Disusun Oleh :
1. Linda Trisulawati (2833123007)
2. Tri Abdul Rohman (2833123017)
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya
oleh para ahli. Akan tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat
yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai
sekarang. Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, orang sering beranggapan
bahwa penyerbuan Mongol terhadap dunia islam yang telah menghancurkan khilafah
Timur dan terusirnya orang Islam dari Spanyol telah menghilangkan khilafah Barat.
Bersamaan dengan itu, umat Islam pun tenggelam dalam tidur panjang. Dalam
arti perkembangan pemikiran dari dunia Islam seakan-akan terhenti.
Meskipun
sempat terlambat dikenal dan dipahami, sehingga timbul keyakinan bahwa
filsafat Islam telah mati setelah Ibn Rusyd, saat ini telah diterima secara
luas bahwa Hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren meskipun
menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik
pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya,
telah menjadikan filsafatnya tidak hanya sebagai bukti masih-hidup dan
dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa-lebih
dari Paripateisme dan Israqiyah-filsafat Hikmah layak dsebut filsafat Islam
yang sesungguhnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi Mulla Sadra ?
2.
Apasajakah
karya-karya mullasadra ?
3.
Bagaimana
pemikiran mulla Sadra ?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untukk
mengetahui biografi Mulla Sadra.
2.
Untuk mengetahui
karya-karya Mulla Sadra.
3.
Untuk
mengertahui pemikiran-pemikiran Mulla Sadra.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biogarfi
Mulla Sadra
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering dipanggil dengan julukan Shadruddin
Asy-Syirazi atau Mulla Shadra atau Shadra. Di kalangan muridnya, dia lebih
dikenal sebagai Shadr Al-Muta’allihin. Ia dinamakan dengan julukan itu karena
ketinggian pengetahuannya tentang Hikmah[1].
Ia dilahirkan di Syiraz yaitu sebuah kota yang paling terkenal di Iran,
dikawasan sekitar Persepolis tahun 979/980 H atau 1571/1572 M). Ayahnya bernama
Ibrahim bin Yahya, ayahnya adalah seorang bangsawan terhormat di kota tersebut.
Tidak lama di Syiraz, ia pindah ke
Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang penting pada masa itu, dan
melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereksi (wafat 1640). Tetapi
akhirnya ia kembali ke Syiraz sebagai guru pada sebuah Sekolah Agama (Madrasah)
yang didirikan oleh Gubernur Propinsi Fars. Ia telah berziarah tujuh kali ke
Mekkah dengan berjalan kaki dan iapun wafat di Basharah pada tengah
perjalanannya sepulang naik haji yang ketujuh kalinya pada tahun 1641 M.[2]
Tradisi-tradisi intelektual, filosofis
dan mistis Islam yang berkembang sebelumnya dan terus berlanjut dengan
munculnya generasi-generasi baru yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran
tokoh-tokoh sebelumnya, telah memberikan jalan bagi perkembangan intelektual
dan pemikiran Shadra. Di samping juga karena budaya tulis baca yang
memungkinkan pemikiran-pemikiran tersebut dikodifikasikan sehingga memungkinkan
bagi generasi setelahnya untuk mengakses, mengembangkan dan bahkan melakukan
kritik terhadapnya. Kehidupan dan kontinuitas tradisi intelektual tersebut yang
memberikan ruang bagisosok seperti Shadra untuk tidak tertinggal dalam
mengakses karya-karya dan pemikiran-pemikiran, mengembangkan dan melakukan perbandingan
dan sintesa terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Mazhab-mazhab pemikiran
besar dalam Islam seperti masysya’i (paripatetik), isyraqi (iluminasi) dan
mazhab wihdah al-wujud diambil dan dikembangkan menjadi satu bentuk formulasi
intelektual baru dengan karakteristik yang juga baru dan unik. Dari karya-karya
beliau dapat dilihat bahwa beliau berhasil mengakomudasi pemikiran-pemikiran
sejak Yunani hingga pemikiran-pemikiran yang dikembangkan pada masanya.
Setting sosial dimana beliau hidup turut
mendukung perkembangan intelektual beliau. Dengan posisi dan status terhormat
keluarga beliau jelas memberikan ruang bagi beliau untuk mendapatkan pendidikan
dan kesempatan belajar yang memadai. Kota Syiraz, kota dimana beliau tumbuh dan
berkembangsejak abad ke-8 H/12 M, menjadi pusat kegiatan filsafat dan
intelektual, misalnya saja Jalal Ad-Din Ad-Dawwani (835-908/1431-1502) menyusun
beberapa karya filosofis yang bercorak paripatetik dan iluminatif dan juga
tentang logika dan Ilmu Kalam.
B.
Karya-karya
Mulla Sadra
Karya-karya Mulla Sadra sekitar 40-an,
yang terdiri dari risalah- risalah maupun dalam bentu buku. Ringkasan karya
Mulla Sadra antara lain sebagai berikut[3]
:
1. Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah
Kitab ini merupakan karya monumental karena
menjadi dasar bagi karya pendeknya, juga menjadi risalah pemikiran pasca
Avicennian pada umumnya. Kitab ini juga menjelaskan pengembaraan intelektual
dan spritual manusia ke hadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini juga memuat hampir
semua persoalan yang berkaitan dengan wacana pemikiran dalam Islam; ilmu kalam,
tasawuf, dan filsafat. Penyajian menggunakan pendekatan morfologis, metafisis,
dan historis. Hingga saat ini, kitab Asfar digunakan sebagai teks-teks
tertinggi dalam memahami hikmah.
2. Al-Hasyr
(tentang kebangkitan).
Kitab ini terdiri atas delapan Bab yang
menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan, benda materi, manusia,
dan tumbuhan aka kembali kepada-Nya.
3. Al
Hikmah Al ’Arsyiyah (hikmah yang diturunkan dari ’Arsy Ilahi).
Kitab ini menjelaskan Tuhan dan
kebangkitan (resurrection) dan kehidupan manusia setelah mati.
4. Huduts
Al-’Alam (penciptaan alam).
Kitab ini membicarakan asal-muasal
penciptaan alam dan kejadiaanya dalam waktu berlandaskan atas al-Harakah
al-Jauhariyyah dan penolakan atas pemikiran Mir Damad.
5. Kasr
Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi Dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala jahiliyah
dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi ahli sufi).
Mutashawifin dalam Kitab ini adalah
mereka yang berpura-pura menjadi sufi dan meningkatkan syari’at.
6. Kalq
Al-A’mal
Kitab ini membicarakan sifat kejadian
perbuatan manusia, kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia.
7. Al-Lama’ah
Al-Masyiriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyah (percikan cahaya Illuminasionis
dalam seni logika).
Kitab ini terdiri atas sembilan Bab, dan
merupakan modifikasi dari Hikmat Al-Isyraq-nya Suhrawardi.
8. Al-Mabda’wa
Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).
Kitab ini berisikan tentang metafisika,
kosmologi, dan eskaologi
9. Mafatih
Al-Ghaib (kunci alam ghaib)
Kitab ini tersusun setelah Mulla Shadra
berhasil mencapai puncak kematangan ilmu, berisikan doktrin tentang metafisika,
kosmologi, dan eskatologi yang berlandaskan atas dalil-dalil naqli.
10. Kitab
Al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika).
Kitab ini menjelaskan teori ontologi
yang sangat ringkas
11. Al-Mizaj
(tentang perilaku persaan)
Kitab ini membicarakan perilaku akibat
dari bawaan, perangai, dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.
12. Mutasyabihat
Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an)
Kitab membicarakan ayat-ayat Qur’an yang
sukar dipahami dan metaforis dari sudut gnosis.
13. Al-Qadha wa Al-Qadar fi Af’ali Al-Basyar
(tentang masalah Qadha dan Qadar dalam perbuatan manusia).
Kitab ini membahas tentang ketetapan,
kebebasan, dan bagaimana pemberian iIlahi dapat dilihat dari kacamata manusia.
14. Asy-Syawahid
Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah
kesederhanaan rohani)
C.
Pemikiran-Pemikiran
Mulla Sadra.
1.
“Theosophy Transenden” (Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah)
Sintesis pemikiran yang dilakukan oleh
Shadra yang didasarkan atas tiga cara mengetahui sebagaimana telah disebutkan
di atas yang kemudian membawanya kepada satu”pandangan dunia” dan menciptakan
satu sudut pandangan intelektual baru yang dikenal dengan istilah Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental). Sekalipun istilah ini sebenarnya sudah
ada dan disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelum Shadra, akan tetapi ia dianggap
sebagai tokoh yang merumuskan secara sistematis dan menjadikannya sebagai
mazhab teosofi. Ia sangat setia menggunakan istilah tersebut sehingga buku yang
membahas secara sistematis dasar-dasar filsafat mistisnya diberikan judul
“Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arba’ah”.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
secara epistemologis Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan atas tiga prinsip,
yaitu: Intuisi Intelektual (dzauq atau isyraq), Pembuktian Rasional (‘aql dan
istidlal), dan Syariat. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah tidak mengabaikan salah satu
dari dua bentuk pengetahuan yaitu rasional dan intuitif dan bahkan
menggabungkan kedua-duanya dan ditambah dengan sumber yang ketiga yaitu wahyu.
Dengan demikian filsafat Mulla Shadra berupaya memperoleh kebijaksanaan melalui
pencerahan rohani dan disajikan secara rasional dengan menggunakan
argumen-argumen rasional. Atau sebaliknya pengetahuan-pengetahuan rasional
ditransendensikan agar bisa mencapai pencerahan spiritual. Adapun dasar
ontologis dari Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan pada beberapa hal, yaitu:
Pengistimewaan Wujud (ashâlah al-wujud), Kesatuan Wujud (wihdah al-wujud), Hirarki
atau Gradasi Wujud (tasykik al-wujud). Masing-masing dari tiga pondasi ini akan
dijelaskan satu persatu.
2.
Filsafat
Wujud
Untuk memahami “teosofi transenden”
Mulla Shadra, harus dipahami bahwa yang menjadi landasannya dan juga
keseluruhan bangunan metafisikanya adalah pengetahuan tentang wujud. Oleh sebab
itulah filsafatnya secara umum bisa dikategorikan sebagai filsafat wujudiyah
karena dasar-dasar pengetahuan intelektual dan mistisnya menjadikan kajian
mengenai wujud sebagai titik tolaknya. Untuk lebih memahami bagaimana pemikiran
Mulla Shadra kita akan membahas mengenai masalah ini dan akan memulai dari
pembahasan pertama yaitu perbedaan antara “konsep wujud” (mafhum al-wujud)
dengan “realitas wujud” (haqîqah al-wujud) dan kemudian mengupas konsepnya mengenai
fundamentaslis wujud (ashâlah al-wujud) terkait dengan perdebatan mengenai
status “wujud” dan “mahiyah”. Dan setelah itu juga akan dibahas mengenai
pandangannya mengenai kesatuan wujud dan hirarki atau gradasi wujud sebagai
konsep lain yang melengkapi filsafat wujudnya.
3.
Perbedaaan
Antara Wujud sebagai Konsep (mafhûm al-wujûd) dengan Wujud Sebagai Realitas
(haqîqah al- wujûd).
Sebelum lebih jauh melihat bagaimana
Shadra membedakan antara wujud sebagai konsep dan wujud sebagai realitas, perlu
didiskusokan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah wujud itu
sendiri. Istilah ini adalah murni dari bahasa Arab yang sering diterjemahkan
dengan eksistensi dalam terminologi filsafat secara umum. Dalam bahasa Arab,
akar kata wujud ini terambil dari kata w-j-d yang makna dasarnya adalah
“menemukan” atau “mengetahui sesuatu”. Dalam diskusus filsafat, istilah ini
telah menjadi terminologi khusus yang dipengaruhi oleh konsep filsafat Yunani.
Untuk memahami istilah ini ada baiknya kita merujuk kepada terminologi lain
yang sering diperbincangkan oleh para filsuf yaitu istilah mahiyah (kuiditas).
Sedangkan mahiyah atau kuiditas adalah
menjawab pertanyaan-pertanyaan apa? Seperti pertanyaan apakah manusia? Mahiyah
atau kuiditas ini adalah sesuatu yang bersifat “ideal” pada diri sesuatu
seperti manusia yang mahiyah atau kuiditasnya adalah “hewan yang berfikir” akan
tetapi tanpa melihat keberadaannya secara eksternal. Adapun jika sesuatu yang
ideal ini dilihat sebagai jika melihat aktualisasinya secara eksternal, maka ia
dinamakan dengan realitas (haqiqat) dan jika melihatnya sebagai sesuatu yang
membedakannya dengan yang lain maka ia dinamakan dengan identitas (huwayyah),
dan jika melihatnya sesuatu yang diturunkan dari lafaz, maka ia dinamakan
dengan makna (madlul) dan jika melihat sebagai tempat segala bentuk perubahan
dan bentuk, maka dinamakan dengan istilah substansi (jauhar).
Jadi secara sederhana bisa dikatakan
bahwa mahiyah adalah kategori-kategori yang bersifat partikar dengan berbagai
tingkatan-tingkatannya, baik yang ideal ataupu yang riil, sedangkan wujud
adalah kategori paling umum dari semua itu dan melampaui kategori-kategori yang
pertikular. Ada dua cara untuk menggambarkan istilah wujud sebagai kategori
yang paling umum dan universal dengan mahiyah sebagai kategori-kategori yang
partikular. Yang pertama adalah kenyataan bahwa Huzain secara identitas
(huwayyah) dan realitas (haqiqah) berbeda dengan Syamsul, akan tetapi esensinya
adalah sama yaitu sebagai “manusia”. Demikian juga manusia bisa dibedakan dengan
binatang lain yang tidak berpikir sehingga ada esensi binatang, dan juga esensi
manusia. Akan tetapi hal yang menyamakan Huzain dan Syamsul atau manusia dengan
binatang dan juga yang lainnya adalah keberadaannya sebagai yang ada (wujud
atau eksistensi).
Cara kedua untuk memahami wujud ini
sebagai kategori yang paling umum adalah dengan membedakan antara Huzain
sebagaimana alam realitasnya dengan Huzain sebagai yang ideal. Huzain yang
nyata dan duduk manusia dihadapan kita adalah Huzain yang riil (nyata),
sedangkan Huzain yang ada di pikiran ceweknya yang ada di Sulawesi adalah
Huzain yang ideal. Kedua-duanya berbeda, karena yang satu adalah Huzain yang
riil dan yang lainnya Huzain yang ideal. Akan tetapi yang menyamakan adalah
keberadaan kedua-duanya sebagai “yang ada” atau keberadaannya sebagai wujud
atau eksistensi. Ilustrasi lain adalah ketika Huzain sedang berkaca di cermin
dan melihat bayangannya yang berewok di dalam cermin. Pada saat itu ada dua
Huzain yaitu Huzain yang riil yang ada di depan cermin dan Huzain yang tidak
nyata yaitu yang ada di dalam cermin. Kedua-duanya berbeda akan tetapi
sama-sama ada (wujud).
Dengan keberadaannya sebagai kategori
yang paling umum dan universal, wujud pada hakekatnya adalah satu yaitu wujud
segala sesuatu. Wujud ini bersifat universal dan tidak terbatas dan dalam
dirinya ada hirarki dan gradasi dari tingkatan yang paling rendah sampai yang
paling tinggi, sebagaimana akan dijelaskan pada point ketiga dan keempat.
Namun demikian Shadra membedakan wujud
sebagaimana dalam konsep (mafhûm al-wujûd) yang merupakan hasil abtraskis
rasional denga wujud sebagai realitas yang hakiki. Bagi Shadra wujud dalam
pengertian konseptual seperti di atas tidak sulit dan bisa dilakukan oleh
siapapun. Berbeda dengan wujud hakiki (haqîqah al- wujûd) karena itu hanya bisa
dicapai oleh pengalaman tingkat tinggi. Wujud yang hakiki bukanlah yang
dihasilkan melalui penalaran rasional semata. Wujud sebagai realitas yang
hakiki adalah sesuatu yang dialami secara langsung melalui jalan spiritual yang
melampaui kategori-kategori rasional. Yang pertama mensyaratkan adanya
keaktifan akal untuk bisa menginternalisasikan objek yang ada di luar,
sedangkan yang kedua mensyaratkan adanya kesiapan mental dan penyucian jiwa
agar intelek yang ada pada diri manusia tidak terhambat dengan tabir nafsu dan
bisa mempersepsi secara langsung melalui musyâdah dan mukâsyafah. Inilah yang
tergambar dalam prinsip “kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui”
(ittihad al-aqil wa al-ma’qul).
4.
Ashalah
al-Wujud (Pengistimewaan Wujud)
Untuk memahami ashâlah al-wujud ini,
kita perlu melihat kembali kepada polemik filosofis yang berkembang dalam
tradisi-tradisi filsafat sejak Yunani dan juga pada filsafat Islam secara
khusus. Dalam filsafat Islam ada perbedaan antara wujud (eksistensi) dengan
mahiyah (kuiditas). Segala sesuatu selalu tersusun dari dua komponen ini yaitu
wujud dan mahiyah. Wujud sebagaimana telah disinggung adalah kategori paling
umum dan universal yaitu keberadaan sesuatu sebagai yang ada, sedangkan mahiyah
adalah bentuk yang membuat segala sesuatu berbeda dengan sesuatu yang lain.
Perdebatan klasik di kalangan para filsuf muslim seputar pertanyaan: Manakah
diantara dua hal ini yang pokok dan fundamental secara ontologis, wujud atau
mahiyah.
Pemikiran Islam terpecah menjadi dua
kelompok yaitu mereka yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang pokok (ashalah
al-mahiyah), sedangkan wujud adalah skunder dan merupakan hasil abstraksi
pikiran atau konsep. Dan kelompok yang lain mengatakan bahwa wujudlah yang
fundamental secara ontologi (ashalah al-wujud), sedangkan mahiyat adalah
skunder dan merupakan hasil konseptualiasi atau abstraksi pikiran semata.
Kelompok pertama yaitu mereka yang
mengutamakan mahiyah (ashalah al-mahiyah) antara lain adalah guru dari Shadra
sendiri yaitu Mir Daman dan juga Syuhrawardi, sedangkan pandangan yang kedua
yaitu “ashalah al-wujud” diwakili oleh Ibnu Sina dan para filsuf paripatetik
lainnya. Adapun Shadra pada awal perjalanan intelektualnya mengikuti pandangan
yang pertama[4] dan pada
akhir perjalanannya setelah mencapai pencerahan spiritual ia cenderung kepada
pandangan menganai ashalah al-wujud. Sekalipun demikian ia berbeda dengan
pendukung guru filsafat paripatetik, Ibnu Sina, karena pada Shadra masalah ini
telah diramu dengan nuansa irfan atau mistis dan dilengkapi dengan pengakuan
mengenai wihdah al-wujud yang jelas-jelas mempunyai implikasi dan sangat jauh,
sedangkan Ibnu Sina sama sekali tidak menerima pandangan mengenai wihdah
al-wujud.
5.
Kesatuan
Wujud (Wahdah Al-Wujud)
Dalam sejarah Islam, aliran wihdah
al-wujud ini sering diidentikkan kepada Muhyiddin Ibn ‘Arabi, filsuf-sufi dari
Andalusia. Beliau dianggap sebagai orang pertama yang secara lengkap dan
sistematis membicarakan mengenai masalah wihdah al-wujud ini, meskipun
jejak-jejak pandangan ini sebenarnya sudah ada sebelum beliau. Mulla Shadra
mengambil pandangan ini dan bahkan sangat mungkin ia menemukan visi spiritual
mengenai wihdah wujud ini dari Ibnu Arabi, karena dalam karya-karyanya ia
banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu ‘Arabi. Mulla Shadra mengambilnya dan
menjadikannya sebagai dasar metafisik bagi filsafat atau hikmahnya secara
keseluruhan dan menambahkannya kepada prinsip lain yang menjadi basis
pemikirannya yaitu gradasi wujud (tasykik al-wujud).
Shadra melihat kesatuan wujud dalam
pluralitas atau keragamannya. Hakikat dari wujud yang paling dalam adalah
adanya satu kesatuan, sedangkan fenomena-fenomena yang nampak sebagai keragaman
adalah penampakkan luar dan sesuai dengan cara manusia memandangnya. Akan
tetapi dari kontemplasi filosofis dan mistik akan didapatkan kenyataan terdalam
bahwa pada dasarnya wujud ini adalah satu yaitu Wujud Yang Universal dan
Mutlak. Mulla Shadra dalam menjelaskan ini menggunakan ilustrasi dengan
matahari dan cahaya-cahayanya, dimana cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari
akan tetapi pada saat yang sama mereka tidak lain dari matahari[5].
6.
Gradasi
Wujud (Tasykîk Al-Wujûd)
Pengakuan terhadap kesatuan wujud dalam
pandangan Shadra harus dipahami dalam satu gradasi atau hirarki. Ini karena
dalam “kesatuan” tersebut terdapat “pluralitas (katsrah)” atau “sebaliknya”
dalam keragaman terdapat “kesatuan”. Pengakuan terhadap adanya kesatuan pada
dasarnya mengandalkan adanya bagian-bagian atau unsur-unsur yang ada di
dalamnya saling menyatu sehingga dan terciptalah apa yang disebut sebagai
“kesatuan” (wihdah). Kesatuan tidak bisa dibayangkan akan bisa terjadi jika
hanya ada satu unsur secara mutlak karena pada saat itu tidak ada yang menyatu.
Sebagai konsekwensi dari adanya pendangan mengenai wihdah al-wujud adalah
pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud. Kesatuan dan pluralitas
adalah dua yang berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan. Ketika menekan pada
kesatuan sedangkan tidak mengakui pluralitas, maka itu adalah omong kosong,
demikian juga mengakui pluralitas dan tidak mengakui adanya kesatuan adakah
pandangan yang persial dan sempit.
Prinsip kesatuan wujud menyiratkan
pengertian bahwa di dalam wujud yang mempunyai kesatuan tersebut pada dasarnya
ada hirarki dan tingkatan-tingkatan yang kemudian membentuk wujud secara
keseluruhan. Hirarki atau gradasi ini menurut Shadra mulai dari tingkatan atau
hirarki yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dan masing-masing
tingkatan yang lebih tinggi mencakup tingkatan yang lebih rendah darinya demikian
seterusnya sehingga sampai kepada prinsip kesatuan secara mutlak.
Kecenderungan intelektual dan mistis
Mulla Shadra dikenal dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental)
sekalipun pada dasarnya Mulla Shadra sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa
alirannya ia namakan dengan istilah tersebut. Akan tetapi karena kecenderungan
intelektualnya secara sistematis mempunyai dasar ontologis atau metafisik dan
juga dasar epistemologis yang sistematis, maka pengidentikkannya sebagai satu
mazhab intelektual mempunyai dasar yang kuat.
Dasar metafisis dari keseluruhan kajian
Shadra adalah pemahaman mengenai masalah wujud yang didasarkan pada tiga
pandangan yaitu: Kesatuan Eksistensi (Wihdah Al-Wujud) yang diadopsi dari
mazhab Ibnu Arabi, keaslian atau pengutamaan wujud dari kuiditas secara
Ontologis (Ashalah Al-Wujud), dan yang ketiga adalah Gradasi atau Hirarki Wujud
(Tasykik Al-Wujud). Tiga hal inilah yang menjadi dasar keseluruhan bangunan
intelektual dan mistis Ibnu Arabi baik dalam masalah teologis, psikologi dan
yang lainnya.
Doktrin Ashalah Al-Wujud pandangan yang
mengatakan bahwa yang fundamental secara ontologis adalah wujud dan bukan
mahiyah. Wujudlah yang sebenarnya riil atau nyata, sedangkan kuiditas atau
mahiyah adalah hasil dari abstraksi pikiran. Dengan pengakuan terhadap
fundamentalitas wujud, maka akan terbuka peluang untuk memahami wujud sebagai
sesuatu yang ada secara hakiki. Akan tetapi wujud menurud Mulla Shadra harus
dilihat sebagai satu kesatuan yang di dalamnya terdapat gradasi atau hirarki.
Ini mengandaikan adanya pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud yang
diikat oleh satu kesatuan. Keragamannya adalah karena adanya hirarki, akan
tetapi hirarki dan keragaman tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yaitu
sebagai Wujud Yang Universal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa
aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik;
iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya
sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan suatu
sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis
sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau
intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan
berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika.
Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi
Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak
disebut filsafat Islam yang sesungguhnya.
Daftar
Pustaka
Nur, Syaifun, Mulla
Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, (Jakarta: Teraju, 2003)
Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Dedi, Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep Filosof dan Ajarannya, Bandung:
Pustaka Setia, 2009
Nashr, Seyyed Hosen, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam jilid II, Bandung: Mizan, 2004
[1]Syaifun
Nur, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab
Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 3
[2]A.
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), hlm. 336
[3]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam
Konsep Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 272
[4]Seyyed Hosen Nashr, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam jilid II,
(Bandung: Mizan, 2004), hlm. 89
[5]Ibid,. hal. 916
Tidak ada komentar:
Posting Komentar