Rabu, 26 Maret 2014

Makalah Agama dan Sains

1.      Fitri Lutfiani                (2833123004)
2.      Tri Abdul Rohman     (2833123017)
3.      Linda Trisula               (2833123007)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara tentang relasi antara agama dan sains khususnya dalam perspektif epistemologi keilmuan Islam kontemporer, tampaknya merupakan sebuah kerumitan tersendiri. Agama Islam yang di masa awalnya sangat concern dengan visi sains, belakangan justru dikesankan menjadi sebuah agama yang ‘menjauh’ dari hiruk-pikuk dunia sains.
Kalau kita perhatikan, berbagai prestasi temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat. Temuan sains di dunia Muslim hampir-hampir dikatakan tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul dari kalangan dunia Muslim paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia fisika, atau Habibie yang menemukan teori keretakan pesawat, sehingga Habibie digelar sebagai Mr. Crack. Sedangkan ribuan jenis temuan lainnya masih didominasi oleh ilmuwan Barat. Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa fenomena kemandekan temuan sains bisa terjadi di dunia Muslim. Tentunya beragam jawaban bisa dikemukakan, sekedar ilustrasi kecil, diantaranya akibat politik isolatif umat Islam terhadap dinamika pengetahuan modern.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran dan tantangan Agama dalam Sains modern ?
2.      Apakah Tujuan Agama dan Sains ?
3.      Bagaimana Agama dan Sains modern sebagai kebutuhan manusia ?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui peran dan tantangan agama dalam sains modern.
2.      Mengetahui tujuan agama dan sains.
3.      Mengetahui Agama dan Sains modern sebagai kebutuhan manusia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peranan dan Tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi
Sebelum menguraikan peranan dan tantangan agama dalam era sains dan teknologi, lebih baik kita tinjau sejenak hubungan agama dan sains dalam sejarah peradaban manusia. Hal ini sangat penting karena peradaban umat manusia tidak lepas dari pergumulan antara berbagai nilai, termasuk nilai sains dan agama. Setiap ada penemuan baru dalam sains, selalu menimbulkan gejolak tertentu dalam masyarakat karena mereka belum memiliki perangkat baru untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sedangkan perangkat dan nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi sekaligus kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam sejarah Yunani, kehadiran pemikiran filsafat –sebagai induk dari ilmu dan sains modern- telah menimbulkan gejolak dalam masyarakat karena penemuan filsafat bertentangan dengan system kepercayaan dan mitos mereka. Masyarakat pada waktu itu mempercayai bahwa kejadian alam dan peristiwa yang terjadi didalamnya tidak lepas dari aktifitas dewa. Gerhana, pelangi, atau gempa bumi dianggap sebagai aktualisasi fungsi para dewa. Pelangi dalam pandangan orang Yunani adalah bidadari yang sedang mandi.
Ketika kepercayaan pada dewa mengkristal dalam masyarakat Yunani, pemikiran filsafat menggugat kepercayaan tersebut. Pemikiran filsafat mengatakan bahwa kejadian alam dan peristiwanya tidak berkaitan dengan dewa, tetapi semuanya berasal dari alam sendiri. Dewa tidak ada perannya dalam alam. Pelangi bukan bidadari yang sedang mandi, tetapi gejala alam yang biasa dapat diterangkan secara rasional. Pelangi, dalam pandangan filsafat dan ilmu, adalah bekas rintik-rintik hujan yang belum turun kebumi yang diterpa oleh sinar matahari, sehingga membentuk warna merah, kuning, dan hijau.
Thales, sebagai seorang pelopor filsafat Yunani mengatakan bahwa kejadian alam bukan berasal dari perkawinan antara dewa, tetapi alam berasal dari alam itu sendiri, yaitu air, semua berasal dari air dan akan kembali menjadi air. Aristoteles kemudian berpendapat bahwa Thales mengatakan hal itu karena bahan makanan semua makhluk mengandung zat lembab dan merupakan benih dari semua makhluk hidup. Lagi pula air bias berubah bentuk dari benda cair menjadi gas dan benda padat.[1]
Kendati secara sepintas pemikiran Thales itu sangat sederhana, tetapi dampak pemikiran tersebut mampu mengubah pola fikir sebagian besar masyarakat Yunani dari masyarakat mitosentris menjadi logosentrais. Dan pemikiran Yunani inilah yang kemudian menjadi dasar kebudayaan Barat dan perkembangan sains modern. Munculnya Renaisans abad ke-15 adalah usaha untuk menghidupkan kembali kebudayan Yunani dan menggali kesusastraannya.
Namun, perubahan dari masyarakat mitosentris menjadi logosentris tidak luput dari gejolak. Terjadi benturan kepentingan, terutama antara tokoh-tokoh tradisoional yang sudah lama menjadi panutan masyarakat dengan para filosof. Benturan semacam ini tidak dapat dielakkan karena bagaimanapun, orientasi, kepentingan dan struktur kepercayaan masyarakat berubah secara total ketika masuknya faham baru yang sama sekali berbeda dengan faham lama.
Benturan yang semacam ini tidak saja terjadi di Yunani, tetapi juga dikawasan lain yang mengalami penemuan-penemuan baru, terutama dalam bidang sains. Namun, ada juga benturan yang tidak terlalu tajam, seperti pada masa awal-awal Islam (abad kedua dan ketiga Hijrah). Kedatangan filsafat dan ilmu Yunani kedunia Islam tidak mengalami gejolak yang besar sekali dalam masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, masyarakat Islam pada waktu itu belum mengkristaldalam satu pola hidup tertentu. Mereka masih bebas melakukan ijtihad dalam berbagai lapangan, baik fiqih, teologi, filsafat, maupun ilmu. Jarak yang begitu dekat dengan sumber pertama, yakni Nabi, mendorong mereka lebih berani untuk mengadakan pembaharuan dalam berbagai bidang tersebut. Kedua, Al-Qur’an dan Hadits Nabi mendorong untuk melakukan penelitian ilmiah dan mengobservasi kejadian-kejadian dialam untuk dijadikan I’tibar bagi orang-orang yang berakal. Ketiga, para khalifah pada waktu itu sangat menyokong kegiatan ilmiah, baik fasilitas maupun dana. Masa khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Amin, berbagai buku filsafat dan ilmu diterjenahkan kedalam bahasa Arab. Para ilmuan diberi insentif oleh kerajaan untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Karena itu, tidak heran kemudian muncul ulama yang tidak hanya ahli dalam bidang agama, tetapi juga dalam bidang fisika, kimia, matematika, dan kedokteran.
Namun, perkembangan ilmu kemudian hari didunia Islam terhenti karena umat Islam terlena oleh kehebatan para faqih, teolog, dan ilmuan pada masa kejayaan tersebut. Lagipula situasi politik umat Islam pada waktu itu tidak mendukung berkembangnya pembaharuan pemikiran dan penelitian ilmiah. Lala kelamaan ajaran para ulama itulah yang mengkristal daalam diri umat Islam. Kristalisasi itu tidak saja terjadi dalam diri  atau kelompok, tetapi juga wilayah, seperti wilayah India terkenal dengan mazhab Hanafi, dan Indonesia dengan mazhab Syafi’i. Fenomena yang demikian membuat umat Islam tidak kreatif lagi, bahkan mengalami kejumudan karena mereka mengambil apa saja yang sudah dikupas oleh imam mazhab dengan sedikit perubahan. Keadaan yang demikian tidak saja terjadi dalam bidang fiqih, tetapi juga dalam berbagai bidang, seperti teologi dan ilmu.
Gejolak antara agama dan sains kemudian terjadi lagi pada era Renaisans. Gereja pada awal abad pertengahan sangat berkuasa dan dominan, tidak saja dalam lapangan agama, tetapi juga dalam lapangan ilmiah. Tradisi ilmiah yang sebenarnya tidak baku dan statis menjadi sacral dan tidak bias diubah. Karena itu, ketika Nicolaus Copernitus dan Galileo menemukan teori bahwa bumi bukan pusat jagat raya, tetapi mataharilah yang merupakan pusat jagat raya, kalangan gereja sangat marah karena teori tersebut sangat bertentangan dengan doktrin ‘ilmiah’ gereja. Ketegangan ini rupanya merupakan cikal bakal Sekularisme di Barat. Agamawan berjalan menurut kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan ilmuan berjalan sesuai dengan struktur dan ukuran rasional dan empiris. Akibatnya antara agama dan ilmu tidak ada persinggungan, sehingga sains di Barat tidak mengenal agama. Dari sini muncul semboyan sains untuk sains, atau sains yang bebas nilai.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, penemuan sains di Barat tidak dapat diharmoniskan dengan dogma Kristen. Timbul pertentangan keras antara gereja disatu fihak dan kaum filosof dan saintis difihak lain. Kaum filosof, demikian Harun Nasution, yang membawa pemikiran-pemikiran dan saintis yang menimbulkan penemuan-penemuan yang bertentangan dengan pendapat gereja yang dikeluarkan dari gereja. Maka filsafat dan sains yang mereka kembangkan menjadi terlepas dari ikatan agama. Dengan demikian, berkembanglah filsafat dan sains yang sekuler di Eropa Barat sebagaimana halnya filsafat dan sains di Yunani zaman klasik.
Sebagaimana halnya di Yunani zaman klasik, rasionalisme yang berkembang di Eropa zaman modern, menurut  Harun nasution, adalah rasionalisme yang tidak terikat oleh pada apapun. Timbullah pemikiran-pemikiran ganjil di Eropa, sehingga filsafat  hedonisme Yunani muncul kembali dalam bentuk baru yang disebut dengan utilitarianisme. Fissafat ini mengajarkan bahwa mencari sebanyak mungkin kesenangan adalah prinsip yang dipakai dalam bidang moral. Dalam bidang teologi, timbil teilogi Tuhan telah mati. Agama tidak ada artinya lagi. Yang menentukan segala-galanya adalah akal manusia. Nilai yang absolut lenyap digantikan dengan nilai yang relatif.
Pemakaian sains pun, demikian Harun Nasution, tidak dikontrol oleh agama. Sains dikembangkan demi sains tanpa mengindahkan kerusakan yang dibawanya kemasyarakat. Soal sains membawa bukanlah urusan mereka, tetapi itu adalah masalah kaum agama dan moralis. Padahal kaum agama dan moralis di barat boleh dikatakan tidak ada pengaruhnya lagi.
Fakta yang tidak dapat diingkari adalah setelah renasains, pemikiran filsafat dan sains di Barat berkembang sangat pesat. Sutan Takdir Alisyahbana menggambarkan bahwa tidak ada perkembangan sains yang begitu cepat dalam masa 300 tahun terakhir belakangan ini. Sejak ditemukannya mesin uap dan batu bara sebagai sumber energi, maka mulailah era industrialisasi. Tenaga binatang dan manusia digantikan dengan mesin-mesin, yang kekuatannya puluhan kali lipat dibandingkan dengan tenaga binatang dan manusia.
Teknologi, demikian Takdir Alisyahbana, adalah kecakapan manusia melipat gandakan tenaga-tenaga dan kemungkinan-kemungkinan alam yang tiada berhingga besarnya. Menurut Takdir, manusia yang pertama menyambung tangannya dengan galah agar dapat mengambil buah-buah yang tinggi tergantung diujung dahan adalah ahli teknik yang pertama. Di zaman sains modern ini, tangan manusia sudah begitu panjangnya sehingga dia dapat mengambil batu di bulan. Sedangkan, tenaga manusia sedemikian besarnya sehingga dengan mudah memusnahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta manusia dengan letusan bom nuklir[2]
Roda adalah penemuan manusia yang pertama untuk mempercepat tenaga kakinya. Pada zaman kemajuan sains dan teknologi, roda yang telah ditemukan sejak ratusan tahun, dapat digerakkan dengan mesin uap puluhan kali lebih cepat daripada tenaga manusia atau binatang. Kalau roda digerakkan oleh kuda atau sapi, dibuthkan waktu beberapa hari untuk menempuh jarak 1000 Km. Tapi, dengan penemuan mesin uap (api) dalam 12 jam. Bahkan, dengan pesawat terbang, jarak yang dulunya jauh menjadi dekat. Dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, dunia semakin mengecil karena tidak ada lagi jauh dikulit bumi ini. Arus informasi semakin terbuka. Bola bergulir didaratan Eropa, orang Indonesia-yang jaraknya puluhan ribu kilometer-pada saat yang bersamaan dapat menyaksikannya. Tetangga bukan saja yang dekat jaraknya dengan kita, tetapi tetangga adalah yang selalu memberikan informasi, kendati jaraknya ribuan kilometer dan tidak pernah bertatap muka.
Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga bergeser bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi kalangan ilmuan di Barat, agama adalah penghalang kemajuan. Karena itu, mereka beranggapan, jika ingin maju, agama tidak boleh lagi mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia, seperti politik dan sains. Para pemikir dan saintis sering mengemukakan nada minor terhadap agama, baik pada awal munculnya era industrialisasi maupun pada decade belakangan ini. Karl Marx terkenal dengan pernyataannya bahwa“agama adalah candu masyarakat”. August Comte mengatakan bahwa agama hanya cocok untuk masyarakat yang masih primitif dan terbelakang. Sekarang, demikian Comte, adalah era positivisme, yang semua kejadian dapat diukur dan diterangkan dengan rasional. Bahkan para saintis pada suatu saat berpendapat bahwa pencarian untuk menemukan ‘kebenaran’ akan membawa suat kecenderungan utama untuk menyembah sains ketimbang agama. Kecenderungan ini memuncak pada filsafat sekuler ‘Tuhan sudah mati’ yang diungkapkan teolog radikal Thomas JJ Altizer ditahun 1960 dan 1970-an. Sekarang dengan pandangan millennium, kekuatan kecenderungan berbalik, menuju kebangkitan agama dan menyangkal kepercayaan yang buta terhadap sains dan teknologi.
Proses sekularisasi terus berlanjut sepanjang abad ke-20 sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin luas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutip oleh Sutan Takdir Alisyahbana, mengatakan bahwa semua agama modern sedang mengalami suatu krisis yang amat mendalam. Setiap orang dizaman kita yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan berbagai macam aliran-alirannya, kesangsiannya, danm pertentangan diantara pengikut-pengikutnya, tak dapat dengan jujur berkata lain daripada itu.[3]
Menurut B. R. Wilson, agama terlibat sedikit dalam masyarakat. Namun, dia mengakui terlalu pagi untuk mengatakan bahwa masyarakat modern dapat berfungsi tanpa agama. Masyarakat sekuler masa kini, demikian Wilson, dimana pemikiran, praktek, dan institusi keagamaan hanya sebagian kecil saja, hanya mewarisi sedikit nilai, watak, dan orientasi agama masa lampau. Masyarakat yang sepenuhnya sekuler belum ada. Mungkin, apabila respon terhadap institualisme makin subur, birokrasi dalam masyarakat modern makin berkembang, demikian Wilson, agama akan menemukan fungsi-fungsi baru untuk dijalankan-tetapi, bararangkali, bukan agama ekumenisme yang menerima nilai-nilai institualisme baru, melainkan agama sekte-sekte.[4]
Disamping nada pesimistik terhadap agama, ada juga nada optimis yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, seperti Jhon Naisbitt, Patricia Aburdene, Harvey Cock, dan Sutan Takdir Alisyahbana. John Naisbitt dan Patricia Aburdene, dalam bukunya Megatrend 2000 mengatakan bahwa penekanan pada aspek spritualitas agama meningkat, sedangkan agama yang terorganisasi mengalami kemunduran. Istilah yang dipakai oleh Naissbitt adalah spritualty, yes, organized relegion, no (Aspek Spritual, Ya, sedanagkan Agama yang Terorganisasi, Tidak). Dia berangggapan bahwa ada kebangkitan agama pada abad ke-21 nanti dengan catatan bahwa kebangkitan tersebut tidak terjadi pada agama-agama besar, tetapi kebangkitan sekte-sekte mistis yang otonom dan fundamentalis. Menurut pengamatan Naisbitt, anak-anak muda di Amerika Serikat pada tahun 1970-an meninggalkan gereja, tetapi sekarang mereka mencari bentuk spritual baru atau mendirikan suatu perkumpulan yang fundamentalis.
Menurut Naisbitt dan Patrecia, abad 21 nanti akan terjadi kecenderungan-kecenderungan yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Kecenderungan-kecenderungan itu otomatis akan membutuhkan persiapan dan sekaligus kegoncangan dalam berbagai aspek kehidupan. Dia menyimpulkan ada 10 kecenderungan yang akan timbul nantinya. Pertama, ledakan ekonomi global. Kedua, Renaisans dalam bidang seni. Ketiga, munculnya pasar bebas sosialisme. Keempat, gaya hidup global dan nasionalisme kebudayaan. Kelima, pripatisasi dinegara makmur. Keenam, meningkatnya wilayah pasifik. Ketujuh, era wanita dalam kepemimpinan. Kedelapan, era biologi. Kesembilan, kebangkitan agama dimilenium ketiga. Kesepuluh, kemenangan individual.
Salah satu kecenderungan milenium ketiga, menurut Naisbitt, dalah kebangkitan agama. Agama, demikian Naisbitt, akhir abad 20 menunjukkan gejala yang semakin semarak, terutama agama yang pinggiran dan tidak terikat secara hirarkis dan organisatoris. Empat persen dari populasi Amerika adalah Muslim Budha atau Hindu. Ada sekitar seperempatnya adalah orang-orang Afrika, tersebar diseluruh kota di amerika, seperti Colorado dan Denver. Ada sekitar 600 penganut Budha berasal dari sekte utama Jepang dan Asia Selatan. Bahkan imam tentara agama Budha diakui dalam angkatan bersenjata Amerika.
Disamping itu, jutaan orang Amerika belajar Yoga, meditasi, atau cara-cara lain yang diambil dari agama-agama Timur. Para penganut agama-agama baru ini, baik Dari kalangan Kristen maupun meditasi mencari hal yang sama, yaitu suatu hubungan antara kehidupan mereka sehari-hari dengan yang transenden. Hubungan vital ini, demikian Naisbitt, tidak ditemukan, baik digereja-gereja tradisional maupun dalam ‘penyembahan’ terhadap sains dan teknologi.
Fundamentalisme menawarkan suatu cara-cara yang lebih gampang ketika nilai-nilai semakin berantakan. Para penganut muda mengambil arah yang berbeda, yaitu menolak otoritas dari luar, berbalik mencari petunjuk kedalam, baik lewat agama Timur, meditasi, maupun potensi manusia. Seorang anak muda, demikian Naisbitt, ingin agama itu dihadirkan secara tradisional kedalam diri sedikit demi sedikit, sehingga dia memahami suatu kehidupan, merasakan spritualitas, dan belajar menyelami jiwa.
Kesadaran spritual ini tidak terdapat dalam agama-agama utama dan terorganisasi, tetapi ada dalam sekte-sekte kecil dan fundamentalis. Kebangkitan sekte-sekte pada akhir ini menjadi semakin meningkat, baik dari segi jumlah pengikutnya, di Amerika, Kesaksian Johovah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1965 dari 330.000 menjadi 752.000 pengikut (tahun 1990). Bahkan, pengikut Persekutuan Tuhan meningkat empat kali lipat dari 572.000 menjadi 2.100.000 pengikut. Begitupula gerakan Kharismatik meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi 277 juta pengikut. Tahun 1978, 78% orang Amerika percaya kepada Tuhan Jesusu dan pada tahun 1988 meningkat menjadi 88%.
Munculnya kecenderungan masyarakat Amerika mencari sekte-sekte fundamentalis menurut H.A.S Sukhedo, seorang psikiater dari New Jersey, adalah karena masyarakat Amerika terlalu bebas dan permisif, serta mereka memiliki banyak pilihan. Karena itu mereka tidak mampu membuat keputusan sendiri secara efektif. Mereka menginginkan orang lain membuatkan keputusan dan mereka akan mengikuti dengan patuh. Pernyataan ini disimpulkan oleh Sukhedo dari hasil wawncara dengan salah seorang pengikut Jim Jones yang terbebas dari maut ketika terjadi bunuh diri massal di Guyana.
Harvey Cock, seorang teolog lebih lanjut mengatakan bahwa kebangkitan gama adalah fenomena global yang harus bekerja sama menguraikan tentang kemodernan, yang dia meyakininya juga tanda-tanda akhir dari semacam keyakinan bahwa sains dan tekhnologi akan mengatasi semua problem kita.
Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana, berpendapat bahwa dalam era globalisasi dan informasi yang semakin terbuka, agama dapat memainkan diri dalam bidang moral dan etika. Sebab, agamaselalu mengitkan segala aktivitas manusia kepada kekudusan. Tuhan dan memberikan kepadanya perasaan kekecilan dan penyerahan. Khusus agama Islam , demikian Ali Syahbana, menekankan pada etika yang menuju kepada kekudusan di alam baka, kehidupan disini hanyalah sementara.  disamping itu, al-Qur’an dengan jelas menegaskan kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia harus selalu mengelola dan selalu meneliti alam sesuai dengan diciptakan alam oleh Tuhan.[5]
Nilai  Ilmu, menurut Takdir Alisjahabana, sering dijelaskan dalam al-Qur’an. Dalam Islam yang pertama kali diumumkan adalah hubungan antara akal dengan bahasa. Tuhan memberikan bahasa kepada manusia dengan demikian manusia menjadi makhluk yang berbudi, malahan lebih tinggi dari malaikat. Seperti diketahui, demikian Takdir, bahasa ituadalah dasar dari pikiran. Sebab kata-kata itu mewakili konsep, dan yang kita katakanan berpikir itu tidak lain dari memakai dan menyusun konsep-konsep untuk merumusksn kenyataan[6]
Nilai ekonomi, menurut Takdir, adalah ciri awal dari kebudayaan Islam karena nabi Muhammad  SAW, adalah seorang saudagar, yang tentu mengetahui nilai ekonomi. Islam mengajarkan umatnya untuk terus berusaha mencari kesejahteraan hidup dengan ekonomi yang mantap dan tangguh. Bahkan dalam beribadat pun, Islam membolehkan untuk melakukan aktivitas ekonomi, seperti dibolehkan berdagang bagi seorang yang melakukan ibadah haji.[7]
Nilai solidaritas, menurut Takdir, dalam Islam tampak dengan jelas dalam bentuk kerjasama dengan golongan-golongan lain, tanpa membedakan asal-usul, ras, dan agamanya. Takdir memperkuat argumennya dengan mengutip ayat al-Qur’an yang artinya, “ Katakanlah , hai orang-orang mukmin, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Iskhak, dan ya’qup dan anak cucunya, dan yang dib erikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari Tuhannya, kami tidak membeda-bedakan seseorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.”
Nilai kekuasaan sangat ditekankan dalam al-Qur’an, yakni kesamaan kedudukan manusia di muka bumi. Manusia dalam al-Qur’an adalah khalifah. Dengan demikian manusia memiliki kemampuan untuk mengolah dan merekayasa hukum-hukum Tuhan dengan penuh tanggung jawab. Penguasa, misalnya tidak boleh menggunakan kekuasaan itu semuanya dengan melanggar hak-hak rakyat. Rakyat bukan mendapat haknya dari penguasa, tetapi yang berkuasa itu mendapatkan haknya dari rakyat.[8]
Nilai seni menurut Takdir tidak kalah hebatnya dengan bangsa manapun setelah dia berkeliling ke Granada, Cordova, Taksen, dan Turki. Islam memang menentang lukisan patung karena Tuhan tidak dapat digambarkan dengan bentuk apapun. Karena itu, seni Islam yang menonjol adalah dalam bidang arsitektur, pertamanan, mozaik, istana dan makam. Kegairahan Islam dalam seni ini, rupanya disalurkan oleh Takdir dalam bentuk yang rencananya masjidnya yang berupa kubah bunga yang sedang mekar. Bunga menurut Takdir, adalah lambang dari keindahan dan sekaligus sikap umat Islam yang selalu bergairah dan mekar. Orang yang sujud kepada Tuhan sewajarnyalah hatinya selalu girang dan gembira sebab dia akan mendapatkan ketenangan dalam beribadat.[9]
Konfigurasi nilai-nilai ini selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Abad tengah nilai agama dan kekuasaan yang menonjol sedangkan nilai-nilai yang lain tidak begitu berkembang. Setelah renaisans, nilai sains dan ekonomi berkembang, akibatnya nilai kekuasaan dan agama mundur. Dalam Islam nilai agama dan sains pernah maju bersama sehingga menimbulkan zaman kejayaan Islam. Demikianlah seterusnya, setiap ada perubahan dalam satu nilai, maka nilai yang lain juga ikut berubah. Melinium ketiga atau abad ke-21 dianggap oleh para futurology sebagai abad penuh dengan perubahan, terutama sains dan tekhnologi.
Alvin Toffler, salah seorang futurulog, berpendapat bahwa perpindahan dari suatu tradisi ke tradisi yang baru selalu menimbulkan gejolak dan merupakan awal suatu gelombang baru. Menurutnya, sejarah peradaban manusia terbagi atas tiga gelombang, yaitu gelombang  pertama  adalah  agraris,  mulai sekitar tahun 8000 SM,  kedua  industrialis, mulai abad ke-17, dan yang ketiga masyarakat super-industri (era globalisasi dan informasi), mulai abad ke-20.
Menurut Harun Nasution, agama dan sains menghadapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi yang demikian. Satu sisi sains di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler. Sebaliknya, di Timur masayarakat taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk ‘sekularisasi’ juga dalam umat beragama. Karena itu Harun Nasution memberikan alterenatif untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, menyesuaikan filasafat dan sains yang sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga yang berkembang di dunia bukan filsafat dan sains yang agamis. Kedua mengutamakan pendidikan moral umat beragama, di samping pengajaran ibadat dan syari’at, sehingga terciptalah masyarakat yang mulia.[10]
Jadi, peranan agama dalam menghadapi tantangan sains dan teknologi adalah tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan sains dan tekhnologi dengan titik tekannya pada aspek moral dan penggunaannya serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Agama harus memberikan semangat spiritualitas yang bersifat global kepada umat manusia agar para pelaku dan pengguna teknologi mawas diri. Agama, sebagaimana dinyatakan oleh Naisbitt, akan bangkit pada abad ke-21. namun, kebangkitan agama tidak dalam bentuk formal, tetapi semacam kesadaran atau kebutuhan akan suatu spiritualitas. Dengan demikian, agama yang menghadirkan kebutuhan tersebut akan mendapat tempat di berbagai lapisan masyarakat.

B.     Tujuan Agama dan Sains
Dalam pandangan sainstis agama dan sains memiliki perbedaan yang sangat jauh dan sukar dipertemukan. Bidang kajian agama adalah alam metafisik, sedangkan bidang kajian sains adalah alam empiris. Sumber agama dari Tuhan sedangkan sains dari alam. Perbedaan agama deduktif emosional sedangkan sains induktif rasional. Agama bersifat subjektif sedangkan sains bersifat obyektif. Ukuran agama adalah mukmin atau kafir, sedangkan sains adalah benar atau salah. Anggapan para sainstis yang demikian menunjukkan bahwa titik singgung antara agama dan sains hampir tidak ada, dan kalau pun ada itu terletak pada hal yang umum sekali, yaitu baik agama maupun sains, subyeknya sama-sama manusia.
Namun, kalau diamati secara lebih dalam, terutama dalam segi asal-usul dan tujuan agama dan ilmu, akan tampak titik persamaan antara sains dan agama, kalau sainstis sekuler mengatakan bahwa sumber sains adalah alam empiris, maka dari mana sumber alam empiris itu? Mendapat pertanyaan seperti ini biasanya dia mengatakan bahwa alam empiris terjadi sendirinya, tanpa pencipta. Toh kalaupun ada pencipta, maka dia tidak dapat diketahui dengan jelas dan kehadirannya tidak membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Jawaban yang demikian terlihat tidak logis karena tidak ada sesuatu yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal sainstis sangat mengagungkan sekali teori sebab akibat- suatu akibat pasti ada sebab yang berasal dari luar dirinya. Dari sini terlihat kalau diusut lebih jauh lagi, para sainstis, baik yang sekuler, yang agnotis mengakui adanya sebab dibalik alam nyata ini, bagi kalangan agamawan sebab itu dinamakan pencipta, bukan sekedar sebab saja atau asal usul.
Dari segi tujuan, agama berfungsi membimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia di dunia dan di akhirat. Adapun sains dan tekhnologi berfungsi sebagai sarana mempermudah aktivitas manusia di dunia. Di sini tampak lebih jelas titik singgung antara agama dan sains. Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah prasyarat untuk mencapai kehidupan akhirat. Sains adalah sarana untuk membahagiakan dan mempermudah aktivitas manusia di dunia. Dengan tekhnologi mobil, dia dapat dengan cepat sampai pada tujuan yang jauh. Dengan tekhnologi arsitektur, dia mampu membangun rumah yang nyaman dan indah. Semua itu dalam pandangan agama, adalah penting dan perlu sebab ketenangan dan kebahagiaan tersebut membuat dia leluasa menjalankan ajaran-ajaran agama yang mengantarkan kebahagiaan di akhirat.
Sains, tujuannya adalah untuk mempermudah aktivitas manusia di dunia dan dengan sains posisi manusia lebih tinggi dri pada makhluk-makhluk lain, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Sebagaimana agama, sains juga bertujuan untuk menyenangkan sekaligus membahagiakan manusia.
Pelaku kegiatan sains dan agama adalah sama-sama manusia. Agama dan sains sama-sama mengakui bahwa manusia merupakan makhluk yang tertinggi tingkatannya di bandingkan dengan makhluk lain. Dalam konsep Islam manusia di anggap sebagai khalifah di bumi, yakni pengganti Allah.
Tugas umat manusia sebagai khalifah Allah adalah mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Potensi yang tertinggi dan yang membedakan dia dan makhluk lain adalah daya akal. Dengan akal manusia dapat mengungguli kemampuan makhluk yang memiliki keahlian tertentu, seperti manusia mampu terbang melebihi ketinggian dan kecepatan burung.
Andi Hakim Nasition mengatakan bahwa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah kemampuan dia mengambil keputusan, kemampuan dalam mengambil keputusan berdasarkan pada kemampuan manusia berpikir dan bernalar. Kemampuan itu di mungkinkan pada manusia karena ia memiliki susunan otak yang paling sempurna di bandingkan dengan otak berbagai makhluk hidup lainnya. Menurutnya kemampuan akal itu pulalah yang membuat manusia berkuasa di muka bumi ini dan siapa yang memiliki ilmu dialah yanmg kuat dan berkuasa. 
Dari dulu sampai sekarang peradaban umat manusia selalu di tandai dengan kemajuan sains dan tekhnologi. Peradaban Mesir kuno terkenal dengan peninggalan piramida dan mummi, yang merupakan hasil dari arsitektur dan bahan-bahan pengawet. Peradaban Yunani terkenal dengan kemajuan filsafat. Peradaban Islam berjaya selama lebih kurang lima abad merupakan sumbangan bagi kemajuan ilmu dalam berbagai bidang, seperti kedokteran dan astronomi. Sekarang peradaban Barat merupakan primadona dari peradaban dunia karena di Barat sains maju dengan pesatnya. Jadi, dari sejarah peradaban manusia, jelas bahwa sains mempunyai peranan sangat penting. 
Namun, sains yang begitu dibanggakan pada suatu saat dapat meruntuhkan suatu peradaban dan menimbulkan bencana bagi umat manusia. Contohnya, kematian ratusan ribu rakyat Jepang ketika bom atom di jatuhkan di Hirosima dan Nagasaki. Penemuan tekhnologi atom, di satu sisi mendatangkan dampak yang baik, di sisi lain dapat menimbulkan bencana. Karena itu, seorang sainstis kalau tidak memiliki komitmen moral terhadap nilai kemanusiaan, dia bisa  saja derbuat dengan bebas. Dia tidak mempermasalahkan apakah tekhnologi yang di hasilkannya digunakan untuk hal yang konstruktif atau destruktif. Di sini moral sebagai salah satu ajaran dasar agama sangat diperlukan sekali. Hukuman yang diterima oleh para sainstis yang menyalah gunakan penemuannya, tidak saja kutukan dari umat manusia, tetapi juga kutukan dari Tuhan. Kalau kutukan dari Tuhan ini dapat di tanamkan lebih kuat, niscaya tidak seorangpun sainstis yang menyalah gunakan sains dan tekhnologi.
Dalam beberapa agama dan sains sebenarnya saling membutuhkan. Agama membutuhkan penjelasan sains tentang fakta-fakta yang di alam, sebagai mana termaktub dalam kitab suci. Al-Qur’an menegaskan agar selalu meneliti peredaran planet-planet dan meneliti kejadian bumi dan langit. Sebaliknya, ilmu membutuhkan agama dalam memberikan dasar moral bagi penerapan dan kegunaan sains tersebut bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan. Keterjalinan antar agama dan sains inilah yang akan merupakan kunci kesuksesan dan kebahagiaan di dunia.
Perbedaan agama dan sains tentu ada dan dalam beberapa hal perbedaan itu memang di perlukan agar tidak terjadi kekacauan epistomologis dalam menguraikan suatu permasalahan. Kendati agama dan sains dapat di bedakan, tetapi keduanya tidak dapat di pisah-pisahkan. Ukuran kebenaran sains harus dapat di buktikan secara empiris. Adapun kebenaran agama tidak perlu adanya pembuktian secara empiris.
Namun, dalam aspek praktek keagamaan pengalaman empiris dari pemeluk agama telah membuktikan suatu kebenaran empiris juga, sehingga antara kesadaran ilmiah dan kesadaran agama memiliki titik temu. Orang yang melakukan zikir dan ibadat dengan teratur, jiwanya menjadi tenang dan hidupnya semakin berarti, dan dia mampu mengendalikan diri dengan baik. Pengalaman semacam ini tidak saja di alami satu dua orang , tetapi hampir semua orang yang menjalankan ibadat agama secara konsisten.
Ilmu jiwa pada khususnya membahas masalah hubungan tingkah laku manusia dengan keadaan jiwanya. Semakin tenagng jiwa seseorang semakain mantap dan timbul rasa percaya dirinya yang besar. Sebaliknya, semakin labil jiwanya, semakin hilang pegangan hidupnya dan tidak heran juga banyak penyakit yang timbul karena factor kejiwaan. Fisik sebenarnya sehat, tetapi jiwanya merasakan sebaliknya.
Agama dan sains memiliki titik singgung, terutama dalam hal kepentingan dan kebutuhan dasar manusia. Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani manusia terbatas, alat indranya terbatas. Namun, dengan kekuatan daya akal, alat indra itu dapat di maksimalkan. Tangan yang pendek dapat di perpanjang dengan tekhnologi , sehingga ia dapat menjangkau batu di bulan. Begitu juga dengan mata yang terbatas melihat benda dalam ukuran tertentu saja, dengan tekhnologi mikroskop benda yang paling kecil dapat di lihat. Singkatnya, sains dan tekhnologi dapat saling membantu memudahkan pekerjaan fisik manusia. Dengan demikian secara otomatis, manusia yang menguasai sains dan tekhnologi jiwanya senang dan bahagia. Sebab, dia dapat menikmati hidup ini dengan penuh kemudahan.
Ketika kebutuhan fisik terpenuhi oleh sains dan tekhnologi, maka unsur jiwa memiliki kebutuhan tertentu. Di antara kebutuhan jiwa adalah ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sains dan tekhnologi memang dapat menjadikan manusia bahagia, tetapi agar kebahagiaan itu tidak bersifat materi semata, maka agama perlu memberikan nilai spiritual kedalam hidup manusia. Lagi pula, agar manusia tidak di perbudak oleh penemuannya sendiri. Kadang kala orang yang telah mampu membuat tekhnologi canggih, dia kemudian berstruktur dan terkungkung oleh tekhnologi itu sendiri. Di sini, agama memberikan petunjuk bahwa manusia setiap saat harus mampu mengendalikan saons dan tekhnologi, bukan sebaliknya.
C.    Agama dan Sains Modern Sebagai Kebutuhan Manusia
Dalam pandangan positivisme atau materialisme, jika sains dan tekhnologi sudah maju, maka masyarakat tidak membutuhkan agama lagi sebab semua kebutuhan dan keinginan mereka sudah terpenuhi oleh sains dan tekhnilogi. Sepintas pernyataan tersebut ada benarnya, tetapi jika di renungkan lebih dalam timbul persoalan. Apakah keinginan manusia betul-betul mampu di penuhi oleh sains dan tekhnologi?, padahal menurut aliran ini manusia terbatas dalam alm sangat luas. Bagaimana dioa mampu memenuhi keinginan yang tidak terbatas, seperti dia tidak ingin mati. Apakah tekhnologi yang super canggih mampu mengatasi keinginan tersebit?. Kalau ada tekhnologi yang mampu memenuhi keinginan tersebut, kemungkinan besar semua orang akan menganu materialisme. Ternyata pandangan materialisme tersebut tidak dapat di pertanggung jawabkan karena alur pikirannya tidak logis.
Kemajuan sains dan tekhnologi dalam satu abad terakhir ini memang terasa sangat pesat. Boleh di katakana bahwa 99% dari penduduk dunia sekarang telah menggunakan tekhnologi modern. Mingkin hanya sebagian suku-suku terasing saja yang tidak menggunakan tekhnologi modern.
Sains dan tekhnologi adalah daya akal manusia dan sekaligus kebutuhannya. Namun, kalau manusia tenggelam dalam struktur sains dan tekhnologi, berarti eksistensinya sebagai manusia bisa hilang. Jiwa manusia memiliki dua daya yaitu daya akal dan daya hati. Daya akal di gunakan untuk mencaoai ilmu pengetahuan dan menemukan hal-hal yang baru. Sifat akal progresif dan cinta pada ilmu. Daya berpikir adalah sifat yang paling penting bagi akal.
Pada dasarnya manusia ingin kebutuhan materinya cukup dan juga merasa sangat puas dan bahagia dengan kecukupan itu. Agama mengajarkan pemeluknya agar selalu bersyukur atas apa yang di terimanya sebab Tuhan itu maha pemurah dan bikjaksana. Kemurahan Tuhan itu dapat diamati dalam struktur kebutuhan manusia. Semakin sesuatu itu di butuhkan semakin semakin murah harga dan mudah diperoleh. Contohnya, udara lebih di butuhkan ketimbang air sebab seseorang mampu hidup beberapa hari tanpa minum, tetapi dia akan mati dalam hitungan menit kalau udara tidak ada. Seterusnya, air lebih di butuhkan ketimbang makanan karena seseorang mampu bertahan hidup tanpa makan sekian puluh hari dengan tetap minum air, demikian seterusnya.
Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani, secara otomatis kedua unsur itu memiliki kebutuhan-kebutuhan tersendiri. Kebutuhan jasmani di penuhi oleh sains dan tekhnologi, sedangkan kebutuhan rohani di penuhi oleh agama dan moralitas. Apabila dua macam itu terpenuhi , menurut agama, dia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Bahkan agama menekankan bahwa kebahagiaan rohani lebih penting dan bernilai dari pada kebahagiaan materi. Kebahagiaan materi menurut agama, bersifat sementara dan akan hancur, sedangkan kebahagiaan rohani bersifat abadi.
Adanya konsep keabadian jiwa dalam agama merupakan dorongan bagi pemeluknya agar selalu berpikir dan bertujuan jauh ke depan. Pandangan jauh ke depan ini memiliki aspek yang positif, antara lain kebahagiaan yang hakiki sulit di capai di dunia dan yang serba terbatas.karena itu, sesungguhnya kebahagiaan yang hakiki itu ada pada alam yang tidak terbatas, yaitu alam rohani dan surga.
Kebutuhan dalam meramal dan berpikiran jauh ke depan sudah merupakan naluri manusia. Seirng dengan kemajuan sains dan tekhnologi, di negara-negara Barat bermunculan para futurology yang terkenal, seperti Naisbitt dan Alvin Toffler. Mereka meramal masa depan manusia dengan berpijak pada kenyataan yang sekarang dan pengfalaman umat manusia yang telah lewat. Hasil dari ramalannya itu di bukukan dan menjadi buku yang paling laris di beli masyarakat.
Dengan demikian kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan tekhnologi, tetapi kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan akan masa depan, baik di sunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani ini pada agama. Agama Islam umpamanya memberikan petunjuk bahwa kebahagiaan rohani dan jasmani itu saling terkait. Doa yang selalu dianjurkan agar di baca oleh seorang muslim adalah permintaan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, kebahagiaan dunia menjadi prasayarat bagi kebahagiaan di akhirat.
BAB III
KESIMPULAN
Peranan agama dalam menghadapi tantangan sains dan teknologi adalah tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan sains dan tekhnologi dengan titik tekannya pada aspek moral dan penggunaannya serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Agama harus memberikan semangat spiritualitas yang bersifat global kepada umat manusia agar para pelaku dan pengguna teknologi mawas diri. Agama, sebagaimana dinyatakan oleh Naisbitt, akan bangkit pada abad ke-21. namun, kebangkitan agama tidak dalam bentuk formal, tetapi semacam kesadaran atau kebutuhan akan suatu spiritualitas. Dengan demikian, agama yang menghadirkan kebutuhan tersebut akan mendapat tempat di berbagai lapisan masyarakat.
Agama dan sains memiliki titik singgung, terutama dalam hal kepentingan dan kebutuhan dasar manusia. Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani manusia terbatas, alat indranya terbatas. Namun, dengan kekuatan daya akal, alat indra itu dapat di maksimalkan. Tangan yang pendek dapat di perpanjang dengan tekhnologi , sehingga ia dapat menjangkau batu di bulan. Begitu juga dengan mata yang terbatas melihat benda dalam ukuran tertentu saja, dengan tekhnologi mikroskop benda yang paling kecil dapat di lihat. Singkatnya, sains dan tekhnologi dapat saling membantu memudahkan pekerjaan fisik manusia. Dengan demikian secara otomatis, manusia yang menguasai sains dan tekhnologi jiwanya senang dan bahagia. Sebab, dia dapat menikmati hidup ini dengan penuh kemudahan.
Dengan demikian kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan tekhnologi, tetapi kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan akan masa depan, baik di sunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani ini pada agama. Agama Islam umpamanya memberikan petunjuk bahwa kebahagiaan rohani dan jasmani itu saling terkait. Doa yang selalu dianjurkan agar di baca oleh seorang muslim adalah permintaan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, kebahagiaan dunia menjadi prasayarat bagi kebahagiaan di akhirat.





Daftar Pustaka
 Alisyahbana Sultan Takdir, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992)
 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1981)
 Hakim Nasution Andi, Pengantar ke Filsafat Sains, (Bogor : Litera Antar Nusa, 1988)
Wilson, “Agama dalam Masyarakat Sekuler”, dalam, Agama dalam analisa Interpretasi Sosiologis, Roland Robertson (ed.), (Jakarta : Rajawali Pers, 1993)



[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1981), hlm. 26.
[2] S. Takdir Alisyahbana, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 10
[3] S. Takdir Alisyahbana, op. cit., hlm. 1
[4] B. R. Wilson, “Agama dalam Masyarakat Sekuler”, dalam, Agama dalam analisa Interpretasi Sosiologis, Roland Robertson (ed.), (Jakarta : Rajawali Pers, 1993), hlm. 196.
[5] Sutan Takdir Alisjahabana, Op.Cit, hlm.33.
[6] Ibid., hlm.125
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 129
[9] Ibid
[10] Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, (Bogor : Litera Antar Nusa, 1988), hlm.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar