Selasa, 11 Oktober 2016

Makalah Tasawuf Sosial (Kekesatriaan)



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
Selama berabad-abad  banyak substansi jiwa muslim telah dibangun oleh futuwwah . Hingga dewasa ini umat muslim tradisional dan modern kagum, terpesona , dan mempercayai pribadi “kesatria spiritual”. Banyak sekali teladan yang diberikan kepada beliau dan menularkannya kepada masyarakat, terutama pada serikat dangang dari Persia, Anatolia, dan Suriah dan belahan dunia lainnya.
Tidak mungkin memahami spiritualitas Islam secara utuh  tanpa mengetahui peran kekesatriaan spiritual yang membawanya. Namum kenyataannya masih banyak sekali kalangan umat islam yang masih belum mampu mengenal secara mendalam siapakah yang menyempurnakan substansi islam yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, kami dari kelompok dua akan membahas kekesatriaan spiritualitas dalam membangun substansi islam yang sangat berpengaruh hinggah zaman ini, baik dibidang arsitektue hingga tekstile. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sang penyaji dan dapat menambah wawasan bagi sang pembaca.
B.   Rumusan masalah
1.    Apakah arti futuah dan darimana asal-usul futuwwah itu ?
2.    Bagaimanakah sejarah futuwwah ?
3.    Apakah tujuan futuwwah dalam menyempurnakan substansi Islam dan bagaimana pula hubungan serikat dagang dan profesi ?
4.    Bagaimanakah kebaikan menurut tolok ukur futuwwah ?
5.    Apa hubungan futuah dan serikat dagang Islam ?

C.   Tujuan masalah
1.    Untuk mengetahui arti futuwwah dan asal-usul futuwwah.
2.    Untuk mengetahui sejarah futuwwah.
3.    Untuk mengetahui tujuan futuwwah dan hubungan serikat pekerja dan profesi.
4.    Untuk mengetahui tujuan tolok ukur kebaikan menurut futuwwah.
5.    Untuk mengetahui hubungan futuwwah dan serikat dagang Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Asal Usul Futuwwah
Futuwwah berasal dari kata “fata” yang secara etimologi berarti pemuda yang tampan dan gagah berani[1], dalam bahasa Arab futuwwah berarti Kekesatriaan spiritual, futuwwah dalam bahasa Persia disebut jawan mardi, dan dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai mystical youth atau spiritual chivalry. Secara etimologi futuwwah adalah  jalan hidup para pejuang ruhani (spiritual warriorship).[2] Makna futuwwah lebih terkait kepada kepemudaan dalam hubungannya dengan mata air kehidupan spiritual yang abadi, bukan hanya kepemudaan dalam arti fisik.
Didalam alqur’an surah al-anbiya ayat 60, kata fata merujuk kepada keberanian nabi Ibrahim dalam menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya. Dikalangan sufi sendiri, futuwwah kemudian dikmaknai sebagai aturan tingkah laku terpuji yang mengikuti teladan nabi, wali, orang-orang bijak, serta para sahabat dan kekasih allah. Pengarang Manazilus-Sa'irin, berkata, "Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia".[3]
Setiap pelaku yang meneladani jalan ini juga disebut Fata yang secara etimologi berarti Pemuda yang tampan (akhlaqnya) dan gagah berani (dalam menegakkan kebenaran dan keadilan). Kata Fata, baik dalam bentuk tunggal ataupun jamak hanya tersebut dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan anak muda yang berperilaku baikNabi Ibrahim dalam surat Al Anbiya ayat 60, kemudian para pemuda penghuni gua surat Al Kahfi 10-13, juga murid Nabi Musa (Yusya bin Nun) di dalam surat Al Kahfi ayat 60 dipanggil al-fata atau al-fityah. Sementara kata Ghulam (juga berarti anak muda) kadang-kadang disebut di dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan anak muda yang ber akhlaq buruk, surat Al Kahfi ayat 74 menceritakan seorang anak muda yang dibunuh Nabi Khidr karena berperilaku buruk dan bila dibiarkan dapat mendorong ke 2 orang tuanya ke dalam kesesatan.
Di dalam sejarah perjuangan umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW,  menantu kesayangan beliau yang juga murid terdekat beliau yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karromallohu Wajhah adalah yang pertama mengimplementasikan konsep Futuwwah kedalam kode perilaku (code of conduct) para Pejuang Islam di dalam setiap pertempuran. Puncak dari penjabaran Futuwwah adalah dalam perang Uhud, yang dalam keadaan terdesak beliau memimpin satuan kawal kecil yang membentengi Nabi Muhammad SAW dan menyambut kedatangan setiap musuh yang menerjang sebelum mampu mendekati Nabi umat Islam. Ditengah hiruk pikuk suasana pertempuran dengan keberanian dan keterampilan Sayyidina Ali mematahkan setiap serangan yang menuju Nabi Muhammad SAW, terdengarlah suara menyeru dari seorang yang tak terlihat dan diduga itulah suara Malaikat Jibril, ”La sayfa illa dzulfiqar walaa Fataa illa Aliy !” Yang artinya : “Tak ada pedang kecuali pedang dzulfiqar (milik Ali pemberian Nabi Muhammad SAW) dan tak ada Pemuda (yang gagah berani) kecuali Ali !” Seruan ghaib ini dicatat dalam sejarah baik dari jalur Sunni (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Atsir) juga dari jalur Syi’ah.
Terdengarnya kata al-Fata dalam seruan ghaib ini menorehkan sejarah emas bagi umat yang baru tumbuh dan menghadapi cobaan besar. Sebagai al-Fata yang pertama dikalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali karromallohu wajhahu mendapat gelar kehormatan seperti Nabi Ibrahim ketika beliau berani menghancurkan berhala-berhala kecil dan meninggalkan kampak di dada berhala yang besar, berhala yang semuanya mendapat penghormatan dan perlindungan dari Penguasa setempat. Al-Qur’an surat Al Anbiya 60 merekam kisah ini : mereka berkata, “Kami dengar ada seorang Fata (Pemuda) yang berani menghina berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.
Seharusnya pemuda-pemudi generasi penerus ummat islam dengan semangat futuwwah dapat mengungkapkan makna sebenarnya tentenag rasa haru, kasih sayang, cinta, persahabatan, kedermawanan, pengabdian kepentingan sendiri, keramahtamahan, dan tindakan-tindakan yang mulia dan sesuai dengan kebajikan-kebajikan tersebut.
Istilah futuwwah tidak disebutkan di dalam al-Qur'an, as-Sunnah maupun orang-orang salaf. Tapi istilah ini muncul pada era setelah itu yang berarti akhlak yang baik. Yang awal mula menggunakan istilah ini adalah Ja'far bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah dan Al-Junaid.
Asal-usul futuwwah sangat di perdebatkan, sebagian orang meyakini bahwa institusi ‘ayyari Persia Pra-Islam di padukan dengan tasawuf yang menghasilkan futuwwah. Sebagian yang lain percaya, sebagagaimana di kalangan orang arab pra-islam, adanya muruwwah (keperkasaan), yang terdiri adanya syaja’ah (keberanian) dan shakawah (kedermawanan), demikian pula adanya keutamaan serupa yang berkembang di kalanga orang yang menetap selama periode Islam yang sarat dengan futuwwah. Namun, sebagian orang lagi menganggap futuwwah sebagai cabang tasawuf dengan ciri khas tersendiri. Sumber-sumber tradisional, khusunya sumber para penganut futuwwah memandang pencipta kekesatriaan spiritual  ini bapak monoteisme yaitu Ibrahim sendiri.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa tujuh orang tidur dalam gua sebagai orang yang muda. Mereka juga di anggap sebagai ahli futuwwah dalam karya keislamannya tentang topik tersebut. Memerhatikan signifikansi ekunemis ashabul kahfi itu, termasuk keseluruhan keluarga monoteistik dan peran bapak Ibrahim sebagai bapak Monoteisme, disini mudah di mengerti bahwa futuwwah selalu memiliki sebuah karakter “ekumenis”. Sebelum zaman modern, para penganut kekesatriaan spritual, baik yahudi, kristen maupun Muslim. Telah membentuk sebuah persaudaraan yang bergerak melintasi batas-batas iman. Para kekasih Allah dalam futuwwah sufi. Ibrahim, yang menjauhkan diri dari godaan-godaan dunia demi mencari Tuhan yang maha Esa, tetap menjadi bapak kesatria spiritual yang lazim di dunia Islam dan Barat tradisional
Karena itu Ibrahim adalah inisiator majelis futuwwah, semisal Wa’izh Kasyfi telah di transmisikan seperti kenabian itu sendiri. Ibrahim mewariskannya pada Ismail dan Ishaq, Ishaq pada Ya’qub, Ya’qub pada Yusuf yaitu salah seorang teladan utama futuwwah. Kemudian di transmisikan lagi kepada Kristen dan pada akhirnya kepada Islam. Nabi menerima kebenaran dan kekuatan futuwwah melalui “Nur Muhammad”, yang beliau di transmisikan kembali kepada Ali, yang kemudian menjadi sumber tertinggi futuwwah dalam Islam sunni maupun Syi’i.
B.   Sejarah Futuwwah
Futuwwah pertama kali di hubungkan dengan ajaran syi’ah dan persia, Ali menobatkan Salman Al-farsi sebagai syaikh futuwwah, dan setelah Salman adalah Abu Muslim Khurasani seorang panglima terkenal Persia yang telah meruntuhkan Bani Umayyah. Futuwwah tetap bertaut erat dengan konsep syi’ah tentang walayah atau kekuasaan  inisiatik dan spiritual. Sepanjang abad, mereka yang setia pada Imam kedua belas dipandang sebagai jawanmard dan para fata par excellence, sebagaimana mereka para pejuang yang membela kebenaran melawan kejahatan dan membela ruhani melawan eksternalisasi yang melemahkan dan memudarkan hakikat spiritual. Bahkan abad ke-6 H/12 M ketika futuwwah menyebar ke kantong-kantong sunni di Irak, Suriah, dan Mesir. Futuwwah tetap bercorak sangat syi’ah hingga masa kekuasaan Sultan Salim ketika ajaran syi’ah secara umum lebih dibatasi di wilayah  Ustmaniyyah.
Ungkapan la fata illa ‘ali, la saifa illa dzu al-fiqar yang artinya tiada fata kecuali Ali dan tiada pedang kecuali dzu al-fiqar (pedang bermata dua terkenal milik Ali). Secara tradisional dinisbahkan pada malaikat jibril, yang ia sampaikan kepada Nabi. Pernyataan termashur ini telah bergaung di sepanjang abad di seluruh dunia Islam dan secara khusus di puja-puja di dunia Syi’ah. Pribadi Ali yang bijak sekaligus kesatria, perenung sekaligus pelindung para pekerja dan pengrajin, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah sebagaimana terhadap tasawuf.
Selama periode Umayyah, futuwwah telah memperoleh banyak penganut di kalangan orang-orang non-Arab dan khususnya persia yang telah memeluk Islam. Diketahui bahwa Salman memiliki hubungan dengan para pengrajin di Irak sebagaimana juga Abu Muslim yang selama berabad-abad banyak sekali literatur tentang dirinya ketika dia menjadi salah seorang pahlawan futuwwah. Walaupun banyak dekadensi bentuk-bentuk tertentu pada abad ke-3 H/9 M. Futuwwah yang autentik terintegrasi ke dalam tasawuf dan referensi tentang beragam bentuk kekesatriaan spiritual yang mulai tampak dalam teks-teks sufi. Dalam karya Thabaqat Al-Shufiyyah, Sulami seorang penulis buku pertama tentang futuwwah dan memasukan tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Ma’ruf Al-Kharki, Abu Turab Al-Nakhsyabi, dan Abu Abbas Al-Dinawari sebagai penganut tradisi futuwwah. Setelah periode awal ini buku-buku tentang  futuwwah dan jawanmardi justru lebih umum di kalangan penulis sufi khususnya orang Persia seperti Al-Qusyairi dan Maibudi dalam tafsirnya yang sangat tebal yaitu Kasyf Al-Asrar. Sastrawan ternama seperti Unshuri dan Firdausi serta para penulis prosa seperti ‘Unshur Al-Ma’ali Ka’us ibn Iskandar, penulis Qabus-namah memuji pentingnya kekesatriaan spiritual. Buku-buku ini lebih lazim lagi di kalangan penulis sufi belakangan seperti Rumi seseorang tokoh terpenting pada periode abad ke-7-9 H/10-12 M, ketika sebagian besar Futuwwah-namah (risalah tentang kekesatriaan spiritual) yang telah di tulis. Buku  Futuwwat-nama-yi Sulthani yang luar biasa itu di tulis pada abad ke-9 H/15 M oleh ilmuan dan sufi yaitu Wa’izh-i Khasyifi Sabziwari.
Selama fase terakhir kekuasaan Abbasyiah, khalifah Al-Nashir li Din Allah (w. 622 H/1225 M) mengubah bentuk futuwwah menjadi sebuah baiat kekesatriaan dan melembagakan sebuah perkumpulan orang-orang yang mulia yang di ikat bersama dengan ritus-ritus yang diambil dari kekesatriaan. Perkumpulan ini di hancurkan di Irak sebagai konsekuensi dari Invansi Mongol, tetapi bertahan beberapa lama pada masa dinasti Mamluk di Mesir dan Suriah dan sampai batas tertentu pada Dinasti Utsmaniyyah.
Namun, bentuk futuwwah serikat yang menggantikan futuwwah yang bersifat kesatria sejak abad ke-8 H/14 M tetap terkait erat dengan futuwwah Nashiri. Dalam memanfestasi populernya tipe futuwwah serikat juga terus di hubungkan dengan kalangan Syi’ah di Anatolia sebagaimana juga kasus di India yang di tempat itu kita bisa menemukan buku-buku Kasb-namah secara jelas bercorak Syi’ah. Serikat-serikat ini bertahan di dunia Utsmani hingga abad ke-13 H/19 M. Masing masing serikat ini memiliki futuwwet-nameh sendiri diantaranya yang terpenting adalah Futuwwet-name-i Kebir karya Sayyid Mehmed Al-Radhawi dari abad ke-10 H/16 M. Serikat-seriikat itu bahkan terus hingga dewasa ini di berbagai wilayah di Suriah, Persia, India Muslim, dan belahan Dunia Islam lainya. Tempat metode-metode ketrampilan tradisional dan perdagangan masih di praktikan.
Futuwwah-kesatria juga meninggalkan jejaknya pada olahraga tradisional seperti gulat hingga beserta cabang-cabangnya. Zur-Khanah dengan “terowongan sakral” pembimbing atau mursyid, baiat-penekanan keutamaan moral sebgaimana juga pembentukan dan penguatan tubuh-menggambarkan keberlangsungan futuwwah-kesatria yang penting. Selama berabad-abad semua kelas masyarakat memiliki kedermawanan dan keberanian yang sangat di tekankan dalam futuwwah. Mereka telah menjadi para pelindung masyarakat untuk melawan tekanan para penguasa sekaligus serangan internal dari para pencuri dan bajingan. Salah seorang di antara para kesatria pegulat ini yang di kenal dengan Puriya-yi Wali adalah seorang pahlawan Persia. Selain sebagai seorang pegulat dan petarung besar, dia juga adalah seorang sufi dan sastrawan yang kepadanya risalah Kanz Al-Haqa’iq di nisbahkan. Dewasa ini para pemuda pegulat di zur-khanah di sumpah dengan namanya dan dia mewujud perpaduan kekuatan dengan kerendahan hati, keberanian, dan kedermawanan yang telah menjadi ciri futuwwah atau jawanmardi selama berabad-abad.
C.   Isi Futuwwah-namah: Tujuan Futuwwah, Baiat, Hubungan dengan Serikat Pekerja dan Profesi
Buku-buku futuwwah yang di tulis antara abad ke-7 H/13 M dan ke-9 H/15 M oleh tokoh-tokoh seperti ‘Abd Al-Razzaq Kasyani, Syam Al-Din Amuli, Syihab Al-Din ‘Umar Suhrawardi, dan Wa’izh-i Kasyifi banyak mengungkap tentang tujuan dan maksud futuwwah, ritual-ritual yang terkait dengannya dan hubungan antara futuwwah, aneka ragam perajin dan serikat pekerja. Sebagai contoh kita bisa membaca Tuhfat Al-Ikhwan fi Khasha’ish Al-Fityan karya Kasyani. Menurut penulis sifat fundamental yang terkait dengan futuwwah adalah fithrah atau watak premodial manusia, meskipun terdampar di dunia kekacauan dan kegelapan ini, manusia terus mempunyai fitrah itu dalam dirinya yang denganya dia ciptakan. Fitrah adalah seberkas cahaya bersinar di pusat wujud manusia bahkan sekalipun ia diselubungi oleh tabir-tabir hawa nafsu dan kelalaian. Futuwwah menciptakan suatu kondisi di dalam jiwa manusia yang memungkinkan fitrah manusia menang atas kegelapan di dunia ini dan lebih untung mengatasi kejatuhan watak manusia dari pada tetap menjadi potensi dalam diri manusia. Tujuan futuwwah  adalah mengubah cahaya fitrah dari potensialitas manusia ke aktualitas. Pertarungan paling besar kesatria sejati adalah perjuangan menundukan watak manusiadengan cahaya fitrah. Puncak kekesatriaan spiritual adalah seni yang menuntun kita menjadi diri kita sendiri dan memperoleh kesadaran sejati atas watak premodial kita.
Dalam bab pertama karyanya, Kasyani menguraikan jenjang-jenjang futuwwah. Dia memulai dengan muruwwah yang mirip dengan pemaknaan barat abad pertengahan atas courtoisie. Puncaknya adalah walayah , dalam pengertian inisiasi spiritual Syi’ah, yang Khasyani identifikasi sebagai kembali pada fitrah. Tobat sebagai permualaan dari setiap pencarian spiritual , tak lain adalah kesucian primodial manusia dan futuwwah atau jawanmardi tak lain dari pada kembali pada kondisi alastu, yakni perjanjian primodial yang di buta antara Tuhan dan manusia ketika menurut al-Quran Tuhan menanyai manusia, “bukanlah Aku Tuhanmu” dan menjawab “betul”. Tingkat ketiga dari futuwwah adalah risalah atau kenabian, yang sekaligus sumber walayah dan futuwwah. Tanpa wahyu manusia tidak akan bisa mengaktualisasi cahaya watak primodial dalam dirinya walaupun watak itu bersemayam di pusat wujudnya.
Dalam bab kedua risalah Kasyani membicarakan topik walayah yang mengungkapkan mengapa ia begitu penting dan mengapa ia merupakan hubungan antara kenabian dan futuwwah, walayah sebagai kesemurnaan (kamal) futuwwah. Ibrahim adalah pribadi pertama yang padanya futuwwah dan walayah mengejawantah pada saat yang sama. Dialah yang menghancurkan berhala atas nama Tuhan yang maha Esa.
Dalam bab ketiga menguraikan akar-akar futuwwah dan syarat-syarat untuk menyelami lapisan-lapisanya. Ada sebuah petunjuk yang jelas pada Kasyani tentang ritus-ritus baiat yang terkait dengan futuwwah. Ritus-ritus itu meliputi acara meminum air dan garam, yang telah nabi tawarkan pada Ali dan Salman. Kemudian pemakaian sepasang pantolan seperti pakaian yang  di kenakan oleh Ali. Terakhir, pemasangan ikat pinggang Ali. Masing-masing ritus ini merupakan simbol dari sebuah realitas spiritual. Air menyimbolkan ma’rifah dan kearifan, garam adalah keadilan, sepasang pantolan adalah kesopanan dan wara’, dan ikat pinggang adalah keberanian dan kehormatan. Ada sebuah transmisi baiat (ijazah) dari mursyid kepada murid yang di laksanakan melalui ritus-ritus yang mirip baiat sufi sejauh transmisi kekuatan baiat di perhatikan, tetapi bentuk-bentuk ritus ini berbeda.
Dalam bab keempat, penulis beralih pada dasar-dasar dan makna futuwwah, dara itu tak lain adalah penyucian jiwa, satu-satunya yang memungkinkan aktualisasi cahaya watak primodial manusia atau fitrah. Kasyani kemudian beralih membahas kebaikan-kebaikan futuwwah yang penting untuk memahami hakikatnya.

D.   Kebaikan menurut futuwwah
Menurut Kasyani, kebaikan futuwwah keseluruhan futuwwah sangatlah penting. Realitas kebaikan menurut futuwwah bukanlah kata-kata atupun pemikiran, melainkan wujud dan tindakan yang dapat mempengaruhi dan mengubah cara hidup seseorang. Kebaikan menurut futuwwah  tersebut antara lain :
1.       Taubat (taubah) :
Taubah yang dimaksud kasyani adalah perubahan batin menuju yang lebih baik dan kembali kepada jati diri manusia sendiri.
2.       Dermawan (sakha) :
Dermawan ini merupakan tingkat tertinggi muruwwah. Terdiri dari tiga jenis tingkatan, yakni :
a)       Kedermawaan tanpa mengharapkan imbalan.
b)      Murah hati dan mengorbankan diri dan harta dengan ikhlas dan sukarela.
c)       Memberikan harta kekayaan untuk membantu kawan-kawannya dan berbagi pada mereka.
3.       Rendah hati (tawadu’) :
Rendah hati membuat ego seseorang tunduk pada akal saat bertindak. Bila dipandang dari segi psikologi, tawaduk yaitu dapat menundukkan ego kepada super ego dalam bertindak.
4.       Damai (amn) :
Damai yakni memiliki kemantapan batin dan ketenanagan pikiran, dan tak ada kedamaian tanpa cahaya iman dalam hati.
5.       Jujur (shidq) :
Shidq adalah dasar kearifan, dan jawanmard adalah pribadi yang senantiasa jujur dan tindakan-tindakan jujur dan tindakan-tindakan lahiriyah dan bathiniyahnya tidak saling bertentangan.
6.       Petunjuk (hidayah) :
Hidayah adalah mengikuti jalan yang membawa jalan pada keselamatan, dan ia berarti teguh dalam melangkah. Pada tahap ini, petunjuk bararti “ pandangan melalui hati” dan memperoleh pengtahuan yang pasti.
7.       Nasihat (nashihah) :
Nasihat adalah sumber cahaya keadilan dan pada puncaknya, ia berkenaan denagn pemenuhan perjanjian pra-keabadian yang dianugrahkan oleh Tuhan.
8.       Kesetiaan (wafa) :
Kesetiaan adalah sumber cahaya keadilan dan pada puncaknya, ia berkenaan dengan pemenuhan perjanjian yang dibuat antara Tuhan dan manusia.

Antonim dari hal-hal yang disebutkan oleh Kasyani diatas yakni keburukan menurut futuwwah yang disebabkan oleh penyakit-penyakit (afat) yang dapat merusak futuwwah. Penyakit yang utama yakni kebanggaan. Penyakit ini senantiasa menyerang dan sangat berbahaya, yang mengharuskan untuk senantiasa mengkontrol nafsu setiap saat.
Jadi, kebaikan terletak pada inti futuwwah karena hanya futuwwahlah yang bisa mengubah jiwa dan menghiasinya. Melalui bentuk-bentuk futuwwah yang populer, suatu kebaikan ditanamkan diberbagai kelompok dan kelas masyarakat Islam tradisional, dan puncaknya kebaikan futuwwah menjadi sebadan denagan kebaikan tasawwuf.

E.   Futuwwah dan serikat dagang pekerja
Futuwwah menjadi semangat oleh para pekerka untuk terus berkarya. Prinsip dan bimbingan futuwwah banyak membimbing para pekerja di persia, anatolia, suri’ah, dan pada belahan dunia islam yang lainnya. Melalui futuwwah, aktifitas para seniman menyatu dalam kehidupan religius dan aktivitas lahiriah para perajin menjadi pendukung “kerja batin”, persis seperti aktivitas para arsitek dan perajin barat abad pertengahan. Ada sejumlah risalah dalam bahasa Persia, Arab, dan Turki yang menjadi saksi atas peran futuwwah dalam memungkinkan integrasi spiritual atas aktifitas-aktifitas tradisional di dunia kesenian dan kerajinan, yang dari sudut pandang islam satu dan sama. Risalah-risalah sepeti itu ada, misalnya untuk serikat pekerja pandai besi dan pemintal/pengrajut tekstil. futuwwah-namah para pemintal tekstil sangatlah signifikan dalam menjelaskan hubungan antara serikat pekerja dan futuwwah. Menurut risalah ini, setiap tindakan dalam memintal dan mewarnai tekstile memiliki nama simbolik. Ketua serikat para pemintal tekstil adalah imam syi’ah keenam, Ja’far Al Shidqi, dan jibrillah yang pertamakali mengajari manusia bagaiman mencelup kain. Risalah ini menegaskan seseorang harus memiliki guru dan hanya melalui petujuk spiritual yang diberikan oleh mat rantai futuwwah-lah, ruh (semangat) bisa diembuskan kedalam pekerja perajin dan makna dilimpahkan kepadanya.
Melalui futuwwah, spiritualitas islam menyusup kedalam aktifitas-aktifitas sehari-hari masyarakat islam, dan seni menyatu dalam dimensi spiritual islam, tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis. Tidak mungkin memahami spiritualtas Islam secara utuh tanpa mengerti peran kekesatriaan spiritual dalam mentranspormasi jiwa mereka yang pada selanjutnya mengubah dan membuatsesuatu menjadi mulia dalam aktifitas keseluruhannya itu. Itulah seni dalam masyarakat Barat modern.[4]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN :
            Futuwwah adalah kekesatria spiritual yang gagah berani dalam menegakan keadilan dan kebenaran atas nama Allah SWT. Futuwwah yang pertama adalah nabi Adam As ,lalu diteruskan oleh para futuwwah-futuwwah lainnya dan akhirnya akan sampai pada futuwwah terakhir yakni Imam Mahdi.
            Kebaikan menurut futuwwah  antara lain taubat (taubah), dermawan, rendah hati (tawadu’), damai (amn) , jujur (shidq) , petunjuk (hidayah), nasihat (nashihah), kesetiaan (wafa) . Jadi, kebaikan terletak pada inti futuwwah karena hanya futuwwahlah yang bisa mengubah jiwa dan menghiasinya. Melalui bentuk-bentuk futuwwah yang populer, suatu kebaikan ditanamkan diberbagai kelompok dan kelas masyarakat Islam tradisional, dan puncaknya kebaikan futuwwah menjadi sebadan denagan kebaikan tasawwuf.
            Para futuwwah juga mempengaruhi para pekerja di persia , anatolia, suri’ah dan belahan dunia yang berbasis islam lainnya. Terutama pada bidang arsitektur, perdangan, keilmuwan, dan pengrajin. Turki yang menjadi saksi atas peran futuwwah dalam memungkinkan integrasi spiritual atas aktifitas-aktifitas tradisional di dunia kesenian dan kerajinan, yang dari sudut pandang islam satu dan sama. Melalui futuwwah, spiritualitas islam menyusup kedalam aktifitas-aktifitas sehari-hari masyarakat islam, dan seni menyatu dalam dimensi spiritual islam, tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis. Tidak mungkin memahami spiritualtas Islam secara utuh tanpa mengerti peran kekesatriaan spiritual dalam mentranspormasi jiwa mereka yang pada selanjutnya mengubah dan membuatsesuatu menjadi mulia dalam aktifitas keseluruhannya itu. Itulah seni dalam masyarakat Barat modern.










DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Futuwwah
Syed Hossein Nasr, Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung:Mizan, 2003), hlm. 394 – 408.



[2]http://id.wikipedia.org/wiki/Futuwwah
[4]Syed Hossein Nasr, Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam, (Bandung:Mizan, 2003), hlm. 394 – 408.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar