Jumat, 28 Maret 2014

Makalah Pemikiran Mulla Shadra

Disusun Oleh :
1.      Linda Trisulawati       (2833123007)
2.      Tri Abdul Rohman     (2833123017)

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, orang sering beranggapan bahwa penyerbuan Mongol terhadap dunia islam yang telah menghancurkan khilafah Timur dan terusirnya orang Islam dari Spanyol telah menghilangkan khilafah Barat. Bersamaan dengan itu, umat Islam  pun tenggelam dalam tidur panjang. Dalam arti perkembangan pemikiran dari dunia Islam seakan-akan terhenti.
Meskipun sempat terlambat  dikenal dan dipahami, sehingga timbul keyakinan bahwa filsafat Islam telah mati setelah Ibn Rusyd, saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya tidak hanya sebagai bukti masih-hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa-lebih dari Paripateisme dan Israqiyah-filsafat Hikmah layak dsebut filsafat Islam yang sesungguhnya.
B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimana biografi Mulla Sadra ?
2.        Apasajakah karya-karya mullasadra ?
3.        Bagaimana pemikiran mulla Sadra ?
C.    Tujuan Masalah
1.        Untukk mengetahui biografi Mulla Sadra.
2.        Untuk mengetahui karya-karya Mulla Sadra.
3.        Untuk mengertahui pemikiran-pemikiran Mulla Sadra.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biogarfi Mulla Sadra
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering dipanggil dengan julukan Shadruddin Asy-Syirazi atau Mulla Shadra atau Shadra. Di kalangan muridnya, dia lebih dikenal sebagai Shadr Al-Muta’allihin. Ia dinamakan dengan julukan itu karena ketinggian pengetahuannya tentang Hikmah[1]. Ia dilahirkan di Syiraz yaitu sebuah kota yang paling terkenal di Iran, dikawasan sekitar Persepolis tahun 979/980 H atau 1571/1572 M). Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya, ayahnya adalah seorang bangsawan terhormat di kota tersebut.
Tidak lama di Syiraz, ia pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereksi (wafat 1640). Tetapi akhirnya ia kembali ke Syiraz sebagai guru pada sebuah Sekolah Agama (Madrasah) yang didirikan oleh Gubernur Propinsi Fars. Ia telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan iapun wafat di Basharah pada tengah perjalanannya sepulang naik haji yang ketujuh kalinya pada tahun 1641 M.[2]
Tradisi-tradisi intelektual, filosofis dan mistis Islam yang berkembang sebelumnya dan terus berlanjut dengan munculnya generasi-generasi baru yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya, telah memberikan jalan bagi perkembangan intelektual dan pemikiran Shadra. Di samping juga karena budaya tulis baca yang memungkinkan pemikiran-pemikiran tersebut dikodifikasikan sehingga memungkinkan bagi generasi setelahnya untuk mengakses, mengembangkan dan bahkan melakukan kritik terhadapnya. Kehidupan dan kontinuitas tradisi intelektual tersebut yang memberikan ruang bagisosok seperti Shadra untuk tidak tertinggal dalam mengakses karya-karya dan pemikiran-pemikiran, mengembangkan dan melakukan perbandingan dan sintesa terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Mazhab-mazhab pemikiran besar dalam Islam seperti masysya’i (paripatetik), isyraqi (iluminasi) dan mazhab wihdah al-wujud diambil dan dikembangkan menjadi satu bentuk formulasi intelektual baru dengan karakteristik yang juga baru dan unik. Dari karya-karya beliau dapat dilihat bahwa beliau berhasil mengakomudasi pemikiran-pemikiran sejak Yunani hingga pemikiran-pemikiran yang dikembangkan pada masanya.
Setting sosial dimana beliau hidup turut mendukung perkembangan intelektual beliau. Dengan posisi dan status terhormat keluarga beliau jelas memberikan ruang bagi beliau untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan belajar yang memadai. Kota Syiraz, kota dimana beliau tumbuh dan berkembangsejak abad ke-8 H/12 M, menjadi pusat kegiatan filsafat dan intelektual, misalnya saja Jalal Ad-Din Ad-Dawwani (835-908/1431-1502) menyusun beberapa karya filosofis yang bercorak paripatetik dan iluminatif dan juga tentang logika dan Ilmu Kalam.
B.     Karya-karya Mulla Sadra
Karya-karya Mulla Sadra sekitar 40-an, yang terdiri dari risalah- risalah maupun dalam bentu buku. Ringkasan karya Mulla Sadra antara lain sebagai berikut[3] :
1.      Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah
Kitab ini merupakan karya monumental karena menjadi dasar bagi karya pendeknya, juga menjadi risalah pemikiran pasca Avicennian pada umumnya. Kitab ini juga menjelaskan pengembaraan intelektual dan spritual manusia ke hadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini juga memuat hampir semua persoalan yang berkaitan dengan wacana pemikiran dalam Islam; ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Penyajian menggunakan pendekatan morfologis, metafisis, dan historis. Hingga saat ini, kitab Asfar digunakan sebagai teks-teks tertinggi dalam memahami hikmah.
2.      Al-Hasyr (tentang kebangkitan).
Kitab ini terdiri atas delapan Bab yang menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan, benda materi, manusia, dan tumbuhan aka kembali kepada-Nya.
3.      Al Hikmah Al ’Arsyiyah (hikmah yang diturunkan dari ’Arsy Ilahi).
Kitab ini menjelaskan Tuhan dan kebangkitan (resurrection) dan kehidupan manusia setelah mati.
4.      Huduts Al-’Alam (penciptaan alam).
Kitab ini membicarakan asal-muasal penciptaan alam dan kejadiaanya dalam waktu berlandaskan atas al-Harakah al-Jauhariyyah dan penolakan atas pemikiran Mir Damad.
5.      Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi Dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala jahiliyah dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi ahli sufi).
Mutashawifin dalam Kitab ini adalah mereka yang berpura-pura menjadi sufi dan meningkatkan syari’at.
6.      Kalq Al-A’mal
Kitab ini membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia, kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia.
7.      Al-Lama’ah Al-Masyiriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyah (percikan cahaya Illuminasionis dalam seni logika).
Kitab ini terdiri atas sembilan Bab, dan merupakan modifikasi dari Hikmat Al-Isyraq-nya Suhrawardi.
8.      Al-Mabda’wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).
Kitab ini berisikan tentang metafisika, kosmologi, dan eskaologi
9.      Mafatih Al-Ghaib (kunci alam ghaib)
Kitab ini tersusun setelah Mulla Shadra berhasil mencapai puncak kematangan ilmu, berisikan doktrin tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi yang berlandaskan atas dalil-dalil naqli.
10.  Kitab Al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika).
Kitab ini menjelaskan teori ontologi yang sangat ringkas
11.  Al-Mizaj (tentang perilaku persaan)
Kitab ini membicarakan perilaku akibat dari bawaan, perangai, dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.
12.  Mutasyabihat Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an)
Kitab membicarakan ayat-ayat Qur’an yang sukar dipahami dan metaforis dari sudut gnosis.
13.   Al-Qadha wa Al-Qadar fi Af’ali Al-Basyar (tentang masalah Qadha dan Qadar dalam perbuatan manusia).
Kitab ini membahas tentang ketetapan, kebebasan, dan bagaimana pemberian iIlahi dapat dilihat dari kacamata manusia.
14.       Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan rohani)
C.    Pemikiran-Pemikiran Mulla Sadra.
1.    Theosophy Transenden” (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah)
Sintesis pemikiran yang dilakukan oleh Shadra yang didasarkan atas tiga cara mengetahui sebagaimana telah disebutkan di atas yang kemudian membawanya kepada satu”pandangan dunia” dan menciptakan satu sudut pandangan intelektual baru yang dikenal dengan istilah Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental). Sekalipun istilah ini sebenarnya sudah ada dan disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelum Shadra, akan tetapi ia dianggap sebagai tokoh yang merumuskan secara sistematis dan menjadikannya sebagai mazhab teosofi. Ia sangat setia menggunakan istilah tersebut sehingga buku yang membahas secara sistematis dasar-dasar filsafat mistisnya diberikan judul “Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arba’ah”.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya secara epistemologis Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan atas tiga prinsip, yaitu: Intuisi Intelektual (dzauq atau isyraq), Pembuktian Rasional (‘aql dan istidlal), dan Syariat. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah tidak mengabaikan salah satu dari dua bentuk pengetahuan yaitu rasional dan intuitif dan bahkan menggabungkan kedua-duanya dan ditambah dengan sumber yang ketiga yaitu wahyu. Dengan demikian filsafat Mulla Shadra berupaya memperoleh kebijaksanaan melalui pencerahan rohani dan disajikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Atau sebaliknya pengetahuan-pengetahuan rasional ditransendensikan agar bisa mencapai pencerahan spiritual. Adapun dasar ontologis dari Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan pada beberapa hal, yaitu: Pengistimewaan Wujud (ashâlah al-wujud), Kesatuan Wujud (wihdah al-wujud), Hirarki atau Gradasi Wujud (tasykik al-wujud). Masing-masing dari tiga pondasi ini akan dijelaskan satu persatu.
2.      Filsafat Wujud
Untuk memahami “teosofi transenden” Mulla Shadra, harus dipahami bahwa yang menjadi landasannya dan juga keseluruhan bangunan metafisikanya adalah pengetahuan tentang wujud. Oleh sebab itulah filsafatnya secara umum bisa dikategorikan sebagai filsafat wujudiyah karena dasar-dasar pengetahuan intelektual dan mistisnya menjadikan kajian mengenai wujud sebagai titik tolaknya. Untuk lebih memahami bagaimana pemikiran Mulla Shadra kita akan membahas mengenai masalah ini dan akan memulai dari pembahasan pertama yaitu perbedaan antara “konsep wujud” (mafhum al-wujud) dengan “realitas wujud” (haqîqah al-wujud) dan kemudian mengupas konsepnya mengenai fundamentaslis wujud (ashâlah al-wujud) terkait dengan perdebatan mengenai status “wujud” dan “mahiyah”. Dan setelah itu juga akan dibahas mengenai pandangannya mengenai kesatuan wujud dan hirarki atau gradasi wujud sebagai konsep lain yang melengkapi filsafat wujudnya.
3.      Perbedaaan Antara Wujud sebagai Konsep (mafhûm al-wujûd) dengan Wujud Sebagai Realitas (haqîqah al- wujûd).
Sebelum lebih jauh melihat bagaimana Shadra membedakan antara wujud sebagai konsep dan wujud sebagai realitas, perlu didiskusokan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah wujud itu sendiri. Istilah ini adalah murni dari bahasa Arab yang sering diterjemahkan dengan eksistensi dalam terminologi filsafat secara umum. Dalam bahasa Arab, akar kata wujud ini terambil dari kata w-j-d yang makna dasarnya adalah “menemukan” atau “mengetahui sesuatu”. Dalam diskusus filsafat, istilah ini telah menjadi terminologi khusus yang dipengaruhi oleh konsep filsafat Yunani. Untuk memahami istilah ini ada baiknya kita merujuk kepada terminologi lain yang sering diperbincangkan oleh para filsuf yaitu istilah mahiyah (kuiditas).
Sedangkan mahiyah atau kuiditas adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan apa? Seperti pertanyaan apakah manusia? Mahiyah atau kuiditas ini adalah sesuatu yang bersifat “ideal” pada diri sesuatu seperti manusia yang mahiyah atau kuiditasnya adalah “hewan yang berfikir” akan tetapi tanpa melihat keberadaannya secara eksternal. Adapun jika sesuatu yang ideal ini dilihat sebagai jika melihat aktualisasinya secara eksternal, maka ia dinamakan dengan realitas (haqiqat) dan jika melihatnya sebagai sesuatu yang membedakannya dengan yang lain maka ia dinamakan dengan identitas (huwayyah), dan jika melihatnya sesuatu yang diturunkan dari lafaz, maka ia dinamakan dengan makna (madlul) dan jika melihat sebagai tempat segala bentuk perubahan dan bentuk, maka dinamakan dengan istilah substansi (jauhar).
Jadi secara sederhana bisa dikatakan bahwa mahiyah adalah kategori-kategori yang bersifat partikar dengan berbagai tingkatan-tingkatannya, baik yang ideal ataupu yang riil, sedangkan wujud adalah kategori paling umum dari semua itu dan melampaui kategori-kategori yang pertikular. Ada dua cara untuk menggambarkan istilah wujud sebagai kategori yang paling umum dan universal dengan mahiyah sebagai kategori-kategori yang partikular. Yang pertama adalah kenyataan bahwa Huzain secara identitas (huwayyah) dan realitas (haqiqah) berbeda dengan Syamsul, akan tetapi esensinya adalah sama yaitu sebagai “manusia”. Demikian juga manusia bisa dibedakan dengan binatang lain yang tidak berpikir sehingga ada esensi binatang, dan juga esensi manusia. Akan tetapi hal yang menyamakan Huzain dan Syamsul atau manusia dengan binatang dan juga yang lainnya adalah keberadaannya sebagai yang ada (wujud atau eksistensi).
Cara kedua untuk memahami wujud ini sebagai kategori yang paling umum adalah dengan membedakan antara Huzain sebagaimana alam realitasnya dengan Huzain sebagai yang ideal. Huzain yang nyata dan duduk manusia dihadapan kita adalah Huzain yang riil (nyata), sedangkan Huzain yang ada di pikiran ceweknya yang ada di Sulawesi adalah Huzain yang ideal. Kedua-duanya berbeda, karena yang satu adalah Huzain yang riil dan yang lainnya Huzain yang ideal. Akan tetapi yang menyamakan adalah keberadaan kedua-duanya sebagai “yang ada” atau keberadaannya sebagai wujud atau eksistensi. Ilustrasi lain adalah ketika Huzain sedang berkaca di cermin dan melihat bayangannya yang berewok di dalam cermin. Pada saat itu ada dua Huzain yaitu Huzain yang riil yang ada di depan cermin dan Huzain yang tidak nyata yaitu yang ada di dalam cermin. Kedua-duanya berbeda akan tetapi sama-sama ada (wujud).
Dengan keberadaannya sebagai kategori yang paling umum dan universal, wujud pada hakekatnya adalah satu yaitu wujud segala sesuatu. Wujud ini bersifat universal dan tidak terbatas dan dalam dirinya ada hirarki dan gradasi dari tingkatan yang paling rendah sampai yang paling tinggi, sebagaimana akan dijelaskan pada point ketiga dan keempat.
Namun demikian Shadra membedakan wujud sebagaimana dalam konsep (mafhûm al-wujûd) yang merupakan hasil abtraskis rasional denga wujud sebagai realitas yang hakiki. Bagi Shadra wujud dalam pengertian konseptual seperti di atas tidak sulit dan bisa dilakukan oleh siapapun. Berbeda dengan wujud hakiki (haqîqah al- wujûd) karena itu hanya bisa dicapai oleh pengalaman tingkat tinggi. Wujud yang hakiki bukanlah yang dihasilkan melalui penalaran rasional semata. Wujud sebagai realitas yang hakiki adalah sesuatu yang dialami secara langsung melalui jalan spiritual yang melampaui kategori-kategori rasional. Yang pertama mensyaratkan adanya keaktifan akal untuk bisa menginternalisasikan objek yang ada di luar, sedangkan yang kedua mensyaratkan adanya kesiapan mental dan penyucian jiwa agar intelek yang ada pada diri manusia tidak terhambat dengan tabir nafsu dan bisa mempersepsi secara langsung melalui musyâdah dan mukâsyafah. Inilah yang tergambar dalam prinsip “kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui” (ittihad al-aqil wa al-ma’qul).
4.      Ashalah al-Wujud (Pengistimewaan Wujud)
Untuk memahami ashâlah al-wujud ini, kita perlu melihat kembali kepada polemik filosofis yang berkembang dalam tradisi-tradisi filsafat sejak Yunani dan juga pada filsafat Islam secara khusus. Dalam filsafat Islam ada perbedaan antara wujud (eksistensi) dengan mahiyah (kuiditas). Segala sesuatu selalu tersusun dari dua komponen ini yaitu wujud dan mahiyah. Wujud sebagaimana telah disinggung adalah kategori paling umum dan universal yaitu keberadaan sesuatu sebagai yang ada, sedangkan mahiyah adalah bentuk yang membuat segala sesuatu berbeda dengan sesuatu yang lain. Perdebatan klasik di kalangan para filsuf muslim seputar pertanyaan: Manakah diantara dua hal ini yang pokok dan fundamental secara ontologis, wujud atau mahiyah.
Pemikiran Islam terpecah menjadi dua kelompok yaitu mereka yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang pokok (ashalah al-mahiyah), sedangkan wujud adalah skunder dan merupakan hasil abstraksi pikiran atau konsep. Dan kelompok yang lain mengatakan bahwa wujudlah yang fundamental secara ontologi (ashalah al-wujud), sedangkan mahiyat adalah skunder dan merupakan hasil konseptualiasi atau abstraksi pikiran semata.
Kelompok pertama yaitu mereka yang mengutamakan mahiyah (ashalah al-mahiyah) antara lain adalah guru dari Shadra sendiri yaitu Mir Daman dan juga Syuhrawardi, sedangkan pandangan yang kedua yaitu “ashalah al-wujud” diwakili oleh Ibnu Sina dan para filsuf paripatetik lainnya. Adapun Shadra pada awal perjalanan intelektualnya mengikuti pandangan yang pertama[4] dan pada akhir perjalanannya setelah mencapai pencerahan spiritual ia cenderung kepada pandangan menganai ashalah al-wujud. Sekalipun demikian ia berbeda dengan pendukung guru filsafat paripatetik, Ibnu Sina, karena pada Shadra masalah ini telah diramu dengan nuansa irfan atau mistis dan dilengkapi dengan pengakuan mengenai wihdah al-wujud yang jelas-jelas mempunyai implikasi dan sangat jauh, sedangkan Ibnu Sina sama sekali tidak menerima pandangan mengenai wihdah al-wujud.
5.      Kesatuan Wujud (Wahdah Al-Wujud)
Dalam sejarah Islam, aliran wihdah al-wujud ini sering diidentikkan kepada Muhyiddin Ibn ‘Arabi, filsuf-sufi dari Andalusia. Beliau dianggap sebagai orang pertama yang secara lengkap dan sistematis membicarakan mengenai masalah wihdah al-wujud ini, meskipun jejak-jejak pandangan ini sebenarnya sudah ada sebelum beliau. Mulla Shadra mengambil pandangan ini dan bahkan sangat mungkin ia menemukan visi spiritual mengenai wihdah wujud ini dari Ibnu Arabi, karena dalam karya-karyanya ia banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu ‘Arabi. Mulla Shadra mengambilnya dan menjadikannya sebagai dasar metafisik bagi filsafat atau hikmahnya secara keseluruhan dan menambahkannya kepada prinsip lain yang menjadi basis pemikirannya yaitu gradasi wujud (tasykik al-wujud).
Shadra melihat kesatuan wujud dalam pluralitas atau keragamannya. Hakikat dari wujud yang paling dalam adalah adanya satu kesatuan, sedangkan fenomena-fenomena yang nampak sebagai keragaman adalah penampakkan luar dan sesuai dengan cara manusia memandangnya. Akan tetapi dari kontemplasi filosofis dan mistik akan didapatkan kenyataan terdalam bahwa pada dasarnya wujud ini adalah satu yaitu Wujud Yang Universal dan Mutlak. Mulla Shadra dalam menjelaskan ini menggunakan ilustrasi dengan matahari dan cahaya-cahayanya, dimana cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari akan tetapi pada saat yang sama mereka tidak lain dari matahari[5].
6.       Gradasi Wujud (Tasykîk Al-Wujûd)
Pengakuan terhadap kesatuan wujud dalam pandangan Shadra harus dipahami dalam satu gradasi atau hirarki. Ini karena dalam “kesatuan” tersebut terdapat “pluralitas (katsrah)” atau “sebaliknya” dalam keragaman terdapat “kesatuan”. Pengakuan terhadap adanya kesatuan pada dasarnya mengandalkan adanya bagian-bagian atau unsur-unsur yang ada di dalamnya saling menyatu sehingga dan terciptalah apa yang disebut sebagai “kesatuan” (wihdah). Kesatuan tidak bisa dibayangkan akan bisa terjadi jika hanya ada satu unsur secara mutlak karena pada saat itu tidak ada yang menyatu. Sebagai konsekwensi dari adanya pendangan mengenai wihdah al-wujud adalah pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud. Kesatuan dan pluralitas adalah dua yang berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan. Ketika menekan pada kesatuan sedangkan tidak mengakui pluralitas, maka itu adalah omong kosong, demikian juga mengakui pluralitas dan tidak mengakui adanya kesatuan adakah pandangan yang persial dan sempit.
Prinsip kesatuan wujud menyiratkan pengertian bahwa di dalam wujud yang mempunyai kesatuan tersebut pada dasarnya ada hirarki dan tingkatan-tingkatan yang kemudian membentuk wujud secara keseluruhan. Hirarki atau gradasi ini menurut Shadra mulai dari tingkatan atau hirarki yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dan masing-masing tingkatan yang lebih tinggi mencakup tingkatan yang lebih rendah darinya demikian seterusnya sehingga sampai kepada prinsip kesatuan secara mutlak.
Kecenderungan intelektual dan mistis Mulla Shadra dikenal dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental) sekalipun pada dasarnya Mulla Shadra sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa alirannya ia namakan dengan istilah tersebut. Akan tetapi karena kecenderungan intelektualnya secara sistematis mempunyai dasar ontologis atau metafisik dan juga dasar epistemologis yang sistematis, maka pengidentikkannya sebagai satu mazhab intelektual mempunyai dasar yang kuat.
Dasar metafisis dari keseluruhan kajian Shadra adalah pemahaman mengenai masalah wujud yang didasarkan pada tiga pandangan yaitu: Kesatuan Eksistensi (Wihdah Al-Wujud) yang diadopsi dari mazhab Ibnu Arabi, keaslian atau pengutamaan wujud dari kuiditas secara Ontologis (Ashalah Al-Wujud), dan yang ketiga adalah Gradasi atau Hirarki Wujud (Tasykik Al-Wujud). Tiga hal inilah yang menjadi dasar keseluruhan bangunan intelektual dan mistis Ibnu Arabi baik dalam masalah teologis, psikologi dan yang lainnya.
Doktrin Ashalah Al-Wujud pandangan yang mengatakan bahwa yang fundamental secara ontologis adalah wujud dan bukan mahiyah. Wujudlah yang sebenarnya riil atau nyata, sedangkan kuiditas atau mahiyah adalah hasil dari abstraksi pikiran. Dengan pengakuan terhadap fundamentalitas wujud, maka akan terbuka peluang untuk memahami wujud sebagai sesuatu yang ada secara hakiki. Akan tetapi wujud menurud Mulla Shadra harus dilihat sebagai satu kesatuan yang di dalamnya terdapat gradasi atau hirarki. Ini mengandaikan adanya pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud yang diikat oleh satu kesatuan. Keragamannya adalah karena adanya hirarki, akan tetapi hirarki dan keragaman tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yaitu sebagai Wujud Yang Universal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan  suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang sesungguhnya. 
Daftar Pustaka
Nur, Syaifun, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, (Jakarta: Teraju, 2003)
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Dedi, Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Nashr, Seyyed Hosen, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam jilid II, Bandung: Mizan, 2004

 




[1]Syaifun Nur, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 3
[2]A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 336
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 272
[4]Seyyed Hosen Nashr, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam jilid II, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 89

[5]Ibid,. hal. 916

Tidak ada komentar:

Posting Komentar