Selasa, 11 Oktober 2016

PERSON CENTERED THERAPY




A.       Pengertian dan sejarah Person Centered Therapy
Terapi Non-direktif, yang juga sering disebut Terapi Terpusat pada Klien atau Person Centered Therapy dan selanjutnya disingkat PCT dikembangkan oleh Carl Rogers, direktur Rochester Guidance Center, New York Amerika Serikat. Model terapi ini lebih disukai banyak orang, dan mempunyai banyak anggota dari berbagai negara di dunia, baik di Amerika Serikat, Eropa, Asia, Afrika, termasuk Indonesia. Rogers, psikolog kelahiran Illinois, 8 Januari 1902, yang memperoleh MA dari Columbia University, sebelumnya pernah kuliah di Universitas Wisconsin dan masuk Union Theology di New York. Kariernya dimulai dengan bekerja pada klinik psikologi di Rochster, sampai menjadi direkturnya. 
Keberhasilan Rogers mengembangkan PCT telah melambungkan namanya, ia diminta menjadi dosen Psikologi Klinis di Ohio State Uniersity (1940), Unoivesity of Chicago (1945) Menjadi guru besar di Wisconsin dan sekaligus menjadi direktur klinik dimana ia pernah berkerja sebelumnya. Terakhir, Rogers memutuskan menghabiskan masa tuanya, menjadi guru besar di almamaternya Columbia University. Selama menjalani tugas seperti itu, ia banyak menulis buku, makalah dan artikel. Ia diundang menjadi pembicara dalam berbagai seminar. Bukunya yang paling terkenal adalah Client Center Therapy sebuah buku yang amat kontroversial, karena Rogers menggunakan istilah klien, sebagai ganti istilah pasien, Selain itu On Becoming a Person. Buku Rogers yang laris manis di Amerika Serikat.
Munculnya PCT ini justru dilatar belakangi oleh rasa ketidak-puasan Rogers akan teori yang ada waktu itu. Rogers menolak psikoanalisa yang memandang perilaku manusia dipengaruhi oleh hubungan sebab akibat yang sangat kompleks itu. Tetapi Rogers juga tidak menerima, perlakuan yang memposisikan klien bisa dirubah oleh kekuatan eksternal atau lingkungan yang terlihat jelas pada tingkah laku.
Rogers melihat manusia adalah orang rasional dan punya potensi untuk berkembang Melalui bukunya Client Center Therapy, memicu munculnya dua kutub yang menjadi perdebatan hangat dalam dunia konseling seusai Perang Dunia II, yaitu antara pilihan, konseling terpusat kepada klien atau yang tidak terpusat kepada klien. Rogers mendapat serangan dari berbagai model yang ada, namun karena PCT tidak hanya sekedar teknik, tetapi bersifat filofis, maka mulai orang berpihak kepada pandangan Rogers ini.

B.       Konsep pokok Person Centered Therapy
Rogers adalah orang yang berpandangan positif terhadap manusia. Manusia menurut Rogers tidak statis, tetapi punya harga diri, konstruktif, realistis dan dapat dipercaya. Namun, manusia diyakini Rogers sebagai organisme yang unik dan tidak bisa diketahui orang lain, hanya diri ia sendirilah yang tahu. Karena itu, adalah tidak mungkin, seorang konselor menentukan yang terbaik bagi kliennya. Meskipun Rogers tidak membuat klasifikasi teori seperti Freud dan TA, namun Rogers memusatkan teorinya terhadap SELF. Ia menempatkan Self itu dalam hubungannya dengan medan penomena, dan realitas.
Organisme adalah keseluruhan dari Individu yang bersifat unik yang ditangkap dari seseorang. Namun untuk mengenal individu itu, ada dilindungi medan fenomena (fenomena filed), yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya dan tak dapat diketahui orang lain tanpa pemahaman yang empatik. Hubungan antara organisme dengan self ini disaring melalui medan fenomena ini. Artinya, bagaimana seseorang bertindak akan memaknai pengalaman yang dilaluinya sepanjang kehidupannya akan tersaring melalui medan fenomena ini. 

C.       Proses Person Centered Therapy
Dari uraian tentang konsep atau dalil Rogers diatas, terlihat bahwa Rogers menempatkan klien adalah individu yang memiliki potensi untuk mengatasi masalahnya asal terciptanya kondisi yang menempatkan klien tidak merasa terancam, akan tetapi merasa dihargai dan diperlakukan sebagai orang yang normal. 
Rogers lebih mengarahkan teknik terapinya kepada proses dimana klien menjadi subjeknya. Konseling harus disesuaikan dengan kebutuhan klien dengan diciptakan kondisi agar klien menjadi aman dan tidak merasa terancam. Inilah yang mebedakan PCT ini dengan model terapi lainnya.
Dengan konsep demikian, maka proses terapi yang lebih difokuskan Rogers, kepada bagaimana terapis menyiapkan dirinya memberikan pelayanan kepada klien yang benar-benar dirasakan klien sebagai tempat ia melambangkan pengalamannya, atau dengan kata lain tempat bagi individu untuk mengungkapkan segala sesuatu tentang dirinya secara bebas. Agar tercipta kondisi yang demikian, ada 4 (empat) tahap yang harus dilakukan terapis secara hati-hati, yaitu:
1.      Membuat Ikatan Terapi
Langkah Ini sama dengan perjanjian/kontrak terapi dengan model lainnya. Roger menyarankan hendaknya dilakukan dengan cara-cara:
a)     Menciptakan rapport (keakraban atau kehangatan) Rapport dimaksudkan agar klien tahu cara yang akan dilakukan konselor-klien dalam proses terapi. dimana terapis akan bekerja untuk klien. Terapis akan menjadi orang yang peka akan perasaan, pikiran atau perbuatan klien. Klienlah nanti yang akan menemukan sendiri keputusannya. 
b)     Permisif terhadap nilai. Ini dimaksudkan agar klien merasa aman menyampaikan pengalamannya maka terapis orang yang tidak mempersoalkan nilai baik buruknya perbuatan klien. Tetapi juga tidak diperkenan memberi label salah jadi benarnya perbuatan itu, bahkan hendaknya terapis tidak memperlihatkan ekspresi tertentu bila ada pengalaman klien yang melanggar nilai itu.
c)      Terapis hendaknya menahan diri untuk menyampaikan penilaiannya, karena waktu terapi adalah milik klien bukan milik terapis.
d)     Klien hendaknya diberi kebebasan untuk menentukan waktu yang mereka perlukan, termasuk untuk menyatakan dirinya kembali atau tidak. Jangan ada paksaan klien untuk datang kembali.
2.      Relasi Bantuan
Setelah ikatan konseling terjalin, maka dalam relasi bantuan atau saat klien menceriterakan masalahnya, maka terapis terus menerus membangun relasi bantuan dengan cara :
a)     terapis lebih perhatian terhadap respon emosional dari pada respons pikiran
b)     terapis memfokuskan kepada perasan negatif klien, seperti rasa benci atau permusuhan yang disampaikannya, kendatipun kadang-kadang ditutupi klien
c)      Menanggapi perasaan yang ambivalen, yaitu sikap mendua bagaikan penggabungan antara "benci tapi rindu"
d)     terapis perlu mencermati sikap klien terhadap diri konselor sebagai penilaian klien terhadap pengalaman konseling yang sedang berlangsung.
3.      Pemahaman (Insight)
          Terapis hendaknya memperhatikan perkembangan pemahaman (insight) klien terhadap selfnya, bila klien telah bisa memaknai pengalamannya yang bertentangan dengan konsep dirinya mampu mengakumulasikan membentuk pemahaman baru, dan terbentuk keinginan klien untuk mengaktualisasikan dirinya, maka terapi sudah dapat diakhiri. Lebih spesifiknya Klien dikatakan sudah sembuh apabila:
a)      Kepribadiannya terintegrasi, dan mampu menyelesaikan masalahnya yang dihadapinya atas tanggung jawab diri, memiliki gambaran diri yang serasi dengan pengalaman sendiri.
b)      Mempunyai gambaran diri dalama rti memandang fakta yang lama dengan pandangan baru.
c)      Mengenal dan menerima diri sendiri sebagaimana adanya dengan   segala kekurangan dan kelebihan.
d)      Dapat memilih dan menentukan tujuan hidup atas tanggung jawab sendiri.

4.      Penutup
Proses terapi hendaknya diarahkan kepada penutupan oleh klien sendoiri, miskipun ada siklap ambivalen dari klien, terapis dapat mendorong agar klien bisa membawa insight baru tersebut dalam menghadapi dunianya.[1]

D.      Kelebihan Pendekatan Person Centered
1.      Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis.
2.      Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
3.      Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik.
4.      Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
5.      Penekanan emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi
6.      Menawarkan perspektif yang lebih up-to-date dan optimis.
7.      Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya
8.      Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi

E.       Kekurangan Pendekatan Person Centered
1.      Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana.
2.      Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan.
3.      Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu.
4.      Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya.
5.      Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
6.      Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup.
7.      Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatology yang parah.
8.      Minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya.[2]

Kesimpulan
Terapi person-centered mulai berkembang pada 1940 an sebagai reaksi terhadap terapi psychoanalytic, dan masih digunakan sampai sekarang. Manusia yang dalam pandangan Rogers adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan untuk selalu bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstrukstif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Sehingga pembaharuan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk terapi mengalami banyak perubahan. Hingga akhirnya sampai pada Person-centered.Didasarkan pada pandangan subjektif terhadap pengalaman manusia, menekankan sumber daya terapi untuk menjadi sadar diri self-aware dan untuk pemecahan hambatan ke pertumbuhan pribadi. Model ini meletakkan klien, bukan terapi, sebagai pusat terapi. meningkatkan keterlibatan hubungan personal dengan klien, terapistlebih aktif & terbuka, lebih memperhatikan pengaruh lingkungan. Terapist lebih mengutamakan sikapnya daripada pengetahuan dan penguasaan teknik teknik terapi konseling. Terapiperson-centered menitikberatkan kondisi-kondisi tertentu yang “diperlukan dan memadai” bagi kelangsungan perubahan kepribadian.


[1]Bulan indah firmanthy, Person Centered Therapy, (Depok: http://bulanindahfirmanthy.blogspot.com/2013/04/person-centered-therapy.html, 2013), 17 September 2014, 21:14.
[2]JanokoGall’s, Person Centered by Carl Roger, (http://janokogalls.blogspot.com/2011/12/person-centered-by-carl-roger.html), 17 September, 21:22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar