BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Selama
berabad-abad banyak substansi jiwa
muslim telah dibangun oleh futuwwah . Hingga dewasa ini umat muslim tradisional
dan modern kagum, terpesona , dan mempercayai pribadi “kesatria spiritual”.
Banyak sekali teladan yang diberikan kepada beliau dan menularkannya kepada
masyarakat, terutama pada serikat dangang dari Persia, Anatolia, dan Suriah dan
belahan dunia lainnya.
Tidak
mungkin memahami spiritualitas Islam secara utuh tanpa mengetahui peran kekesatriaan spiritual
yang membawanya. Namum kenyataannya masih banyak sekali kalangan umat islam
yang masih belum mampu mengenal secara mendalam siapakah yang menyempurnakan
substansi islam yang sesungguhnya.
Oleh
karena itu, kami dari kelompok dua akan membahas kekesatriaan spiritualitas
dalam membangun substansi islam yang sangat berpengaruh hinggah zaman ini, baik
dibidang arsitektue hingga tekstile. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami sang penyaji dan dapat menambah wawasan bagi sang pembaca.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah arti futuah dan darimana asal-usul futuwwah itu
?
2.
Bagaimanakah sejarah futuwwah ?
3.
Apakah tujuan futuwwah dalam menyempurnakan substansi
Islam dan bagaimana pula hubungan serikat dagang dan profesi ?
4.
Bagaimanakah kebaikan menurut tolok ukur futuwwah ?
5.
Apa hubungan futuah dan serikat dagang Islam ?
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk mengetahui arti futuwwah dan asal-usul futuwwah.
2.
Untuk mengetahui sejarah futuwwah.
3.
Untuk mengetahui tujuan futuwwah dan hubungan serikat
pekerja dan profesi.
4.
Untuk mengetahui tujuan tolok ukur kebaikan menurut
futuwwah.
5.
Untuk mengetahui hubungan futuwwah dan serikat dagang
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal Usul
Futuwwah
Futuwwah berasal dari kata “fata” yang secara etimologi berarti pemuda yang
tampan dan gagah berani[1],
dalam bahasa Arab futuwwah berarti Kekesatriaan spiritual, futuwwah
dalam bahasa Persia disebut jawan mardi, dan dalam bahasa Inggris dapat
diterjemahkan sebagai mystical youth atau spiritual chivalry. Secara
etimologi futuwwah adalah jalan hidup para pejuang ruhani (spiritual
warriorship).[2]
Makna futuwwah lebih terkait kepada kepemudaan dalam hubungannya dengan
mata air kehidupan spiritual yang abadi, bukan hanya kepemudaan dalam arti
fisik.
Didalam alqur’an surah al-anbiya ayat 60, kata fata merujuk kepada
keberanian nabi Ibrahim dalam menghancurkan berhala-berhala yang disembah
kaumnya. Dikalangan sufi sendiri, futuwwah kemudian dikmaknai sebagai
aturan tingkah laku terpuji yang mengikuti teladan nabi, wali, orang-orang
bijak, serta para sahabat dan kekasih allah. Pengarang Manazilus-Sa'irin,
berkata, "Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada
dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia".[3]
Setiap pelaku yang meneladani jalan ini juga disebut Fata yang
secara etimologi berarti Pemuda yang tampan (akhlaqnya) dan gagah berani (dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan). Kata Fata, baik dalam bentuk tunggal ataupun jamak hanya tersebut dalam Al-Qur’an untuk
menunjukkan anak muda yang
berperilaku baik. Nabi Ibrahim dalam surat Al
Anbiya ayat 60, kemudian para pemuda penghuni gua
surat Al Kahfi 10-13, juga murid Nabi Musa (Yusya bin Nun)
di dalam surat Al Kahfi ayat 60 dipanggil al-fata atau al-fityah. Sementara
kata Ghulam (juga berarti anak muda) kadang-kadang disebut di
dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan
anak muda yang ber akhlaq buruk, surat Al Kahfi ayat
74 menceritakan seorang anak muda yang dibunuh Nabi Khidr karena
berperilaku buruk dan bila dibiarkan
dapat mendorong ke 2 orang tuanya ke dalam
kesesatan.
Di dalam sejarah perjuangan umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, menantu
kesayangan beliau yang juga murid terdekat beliau yaitu Sayyidina Ali bin Abi
Thalib Karromallohu
Wajhah adalah yang pertama mengimplementasikan konsep Futuwwah kedalam
kode perilaku (code of conduct) para Pejuang Islam di dalam setiap pertempuran. Puncak dari penjabaran Futuwwah
adalah dalam perang Uhud, yang dalam keadaan
terdesak beliau memimpin satuan kawal kecil yang membentengi Nabi Muhammad SAW
dan menyambut kedatangan setiap musuh yang menerjang sebelum mampu mendekati
Nabi umat Islam. Ditengah hiruk pikuk suasana pertempuran dengan keberanian dan
keterampilan Sayyidina Ali mematahkan setiap serangan yang menuju Nabi Muhammad
SAW, terdengarlah suara menyeru dari seorang yang tak terlihat dan diduga itulah
suara Malaikat
Jibril, ”La sayfa illa
dzulfiqar walaa Fataa illa Aliy !” Yang artinya : “Tak ada
pedang kecuali pedang dzulfiqar (milik Ali pemberian Nabi Muhammad SAW) dan tak
ada Pemuda (yang gagah berani) kecuali Ali !” Seruan ghaib ini dicatat
dalam sejarah baik dari jalur Sunni (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Atsir) juga
dari jalur Syi’ah.
Terdengarnya kata al-Fata dalam seruan ghaib ini menorehkan
sejarah emas bagi umat yang
baru tumbuh dan menghadapi cobaan besar. Sebagai al-Fata
yang pertama dikalangan
sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali karromallohu wajhahu mendapat gelar
kehormatan seperti Nabi Ibrahim ketika beliau berani menghancurkan
berhala-berhala kecil dan meninggalkan kampak di dada berhala yang besar,
berhala yang semuanya mendapat penghormatan dan perlindungan dari Penguasa
setempat. Al-Qur’an surat Al Anbiya 60 merekam kisah ini : mereka berkata,
“Kami dengar ada seorang Fata (Pemuda) yang berani menghina
berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.
Seharusnya pemuda-pemudi generasi penerus ummat islam dengan semangat futuwwah
dapat mengungkapkan makna sebenarnya tentenag rasa haru, kasih sayang, cinta,
persahabatan, kedermawanan, pengabdian kepentingan sendiri, keramahtamahan, dan
tindakan-tindakan yang mulia dan sesuai dengan kebajikan-kebajikan tersebut.
Istilah futuwwah tidak disebutkan di dalam al-Qur'an, as-Sunnah
maupun orang-orang salaf. Tapi istilah ini muncul pada era setelah itu yang
berarti akhlak yang baik. Yang awal mula menggunakan istilah ini adalah Ja'far
bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah dan
Al-Junaid.
Asal-usul futuwwah sangat di perdebatkan, sebagian orang
meyakini bahwa institusi ‘ayyari Persia Pra-Islam di padukan dengan tasawuf
yang menghasilkan futuwwah. Sebagian yang lain percaya, sebagagaimana di
kalangan orang arab pra-islam, adanya muruwwah (keperkasaan), yang
terdiri adanya syaja’ah (keberanian) dan shakawah (kedermawanan),
demikian pula adanya keutamaan serupa yang berkembang di kalanga orang yang
menetap selama periode Islam yang sarat dengan futuwwah. Namun, sebagian
orang lagi menganggap futuwwah sebagai cabang tasawuf dengan ciri khas
tersendiri. Sumber-sumber tradisional, khusunya sumber para penganut futuwwah
memandang pencipta kekesatriaan spiritual
ini bapak monoteisme yaitu Ibrahim sendiri.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa tujuh orang tidur dalam gua
sebagai orang yang muda. Mereka juga di anggap sebagai ahli futuwwah dalam
karya keislamannya tentang topik tersebut. Memerhatikan signifikansi ekunemis
ashabul kahfi itu, termasuk keseluruhan keluarga monoteistik dan peran bapak
Ibrahim sebagai bapak Monoteisme, disini mudah di mengerti bahwa futuwwah selalu
memiliki sebuah karakter “ekumenis”. Sebelum zaman modern, para penganut
kekesatriaan spritual, baik yahudi, kristen maupun Muslim. Telah membentuk
sebuah persaudaraan yang bergerak melintasi batas-batas iman. Para kekasih
Allah dalam futuwwah sufi. Ibrahim, yang menjauhkan diri dari
godaan-godaan dunia demi mencari Tuhan yang maha Esa, tetap menjadi bapak
kesatria spiritual yang lazim di dunia Islam dan Barat tradisional
Karena itu Ibrahim adalah inisiator majelis futuwwah,
semisal Wa’izh Kasyfi telah di transmisikan seperti kenabian itu sendiri.
Ibrahim mewariskannya pada Ismail dan Ishaq, Ishaq pada Ya’qub, Ya’qub pada
Yusuf yaitu salah seorang teladan utama futuwwah. Kemudian di
transmisikan lagi kepada Kristen dan pada akhirnya kepada Islam. Nabi menerima
kebenaran dan kekuatan futuwwah melalui “Nur Muhammad”, yang beliau di
transmisikan kembali kepada Ali, yang kemudian menjadi sumber tertinggi futuwwah
dalam Islam sunni maupun Syi’i.
B.
Sejarah Futuwwah
Futuwwah pertama kali di hubungkan dengan ajaran syi’ah dan persia, Ali
menobatkan Salman Al-farsi sebagai syaikh futuwwah, dan setelah Salman
adalah Abu Muslim Khurasani seorang panglima terkenal Persia yang telah
meruntuhkan Bani Umayyah. Futuwwah tetap bertaut erat dengan konsep
syi’ah tentang walayah atau kekuasaan
inisiatik dan spiritual. Sepanjang abad, mereka yang setia pada Imam
kedua belas dipandang sebagai jawanmard dan para fata par excellence,
sebagaimana mereka para pejuang yang membela kebenaran melawan kejahatan dan
membela ruhani melawan eksternalisasi yang melemahkan dan memudarkan hakikat
spiritual. Bahkan abad ke-6 H/12 M ketika futuwwah menyebar ke
kantong-kantong sunni di Irak, Suriah, dan Mesir. Futuwwah tetap
bercorak sangat syi’ah hingga masa kekuasaan Sultan Salim ketika ajaran syi’ah
secara umum lebih dibatasi di wilayah
Ustmaniyyah.
Ungkapan la fata illa ‘ali, la saifa illa dzu al-fiqar yang
artinya tiada fata kecuali Ali dan tiada pedang kecuali dzu al-fiqar (pedang
bermata dua terkenal milik Ali). Secara tradisional dinisbahkan pada malaikat
jibril, yang ia sampaikan kepada Nabi. Pernyataan termashur ini telah bergaung
di sepanjang abad di seluruh dunia Islam dan secara khusus di puja-puja di
dunia Syi’ah. Pribadi Ali yang bijak sekaligus kesatria, perenung sekaligus
pelindung para pekerja dan pengrajin, sepanjang abad senantiasa mendominasi
seluruh horizon futuwwah sebagaimana terhadap tasawuf.
Selama periode Umayyah, futuwwah telah memperoleh banyak
penganut di kalangan orang-orang non-Arab dan khususnya persia yang telah
memeluk Islam. Diketahui bahwa Salman memiliki hubungan dengan para pengrajin
di Irak sebagaimana juga Abu Muslim yang selama berabad-abad banyak sekali
literatur tentang dirinya ketika dia menjadi salah seorang pahlawan futuwwah.
Walaupun banyak dekadensi bentuk-bentuk tertentu pada abad ke-3 H/9 M. Futuwwah
yang autentik terintegrasi ke dalam tasawuf dan referensi tentang beragam
bentuk kekesatriaan spiritual yang mulai tampak dalam teks-teks sufi. Dalam
karya Thabaqat Al-Shufiyyah, Sulami seorang penulis buku pertama tentang
futuwwah dan memasukan tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Ma’ruf
Al-Kharki, Abu Turab Al-Nakhsyabi, dan Abu Abbas Al-Dinawari sebagai penganut
tradisi futuwwah. Setelah periode awal ini buku-buku tentang futuwwah dan jawanmardi justru
lebih umum di kalangan penulis sufi khususnya orang Persia seperti Al-Qusyairi
dan Maibudi dalam tafsirnya yang sangat tebal yaitu Kasyf Al-Asrar.
Sastrawan ternama seperti Unshuri dan Firdausi serta para penulis prosa seperti
‘Unshur Al-Ma’ali Ka’us ibn Iskandar, penulis Qabus-namah memuji pentingnya
kekesatriaan spiritual. Buku-buku ini lebih lazim lagi di kalangan penulis sufi
belakangan seperti Rumi seseorang tokoh terpenting pada periode abad ke-7-9
H/10-12 M, ketika sebagian besar Futuwwah-namah (risalah tentang
kekesatriaan spiritual) yang telah di tulis. Buku Futuwwat-nama-yi Sulthani yang luar
biasa itu di tulis pada abad ke-9 H/15 M oleh ilmuan dan sufi yaitu Wa’izh-i
Khasyifi Sabziwari.
Selama fase terakhir kekuasaan Abbasyiah, khalifah Al-Nashir li Din
Allah (w. 622 H/1225 M) mengubah bentuk futuwwah menjadi sebuah baiat
kekesatriaan dan melembagakan sebuah perkumpulan orang-orang yang mulia yang di
ikat bersama dengan ritus-ritus yang diambil dari kekesatriaan. Perkumpulan ini
di hancurkan di Irak sebagai konsekuensi dari Invansi Mongol, tetapi bertahan
beberapa lama pada masa dinasti Mamluk di Mesir dan Suriah dan sampai batas
tertentu pada Dinasti Utsmaniyyah.
Namun, bentuk futuwwah serikat yang menggantikan futuwwah
yang bersifat kesatria sejak abad ke-8 H/14 M tetap terkait erat dengan futuwwah
Nashiri. Dalam memanfestasi populernya tipe futuwwah serikat juga terus
di hubungkan dengan kalangan Syi’ah di Anatolia sebagaimana juga kasus di India
yang di tempat itu kita bisa menemukan buku-buku Kasb-namah secara jelas
bercorak Syi’ah. Serikat-serikat ini bertahan di dunia Utsmani hingga abad
ke-13 H/19 M. Masing masing serikat ini memiliki futuwwet-nameh sendiri
diantaranya yang terpenting adalah Futuwwet-name-i Kebir karya Sayyid
Mehmed Al-Radhawi dari abad ke-10 H/16 M. Serikat-seriikat itu bahkan terus
hingga dewasa ini di berbagai wilayah di Suriah, Persia, India Muslim, dan
belahan Dunia Islam lainya. Tempat metode-metode ketrampilan tradisional dan
perdagangan masih di praktikan.
Futuwwah-kesatria juga meninggalkan jejaknya pada olahraga tradisional
seperti gulat hingga beserta cabang-cabangnya. Zur-Khanah dengan
“terowongan sakral” pembimbing atau mursyid, baiat-penekanan keutamaan moral
sebgaimana juga pembentukan dan penguatan tubuh-menggambarkan keberlangsungan futuwwah-kesatria
yang penting. Selama berabad-abad semua kelas masyarakat memiliki kedermawanan
dan keberanian yang sangat di tekankan dalam futuwwah. Mereka telah
menjadi para pelindung masyarakat untuk melawan tekanan para penguasa sekaligus
serangan internal dari para pencuri dan bajingan. Salah seorang di antara para
kesatria pegulat ini yang di kenal dengan Puriya-yi Wali adalah seorang
pahlawan Persia. Selain sebagai seorang pegulat dan petarung besar, dia juga
adalah seorang sufi dan sastrawan yang kepadanya risalah Kanz Al-Haqa’iq di
nisbahkan. Dewasa ini para pemuda pegulat di zur-khanah di sumpah dengan
namanya dan dia mewujud perpaduan kekuatan dengan kerendahan hati, keberanian,
dan kedermawanan yang telah menjadi ciri futuwwah atau jawanmardi
selama berabad-abad.
C.
Isi Futuwwah-namah:
Tujuan Futuwwah, Baiat, Hubungan dengan Serikat Pekerja dan Profesi
Buku-buku futuwwah
yang di tulis antara abad ke-7 H/13 M dan ke-9 H/15 M oleh tokoh-tokoh seperti
‘Abd Al-Razzaq Kasyani, Syam Al-Din Amuli, Syihab Al-Din ‘Umar Suhrawardi, dan
Wa’izh-i Kasyifi banyak mengungkap tentang tujuan dan maksud futuwwah, ritual-ritual
yang terkait dengannya dan hubungan antara futuwwah, aneka ragam perajin
dan serikat pekerja. Sebagai contoh kita bisa membaca Tuhfat Al-Ikhwan fi
Khasha’ish Al-Fityan karya Kasyani. Menurut penulis sifat fundamental yang
terkait dengan futuwwah adalah fithrah atau watak premodial manusia,
meskipun terdampar di dunia kekacauan dan kegelapan ini, manusia terus
mempunyai fitrah itu dalam dirinya yang denganya dia ciptakan. Fitrah adalah
seberkas cahaya bersinar di pusat wujud manusia bahkan sekalipun ia diselubungi
oleh tabir-tabir hawa nafsu dan kelalaian. Futuwwah menciptakan suatu
kondisi di dalam jiwa manusia yang memungkinkan fitrah manusia menang atas
kegelapan di dunia ini dan lebih untung mengatasi kejatuhan watak manusia dari
pada tetap menjadi potensi dalam diri manusia. Tujuan futuwwah adalah mengubah cahaya fitrah dari
potensialitas manusia ke aktualitas. Pertarungan paling besar kesatria sejati
adalah perjuangan menundukan watak manusiadengan cahaya fitrah. Puncak
kekesatriaan spiritual adalah seni yang menuntun kita menjadi diri kita sendiri
dan memperoleh kesadaran sejati atas watak premodial kita.
Dalam bab
pertama karyanya, Kasyani menguraikan jenjang-jenjang futuwwah. Dia
memulai dengan muruwwah yang mirip dengan pemaknaan barat abad
pertengahan atas courtoisie. Puncaknya adalah walayah , dalam pengertian
inisiasi spiritual Syi’ah, yang Khasyani identifikasi sebagai kembali pada
fitrah. Tobat sebagai permualaan dari setiap pencarian spiritual , tak lain
adalah kesucian primodial manusia dan futuwwah atau jawanmardi tak
lain dari pada kembali pada kondisi alastu, yakni perjanjian primodial yang di
buta antara Tuhan dan manusia ketika menurut al-Quran Tuhan menanyai manusia,
“bukanlah Aku Tuhanmu” dan menjawab “betul”. Tingkat ketiga dari futuwwah
adalah risalah atau kenabian, yang sekaligus sumber walayah dan futuwwah.
Tanpa wahyu manusia tidak akan bisa mengaktualisasi cahaya watak primodial
dalam dirinya walaupun watak itu bersemayam di pusat wujudnya.
Dalam bab kedua
risalah Kasyani membicarakan topik walayah yang mengungkapkan mengapa ia
begitu penting dan mengapa ia merupakan hubungan antara kenabian dan futuwwah,
walayah sebagai kesemurnaan (kamal) futuwwah. Ibrahim adalah
pribadi pertama yang padanya futuwwah dan walayah mengejawantah
pada saat yang sama. Dialah yang menghancurkan berhala atas nama Tuhan yang
maha Esa.
Dalam bab
ketiga menguraikan akar-akar futuwwah dan syarat-syarat untuk menyelami
lapisan-lapisanya. Ada sebuah petunjuk yang jelas pada Kasyani tentang
ritus-ritus baiat yang terkait dengan futuwwah. Ritus-ritus itu meliputi
acara meminum air dan garam, yang telah nabi tawarkan pada Ali dan Salman.
Kemudian pemakaian sepasang pantolan seperti pakaian yang di kenakan oleh Ali. Terakhir, pemasangan
ikat pinggang Ali. Masing-masing ritus ini merupakan simbol dari sebuah
realitas spiritual. Air menyimbolkan ma’rifah dan kearifan, garam adalah
keadilan, sepasang pantolan adalah kesopanan dan wara’, dan ikat
pinggang adalah keberanian dan kehormatan. Ada sebuah transmisi baiat (ijazah)
dari mursyid kepada murid yang di laksanakan melalui ritus-ritus yang mirip
baiat sufi sejauh transmisi kekuatan baiat di perhatikan, tetapi bentuk-bentuk
ritus ini berbeda.
Dalam bab
keempat, penulis beralih pada dasar-dasar dan makna futuwwah, dara itu
tak lain adalah penyucian jiwa, satu-satunya yang memungkinkan aktualisasi
cahaya watak primodial manusia atau fitrah. Kasyani kemudian beralih membahas
kebaikan-kebaikan futuwwah yang penting untuk memahami hakikatnya.
D.
Kebaikan
menurut futuwwah
Menurut Kasyani,
kebaikan futuwwah keseluruhan futuwwah sangatlah penting.
Realitas kebaikan menurut futuwwah bukanlah kata-kata atupun pemikiran,
melainkan wujud dan tindakan yang dapat mempengaruhi dan mengubah cara hidup
seseorang. Kebaikan menurut futuwwah
tersebut antara lain :
1.
Taubat (taubah) :
Taubah yang
dimaksud kasyani adalah perubahan batin menuju yang lebih baik dan kembali
kepada jati diri manusia sendiri.
2.
Dermawan (sakha) :
Dermawan ini
merupakan tingkat tertinggi muruwwah. Terdiri dari tiga jenis tingkatan,
yakni :
a)
Kedermawaan tanpa mengharapkan
imbalan.
b)
Murah hati dan mengorbankan diri dan
harta dengan ikhlas dan sukarela.
c)
Memberikan harta kekayaan untuk
membantu kawan-kawannya dan berbagi pada mereka.
3.
Rendah hati (tawadu’) :
Rendah hati
membuat ego seseorang tunduk pada akal saat bertindak. Bila dipandang dari segi
psikologi, tawaduk yaitu dapat menundukkan ego kepada super ego dalam
bertindak.
4.
Damai (amn) :
Damai yakni
memiliki kemantapan batin dan ketenanagan pikiran, dan tak ada kedamaian tanpa
cahaya iman dalam hati.
5.
Jujur (shidq) :
Shidq adalah
dasar kearifan, dan jawanmard adalah pribadi yang senantiasa jujur dan
tindakan-tindakan jujur dan tindakan-tindakan lahiriyah dan bathiniyahnya tidak
saling bertentangan.
6.
Petunjuk (hidayah) :
Hidayah adalah
mengikuti jalan yang membawa jalan pada keselamatan, dan ia berarti teguh dalam
melangkah. Pada tahap ini, petunjuk bararti “ pandangan melalui hati” dan
memperoleh pengtahuan yang pasti.
7.
Nasihat (nashihah) :
Nasihat adalah
sumber cahaya keadilan dan pada puncaknya, ia berkenaan denagn pemenuhan
perjanjian pra-keabadian yang dianugrahkan oleh Tuhan.
8.
Kesetiaan (wafa) :
Kesetiaan
adalah sumber cahaya keadilan dan pada puncaknya, ia berkenaan dengan pemenuhan
perjanjian yang dibuat antara Tuhan dan manusia.
Antonim dari
hal-hal yang disebutkan oleh Kasyani diatas yakni keburukan menurut futuwwah
yang disebabkan oleh penyakit-penyakit (afat) yang dapat merusak futuwwah.
Penyakit yang utama yakni kebanggaan. Penyakit ini senantiasa menyerang dan
sangat berbahaya, yang mengharuskan untuk senantiasa mengkontrol nafsu setiap
saat.
Jadi, kebaikan
terletak pada inti futuwwah karena hanya futuwwahlah yang bisa
mengubah jiwa dan menghiasinya. Melalui bentuk-bentuk futuwwah yang populer,
suatu kebaikan ditanamkan diberbagai kelompok dan kelas masyarakat Islam
tradisional, dan puncaknya kebaikan futuwwah menjadi sebadan denagan
kebaikan tasawwuf.
E.
Futuwwah dan serikat
dagang pekerja
Futuwwah menjadi
semangat oleh para pekerka untuk terus berkarya. Prinsip dan bimbingan futuwwah
banyak membimbing para pekerja di persia, anatolia, suri’ah, dan pada belahan
dunia islam yang lainnya. Melalui futuwwah, aktifitas para seniman
menyatu dalam kehidupan religius dan aktivitas lahiriah para perajin menjadi
pendukung “kerja batin”, persis seperti aktivitas para arsitek dan perajin
barat abad pertengahan. Ada sejumlah risalah dalam bahasa Persia, Arab, dan
Turki yang menjadi saksi atas peran futuwwah dalam memungkinkan
integrasi spiritual atas aktifitas-aktifitas tradisional di dunia kesenian dan
kerajinan, yang dari sudut pandang islam satu dan sama. Risalah-risalah sepeti
itu ada, misalnya untuk serikat pekerja pandai besi dan pemintal/pengrajut
tekstil. futuwwah-namah para pemintal tekstil sangatlah signifikan dalam
menjelaskan hubungan antara serikat pekerja dan futuwwah. Menurut
risalah ini, setiap tindakan dalam memintal dan mewarnai tekstile memiliki nama
simbolik. Ketua serikat para pemintal tekstil adalah imam syi’ah keenam, Ja’far
Al Shidqi, dan jibrillah yang pertamakali mengajari manusia bagaiman mencelup
kain. Risalah ini menegaskan seseorang harus memiliki guru dan hanya melalui
petujuk spiritual yang diberikan oleh mat rantai futuwwah-lah, ruh
(semangat) bisa diembuskan kedalam pekerja perajin dan makna dilimpahkan
kepadanya.
Melalui futuwwah,
spiritualitas islam menyusup kedalam aktifitas-aktifitas sehari-hari masyarakat
islam, dan seni menyatu dalam dimensi spiritual islam, tidak hanya teoritis,
tetapi juga praktis. Tidak mungkin memahami spiritualtas Islam secara utuh
tanpa mengerti peran kekesatriaan spiritual dalam mentranspormasi jiwa mereka
yang pada selanjutnya mengubah dan membuatsesuatu menjadi mulia dalam aktifitas
keseluruhannya itu. Itulah seni dalam masyarakat Barat modern.[4]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN :
Futuwwah
adalah kekesatria spiritual yang gagah berani dalam menegakan keadilan dan
kebenaran atas nama Allah SWT. Futuwwah yang pertama adalah nabi Adam As ,lalu
diteruskan oleh para futuwwah-futuwwah lainnya dan akhirnya akan sampai pada
futuwwah terakhir yakni Imam Mahdi.
Kebaikan menurut
futuwwah antara lain taubat (taubah),
dermawan, rendah hati (tawadu’), damai (amn) , jujur (shidq) , petunjuk
(hidayah), nasihat (nashihah), kesetiaan (wafa) . Jadi, kebaikan terletak pada
inti futuwwah karena hanya futuwwahlah yang bisa mengubah jiwa dan
menghiasinya. Melalui bentuk-bentuk futuwwah yang populer, suatu kebaikan
ditanamkan diberbagai kelompok dan kelas masyarakat Islam tradisional, dan
puncaknya kebaikan futuwwah menjadi sebadan denagan kebaikan tasawwuf.
Para futuwwah juga
mempengaruhi para pekerja di persia , anatolia, suri’ah dan belahan dunia yang
berbasis islam lainnya. Terutama pada bidang arsitektur, perdangan, keilmuwan,
dan pengrajin. Turki yang menjadi saksi atas peran futuwwah dalam memungkinkan
integrasi spiritual atas aktifitas-aktifitas tradisional di dunia kesenian dan
kerajinan, yang dari sudut pandang islam satu dan sama. Melalui futuwwah, spiritualitas islam menyusup kedalam
aktifitas-aktifitas sehari-hari masyarakat islam, dan seni menyatu dalam
dimensi spiritual islam, tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis. Tidak
mungkin memahami spiritualtas Islam secara utuh tanpa mengerti peran
kekesatriaan spiritual dalam mentranspormasi jiwa mereka yang pada selanjutnya
mengubah dan membuatsesuatu menjadi mulia dalam aktifitas keseluruhannya itu.
Itulah seni dalam masyarakat Barat modern.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Futuwwah
Syed Hossein Nasr, Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung:Mizan, 2003),
hlm. 394 – 408.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar