Disusun Oleh :
1. Umi Soimah (2833123018)
2. Tri Abdul Rohman (2833123017)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring dengan
perkembangan zaman, kehidupan manusia juga mengalami
perkembangan dan mengalami perubahan positif dan perubahan
negatif. Teknologi yang muncul saat ini merupakan hasil perkembangan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah. Sedangkan teknologi
adalah pengetahuan dan keterampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan
dalam kehidupan manusia sehari-hari. Perkembangan iptek, adalah hasil dari
segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan
iptek.
Perkembangan
iptek saat ini meliputi berbagai bidang diantaranya meliputi bidang komunikasi,
kesehatan, transportasi dan bidang-bidang lainnya yang semakin
kompleks. Islam sebagai agama yang tawazun, tidak melarang manusia
memanfatkan berbagai macam teknologi saat ini. Oleh karena itu, manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah S.W.T. yang paling sempurna sekaligus sebagai khalifah di
bumi, manusia perlu mengungkap seluruh nikmat Allah yang masih tersembunyi
dengan Ilmu pengetahuan sebagai wujud syukur manusia terhadap nikmat yang
diberikan oleh Allah S.W.T. Ilmu pengetahuan tersebut dikembangkan menjadi
teknologi yang mampu mempermudah manusia untuk hidup di dunia.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Agama ?
2.
Pengertian Pendidikan ?
3.
Hubungan Antara Agama dan Pendidikan ?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Pengertian Agama.
2.
Mengetahui Pengertian Pendidikan.
3.
Mengetahui Hubungan Antara Agama dan Pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama
Agama
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan
kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan
ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakankonsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali" atau dapat berarti
obligation atau kewajiban. Maksudnya dengan bereligi, seseorang mengikat
dirinya dan melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Menurut James Martineau
dalam Encyclopedia of Philosophy, agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang
selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Illahi yang mengatur alam semesta
dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.
Agama
bagi seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna dan
tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu (Edward Caird).
Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai
keimanan dan peribadatan. Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai
pengalaman dunia dalam individu yang mensugestif esensi pengalaman semacam
kesufian karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural,
supersensible atau kekuatan di atas manusia. Hal ini lebih bersifat
personal/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang. Yang kedua adalah
adanya keimanan yang sebenarnya instrinsik ada pada pengalaman dunia dalam
seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu
peribadatan.
Manusia memiliki kemampuan yang terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu :
Manusia memiliki kemampuan yang terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu :
1.
menerima segala kepastian yang menimpa diri dan
sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
2.
Mentaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang
diyakini berasal dari Tuhan
Dengan
demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia
kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia,
penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga
unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Setiap agama memiliki sistem nilai dan norma yang berbeda sehingga tidak bisa dikatakan semua agama adalah sama. Faham yang dikenal dengan pluralisme ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Contohnya, Islam memadang pluralisme sebagai sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah merupakan hal yang mutlak untuk dijalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (plurasime), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indoneisa (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Sedangkan Kristen memandang bahwa pluralisme agama menolong mereka untuk rendah diri menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya mereka harus menjadi sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara mereka yang berkepercayaan lain. bukan berarti percampuran atau sikretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan dan bukan untuk dipertandingkan. Agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya melainkan satu dari antara beberapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya.
Setiap agama memiliki sistem nilai dan norma yang berbeda sehingga tidak bisa dikatakan semua agama adalah sama. Faham yang dikenal dengan pluralisme ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Contohnya, Islam memadang pluralisme sebagai sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah merupakan hal yang mutlak untuk dijalankan. Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (plurasime), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indoneisa (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Sedangkan Kristen memandang bahwa pluralisme agama menolong mereka untuk rendah diri menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya mereka harus menjadi sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara mereka yang berkepercayaan lain. bukan berarti percampuran atau sikretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan dan bukan untuk dipertandingkan. Agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya melainkan satu dari antara beberapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya.
B.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
cara, perbuatan mendidik.
Menurut Hamka pendidikan adalah proses ta’lim dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan terutama pendidikan Islam baik secara vertikal maupun horizontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik baik jasmaniah maupun rohaniah.
Menurut Hamka pendidikan adalah proses ta’lim dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan terutama pendidikan Islam baik secara vertikal maupun horizontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik baik jasmaniah maupun rohaniah.
Menurut
Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah proses pembudayaan yakni suatu usaha
memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak
hanya bersifat pemeliharan tetapi juga dengan maksud memajukan serta
memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Pendidikan
menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
C. Pengertian Sains dan Teknologi (IPTEK)
Secara
etimologi Sains berasal dari bahasa Latin, yaitu scientia yang
berarti pengetahuan. Definisi sains adalah ilmu pengetahuan yang dibentuk
secara kreatif dan sistematis melalui proses observasi yang berlangsung secara
terus menerus dan menghasilkan kebenaran objektif, sudah diuji kebenarannya,
dan dapat diuji ulang secarah ilmiah. Oleh karena itu, Kata ilmu dengan segala
akar kata dan bentuknya mempunyai ciri kejelasan. Setiap disiplin ilmu
membatasi diri pada salah satu objek kajian. Sains juga merupakan kumpulan dari
konsep, prinsip, hukum, dan teori yang berhubungan erat dengan alam semesta.
Teknologi
merupakan salah satu budaya dari hasil penerapan praktis ilmu pengetahuan.
Teknologi di satu aspek dapat membawa dampak positif berupa kemajuan
dan kesejahteraan bagi manusia. Namun di sisi lain teknologi juga membawa
dampak negatif berupa ketimpangan dalam kehidupan. Oleh karena itu teknologi
dapat dianggap bersifat netral. Hal itu berarti teknologi dapat membantu
manusia namun dapat juga menghancurkan manusia.[1]
D. Hubungan Antara Agama dan Pendidikan
Agama
mengatur seluruh aspek kehidupan pemeluknya sebagai individu, anggota
masyarakat serta lingkungannya. Agama merupakan penghambaan manusia terhadap
Tuhannya. Agama bersifat dogmatis, otoriter serta imperatif sehingga setiap
pemeluknya harus mentaati aturan, nilai serta norma yang ada di dalammnya.
Aturan-aturan tersebut bersifat mengikat dan berfungsi sebagai pedoman bagi
pemeluknya untuk mencapai kebahagian yang diidamkannya. Bila aturan tersebut
dilanggar maka dampaknya bukan hanya pada individual saja tetapi juga
lingkungan sekitar.
Agama
dalam konsep-konsep di atas bersifat universal dan sederhana. Konsep-konsep
tersebut diharapkan dapat dikenakan kepada semua agama yang dikenal selama ini.
Bila konsep-konsep tersebut dipaksakan sama untuk semua agama, maka konsekuensi
yang diterima adalah adanya pluralisme agama. Padahal tidak semua agama
menyepakati adanya pluralisme.
Bila
berbicara tentang agama maka tidak akan pernah lepas dari pendidikan. Agama
selalu bersifat pendidikan karena di dalamnya ada transfer ilmu dan pengetahuan
yang bersifat dogmatis. Lain halnya bila berbicara tentang pendidikan maka
tidak selalu berkaitan dengan agama. Namun dalam proses pendidikan maka
pendidikan harus sejalan dengan agama dan saling melengkapi sehingga output
yang dihasilkan oleh pendidikan bersifat syamil/menyeluruh/paripurna. Hal ini
sesuai dengan Visi Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2025 yaitu menghasilkan
insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif. Yang dimaksud dengan insan Indonesia
Cerdas adalah cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional,
cerdas sosial, cerdas intelektual dan cerdas kinestetis.
Pembentukan
manusia yang Cerdas dan Kompetitif tidak semata dilakukan hanya dengan transfer
ilmu dan pengetahuan saja tetapi juga penanaman nilai-nilai moral yang sesuai
dengan nilai dan norma yang terdapat di dalam agama. Hal ini dilakukan agar
output pendidikan yang dihasilkan tidak hanya cerdas secara ilmu dan
pengetahuan tetapi juga memiliki akhlak dan moral yang baik. Akhlak dan moral
inilah yang menjadi penyeimbang dan penggerak output pendidikan sehingga tidak
lepas control dan tidak menjadi sombong dengan hasil yang dicapainya. “Science
without religion is blind, and religion without science is lame”. (Albert
Einstein)
E. Paradigma Hubungan Antara Agama dan IPTEK
Bagaimana hubungan agama dan
iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari
hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal,
1990: 99-119):
1.
Paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah
terpisah satu sama lain. Sebab,
dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl
al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi
perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan
umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara
ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis
(berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan
dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan
pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran
Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula
ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata
banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu
pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti
halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan
penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Dalam
Bible dikatakan:
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat
berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi,
supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.”
(Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten dengan teks
Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible
(Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com) Ini
tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen
dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling
intervensi.
2.
Paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan
eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan
kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan
secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan
paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama
berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma
sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist)
dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan
pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen)
sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan
lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl
Marx mengatakan:
“Religion
is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just
as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”
(Agama
adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa,
sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama
adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of
Hegel’s Philosophy of Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly,
2000: 165-166).
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak
ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan
dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya
Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis
adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi
terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih
perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
3.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang
memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi
basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa
yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan
pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan
pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam
ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang
sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala
sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
Inilah paradigma Islam yang
menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim.Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh
tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari
paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam
antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w.
721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli
matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan
matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia,
Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak
lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992;
Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003;
Gunadi dan Shoelhi, 2003).[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar