BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kecenderungan tasawuf kepada kesatuan dengan Tuhan di lihat sebagai
ajaran yang paling banyak melakukan penyimpangan dari ajaran al-Qur’an dan
as-Sunah. Faham akan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dan Alam, atau Tuhan
adalah esensi segala sesuatu merupakan puncak dari penyimpangan tersebut. Dari
faham inilah lahir “syariat hanya untuk orang awam” atau syariat sesungguhnya
tidak diperlukan. Semua agama sama, tidak ada perbedaan antara yang kafir
dengan yang muslim sebab semua hakikat adalah Tuhan atau paling tidak pancaran
dari Tuhan.
Karena itu, tasawuf dalam semua artian diatas mesti di pelajari
kembali dengan sungguh-sunggu dan mendalam. Seluruh penyimpangan-penyimpangan
baik dalam tasawuf akhlaku maupun falsafi baik tingkat ajaran praktek mesti
kembali diletakan di bawah bimbingan dan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah di
antaranya dengan kerangka singkat tasawuf syar’i .
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana cara meluruskan
penyimpangan?
2.
Bagaimana cara meluruskan Landasan
Tasawuf Syar’i?
C. Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui cara meluruskan
penyimpangan.
2.
Mengetahui cara meluruskan Landasan
Tasawuf Syar’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Meluruskan
Peyimpangan
Seperti yang dapat dilihat dari uraian-uraian
terdahulu bahwa tasawuf memiliki wawasan yang relatif luas, dimulai dari
upaya-upaya pembersihan hati, pembentukan akhlak yang terpuji (mahmudah) sampai
kepada ma’rifah dan bahkan menyatu dengan Allah, baik dalam bentuk ittihad,
hulul maupun wahdat al-wujud.
Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi)
tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada pembentukan akhlak yang
mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang taat kepada-Nya di dalam seluruh
aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syari’ah. Ada
juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir adalah bersatu dengan Tuhan baik
dalam bentuk ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud.
Dalam kondisi tertentu dari kesatuan tersebut,
khususnya dalam faham wahdat al-wujud bahwa alam seluruhnya diyakini sebagai
Tuhan, karena itu semuanya benar, karena itu pula semua agama benar. Disamping
itu, apabila telah sampai kepada tingkat kebersatuan dengan Tuhan, maka hakikat
dari ajaran telah ditemukan dan karena itu syari’ah dianggap tidak perlu lagi.
Di samping itu, pada tingkat tertentu, para sufi
sangat melebih-lebihkan seorang wali dalam kedudukan dan pengetahuannya yang
terkadang sampai melebihi seorang Nabi. Mengagungkan ilmu ladunni yang
diperoleh lewat ilham daripada ilmu yang diperoleh lewat proses belajar
mengajar (muktasab).
Kritikan-kritikan berikut secara khusus tertuju kepada
aliran atau tingkat tasawuf yang berfaham demikian, tetapi tidak menutup
keungkinan bahwa kritik ini sampai kepada aliran atau tingkat yang lebih
rendah, sejauh ajaran-ajaran yang akan diuraikan berikut mereka yakini dan
praktekkan.
1.
Syari’ah
Dan Haqiqah (Hakikat)
Syari’ah, dikalangan ahli hukum Islam, diartikan
sebagai seluruh ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah baik yang
berhubungan dengan akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk
ibadah maupun mu’amalah.
Karena syari’ah tidak saja mengatur masalah ibadah dan
mu’amalah tetapi juga akidah dan akhlak, maka syari’ah adalah aturan yang
meliputi seluruh sisi keidupan, baik yang lahir maupun yang batin. Jadi tidak
ada pemisahan antara syari’ah dengan hakikat, sebab hakikat adalah bagian dari
syari’at
Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa
syari’ah adalah kumpulan hukum praktis, yakni tuntunan-tuntunan praktis dari
al-Qur’an dan as-Sunnah tentang tara-cara pelaksanaan ibadah maupun mu’amalah.
Syari’ah dalam pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan
yang hanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil
yang terperinci. Rahasia-rahasia yang tersimpan atau yang tersembunyi dibalik
aturan-aturan tersebutlah yang mereka namai dengan haqiqah (hakikat).
Pandangan kaum sufi terhadap syari’ah dapat
dikelompokkan yaitu ada dua. Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat. Menurut
kelompo ini, syari’at dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian
para ahli fikih, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian kaum sufi.
Pada bagian ini, terlihat ada pembagian tugas yang dikemukakan oleh para sufi
dalam upaya membimbing umat untuk sampai kepada praktek yang sebenarnya.
Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut
kelompok ini, syari’ah hanya ditujukan kepada masyarakat awam. Ini karena
keterbatasan daya pikir dan hati mereka untuk memahami makna yang tersimpan di
balik syari’ah itu. Karena itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk
mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam. Berbeda halnya dengan kaum sufi
yang ekstrim ini, mereka meyakini ada hakikat dibalik syari’ah itu. Apabila itu
telah tercapai, maka syari’ah bukanlah suatu hal yang penting lagi.
2.
llmu
Muktasab Dan Ladunni
Dalam
tradisi ilmu Islam dikenal dua macam ilmu yaitu: ilmu muktasab dan ilmu
ladunni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran sedang yang kedua
tidak melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah anugerah atau
pemberian dari Allah yang masuk kedalam hati karena telah terbukanya pintu
ma’rifah sebagai buah dari kebersihan hati dan kedekatan dengan-Nya.
Karena
sikap mereka yang lebih cenderung kepada ilmu ladunni, mereka diduga tidak
menaruh perhatian yang besar kepada upaya menuntut ilmu dan mereka juga diduga
tidak menghargai keberadaannya.
Bagaimanapun,
dalam hal ini terjadi polemik. Ibn al-jauzi, meskipun pernah mengkritik kaum
sufi misalnya : mengakui bahwa ulama-ulama sufi terkemuka adalah orang-orang
yang ahli di dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti: Al-qur’an, tafsir,
hadis dan fiqh. Menurutnya, yang melakukan pelarangan atau pencelaan terhadap
aktifitas menuntut ilmu hanya dilakukan oleh sekelompok dari kaum sufi.
Di samping
itu, ada ungkapan para sufi yang menegaskan bahwa awal ibadah kepada Allah
adalah Ilmu. Apabila kamu berilmu maka kamu berma’rifah dan apabila kamu
berma’rifah maka kau dapat beribadah, namun ibadah dan ma’rifah tidak akan
berarti tanpa ilmu.
3.
Motivasi
Ibadah
Pada
tingkat tertentu, kaum sufi berkeyakinan bahwa ibadah yang benar adalah ibadah
yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari Allah. Tidak mengaharap syurga dan
tidak pula karena takut neraka. Bahkan sementara sufi berkeyakinan bahwa ibadah
itu adalah perbuatan Allah, bukan perbuatan seorang hamba. Siapa yang
menyaksikan ibadah itu sebagai perbuatan taatnya, maka ia telah durhaka.
Dikatakan
bahwa “sebuah jamaah melewat ke Rabi’ah yang sedang sakit. Mereka berkata :
bagaimana keadaanmu? Ia menjawab, ‘demi Allah, aku tidak tahu sebab penyakitku,
selain karena ditampakkan surga padaku sedemikian rupa lalu hati tertarik pada
surga. Aku mengira bahwa Tuhanku cemburu padaku, lalu Dia menegurku. Dan
untuk-Nya lah kerelaan ini.”
Pernyataan
ini menggambarkan bahwa dalam pandangan sufi sekedar tertarik kepada surga
dinilai sebagai suatu kesalahan atau dosa yang karenanya layak mendapat hukuman
dari Tuhan.
Kalau ini
memang benar perkataan Rabi’ah Al-Adawiyah, mungkin pertanyaan berikut sesuai
untuk dikemukakan : “Dari mana Rabi’ah tahu bahwa Allah cemburu kepadanya?”.
Kemungkinan ungkapan ini, tidak sesuai keluar dari seorang yang merasa cinta
kepada Allah, sebab di dalamnya tersirat unsur-unsur ketakabburan. Bukankah
hanya Allah yang tahu bahwa Ia mencintai atau tidak mencintai seseorang.
Bukankah merasa dicintai oleh Allah, apa lagi diungkapkan merupakan salah satu
bentuk rasa besar diri yang sebenarnya ditakuti oleh kaum sufi.
Di dalam
al-Quran di antaranya menjelaskan bahwa mereka akan diberikan ganjaran yang
tidak seorangpun mengetahui keindahan dan kenikmatanya. Mereka berdoa dengan
rasa takut dan harap takut akan azabnya dan berharap masuk surga.
Berdasarkan
ayat di atas terlihat bahwa pelaksanaan ibadah dapat karena rasa takut dan rasa
harap. Karena itu menurut para peneliti tasawuf tidak benar jika dikatakan
bahwa orang yang beribadah karena takut neraka dan berharap masuk surga sebagai
orang yang bersalah atau berdosa. Pemahaman ini telah menyimpang dari apa yang
digariskan oleh al-Quran dan as-Sunah.
4.
Wahdat Al-Wujud
Faham wadat
al-wujud yang di kemukakan oleh Ibn ‘Arabi dapat di jelaskan seperti berikut:
bahwa wujud yang hakiki itu hanyakah satu, walaupun ada banyak macam penampakan
keluarnya. Artinya bahwa makhluk adalah aspek lahirnya sedangkan aspek batin
dari dari segala sesuatu adalah Allah. Dengan demikian dari segi hakikat tidak
ada perbedaan antara Khaliq dan makhluk. Jika terlihat perbedaan antara khaliq
dan makhluk maka itu karena di lihat dari pandangan pancaindera lahir dan
karena keterbatasan akal dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzatnya dari
kesatuan dzatiyah yang itu semua terhimpun pada diri Allah.
Faham
wahdat al-wujud di lihat sebagai faham yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk
yang terang bertentangan dengan perintah Tuhan untuk tidak mempersamakan-Nya
dengan suatu apapun juga. Disamping itu, konsep ini juga telah melahirkan
penjelasan-penjelasan yang secara jelas bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran.
Di antara konsep-konsep tersebut adalah :
a.
Fir’aun di lihat sebagai mukmin yang
sempurna Imannya.
b.
Seluruh orang kafir yang ada di muka bumi
di katakan sebagai mukminin yang bertauhid, bermakrifat dan mencapai Tuhan.
c.
Nabi Harun di pandang bersalah karena
melarang bani Israel untuk menyembah patung anak sapi, sebab anak-anak sapi itu
adalah salah satu bentuk-bentuk sesembahan Yang Haq.
d.
Konsep pahala dan dosa tidak jelas yang
berakibat pada kerusakan moral.
e.
Semua agama di yakini sama.
5.
Hormat
kepada Syaikh
Di dalam
tasawuf khususnya pelaksanaan tarekat, para sufi memberikan penghormatan yang sangat
besar kepada seorang guru atau syaikh. Seorang sufi di depan syaikh harus
seperti mayat di tangan orang yang sedang memandikannya., ia tidak boleh
bertanya tentang apa yang sedang di ajarkan, apalagi kalau membantah. Seorang
sufi berjalan di belakang Sayikhnya, merunduk jika berpapasan atau berhadapan,
mencium tangan jika berjabat tangan. Begitu tingginya penghormatan yang di
berikan oleh seorang syaikh, samapi ketingkat pengkultusan meskipun ini tidak terjadi pada kaum sufi.
6.
Jihad
Ajaran
tasawuf yang lebih konsentrasi pada pembersihan hati, menjauhi kehidupan dunia
agar dapat bermakrifah kepada Allah. Dengan memperbanyak amal-amal sunat
seperti shalat-shalat sunat dan zikir-zikir di tempat yang jauh dari keramaian,
telah di lihat sebagai praktek yang merendahkan jika bukan mengabaikan ajaran
untuk berjihad bagi perbaikan diri dan masyarakat.
7.
Pengangguran
Dari ajaran
dan praktek tasawuf, dimulai dari konsentrasi kepada pembersihan hati, menjahui
kehidupan dunia , beribadah dengan berbagai amalan dan sunat di tempat-tempat
terpencil, melemahnya semangat untuk menggali ilmu pengetahuan dan berjihad,
hanya berkonsentrasi pada makrifah dan persatuan dengan Tuhan, dilihat sebagai
salah satu penyebab lahirnya generasi pemalas dan pengangguran. Lebih tetarik
pada pemberian orang dari pada hasil kerja keras dan usaha sendiri. Kecenderungan
seperti ini di lihat tidak sejalan dengan motivasi Allah untuk terus bekerja
bagi kebaikan dunia dan akhirat, baik perbaikan diri masyarakat dan umat
manusia secara umum.
B. Merumuskan
Landasan Tasawuf Syar’i
Sebagaimana
yang telah di jelaskan bahwa tasawuf mempunyai dua arti yang pertama yaitu
Berakhlak yang mulia dan menghindarkan diri dari segala macam akhlak yang
tercela, yang kedua yaitu hilangnya perhatian seseorang terhadap dirinya dan
hanya ada bersama Alllah.
Arti yang
ertama biasanya di pakai untuk para sufi yang berada pada permulaan jalan,
sedangkan yang kedua di pakai untuk para sufi yang berada pada permulaan jalan,
sedangkan yang kedua di pakai untuk para sufi yang telah mencapai tingkatan akhir
perjalanan menuju Allah.
Masalah
akhlak adalah masalah sifat yang tertanam pada jiwa manusia yang telah
melahirkan bermacam-macam perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan. Masalah baik dan buruk terkadang dianggap relatif. Persepsi
tentangnya sangatlah beragam.
Dalam
konteks tasawuf dalam artian perbaikan akhlak, ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan agar tetap dalam bingkai syari’at:
1.
Seluruh sifat buruk yang akan di kikis
mesti dari petunjuk al-Quran dan Sunnah Rosulullah.
2.
Seluruh sifat terpuji yang di tanamkan
juga dari petunujk al-Quran dan Sunnah Rosulullah.
3.
Langkah-langkah yang di tempuh dalam
proses pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan langkah-langkah yang di
tempuh dalam penyemaian sifat-sifat terpuji, termasuk dalam lingkup ijtihadi tetapi
dalam bingkai syariat.
4.
Yang mesti di tanamkan adalah akhlak yang
ada pada al-Quran dan Akhlak yang telah di contohkan oleh Nabi. Adapun sesuatu
yang berhubungan pakaian, baik atau buruk itu tidak dapat dengan Tradisi kaum,
tetapi dengan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah.
5.
Dalam hal manakah yang lebih baik cara
yang di tempuh oleh para sufi atau dalam pembentukan akhlak itu semestinya
hanya sebatas wacana, tetapi tidak boleh menjadikan penganut itu satu faham
yang lebih baik. Seban hal ini bertentangan dengan ajaran Tasawuf.
Tasawuf dapat di artikan sebagai hilangnnya perhatian
seseorang terhadap dirinya sendiri dan hanya bersama Allah yang biasa di sebut
dengan fana’ untuk mencapai ma’rifah. dalam hal ini yang harus di
perhatikan agar senantiasa dalam koridor syari’at.
Pertama, meski diyakini bahwa menurut panduan al-Quran
dan as-Sunah bahwa Allah berbeda dengan segala yang di jadikan. Dalam segala
hal, Tuhan bukan makhluk dan makhluk bukan Tuhan. Fana’nya makhluk dalam
kekelan Tuhan mesti diartikan sebagai pengenalan hati hamba terhadap Tuhannya
yang merasa benar-benar dihadirat-Nya dan merasa tidak ada batasan tetapi tetap
dalam panduan bahwa hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan.
Pengenalan seorang hamba akan Tuhannya dalam arti yang
dalam lewat hati inilah yang disebut dengan ma’rifah. Menurut pandangan
Dzu al-Nun al-Misri pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam.
1.
Pengetahhuan Awam, yakni Tuhan satu dengan
perantaraan ucapan kalimat syahadat.
2.
Pengetahuan Ulama, yakni Tuhan satu
menurut jalan akal pikiran
3.
Pengetahuan Sufi, yakni Tuhan satu dengan
penglihatan hati sanubari
Pengertian pertama dan kedua disebut dengan ilmu,
sedangkan pengertian yang ketiga merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan
yang disebut dengan ma’rifah. Jadi ma’rifah adalah pemberian dari
Tuhan.
Karena itu fana’ dan ma’rifah hanyalah sebatas
pengenalan akan Tuhan secara mendalam dimana seorang hamba dan Tuhan terasa
sedemikian dekatnya, tetapi bukan menjadikan hamba menjadi Tuhan.
Kedua, kesatuan dengan Tuhan baik dalam ittihad, hulul
maupun wahdat al-wujud itu tidak sejalan dengan al-Quran. Khususnya konsep
wahdat al-wujud seperti yang dikemukakan di atas akan melahirkan konsep yang
mengabaikan syariat, dari wahdat al-wujud lahirnya faham syariat hanya untuk
orang awam. Tidak ada perbedaan antara yang kafir dengan yang beriman, tidak
ada perbedaan agama dan yang lain sebab hakikat semua adalah Tuhan dan semuanya
benar.
Secara umum, seluruh konsep yang ada dalam tasawuf
mesti berada di bawah bimbingan petunjuk-petunjuk al-Quran dan as-Sunah. Jika
petunjuk-petunjuk itu jelas maka di hindarkan makna-makna tersirat yang tidak
jelas landasan argumentasiya. Kecuali memang makna tersirat tersebut telah di
kemukakan oleh Rosulullah sendiri atau para sahabat yang berdasarkan argumentasi-argumentasi
yang kuat baik secara bahasa maupun metode penafsiran dengan perangkat ilmu
alat yang di akui oleh para penafsir. Dengan demikian, tasawuf akan senantiasa
dalam bimbingan syariat dari dalil-dalil yang kuat bukan pemahaman yang dipaksakan
untuk melegalisasi ajaran tertentu dari tasawuf sebagai suatu yang di katakan
sesuai dengan panduan al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, tasawuf dalam
bimbingan syariat dapat terwujud. Inilah yang dimaksud dengan Cakrawala Tasawuf
(Tasawuf Syar’i).[1]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seperti
yang dapat dilihat dari uraian-uraian terdahulu bahwa tasawuf memiliki wawasan
yang relatif luas, dimulai dari upaya-upaya pembersihan hati, pembentukan
akhlak yang terpuji (mahmudah) sampai kepada ma’rifah dan bahkan menyatu dengan
Allah, baik dalam bentuk ittihad, hulul maupun wahdat al-wujud.
Demikian
pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama. Ada yang
konsentrasinya pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri sebagai
hamba yang taat kepada-Nya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa
berpegang teguh kepada tuntunan syari’ah. Ada juga yang lebih dari itu, di mana
tujuan akhir adalah bersatu dengan Tuhan baik dalam bentuk ittihad, hulul, dan
wahdat al-wujud.
Dalam
kondisi tertentu dari kesatuan tersebut, khususnya dalam faham wahdat al-wujud
bahwa alam seluruhnya diyakini sebagai Tuhan, karena itu semuanya benar, karena
itu pula semua agama benar. Disamping itu, apabila telah sampai kepada tingkat
kebersatuan dengan Tuhan, maka hakikat dari ajaran telah ditemukan dan karena
itu syari’ah dianggap tidak perlu lagi.
Di samping
itu, pada tingkat tertentu, para sufi sangat melebih-lebihkan seorang wali
dalam kedudukan dan pengetahuannya yang terkadang sampai melebihi seorang Nabi.
Mengagungkan ilmu ladunni yang diperoleh lewat ilham daripada ilmu yang
diperoleh lewat proses belajar mengajar (muktasab).
Kritikan-kritikan
berikut secara khusus tertuju kepada aliran atau tingkat tasawuf yang berfaham
demikian, tetapi tidak menutup keungkinan bahwa kritik ini sampai kepada aliran
atau tingkat yang lebih rendah, sejauh ajaran-ajaran yang akan diuraikan
berikut mereka yakini dan praktekkan.
DAFTAR PUSTAKA
Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar