BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
antara delapan puluh empat ribu ajaran dalam agama Buddha, Ch’an adalah ajaran
yang sekarang ini paling digemari untuk dipelajari banyak orang. Meskipun
pernah terbatas saja di wilayah timur tempat ajaran ini berasal, ajaran Ch’an
sekarang telah menarik perhatian dan minat di wilayah barat. Seperti salah satu
contohnya, banyak universitas di Amerika yang telah membentuk kelompok-kelompok
meditasi. Sungguh membesarkan hati melihat meditasi menyebar dari kungkungan
vihara-vihara ke dunia modern, di sini meditasi memainkan peranan yang sangat
penting.
Masyarakat
sekarang berada dalam keadaan kacau, kehidupan materi semakin mewah dan
sifatnya sia-sia belaka. Banyak orang menjalani kehidupan yang hampa. Mereka
benar-benar gelisah dan khawatir. Ch’an dapat memberikan pemecahan atas
masalah-masalah ini. Ajaran ini dapat mengangkat pandangan kita akan kehidupan.
Itulah sebabnya, Ch’an telah menarik perhatian kaum terpelajar dan juga
golongan masyarakat tingkat atas.
Menjelaskan
Ch’an bukanlah suatu tugas yang mudah karena Ch’an adalah sesuatu yang tidak
dapat dikatakan atau diungkapkan secara tertulis. Saat bahasa digunakan, kita
tidak lagi berhubungan dengan inti sejati Ch’an karena inti sejatinya itu
melebihi semua kata-kata. Walaupun demikian, Ch’an tidak dapat dibiarkan tanpa
ungkapan. Oleh karena itu pemakalah akan membahas mengenai sejarah, pengertian,
garis besar ajaran dan aliran-aliran dalam ajaran ch’an atau zen.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian zen?
2. Bagaimanakah sejarah budhisme zen?
3. Bagaimanakah garis besar ajaran zen?
4. Bagaimanakah aliran-aliran budhisme zen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian zen
2. Untuk mengetahui sejarah budhisme zen.
3. Untuk mengetahui garis besar ajaran zen.
4. Untuk mengetahui aliran-aliran budhisme zen.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zen
Zen merupakan salah satu dari ajaran Budhisme yang berasal
dari India, yang menyebar melalaui Cina dan Korea. Banyak orang yang sulit
mengartikan makna zen sesungguhnya. Zen yang
diambil dari aksara Cina berarti "menunjukkan
kesederhanaan". Zen adalah ajaran yang sangat jelas dan
singkat. Ada juga yang berpendapat bahwa zen merupakan
filosofi, dan bukanlah sebuah agama.[1]
Menurut Suzuki, zen bukanlah
filosofi karena pemikiran zen bukanlah berdasarkan pada logika
dan analisis. Zen tidak pernah mengajarkan untuk berpikir
secara intelektual dan menganalisis. Pemikiran yang dihasilkan oleh seorang
ahli zen selalu diajarkan secara turun-temurun kepada muridnya
demikian juga seterusnya. Jika menyangkut bagaimana cara Zen menyebarkan
ajarannya, yaitu sama dengan yang dilakukan Sidharta. Hal ini
didukung oleh pernyataan, yang menyebutkan bahwa ajaran dari Budha sendiri
diturunkan kepada murid-muridnya secara langsung dan turun-temurun.
Pengajaran Bodhidharma tentang zen adalah
perbuatan baik saja tidak cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong
kemurnian moral dimana menjadi suatu syarat yang mutlak bagi pencerahan. Zen
memiliki tiga arti yang berbeda, namun berkaitan. Chrismas humpeyrs dalam key
kit, mengatakan bahwa pertama, zen berarti
meditasi. Zen adalah istilah Jepang mengungkapkan Bahasa cina Chan,
yang bila ditelusuri berasal dari Bahasa Sansekerta Dhyana. Ini
adalah arti yang paling umum dari istilah tersebut. Kedua, dalam arti
khusus zen adalah nama dari kekuatan absolut atau realitas
tinggi yang tidak dapat disebutkan dengan kata-kata. Ketiga, dalam arti yang
lebih khusus zen adalah pengalaman mistis akan keabsolutan
kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba-tiba dan diluar batasan. Pengalaman
mistis ini biasanya disebut kesadaran atau wu dalam Bahasa
Cina dan satori dalam Bahasa Jepang. Ketiga arti zen tersebut
saling berkaitan. Meditasi, arti umum adalah cara utama untuk mendapatkan
pengalaman langsung dengan realitas tertinggi, dan mungkin orang yang
melaksanakan meditasi akan mengalami pemahaman realistas kosmis ini dalam
situasi yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.[2]
Pendekatan zen terhadap realitas
tidak sering dengan pendekatan ilmiah yakni menghindarkan penalaran logis,
karena penalaran logis mengakibatkan kerangka pemikiran hidup mendua artinya
suatu pemikiran yang selalu bertentangan antara subjek dengan objek atau
berorientasi pada adanya dua prinsip kehidupan yang saling bertentangan.
Nilai ajaran zen digunakan oleh orang
Jepang sebagai konsep pemahaman terhadap alam dan isinya, yakni tidak terlepas
dari kewajaran atau bersifat alami antara lain ; (1) kesederhanaan, (2) ketidak-sempurnaan,
dan (3) ketidak-abadian. Nilai-nilai tersebut terekspresi dalam konsep dasar
pemahaman estetika wabi - sabi. Bagi orang jepang ajaran zen Budhisme
diekspresikan melalui konsep estetika wabi- sabi yang
digunakan sebagai acuan dalam berpedoman, mengatur dan juga sebagai pengendali
dalam mencipta maupun memahami suatu karya seni. Makna dari wabi -
sabi itu sendiri adalah kepasrahan (seijaku) dan ketulusan
dalam menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa ketulusan dan kepasrahan
tersebut bagi orang Jepang diekspresikan ke dalam karya seninya dengan
melukiskan situasi keadaan hening, tenang dan diam. Sehingga dapat dikatakan
Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan
mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam
agama Buddha adalah berintikan tentang transmisi jiwa ajaran Buddha yang
bersifat istimewa.[3]
B. Sejarah Budhisme Zen
Budhisme diajarkan oleh budha
Gaotama (483-536 SM) di India. Sesudah Gaotama wafat terjadilah aliran-aliran
budhisme, agama budha terpecah kedalam
dua mazhab besar, yaitu Hinayana (perahu kecil) dan Mahayana (perahu besar),
kedua aliran tersebut memiliki arti yang berbeda. Aliran Hinayana menyatakan
bahwa dirinya adalah jalan para sesepuh, dan pada dasarnya memandang manusia
sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung kepada penyelamatan
orang lain, sedangkan aliran Mahayana menyatakan dirinya sebagai pemelihara
semangat Budha yang asli, berdiri lurus pada garis Ilhamnya, dan berpendirian
sebaliknya, oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang berkaitan dengan
nasib manusia seluruhnya. Kaum Mahayan bersifat liberal dalam segala hal.
Berdasarkan
sejarah singkat diatas, aliran Theravada bersatu dalam suatu tradisi tunggal
yang utuh. Sebaliknya, Mahayana terus-menerus pecah. Hal ini disebabkan oleh
luasnya daerah penyebarannya, perpecahan itu juga mungkin disebabkan oleh
sikap liberal agama tersebut terhadap berbagai perbedaan dalam lingkungannya.
Mazhab Mahayana ini berkembang menjadi tujuh aliran terbesar, yaitu: aliran
San-lun, aliran Wei-shih, aliran Tien-tai, aliran Hua-yen, aliran Chan, aliran
Ching-tu, dan aliran Cheng-yen.[4] Zen
adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen berasal dari bahasa Jepang.
Sedangkan bahasa Sansekerta dari kata tersebut adalah dhyana. Di Tiongkok dikenal
sebagai chan yang berarti meditasi. Aliran Zen memberikan fokus pada meditasi
untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan.
Zen diturunkan dari akar kata
Cina "Ch'an", artinya "Meditasi". Kata Ch'an sendiri adalah
kependekan dari kata "Ch'an-Na", yang berasal dari kata Sansekerta
"Dhyana" atau kata Pali "Jhana". Beberapa orang juga
menganggap Zen sebagai agama dan filsafat. Dari sudut pandang sejarah,
kemunculan zen berakar dari ajaran Buddhisme Mahayana. Ajaran zen pertama kali
dibawa ke Cina pada awal abad ke-6, oleh seorang pendeta India yang bernama
Bodhidharma (470-543). Bodhidharma adalah seorang pendeta yang mengajarkan
Buddhisme lewat metode meditasi. Sehingga, Bodhidharma dianggap sebagai
perintis ajaran Zen. Banyak sekali cerita yang muncul mengenai Bodhidharma,
salah satunya adalah ketika Bodhidharma mencabut kelopak matanya lalu
membuangnya karena merasa kelopak mata itu selalu membuatnya tertidur ketika
Meditasi. Kelopak mata tersebut, kemudian berubah menjadi pohon teh. Dengan
banyaknya cerita mengenai kehebatan pendeta ini, maka banyak orang yang ingin
berguru padanya. Hanya saja Bodhidharma hanya mau menerima murid yang
bersungguh-sungguh ingin mendalami ajaran dan mengikuti jejak sang Budha.
Zen berkembang di Cina pada
periode dinasti T'Sang sampai pada era Sung dan Yuan (618-1279). Pada awal abad
ke-8, Zen Master ke-6, Hui Neng (638-713), meresmikan serta memantapkan ajaran
Zen. Karya Hui Neng diteruskan oleh kedua muridnya, yakni Huai Jang (?-740) dan
Hsing Ssu (?-788) dan Shi Tou (700-790), yang kemudian menghasilkan murid-murid
hebat yang mendirikan kelima aliran utama Zen, yaitu Lin Chi, Tsao Tung, I
Yang, Yun Men, dan Fa Yen. Di kemudian, hari kelima aliran ini dilebur menjadi
dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Karena itu sampai
sekarang yang dikenal hanyalah dua aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai.
Bodhidharma datang ke Tiongkok
pada masa dinasti Liang (502-557M), beliau mula-mula sampai di Nanking.
Sebenarnya apa yang diajarkan oleh Bodhidharma tidak menitikberatkan
teori-teori. Bodhidharma menurunkan ajarannya Dhyana kepada muridnya, Hui Khe
yang menjadi sespuh kedua aliran Cha’n di Cina. Demikian seterusnya, hingga
dikenal enam sesepuh yaitu: Bodhidharma, Hui Khe, Shen Chie, Tao Sin, Hung Jen,
Hui Nen.
Setelah Hui Neng sistem
pewarisan sesepuh atau Patriach ditiadakan. Namun demikian, terdapat juga
beberapa Zen master yang cukup terkenal diantaranya Master Han san, Fa Jung,
Upasaka Ph’ang dan Master Ma Tsu serta lain-lainnya. Dari Cina, ajaran Cha’n
menyebar ke Jepang dan dikenal dengan istilah Zen. Istilah Zen dari jepang
inilah yang kemudian lebih populer untuk menamai aliran Dhyana atau Cha’n.[5]
C. Garis Besar Ajaran Zen
Setiap
agama yang telah mengembangkan bahasa yang canggih sampai taraf tertentu
mengakui bahwa kata-kata dan akal manusia tidak dapat mencapai kenyataan yang
sesungguhnya., jika bukan merusak kenyataan itu sendiri. Kekhususannya terletak
pada kenyataan bahwa aliran ini amat menyadari keterbatasan bahasa dan akal
manusia, sehingga aliran ini mencurahkan perhatian pokoknya untuk mencari cara
mengatasi keterbatasan bahasa dan akal tersebut. Hubungan Zen dengan akal ada
dua yaitu pertama, logika dan penjelasan Zen hanya dapat dimengerti dari sudut
tinjauan pengalaman yang secara mendasar berbeda dari pengalaman kita biasa.
Dan yang kedua, para guru besar Zen bertekad kuat agar para siswanya
benar-benar memperoleh pengalaman tersebut secara langsung dan bukannya
digantikan oleh kata-kata.
Ada tiga (3) jalan yang biasa ditempuh dalam latihan
Zen, yaitu 'Zazen' yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung
yang mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Sikap mana
dilanjutkan dengan 'Koan' yang berarti konsentrasi akan suatu masalah
tertentu, suatu masalah yang sulit yang sebenarnya tidak bisa dijawab, tetapi
bisa direnungkan.[6] Sikap
mana kemudian dilanjutkan dengan 'Sanzen', yaitu bimbingan mengenai
soal-soal meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat dijalankan dengan baik,
seseorang akan memasuki keadaan pencerahan 'Satori', yaitu suatu situasi
santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu pengalaman
intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi berpribadi (an-atta/an-atman).
"Cara terbaik untuk merasakan Zen yang benar dan mencapai satori adalah
dengan meletakkan jasmani dalam keadaan keseimbangan sempurna, sehingga
keseimbangannya yang teratur menghilangkan keberadaannya dari batin, seperti
gigi tidak akan diperhatikan bila sehat dan seorang teman yang benar-benar
berkorban tidak pernah memperhatikan pengorbanannya. Untuk mencapai keadaan
yang seimbang ini, kita ikuti aturan hidup fisik tertentu yaitu pertama-tama
buatlah postur yang benar, kemudian aturlah nafas dan akhirnya tenangkan
batin". Aliran Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai
Mahayana-sutras, tidak hendak mengikatkan diri kepada sutras tertentu. Begitu
pula terhadap aliran filsafat didalam mazhab Mahayana.
Aliran
Zen lebih mengutamakan pendekatan secara intuitif bagi mencapai kesadaran
tertinggi. Titik berat ajarannya lebih mengutamakan disiplin, yakni ketaatan
dan khidmat yang sepenuhnya kepada sang guru, hanya sang guru saja secara resmi
dan pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna
mencapai kepribadian-Budha. Aliran Zen berpendirian bahwa kepribadian-Budha itu
hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam semadi, maka
kepribadian Budha itu dapat dilihat. Isi kepribadian-Budha itu ialah kekosongan
(sunyata), yakni, kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan
seluruh ciri-ciri khusus itu hanya tipuan-khayal (maya) belaka. Jalan
satu-satunya bagi mendekati kebenaran terakhir itu ialah melalui samadhi, yang
terbagi dalam dua macam:[7]
1. Tathagatha-Meditation, yaitu cara samadhi dari Budha
Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
2. Patriarchal-Meditation, yaitu cara samadhi yang
diajarkan Patriach Bodhidarma, meniadakan pemikiran dan memusatkan kesadaran
rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
Sedangkan dasar ajaran dari Cha’n atau Zen sebagai
berikut :[8]
a. Berhubungan dengan jiwa
Tidak terbawa oleh yang lain, memikul tanggung jawab
sendiri untuk berlatih mencari diri untuk mencapai kesempurnaan diri.
b. Berhubungan dengan pengetahuan
Zen tidak membicarakan pengetahuan. Ajaran zen
menganggap pengetahuan adalah musuh terbesar karena dapat memunculkan
perbedaan.
c. Berhubungan dengan kehidupan
Ajaran zen bukan sesuatu untuk dibicarakan atau
dipelajari namun ajaran ini adalah sesuatu untuk menolong mengubah kehidupan.
Banyak
jalur menuntun ke Sang Jalan, tetapi
pada dasarnya hanya ada dua yaitu kebijaksanaan dan praktik. Memasuki melalui
kebijaksanaan berarti mencapai intisari
melalui petunjuk dan meyakini semua makhluk hidup memiliki hakikat sejati yang
sama. Sedangkan melalui praktik menunjuk empat praktik yang meliputi menderita
ketidakadilan, beradaptasi dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun dan
mempraktikkan Dharma.
Bagi mereka meditasi adalah bagian dari kehidupan
mereka, namun meditasi tidak bisa menjamin seseorang menjadi Buddha. Segala
sesuatu harus diresapi dan di realisasikan agar dapat menghayati setiap momen
kehidupan. Mereka begitu mencintai ketenangan, keheningan serta keindahan alam
karena hal-hal demikian banyak membantu dalam usaha untuk mencari diri pribadi
dan mengenal diri sendiri.
D.
Aliran-aliran budhisme Zen
Seiring
dengan berjalannya waktu aliran Budhisme zen melahirkan beberapa aliran. Ada
beberapa sekte atau aliran Zen yang berkembang menurut metode yang berbeda atau
keadaan setempat. Diantaranya sebagai berikut: Aliran Lin Chi,
dikembangkan oleh Master Lin Chi (kira-kira 850 M) Aliran Chau Tung,
dikembangkan oleh Master Tung San Liang Chie (807-869) dan Chau San (840-901)
Aliran Kuei Yang, dikembangkan oleh Kuei San (771-853) dan Yang San (807-883)
Aliran Yun Men, dikembangkan oleh Yun Men (862-853) Aliran Fa Yen, dikembangkan
oleh Fa Yen (885-958) Zen kemudian berpecah menjadi 5 aliran, dan di kemudian,
hari kelima aliran ini dilebur menjadi dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan
Lin Chi (Rinzai). Karena itu sampai sekarang yang kita kenal hanyalah dua
aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai yang pada abad ke XII bermigrasi dari China
ke Jepang. Aliran Soto menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi tenang
pengosongan pikiran (kontemplasi), sedangkan aliran Rinzai menekankan
pencapaian pencerahan melalui meditasi yang diarahkan kepada aliran tertentu.[9]
Adapun yang bisa dilakukan
untuk sampai pada inti diri adalah sebagai berikut:[10]
1. Meditasi untuk pencerahan
Seorang
Guru Besar Zen - Hakuin - pernah pada suatu ketika ditanya : Sensei –
bagaimanakah Buddhisme yang benar itu? ' Hakuin menjawab singkat : Mata Lurus,
Hidung Tegak, Itulah Buddhisme yang Benar ! Pesan jelas dari jawaban yang
sangat lugas ini adalah bahwa Buddhisme adalah Meditasi ! Pencarian Jalan di
dalam diri untuk menemukan Pencerahan. Meditasi dan Pencerahan. Dua hal inilah
Tulang Punggung, Tonggak dari Ajaran Buddhisme Zen.
2. Pencarian di dalam, yaitu
melepas segala konsep dan kata
Meditasi
sebagai tonggak dalam ajaran Zen menuntut pencarian di dalam, bukan di luar. Meditasi
Zen berarti menyatukan ' diri ' yang terbatas, dengan ' Diri ' yang tak
terbatas, yang berada tidak jauh - dalam diri sendiri. Ketika
seorang Bima dalam kisah Dewaruci masih mencari di luar : mencari hal-hal di
luar untuk dikalahkan- naga di dasar laut, raksasa di atas gunung, ia belum
menemukan Zen. Ketika ia telah menemukan Dewaruci yang ternyata berada dekat
sekali dengannya yaitu di dalam tubuhnya sendiri, di telinganya dan ia mulai
mendengarkan bisikan dari Dewaruci yang merupakan replika dirinya itu dan pada
saat itu ia mulai memahami Zen. Proses masuk ke Zen baru dimulai ketika
seseorang mulai melepas pencarian di luar, melepas konsep dan kata-kata.
3. Pengalaman Langsung
Zen
menuntut pengalaman langsung, bukan hasil pemikiran teori atau hasil
menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya iman yang dituntut dari seorang
praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta dan meditasi harus
dijalani dengan tubuh ini bukan dengan pikiran atau yang lain. Seorang Master
Zen pernah mengatakan : “Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah -
seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha!”
4. Laku - bukan Filsafat
Zen
adalah Laku, bukan Filsafat, Zen adalah Za-Zen. Duduk diam, punggung lurus, buka
mata hati, dan masuk ke dalam diri yaitu meditasi.
5. Kesadaran Hishiryo - menjadi
sederhana
Menurut
Taisen Deshimaru, Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup.
Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah
karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana. Dunia modern dengan segala
corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu
menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu yang telah
menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks.
Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa
bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh
konsep-konsep, analisa pemikiran dan lain sebagainya. Kesadaran Hishiryo ini
akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita
yaitu alam, manusia, makhluk lain dan terutama juga dengan ' diri ' kita
sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya
mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' tetapi akan membawa kita ke suatu
wawasan yang jauh lebih luas yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar
kita pada tingkat kesadaran tertinggi yaitu kesadaran murni, kesadaran kosmis,
kesadaran no - mind , shunyata (pencerahan total).
6. Jalan Tengah
Zen
mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun. Latihan Zen yang
keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi
keras. Sebaliknya latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu
kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu
ekstrim ataupun dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain. Agar kita dapat
selalu berada dalam kesadaran mental yang seimbang dan menjalani hidup yang
tidak tergoyahkan oleh hedonism atau pun pelarian dari dunia.
Ada
orang yang terus hidup sangat duniawi dan ada yang lain yang seolah melarikan
diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di
rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran
dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap
tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi batin
sangat penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh
terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme adalah produk dari pikiran dan Zen
berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan
mensintesakan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
7. Mushotoku yaitu berhenti mengejar
Melakukan
apa yang harus dilakukan, tanpa pamrih, tanpa terlebih dahulu memikirkan hasil
atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma yaitu sesuatu yang
memang telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.
8. Sekarang, di sini, saat ini
Inilah
pragmatisme yang harus dilakukan dalam memandang kehidupan yang terus berubah.
Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya yang paling nyata yaitu saat ini.
Masa lalu tidak akan kembali dan masa depan belum nyata. Di sini Zen bertemu
dengan Konfusius. Konfusius selalu menekankan pada sekarang. Konfusius mementingkan
apa yang nyata terlihat dan apa yang ada dihadapan kita, yang sangat membumi.
9. Wu - Wei
Istilah ini sulit diartikan
dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal
dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai tidak berbuat atau dalam bahasa
Inggris sering diterjemahkan sebagai Action in No Action sebuah terjemahan
yang mungkin artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti sesungguhnya dari
wu-wei mungkin adalah kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan apa yang di alami. Let nature takes care of itself yaitu biarkan yang alami bekerja, jangan
memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi dan biarkan hukum alam
bekerja. Harmoni dengan alam.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Zen adalah
salah satu aliran Buddha Mahayana.
Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa
mandarin "Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa
Pali "jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ध्यान ). Dalam bahasa vietnam Zen dikenal
sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”. Jhana
atau Dhyāna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam
meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata ‘dhyāna’
(Sansekerta) atau ‘jhana’ (Pali). Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana.
Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek meditasi
atau Samadhi.
Ajaran zen berasal dari India, diceritakan bahwa
selama pertemuan di atas puncak Grdhrakuta, Sang Buddha memetik setangkai bunga
dan membawanya hingga ke tempat pertemuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Berjuta-juta makhluk surga dan manusia, yang berkumpul di saat pertemuan itu,
tidak memahami maksud Sang Buddha, kecuali Mahakasyapa yang tersenyum. Jadi,
Ch’an diwariskan tanpa menggunakan bahasa lisan atau tertulis, tetapi
diteruskan langsung dari pikiran ke pikiran. Selanjutnya, Ch’an diperkenalkan
di Cina.
Terdapat banyak cara menuntun ke Sang Jalan, tetapi
pada dasarnya hanya ada dua yaitu kebijaksanaan dan praktik. Memasuki melalui
kebijaksanaan berarti mencapai intisari melalui petunjuk dan meyakini semua
makhluk hidup memiliki hakikat sejati yang sama. Sedangkan melalui praktik
menunjuk empat praktik yang meliputi menderita ketidakadilan, beradaptasi
dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun dan mempraktikkan Dharma.
DAFTAR
PUSTAKA
Huston Smith, Agama-agama Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001
Enis khaerunisa, Budhisme Zen Dan Aliran-Alirannya, http: /buddhisme 03.blogspot . com /2012 / 06/ budhdhisme
–zen .html
Joesoef Sou’yb
dalam Kifudyartanto, Psikologi Kepribadian Timur, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
Ujam Jaenudin, Psikologi
Transpersonal, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012
[1]Huston
Smith, Agama-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001),
h.156
[2]Enis khaerunisa,
Budhisme Zen Dan Aliran-Alirannya, (http: /buddhisme
03.blogspot . com /2012 / 06/ budhdhisme –zen .html)., 30 Maret 2015, 12.30 WIB
[3]Huston
Smith, Agama-agama Manusia..., h. 165
[4]Joesoef
Sou’yb dalam Kifudyartanto,
Psikologi Kepribadian Timur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 9
[5]http://en.wikipedia.org/wiki/shinkataza, diakses pada 30 Maret 2015 pukul
12.10 WIB
[6]http://tamandharma.com
, diakses pada 30 Maret 2015, pukul 12.35 WIB
[7]http://tamandharma.com
, diakses pada 30 Maret 2015, pukul 12.40 WIB
[8]Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita dalam Ujam Jaenudin, Psikologi
Transpersonal, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 144
[9]http://tamandharma.com
, diakses pada 30 Maret 2015, pukul 13.00 WIB
[10]Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita dalam Ujam Jaenudin, Psikologi
Transpersonal..., h. 149-152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar