusia terbatas, alat indranya terbatas. Namun, dengan kekuatan daya
akal, alat indra itu dapat di maksimalkan. Tangan yang pendek dapat di
perpanjang dengan tekhnologi , sehingga ia dapat menjangkau batu di bulan.
Begitu juga dengan mata yang terbatas melihat benda dalam ukuran tertentu saja,
dengan tekhnologi mikroskop benda yang paling kecil dapat di lihat. Singkatnya,
sains dan tekhnologi dapat saling membantu memudahkan pekerjaan fisik manusia.
Dengan demikian secara otomatis, manusia yang menguasai sains dan tekhnologi
jiwanya senang dan bahagia. Sebab, dia dapat menikmati hidup ini dengan penuh
kemudahan.
Dengan
demikian kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan tekhnologi, tetapi
kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan akan masa depan, baik di sunia maupun
sesudahnya. Kebutuhan rohani ini pada agama. Agama Islam umpamanya memberikan
petunjuk bahwa kebahagiaan rohani dan jasmani itu saling terkait. Doa yang
selalu dianjurkan agar di baca oleh seorang muslim adalah permintaan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Jadi, kebahagiaan dunia menjadi prasayarat bagi kebahagiaan
di akhirat.
Daftar Pustaka
Alisyahbana Sultan Takdir, Pemikiran Islam
dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, (Jakarta : Dian
Rakyat, 1992)
Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1981)
Hakim Nasution Andi, Pengantar ke Filsafat
Sains, (Bogor : Litera Antar Nusa, 1988)
Wilson, “Agama dalam
Masyarakat Sekuler”, dalam, Agama dalam analisa Interpretasi Sosiologis, Roland
Robertson (ed.), (Jakarta : Rajawali Pers, 1993)
[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1981), hlm. 26.
[2] S. Takdir Alisyahbana, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi
dan Masa Depan Umat Manusia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 10
[3] S. Takdir Alisyahbana, op. cit., hlm. 1
[4] B. R. Wilson, “Agama dalam Masyarakat Sekuler”, dalam,
Agama dalam analisa Interpretasi Sosiologis, Roland Robertson (ed.),
(Jakarta : Rajawali Pers, 1993), hlm. 196.
[5] Sutan Takdir Alisjahabana, Op.Cit, hlm.33.
[7]
Ibid
[8] Ibid, hlm. 129
[9] Ibid
[10] Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Bogor :
Litera Antar Nusa, 1988), hlm.11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar