Selasa, 11 Oktober 2016

Makalah Aliran Tasawuf (Seputar Tasawuf Syar'i)



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Kecenderungan tasawuf kepada kesatuan dengan Tuhan di lihat sebagai ajaran yang paling banyak melakukan penyimpangan dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunah. Faham akan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dan Alam, atau Tuhan adalah esensi segala sesuatu merupakan puncak dari penyimpangan tersebut. Dari faham inilah lahir “syariat hanya untuk orang awam” atau syariat sesungguhnya tidak diperlukan. Semua agama sama, tidak ada perbedaan antara yang kafir dengan yang muslim sebab semua hakikat adalah Tuhan atau paling tidak pancaran dari Tuhan.
Karena itu, tasawuf dalam semua artian diatas mesti di pelajari kembali dengan sungguh-sunggu dan mendalam. Seluruh penyimpangan-penyimpangan baik dalam tasawuf akhlaku maupun falsafi baik tingkat ajaran praktek mesti kembali diletakan di bawah bimbingan dan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah di antaranya dengan kerangka singkat tasawuf syar’i .
B.      Rumusan Masalah
1.       Bagaimana cara meluruskan penyimpangan?
2.       Bagaimana cara meluruskan Landasan Tasawuf Syar’i?
C.     Tujuan Masalah
1.       Mengetahui cara meluruskan penyimpangan.
2.       Mengetahui cara meluruskan Landasan Tasawuf Syar’i.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Meluruskan Peyimpangan
Seperti yang dapat dilihat dari uraian-uraian terdahulu bahwa tasawuf memiliki wawasan yang relatif luas, dimulai dari upaya-upaya pembersihan hati, pembentukan akhlak yang terpuji (mahmudah) sampai kepada ma’rifah dan bahkan menyatu dengan Allah, baik dalam bentuk ittihad, hulul maupun wahdat al-wujud.
Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang taat kepada-Nya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syari’ah. Ada juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir adalah bersatu dengan Tuhan baik dalam bentuk ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud.
Dalam kondisi tertentu dari kesatuan tersebut, khususnya dalam faham wahdat al-wujud bahwa alam seluruhnya diyakini sebagai Tuhan, karena itu semuanya benar, karena itu pula semua agama benar. Disamping itu, apabila telah sampai kepada tingkat kebersatuan dengan Tuhan, maka hakikat dari ajaran telah ditemukan dan karena itu syari’ah dianggap tidak perlu lagi.
Di samping itu, pada tingkat tertentu, para sufi sangat melebih-lebihkan seorang wali dalam kedudukan dan pengetahuannya yang terkadang sampai melebihi seorang Nabi. Mengagungkan ilmu ladunni yang diperoleh lewat ilham daripada ilmu yang diperoleh lewat proses belajar mengajar (muktasab).
Kritikan-kritikan berikut secara khusus tertuju kepada aliran atau tingkat tasawuf yang berfaham demikian, tetapi tidak menutup keungkinan bahwa kritik ini sampai kepada aliran atau tingkat yang lebih rendah, sejauh ajaran-ajaran yang akan diuraikan berikut mereka yakini dan praktekkan.
1.        Syari’ah Dan Haqiqah (Hakikat) 
Syari’ah, dikalangan ahli hukum Islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah.
Karena syari’ah tidak saja mengatur masalah ibadah dan mu’amalah tetapi juga akidah dan akhlak, maka syari’ah adalah aturan yang meliputi seluruh sisi keidupan, baik yang lahir maupun yang batin. Jadi tidak ada pemisahan antara syari’ah dengan hakikat, sebab hakikat adalah bagian dari syari’at
Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari’ah adalah kumpulan hukum praktis, yakni tuntunan-tuntunan praktis dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang tara-cara pelaksanaan ibadah maupun mu’amalah. Syari’ah dalam pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang hanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Rahasia-rahasia yang tersimpan atau yang tersembunyi dibalik aturan-aturan tersebutlah yang mereka namai dengan haqiqah (hakikat).
Pandangan kaum sufi terhadap syari’ah dapat dikelompokkan yaitu ada dua. Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat. Menurut kelompo ini, syari’at dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian para ahli fikih, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian kaum sufi. Pada bagian ini, terlihat ada pembagian tugas yang dikemukakan oleh para sufi dalam upaya membimbing umat untuk sampai kepada praktek yang sebenarnya.
Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syari’ah hanya ditujukan kepada masyarakat awam. Ini karena keterbatasan daya pikir dan hati mereka untuk memahami makna yang tersimpan di balik syari’ah itu. Karena itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam. Berbeda halnya dengan kaum sufi yang ekstrim ini, mereka meyakini ada hakikat dibalik syari’ah itu. Apabila itu telah tercapai, maka syari’ah bukanlah suatu hal yang penting lagi.
2.        llmu Muktasab Dan Ladunni
Dalam tradisi ilmu Islam dikenal dua macam ilmu yaitu: ilmu muktasab dan ilmu ladunni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran sedang yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah anugerah atau pemberian dari Allah yang masuk kedalam hati karena telah terbukanya pintu ma’rifah sebagai buah dari kebersihan hati dan kedekatan dengan-Nya.
Karena sikap mereka yang lebih cenderung kepada ilmu ladunni, mereka diduga tidak menaruh perhatian yang besar kepada upaya menuntut ilmu dan mereka juga diduga tidak menghargai keberadaannya.
Bagaimanapun, dalam hal ini terjadi polemik. Ibn al-jauzi, meskipun pernah mengkritik kaum sufi misalnya : mengakui bahwa ulama-ulama sufi terkemuka adalah orang-orang yang ahli di dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti: Al-qur’an, tafsir, hadis dan fiqh. Menurutnya, yang melakukan pelarangan atau pencelaan terhadap aktifitas menuntut ilmu hanya dilakukan oleh sekelompok dari kaum sufi.
Di samping itu, ada ungkapan para sufi yang menegaskan bahwa awal ibadah kepada Allah adalah Ilmu. Apabila kamu berilmu maka kamu berma’rifah dan apabila kamu berma’rifah maka kau dapat beribadah, namun ibadah dan ma’rifah tidak akan berarti tanpa ilmu.
3.        Motivasi Ibadah
Pada tingkat tertentu, kaum sufi berkeyakinan bahwa ibadah yang benar adalah ibadah yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari Allah. Tidak mengaharap syurga dan tidak pula karena takut neraka. Bahkan sementara sufi berkeyakinan bahwa ibadah itu adalah perbuatan Allah, bukan perbuatan seorang hamba. Siapa yang menyaksikan ibadah itu sebagai perbuatan taatnya, maka ia telah durhaka.
Dikatakan bahwa “sebuah jamaah melewat ke Rabi’ah yang sedang sakit. Mereka berkata : bagaimana keadaanmu? Ia menjawab, ‘demi Allah, aku tidak tahu sebab penyakitku, selain karena ditampakkan surga padaku sedemikian rupa lalu hati tertarik pada surga. Aku mengira bahwa Tuhanku cemburu padaku, lalu Dia menegurku. Dan untuk-Nya lah kerelaan ini.”
Pernyataan ini menggambarkan bahwa dalam pandangan sufi sekedar tertarik kepada surga dinilai sebagai suatu kesalahan atau dosa yang karenanya layak mendapat hukuman dari Tuhan.
Kalau ini memang benar perkataan Rabi’ah Al-Adawiyah, mungkin pertanyaan berikut sesuai untuk dikemukakan : “Dari mana Rabi’ah tahu bahwa Allah cemburu kepadanya?”. Kemungkinan ungkapan ini, tidak sesuai keluar dari seorang yang merasa cinta kepada Allah, sebab di dalamnya tersirat unsur-unsur ketakabburan. Bukankah hanya Allah yang tahu bahwa Ia mencintai atau tidak mencintai seseorang. Bukankah merasa dicintai oleh Allah, apa lagi diungkapkan merupakan salah satu bentuk rasa besar diri yang sebenarnya ditakuti oleh kaum sufi.
Di dalam al-Quran di antaranya menjelaskan bahwa mereka akan diberikan ganjaran yang tidak seorangpun mengetahui keindahan dan kenikmatanya. Mereka berdoa dengan rasa takut dan harap takut akan azabnya dan berharap masuk surga.
Berdasarkan ayat di atas terlihat bahwa pelaksanaan ibadah dapat karena rasa takut dan rasa harap. Karena itu menurut para peneliti tasawuf tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang beribadah karena takut neraka dan berharap masuk surga sebagai orang yang bersalah atau berdosa. Pemahaman ini telah menyimpang dari apa yang digariskan oleh al-Quran dan as-Sunah.
4.        Wahdat Al-Wujud
Faham wadat al-wujud yang di kemukakan oleh Ibn ‘Arabi dapat di jelaskan seperti berikut: bahwa wujud yang hakiki itu hanyakah satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya. Artinya bahwa makhluk adalah aspek lahirnya sedangkan aspek batin dari dari segala sesuatu adalah Allah. Dengan demikian dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara Khaliq dan makhluk. Jika terlihat perbedaan antara khaliq dan makhluk maka itu karena di lihat dari pandangan pancaindera lahir dan karena keterbatasan akal dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzatnya dari kesatuan dzatiyah yang itu semua terhimpun pada diri Allah.
Faham wahdat al-wujud di lihat sebagai faham yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk yang terang bertentangan dengan perintah Tuhan untuk tidak mempersamakan-Nya dengan suatu apapun juga. Disamping itu, konsep ini juga telah melahirkan penjelasan-penjelasan yang secara jelas bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Di antara konsep-konsep tersebut adalah :
a.     Fir’aun di lihat sebagai mukmin yang sempurna Imannya.
b.    Seluruh orang kafir yang ada di muka bumi di katakan sebagai mukminin yang bertauhid, bermakrifat dan mencapai Tuhan.
c.     Nabi Harun di pandang bersalah karena melarang bani Israel untuk menyembah patung anak sapi, sebab anak-anak sapi itu adalah salah satu bentuk-bentuk sesembahan Yang Haq.
d.    Konsep pahala dan dosa tidak jelas yang berakibat pada kerusakan moral.
e.     Semua agama di yakini sama.
5.        Hormat kepada Syaikh
Di dalam tasawuf khususnya pelaksanaan tarekat, para sufi memberikan penghormatan yang sangat besar kepada seorang guru atau syaikh. Seorang sufi di depan syaikh harus seperti mayat di tangan orang yang sedang memandikannya., ia tidak boleh bertanya tentang apa yang sedang di ajarkan, apalagi kalau membantah. Seorang sufi berjalan di belakang Sayikhnya, merunduk jika berpapasan atau berhadapan, mencium tangan jika berjabat tangan. Begitu tingginya penghormatan yang di berikan oleh seorang syaikh, samapi ketingkat pengkultusan  meskipun ini tidak terjadi pada kaum sufi.
6.        Jihad
Ajaran tasawuf yang lebih konsentrasi pada pembersihan hati, menjauhi kehidupan dunia agar dapat bermakrifah kepada Allah. Dengan memperbanyak amal-amal sunat seperti shalat-shalat sunat dan zikir-zikir di tempat yang jauh dari keramaian, telah di lihat sebagai praktek yang merendahkan jika bukan mengabaikan ajaran untuk berjihad bagi perbaikan diri dan masyarakat.
7.        Pengangguran
Dari ajaran dan praktek tasawuf, dimulai dari konsentrasi kepada pembersihan hati, menjahui kehidupan dunia , beribadah dengan berbagai amalan dan sunat di tempat-tempat terpencil, melemahnya semangat untuk menggali ilmu pengetahuan dan berjihad, hanya berkonsentrasi pada makrifah dan persatuan dengan Tuhan, dilihat sebagai salah satu penyebab lahirnya generasi pemalas dan pengangguran. Lebih tetarik pada pemberian orang dari pada hasil kerja keras dan usaha sendiri. Kecenderungan seperti ini di lihat tidak sejalan dengan motivasi Allah untuk terus bekerja bagi kebaikan dunia dan akhirat, baik perbaikan diri masyarakat dan umat manusia secara umum.
B.      Merumuskan Landasan Tasawuf Syar’i
Sebagaimana yang telah di jelaskan bahwa tasawuf mempunyai dua arti yang pertama yaitu Berakhlak yang mulia dan menghindarkan diri dari segala macam akhlak yang tercela, yang kedua yaitu hilangnya perhatian seseorang terhadap dirinya dan hanya ada bersama Alllah.
Arti yang ertama biasanya di pakai untuk para sufi yang berada pada permulaan jalan, sedangkan yang kedua di pakai untuk para sufi yang berada pada permulaan jalan, sedangkan yang kedua di pakai untuk para sufi yang telah mencapai tingkatan akhir perjalanan menuju Allah.
Masalah akhlak adalah masalah sifat yang tertanam pada jiwa manusia yang telah melahirkan bermacam-macam perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Masalah baik dan buruk terkadang dianggap relatif. Persepsi tentangnya sangatlah beragam.
Dalam konteks tasawuf dalam artian perbaikan akhlak, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan agar tetap dalam bingkai syari’at:
1.    Seluruh sifat buruk yang akan di kikis mesti dari petunjuk al-Quran dan Sunnah Rosulullah.
2.    Seluruh sifat terpuji yang di tanamkan juga dari petunujk al-Quran dan Sunnah Rosulullah.
3.    Langkah-langkah yang di tempuh dalam proses pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan langkah-langkah yang di tempuh dalam penyemaian sifat-sifat terpuji, termasuk dalam lingkup ijtihadi tetapi dalam bingkai syariat.
4.    Yang mesti di tanamkan adalah akhlak yang ada pada al-Quran dan Akhlak yang telah di contohkan oleh Nabi. Adapun sesuatu yang berhubungan pakaian, baik atau buruk itu tidak dapat dengan Tradisi kaum, tetapi dengan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah.
5.    Dalam hal manakah yang lebih baik cara yang di tempuh oleh para sufi atau dalam pembentukan akhlak itu semestinya hanya sebatas wacana, tetapi tidak boleh menjadikan penganut itu satu faham yang lebih baik. Seban hal ini bertentangan dengan ajaran Tasawuf.
Tasawuf dapat di artikan sebagai hilangnnya perhatian seseorang terhadap dirinya sendiri dan hanya bersama Allah yang biasa di sebut dengan fana’ untuk mencapai ma’rifah. dalam hal ini yang harus di perhatikan agar senantiasa dalam koridor syari’at.
Pertama, meski diyakini bahwa menurut panduan al-Quran dan as-Sunah bahwa Allah berbeda dengan segala yang di jadikan. Dalam segala hal, Tuhan bukan makhluk dan makhluk bukan Tuhan. Fana’nya makhluk dalam kekelan Tuhan mesti diartikan sebagai pengenalan hati hamba terhadap Tuhannya yang merasa benar-benar dihadirat-Nya dan merasa tidak ada batasan tetapi tetap dalam panduan bahwa hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan.
Pengenalan seorang hamba akan Tuhannya dalam arti yang dalam lewat hati inilah yang disebut dengan ma’rifah. Menurut pandangan Dzu al-Nun al-Misri pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam.
1.    Pengetahhuan Awam, yakni Tuhan satu dengan perantaraan ucapan kalimat syahadat.
2.    Pengetahuan Ulama, yakni Tuhan satu menurut jalan akal pikiran
3.    Pengetahuan Sufi, yakni Tuhan satu dengan penglihatan hati sanubari
Pengertian pertama dan kedua disebut dengan ilmu, sedangkan pengertian yang ketiga merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan yang disebut dengan ma’rifah. Jadi ma’rifah adalah pemberian dari Tuhan.
Karena itu fana’ dan ma’rifah hanyalah sebatas pengenalan akan Tuhan secara mendalam dimana seorang hamba dan Tuhan terasa sedemikian dekatnya, tetapi bukan menjadikan hamba menjadi Tuhan.
Kedua, kesatuan dengan Tuhan baik dalam ittihad, hulul maupun wahdat al-wujud itu tidak sejalan dengan al-Quran. Khususnya konsep wahdat al-wujud seperti yang dikemukakan di atas akan melahirkan konsep yang mengabaikan syariat, dari wahdat al-wujud lahirnya faham syariat hanya untuk orang awam. Tidak ada perbedaan antara yang kafir dengan yang beriman, tidak ada perbedaan agama dan yang lain sebab hakikat semua adalah Tuhan dan semuanya benar.
Secara umum, seluruh konsep yang ada dalam tasawuf mesti berada di bawah bimbingan petunjuk-petunjuk al-Quran dan as-Sunah. Jika petunjuk-petunjuk itu jelas maka di hindarkan makna-makna tersirat yang tidak jelas landasan argumentasiya. Kecuali memang makna tersirat tersebut telah di kemukakan oleh Rosulullah sendiri atau para sahabat yang berdasarkan argumentasi-argumentasi yang kuat baik secara bahasa maupun metode penafsiran dengan perangkat ilmu alat yang di akui oleh para penafsir. Dengan demikian, tasawuf akan senantiasa dalam bimbingan syariat dari dalil-dalil yang kuat bukan pemahaman yang dipaksakan untuk melegalisasi ajaran tertentu dari tasawuf sebagai suatu yang di katakan sesuai dengan panduan al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, tasawuf dalam bimbingan syariat dapat terwujud. Inilah yang dimaksud dengan Cakrawala Tasawuf (Tasawuf Syar’i).[1]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seperti yang dapat dilihat dari uraian-uraian terdahulu bahwa tasawuf memiliki wawasan yang relatif luas, dimulai dari upaya-upaya pembersihan hati, pembentukan akhlak yang terpuji (mahmudah) sampai kepada ma’rifah dan bahkan menyatu dengan Allah, baik dalam bentuk ittihad, hulul maupun wahdat al-wujud.
Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang taat kepada-Nya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syari’ah. Ada juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir adalah bersatu dengan Tuhan baik dalam bentuk ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud.
Dalam kondisi tertentu dari kesatuan tersebut, khususnya dalam faham wahdat al-wujud bahwa alam seluruhnya diyakini sebagai Tuhan, karena itu semuanya benar, karena itu pula semua agama benar. Disamping itu, apabila telah sampai kepada tingkat kebersatuan dengan Tuhan, maka hakikat dari ajaran telah ditemukan dan karena itu syari’ah dianggap tidak perlu lagi.
Di samping itu, pada tingkat tertentu, para sufi sangat melebih-lebihkan seorang wali dalam kedudukan dan pengetahuannya yang terkadang sampai melebihi seorang Nabi. Mengagungkan ilmu ladunni yang diperoleh lewat ilham daripada ilmu yang diperoleh lewat proses belajar mengajar (muktasab).
Kritikan-kritikan berikut secara khusus tertuju kepada aliran atau tingkat tasawuf yang berfaham demikian, tetapi tidak menutup keungkinan bahwa kritik ini sampai kepada aliran atau tingkat yang lebih rendah, sejauh ajaran-ajaran yang akan diuraikan berikut mereka yakini dan praktekkan.

DAFTAR PUSTAKA
Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)


[1]Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press,2007), hlm 163-193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar