BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seseorang merasa
terikat secara emosional dengan orang yang lain, misalnya hubungan antara
anggota keluarga inti (bapak-ibu-kakak-adik)
disebut hubungan personal, begitu juga dengan kekasih
atau sahabat disebut hubungan personal.
Psikologi sosial
berusaha untuk melayani berbagai variasi hubungan manusia untuk menemukan
prinsip umum yang berlaku pada banyak hubungan. Ciri esensial dari setiap
hubungan adalah dua orang saling memengaruhi, atau dalam istilah yang lebih
teknis, mereka saling tergantung (interdependen). Cara untuk saling memengaruhi
itu beragam. Seseorang dapat membantu kita atau mencegah kita, membuat kita
sedih atau senang, memberi tahu kita gosip terbaru atau mengkritik pendapat
kita, memeberi kita nasihat dsb. Pergeseran dari interaksi kasual dengan orang
asing ke hubungan yang erat yang bertahan selama bertahun-tahun terjajdi
melalui berbagai level interpendensi antara dua individu.
Hubungan yang
erat melibatkan banyak interpendensi (Berscheid, Snyder, & Omoto, 1989;
Kelley et al.,2002). Ini bisa berupa hubungan dengan orang tua, kawan baik,
guru, pasangan, rekan kerja, atau bahkan pesaing. Semua hubungan memiliki tiga
karakteristik dasar. Pertama, hubungan melibatkan interaksi yang terus berlanjut
dalam periode yang relatif panjamg, Kedua, hubungan yang erat mencangkup banyak
jenis aktivitas atau peristiwa yang berbeda-beda. Ketiga, dalam hubungan yang
erat, pengaruh antar orang kuat.
B.
Rumusan Masalah
1. Maksud dari Teori Interpendensi ?
2. Bagaimana hubungan intim ?
3. Bagaimana konflik hubungan
itu ?
4. Maksud dari kepuasan dan
komitmen menjalin hubungan ?
5. Bagaimana cara menjalin
hubungan dengan baik, saling
percaya dan keterbukaan diri ?
C.
Tujuan Masalah
1. Mengerti Maksud dari Teori Interpendensi.
2. Mengerti
Bagaimana hubungan intim.
3. Mengerti
Bagaimana konflik hubungan itu.
4. Mengerti Maksud
dari kepuasan dan komitmen menjalin hubungan.
5. Mengerti Bagaimana
cara menjalin hubungan dengan baik, saling
percaya dan keterbukaan diri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Interpendensi
Perspektif
paling berpengaruh tentang hubungan sosial adalah dari variasi teori pertukaran
sosial (Berscheid & Regan, 2005). Dalam psikologi sosial, periset
sering menggunakan interpendence theory (teori interpendensi)
(Berscheid & Reis, 1998: Kelly & Thibaut, 1978). Perspektif
ini menganalisis pola interaksi antara partner. Salah satu cara untuk
mengonseptualisasikan interaksi ini adalah dalam term “hasil” (outcome)
manfaat dan biaya yang diberikan dan diterima partner. Interpendensi Theory
salah satu pandangan tentang pertukaran sosial terpenting dalam psikologi
sosial.
1.
Manfaat dan Biaya
Manfaat atau
perolehan/imbalan (reward) adalah segala sesuatu yang positif yang kita
peoleh dari interaksi, seperti perasaan dicintai atau mendapat bantuan
finasial.Apa yang bermanfaat bagi seseorang mungkin tidak banyak artinya bagi
orang lain. Analisis manfaat dari interakasi sosial yang cukup adalah analisis
yang dikemukakan oleh Foa dan Foa (1974), yang mengidentifikasi enam
tipe perolehan utama: cinta, uang, status, informasi, barang, dan jasa.
Dalam menjalin
suatu hubungan juga terdapat suatu kerugian. Biaya atau kerugian adalah
konsekuensi negatif dari interaksi atau
hubungan. Sebuah interaksi mungkin merugikan karena membuang
banyak waktu dan energi, karena menimbulka banyak konflik, atau orang tidak
menyetujui hubungan itu dan mengkritik kita karena kita terlibat
dalam hubungan itu. Sebuah interaksi mungkin juga merugikan jika membuat kita
kehilangan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang lebih menguntungkan.
2.
Mengevaluasi Hasil
Teori
interpendensi mengansumsi orang selalu meneliti manfaat dan biaya dari
interaksi atau hubungan tertentu. Kita biasanya tidak menulis aspek baik dan
buruk dari suatu hubungan ; meski demikian, kita menyadari biaya dan manfaat di
dalamnya. Secara khusus, kita fokus pada hasil
keseluruhan yang kita peroleh dari suatu hubungan, yakni
apakah hubungann itu menguntugkan bagi kita (manfaat lebih besar ketimbang
biaya) ataukah merugikan (biaya lebih besar ketimbang manfaat).
Ada dua standar
perbandingan yang amat penting (Thibaut & Kelley, 1959). Standar pertama
adalah camparison level (level perbandingan). Comparison level hasil (manfaat
dan biaya) yang kita harapkan atau yang kita yakini pantas kita terima. Ini
merefleksikan kualitas yang menurut seseorang pantas untuk diterima.
Level perbandingan kita merefleksikan pengalaman masa lalu kita dalam
hubungan.
Standar kedua
adalah comparison level for alternatives (level perbandingan untuk
alternatif). Yakni, menilai bagaimana satu hubungan
dibandingkan dengan hubungan lain yang saat ini kita
jalani. Comparison level for alternatives keyakinan kita tentang
hubungan alternatif terbaik yang tersedia saat ini.
3.
Mengkoordinasi Hasil
Satu isu dalam
semua hubungan adalah bagaimana mengoordinasikan aktivitas untuk memaksimalkan
manfaat bagi kedua belah pihak. Seberapa sulit atau mudahkah dua orang
mengoordinasikan hasil akan tergantung pada seberapa banyak kesamaan minat dan
tujuan mereka. Ketika partner menyukai banyak hal yang serupa dan menyukai
aktivitas yang sama, mereka akan relatif mudah mengatasi problem koordinasi
(Surra & Longstreth, 1990).
Ketika individu
bertindak berdasarkan aturan kultural yang sudah ada, mereka melakukan proses
pengambilan peran (role taking) (Turner, 1962). Selama kita
tumbuh berkembang, kita mempelajari banyak peran sosial yang memandu
interaksi kita dengan orang lain. Kita dapat mengontraskan proses pengambilan
peran ini, di mana orang mengadopsi atau menyesuaikan diri dengan peran kultural,
dengan proses berinteraksi secara sosial.
4. Pertukaran yang adil
Orang sangat
puas jika merasa relasi sosialnya cukup adil (fair). Kita tidak suka
dieksploitasi oleh orang lain,dan kita biasanya juga tidak suka mengeksploitasi
orang lain. Kita menggunakan berbagai aturan untuk menentukan apakah manfaat
dan kerugian dalam suatu hubungan itu cukup berimbang atau tidak (Clark &
Chrisman, 1994).
Prinsip kedua
pertukaran manfaat dalam suatu hubungan adalah prinsip mempertimbangkan
kebutuhan semua orang yang terlibat dalam hubungan itu. Kaidah ketiga
adalah equity (ekuitas), juga dikenal sebagai keadilan distributif. Ide
utamanya adalah manfaat yang diterima seseorang harus sebanding dengan
kontribusinya (Haifield, Traupmann, Sprecher, Utne, & Hay, 1985).
Belajar berbagi
dengan kawan adalah langkah penting dalam memahami prinsip keadilan (fairness)
dalam relasi sosial.
5. Melampaui pertukaran
Prinsip
pertukaran sosial (social exchange) membantu kita memahami beragam jenis
hubungan. Kebanyakan orang mengakui bahwa pertukaran memengaruhi hubungan
kasual, namun mereka menolak ide bahwa faktor pertukaran juga memengaruhi
hubungan yang saling akrab.
Dalam exchange
relationship (hubungan pertukaran) ini orang tidak merasa ada tanggung jawab
spesial untuk kesejahteraan orang lain. Exchange Relationship ketika partner
memberi manfaat satu sama lain, meraka mengharap menerima manfaat
yang setara sebagai imbalannya. Sebaliknya, dalam communal ralationship
(hubungan komunal), orang merasa bertanggung jawab secara personal atas
kebutuhan orang lain. Hubungan komunal biasanya terjadi antar anggota keluarga,
sahabat, dan pacar. Communal Relationship partner memberi manfaat untuk
menjukkan perhatian dan merespons kebutuhan orang lain.[1]
B.
Intimasi
Seperti halnya
“cinta”,”intimasi” adalah salah satu istilah umum yang sulit didefinisikan
dengan tepat. Pengungkapan diri adalah salah satu komponen intmasi, tetapi
pengungkapan informasi personal saja tidak cukup untuk menciptakan pengalaman
kedekatan psikologis.
Intimasi
tercipta ketika kita memndang orang lain sebagai responsif dan memberi
perhatian pada kita dan bereaksi dengan cara yang suportif.
Proses intimasi
dimulai apabila satu individu mengungkapkan perasaan atau informasi pribadinya
kepada orang lain. Pemberitahuan informasi ini dapat dilakukan secara verbal,
melalui pengungkapan diri, atau secara nonverbal, melalui “bahasa tubuh”.
Pengungkapan
diri itu sendiri tidak menciptakan initmasi. Orang yang mengungkapkan diri
harus merasa menerima dan memahami perasaan atau pandangannya. Responsivitas
dan kesediaan pendengar untuk meningkatkan perasaan saling percaya dan
kedekatan emosional yang fundamental bagi perkembangan hubungan personal.
1. Gender dan intimasi
Ketika suami istri ditanya tentang makna keintiman, keduanya menekankan
perasaan personal dan kasih sayang. Pria dan wanita menyebutkan pengungkapan
perasaan pribadi, apresiasi, kehangatan, dan aktivitas bersama sebagai aspek
penting bagi intimasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mereka menggunakan
standar yang sama untuk menilai level intimasi. Selain itu, pria dan wanita
sama-sama menekankan pentingnya dukungan emosional dalam hubungan yang erat.
Wanita cenderung mengungkap lebih banyak lebih banyak ketimbang pria dan
pola ini tampak jelas dalam persahabatan antara wanita dengan
wanita. Interaksi antar sahabat wanita juga cenderung lebih
ekspresif secara emosional ketimbang antarsahabat pria. Dalam studi itu,
interaksi antar sesama pria kurang intim dibandingkan interaksi antar sesama
wanita. Namun, tidak ada perbedaan derajat intimasi pria dan wanita dalam
interaksi mereka dengan kawan lain jenis dan pacar. Penjelasan sosiokultural
mungkin menunjukkan bahwa wanita lebih mengutamakan perasaan dalam menjalin
hubungan pertemanan dan karenanya lebih mementingkan intimasi dan lebih ahli
dalam domain ini. Sebaliknya, pria mungkin telah diajari untuk membatasi
pengungkapan diri dan ekspresi emosinya, khususnya saat berinteraksi dengan sesama
pria.
C. Konflik
Bahkan dalam
persahabatan terbaik sekalipun, konflik tampaknya tak terhindarkan (Holmes
& Murray, 1996). Konflik lebih sering terjadi dengan saudaranya, kemudian
dengan orang tuanya, dan yang lebih jarang adalah dengan kawannya.
Konflik adalah
proses yang terjadi ketika tindakan satu orang menganggu tindakan orang lain.
Potensi konflik meningkat bila dua orang menjadi saling interdependen. Saat
interaksi lebih sering terjadi dan mencangkup lebih banyak aktivitas dan isu,
ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan pendapat.
Problem konflik dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori umum
1.
Perilaku
Spesifik. Beberapa konflik terjadi pada perilaku spesifik dari
pasangan.
2.
Norma dan
Peran. Beberapa konflik berfokus pada isu yang lebih umum seperti hak dan
tanggung jawab partrner dalam suatu hubungan.
3.
Disposisi
Personal. Beberapa konflik berfokus pada motif dan personalitas
seseorang.
Tiga konflik itu merefleksikan fakta bahwa orang
adalah interpenden pada tiga level (Braiker & Kelley, 1979). Pada level
behavioral, partner mengalami problem pengoordinasian aktivitas tertentu. Pada
level normatif, mereka mengalami problem dalam menegoisasikan aturan dan peran
dalam hubungan mereka. Pada level disposisional, mereka mungkin berselisih soal
personalitas dan niat mereka.flik dapat membahayakan atau mungkin malah
menguntungkan suatu hubungan, tergantung pada cara penyelesaiannya (Gottman.
1994; Holman & Jarvis, 2003). Karena konflik menimbulkan emosi yang kuat,
maka emosi tidak cocok dipakai sebagai dasar penyelesaian problem secara
konstruktif. Eskalasi konflikjarang menguntungkan suatu hubungan, khususnya
jika menimbulkan sikap mau menang sendiri, keras kepala, dan penarikan diri
dari hubungan. Yang lebih parah, konflik bisa menimbulkan pertikaian fisik dan
kekerasan aktual. Di sisi lain, konflik dapat membuka kesempatan bagi pasangan
untuk mengklarifikasi perselisihan dan mengubah ekspektasi mereka tentang
hubungan.
D. Kepuasan
Menurut teori
interpendensi, kita akan puas jika hubungan kita mengunutungakan, yakni jika
manfaatnya lebih besar ketimbang biaya atau kerugiannya.
Menurut teori
interpendensi, kepuasan hubungan juga dipengaruhi oleh level perbandingan umum
kita.
Persepsi
keadilan juga mempengaruhi kepauasan. Bahkan jika suatu hubungan memberi banyak
manfaat, mungkin kita tak puas jika kita yakin bahwa diri kita diperlakukan
secara tidak adil.
E. Komitmen
Orang yang
sangat berkomitmen pada hubungan sangat mungkin untuk tetap bersama
"mengurangi suka duka" dan "demi tujuan bersama". Dalam
istilah teknis , comittmen in a relationship (komitmen dalam
suatu hubungan) berarti semua kekuatan, positif dan negatif, yang menjaga
individu tetap berada dalam suatu hubungan.
Pertama,
komitmen dipengaruhi oleh kekuatan daya tarik pada partner atau hubungan
tertentu. Jika kita suka pada orang lain, menikmati kehadirannya, dan merasa
orang itu mudah ramah dan gaul, maka kita akan termotivasi untuk meneruskan
hubungan kita dengannya. Dengan kata lain, komitmen akan lebih kuat jika kepuasannya
tinggi. Komponen ini dinmakan "komitmen personal" karena ia merujuk
pada keinginan individu untuk mempertahankan atau meningkatkan.
Kedua, komitmen
dipengaruhi oelh nilai dan prinsip moral kita perasaan bahwa kita seharusnya
tetap berada dalam suatu hubungan. "Komitmen moral" ini didasarkan
pada pada perasaan kewajiban, kewajiban agama, atau tanggung jawab sosial. Bagi
beberapa orang, keyakinan akan kesucian pernikahan dan keinginan manjalin
komitmen seumur hidup akan membuat mereaka tidak ingin bercerai.
Ketiga, komitmen
didasarkan pada kekuatan negatif atau penghalang yang menyebabkan seseorang
akan rugi besar jika meninggalkan hubungan. Faktor yang dapat menahan kita
untuk tetap dalam hubungan antara lain adalah tidak adanya alternatif hubungan
dan investasi yang telah kita tanamkan dalam suatu hubungan.
F. Pemeliharaan hubungan
Seperti halnya
tanaman yang memerlukan pupuk dan air untuk kelangsungan hidupnya, demikian
pula hubungan kita dengan orang lain. Hubungan kita dengan mereka bisa layu dan
mati bila kita tidak senantiasa memeliharanya. Oleh sebab itu penting bagi kita
untuk selalu mencari cara untuk merawatnya, khususnya hubungan kita dengan
pasangan, teman , maupun keluarga.
Semua hubungan
akan mengalami masalah dan kadang mengecewakan. Cara kita merespon
kekecewaan akan menjadi sebab sekaligus akibat dari kepuasan dan komitmen
kita. Ada bukti bahwa partner yang bahagia dan berkomitmen salong
memperlakukan pasangannya dengan cara yang berbeda dengan partner yang tak
berbahagia. Cara partner merespon kekecewaan akan berdampak pada kebahagiaan
mereka dimasa depan dan pada kelangsungan hubungan mereka. Periset, mulai
mengungkapkan bagaimana pemikiran dan perilaku dapat memengaruhi hubungan.
1.
Ilusi positif
tentang hubungan
Ada banyak bukti
bahwa proses serupa juga terjadi dalam suati hubungan. Orang, terutama yang
berada dalam hubungan yang memuaskan dan berkomitmen, cenderung
mengidealisasikan partnernya dan memandang hubungan mereka lebih unggul
kerimbang hubungan pasangan lainnya.
2.
Bias memori masa
lalu
Cara lain untuk
mempertahankan keyakinan pada hubungan adalah menganggap bahwa hubungan mereka
terus berjalan kearah cinta dan intimasi. Pada dasarnya, orang mungkin merasa
bahwa jika hubungan mereka tak sempurna, hubungan itu akan terus membaik dari
waktu ke waktu.
3.
Godaan partner
alternatif
Salah satu
ancaman terhadap suatu hubungan adalah adanya alternatif pasangan yang menarik.
Salah satu tujuan komitmen dan perkawinan adalah mengumumkan bahwa seseorang
telah terikat dengan satu pasangan. Orang yang sangat berkomitmen kepada
hubungan mungkin juga menggunakan mekanisme kognitif untuk melindungi dan
menjaga hubungannya.
4.
Menjelaskan
perilaku partner
Ketika partner
melakukan sesuatu yang menjengkelkan atau mengecewakan, kita termotivasi untuk
mencari tahu apa alasan dari tindakannya itu. Dalam istilah teknis, kita
membuat astribusi tentang penyebab perilaku pasangan kita. Riset menemukan
bahwa pada umumnya pasangan yang bahagia dan yang tertekan cenderung
menjelaskan tindakan partnernya dengan cara yang berbeda. Pasangan yang bahagia
cenderung membuat "astribusi yang memperkaya hubungan"; yakni mereka
menginterpretasikan perilaku partnernya dari sudut pandang positif.
5.
Kesediaan untuk
berkorban
Terkadang
pasangan dalam suatu hubungan menghadapi situasi di mana pilihan terbaik untuk
masing-masing pihak adalah berbeda. Ketika terjadi konflik kepentingan, satu
pihak mungkin memutuskan untuk berkorban deni kebaikan partnernya atau demi
menjaga hubungan.
Semakin komitmen
seseorang pada hubungan, semakin besar kemingkinan dia bersedia berkorban.
Dampak dari
pengorbanan terhadap hubungan mungkin akan tergantung pada alasan seseorang
yang melakukan pengorbanan. Adalah berguna untuk membedakan antara alasan
pendekatan dan penghindaran.
6.
Bersabar:
akomodasi dan maaf
Kebanyakan dari
kita pasti pernah bertindak buruk pada teman dan kekasih, kita mengatakan
sesuatu tanpa pikir panjang atau marah-marah. Istilah teknis
"akomodasi" berarti kesediaan untuk menahan diri dan memeberi respons
yang lebih konstruktif saat pasangan melakukan perilaku yang buruk.
Individu dalam
hubungan yang bahagia dan penuh komitmen kemungkinan besar akan lebih mudah
memaafkan ketimbang individu dalam hubungan kurang bahagia. Orang yang
berempati kepada partrner yang menyakitinya kemungkinan besar akan memberi maaf
dan berusaha berdamai.. Lebih jauh, ada bukti awal yang menunjukkan bahwa
pemberian maaf bisa memulihkan hubungna antar pasangan. Memberi maaf bisa
mengurangi stress dan menyehatkan fisik pula.[2]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ketika dua orang berinteraksi, mereka
saling mempengaruhi antara dua orang atau lebih. Konflik terjadi ketika
tindakan satu orang mengganggu atau mencampuri tindakan orang lain. Konflik bisa
mengenai soal perilaku spesifik, norma dan peran, atau disposisi personal.
Kepuasan adalah evaluasi subjektif individu terhadap evaluasi hubungan.
Komitmen berarti semua kekuatan positif dan negatif yang membuat seseorang
bertahan dalam suatu hubungan dan berguna unutk membedakan antara personal,
komitmen moral dan komitmen terpaksa.
Mempertahankan hubungan yang erat
sebagian akan tergantung pada cara kita merespon problem dan kekecewaan yang
muncul. Riset menunjukan pentingnya proses kognitif seperti penciptaan ilusi
positif tentang hubungan, ingatan masa lalu dan
mengabaikan alternatif. Interprestasi terhadap perilaku pasangan dalam
suatu hubungan juga berpengaruh dalam menjaga hubungan atau menimbulkan
kekecewaan. Hubungan menjadi lebih kuat apabila pasangan menunjukan pola
akomodasi dan maaf. Rusbult mengidentifikasi empat reaksi utama terhadap
kekecewaan: suara, loyalitas, pengabaian, dan keluar.
DAFTAR PUSTAKA
David
O.Sears, Psikologi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.325-362.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar