Selasa, 11 Oktober 2016

Makalah Psikologi Transpersonal tentang Ajaran Utama Zen



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di antara delapan puluh empat ribu ajaran dalam agama Buddha, Ch’an adalah ajaran yang sekarang ini paling digemari untuk dipelajari banyak orang. Meskipun pernah terbatas saja di wilayah timur tempat ajaran ini berasal, ajaran Ch’an sekarang telah menarik perhatian dan minat di wilayah barat. Seperti salah satu contohnya, banyak universitas di Amerika yang telah membentuk kelompok-kelompok meditasi. Sungguh membesarkan hati melihat meditasi menyebar dari kungkungan vihara-vihara ke dunia modern, di sini meditasi memainkan peranan yang sangat penting.
Masyarakat sekarang berada dalam keadaan kacau, kehidupan materi semakin mewah dan sifatnya sia-sia belaka. Banyak orang menjalani kehidupan yang hampa. Mereka benar-benar gelisah dan khawatir. Ch’an dapat memberikan pemecahan atas masalah-masalah ini. Ajaran ini dapat mengangkat pandangan kita akan kehidupan. Itulah sebabnya, Ch’an telah menarik perhatian kaum terpelajar dan juga golongan masyarakat tingkat atas.
Menjelaskan Ch’an bukanlah suatu tugas yang mudah karena Ch’an adalah sesuatu yang tidak dapat dikatakan atau diungkapkan secara tertulis. Saat bahasa digunakan, kita tidak lagi berhubungan dengan inti sejati Ch’an karena inti sejatinya itu melebihi semua kata-kata. Walaupun demikian, Ch’an tidak dapat dibiarkan tanpa ungkapan. Oleh karena itu pemakalah akan membahas mengenai sejarah, pengertian, garis besar ajaran dan aliran-aliran dalam ajaran ch’an atau zen.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pengertian zen?
2.    Bagaimanakah sejarah budhisme zen?
3.    Bagaimanakah garis besar ajaran zen?
4.    Bagaimanakah aliran-aliran budhisme zen?
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian zen
2.    Untuk mengetahui sejarah budhisme zen.
3.    Untuk mengetahui garis besar ajaran zen.
4.    Untuk mengetahui aliran-aliran budhisme zen.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Zen
Zen merupakan salah satu dari ajaran Budhisme yang berasal dari India, yang menyebar melalaui Cina dan Korea. Banyak orang yang sulit mengartikan makna zen sesungguhnya. Zen yang diambil dari aksara Cina berarti "menunjukkan kesederhanaan". Zen adalah ajaran yang sangat jelas dan singkat. Ada juga yang berpendapat bahwa zen merupakan filosofi, dan bukanlah sebuah agama.[1]
Menurut Suzuki, zen bukanlah filosofi karena pemikiran zen bukanlah berdasarkan pada logika dan analisis. Zen tidak pernah mengajarkan untuk berpikir secara intelektual dan menganalisis. Pemikiran yang dihasilkan oleh seorang ahli zen selalu diajarkan secara turun-temurun kepada muridnya demikian juga seterusnya. Jika menyangkut bagaimana cara Zen menyebarkan ajarannya, yaitu sama dengan yang dilakukan Sidharta. Hal ini didukung oleh pernyataan, yang menyebutkan bahwa ajaran dari Budha sendiri diturunkan kepada murid-muridnya secara langsung dan turun-temurun.
Pengajaran Bodhidharma tentang zen adalah perbuatan baik saja tidak cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong kemurnian moral dimana menjadi suatu syarat yang mutlak bagi pencerahan. Zen memiliki tiga arti yang berbeda, namun berkaitan. Chrismas humpeyrs dalam key kit, mengatakan bahwa pertama, zen berarti meditasi. Zen adalah istilah Jepang mengungkapkan Bahasa cina Chan, yang bila ditelusuri berasal dari Bahasa Sansekerta Dhyana. Ini adalah arti yang paling umum dari istilah tersebut. Kedua, dalam arti khusus zen adalah nama dari kekuatan absolut atau realitas tinggi yang tidak dapat disebutkan dengan kata-kata. Ketiga, dalam arti yang lebih khusus zen adalah pengalaman mistis akan keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba-tiba dan diluar batasan. Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau wu dalam Bahasa Cina dan satori dalam Bahasa Jepang. Ketiga arti zen tersebut saling berkaitan. Meditasi, arti umum adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi, dan mungkin orang yang melaksanakan meditasi akan mengalami pemahaman realistas kosmis ini dalam situasi yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.[2]
Pendekatan zen terhadap realitas tidak sering dengan pendekatan ilmiah yakni menghindarkan penalaran logis, karena penalaran logis mengakibatkan kerangka pemikiran hidup mendua artinya suatu pemikiran yang selalu bertentangan antara subjek dengan objek atau berorientasi pada adanya dua prinsip kehidupan yang saling bertentangan.
Nilai ajaran zen digunakan oleh orang Jepang sebagai konsep pemahaman terhadap alam dan isinya, yakni tidak terlepas dari kewajaran atau bersifat alami antara lain ; (1) kesederhanaan, (2) ketidak-sempurnaan, dan (3) ketidak-abadian. Nilai-nilai tersebut terekspresi dalam konsep dasar pemahaman estetika wabi - sabi. Bagi orang jepang ajaran zen Budhisme diekspresikan melalui konsep estetika wabisabi yang digunakan sebagai acuan dalam berpedoman, mengatur dan juga sebagai pengendali dalam mencipta maupun memahami suatu karya seni. Makna dari wabi - sabi itu sendiri adalah kepasrahan (seijaku) dan ketulusan dalam menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa ketulusan dan kepasrahan tersebut bagi orang Jepang diekspresikan ke dalam karya seninya dengan melukiskan situasi keadaan hening, tenang dan diam. Sehingga dapat dikatakan Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha adalah berintikan tentang transmisi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.[3]
B.     Sejarah Budhisme Zen
Budhisme diajarkan oleh budha Gaotama (483-536 SM) di India. Sesudah Gaotama wafat terjadilah aliran-aliran budhisme, agama budha terpecah kedalam dua mazhab besar, yaitu Hinayana (perahu kecil) dan Mahayana (perahu besar), kedua aliran tersebut memiliki arti yang berbeda. Aliran Hinayana menyatakan bahwa dirinya adalah jalan para sesepuh, dan pada dasarnya memandang manusia sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung kepada penyelamatan orang lain, sedangkan aliran Mahayana menyatakan dirinya sebagai pemelihara semangat Budha yang asli, berdiri lurus pada garis Ilhamnya, dan berpendirian sebaliknya, oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya. Kaum Mahayan bersifat liberal dalam segala hal.
Berdasarkan sejarah singkat diatas, aliran Theravada bersatu dalam suatu tradisi tunggal yang utuh. Sebaliknya, Mahayana terus-menerus pecah. Hal ini disebabkan oleh luasnya daerah penyebarannya,  perpecahan itu juga mungkin disebabkan oleh sikap liberal agama tersebut terhadap berbagai perbedaan dalam lingkungannya. Mazhab Mahayana ini berkembang menjadi tujuh aliran terbesar, yaitu: aliran San-lun, aliran Wei-shih, aliran Tien-tai, aliran Hua-yen, aliran Chan, aliran Ching-tu, dan aliran Cheng-yen.[4] Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen berasal dari bahasa Jepang. Sedangkan bahasa Sansekerta dari kata tersebut adalah dhyana. Di Tiongkok dikenal sebagai chan yang berarti meditasi. Aliran Zen memberikan fokus pada meditasi untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan.
Zen diturunkan dari akar kata Cina "Ch'an", artinya "Meditasi". Kata Ch'an sendiri adalah kependekan dari kata "Ch'an-Na", yang berasal dari kata Sansekerta "Dhyana" atau kata Pali "Jhana". Beberapa orang juga menganggap Zen sebagai agama dan filsafat. Dari sudut pandang sejarah, kemunculan zen berakar dari ajaran Buddhisme Mahayana. Ajaran zen pertama kali dibawa ke Cina pada awal abad ke-6, oleh seorang pendeta India yang bernama Bodhidharma (470-543). Bodhidharma adalah seorang pendeta yang mengajarkan Buddhisme lewat metode meditasi. Sehingga, Bodhidharma dianggap sebagai perintis ajaran Zen. Banyak sekali cerita yang muncul mengenai Bodhidharma, salah satunya adalah ketika Bodhidharma mencabut kelopak matanya lalu membuangnya karena merasa kelopak mata itu selalu membuatnya tertidur ketika Meditasi. Kelopak mata tersebut, kemudian berubah menjadi pohon teh. Dengan banyaknya cerita mengenai kehebatan pendeta ini, maka banyak orang yang ingin berguru padanya. Hanya saja Bodhidharma hanya mau menerima murid yang bersungguh-sungguh ingin mendalami ajaran dan mengikuti jejak sang Budha.
Zen berkembang di Cina pada periode dinasti T'Sang sampai pada era Sung dan Yuan (618-1279). Pada awal abad ke-8, Zen Master ke-6, Hui Neng (638-713), meresmikan serta memantapkan ajaran Zen. Karya Hui Neng diteruskan oleh kedua muridnya, yakni Huai Jang (?-740) dan Hsing Ssu (?-788) dan Shi Tou (700-790), yang kemudian menghasilkan murid-murid hebat yang mendirikan kelima aliran utama Zen, yaitu Lin Chi, Tsao Tung, I Yang, Yun Men, dan Fa Yen. Di kemudian, hari kelima aliran ini dilebur menjadi dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Karena itu sampai sekarang yang dikenal hanyalah dua aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai.
Bodhidharma datang ke Tiongkok pada masa dinasti Liang (502-557M), beliau mula-mula sampai di Nanking. Sebenarnya apa yang diajarkan oleh Bodhidharma tidak menitikberatkan teori-teori. Bodhidharma menurunkan ajarannya Dhyana kepada muridnya, Hui Khe yang menjadi sespuh kedua aliran Cha’n di Cina. Demikian seterusnya, hingga dikenal enam sesepuh yaitu: Bodhidharma, Hui Khe, Shen Chie, Tao Sin, Hung Jen, Hui Nen.
Setelah Hui Neng sistem pewarisan sesepuh atau Patriach ditiadakan. Namun demikian, terdapat juga beberapa Zen master yang cukup terkenal diantaranya Master Han san, Fa Jung, Upasaka Ph’ang dan Master Ma Tsu serta lain-lainnya. Dari Cina, ajaran Cha’n menyebar ke Jepang dan dikenal dengan istilah Zen. Istilah Zen dari jepang inilah yang kemudian lebih populer untuk menamai aliran Dhyana atau Cha’n.[5]

C.    Garis Besar Ajaran Zen
Setiap agama yang telah mengembangkan bahasa yang canggih sampai taraf tertentu mengakui bahwa kata-kata dan akal manusia tidak dapat mencapai kenyataan yang sesungguhnya., jika bukan merusak kenyataan itu sendiri. Kekhususannya terletak pada kenyataan bahwa aliran ini amat menyadari keterbatasan bahasa dan akal manusia, sehingga aliran ini mencurahkan perhatian pokoknya untuk mencari cara mengatasi keterbatasan bahasa dan akal tersebut. Hubungan Zen dengan akal ada dua yaitu pertama, logika dan penjelasan Zen hanya dapat dimengerti dari sudut tinjauan pengalaman yang secara mendasar berbeda dari pengalaman kita biasa. Dan yang kedua, para guru besar Zen bertekad kuat agar para siswanya benar-benar memperoleh pengalaman tersebut secara langsung dan bukannya digantikan oleh kata-kata.
Ada tiga (3) jalan yang biasa ditempuh dalam latihan Zen, yaitu 'Zazen' yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung yang mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Sikap mana dilanjutkan dengan 'Koan' yang berarti konsentrasi akan suatu masalah tertentu, suatu masalah yang sulit yang sebenarnya tidak bisa dijawab, tetapi bisa direnungkan.[6] Sikap mana kemudian dilanjutkan dengan 'Sanzen', yaitu bimbingan mengenai soal-soal meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat dijalankan dengan baik, seseorang akan memasuki keadaan pencerahan 'Satori', yaitu suatu situasi santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu pengalaman intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi berpribadi (an-atta/an-atman). "Cara terbaik untuk merasakan Zen yang benar dan mencapai satori adalah dengan meletakkan jasmani dalam keadaan keseimbangan sempurna, sehingga keseimbangannya yang teratur menghilangkan keberadaannya dari batin, seperti gigi tidak akan diperhatikan bila sehat dan seorang teman yang benar-benar berkorban tidak pernah memperhatikan pengorbanannya. Untuk mencapai keadaan yang seimbang ini, kita ikuti aturan hidup fisik tertentu yaitu pertama-tama buatlah postur yang benar, kemudian aturlah nafas dan akhirnya tenangkan batin". Aliran Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai Mahayana-sutras, tidak hendak mengikatkan diri kepada sutras tertentu. Begitu pula terhadap aliran filsafat didalam mazhab Mahayana.
Aliran Zen lebih mengutamakan pendekatan secara intuitif bagi mencapai kesadaran tertinggi. Titik berat ajarannya lebih mengutamakan disiplin, yakni ketaatan dan khidmat yang sepenuhnya kepada sang guru, hanya sang guru saja secara resmi dan pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna mencapai kepribadian-Budha. Aliran Zen berpendirian bahwa kepribadian-Budha itu hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam semadi, maka kepribadian Budha itu dapat dilihat. Isi kepribadian-Budha itu ialah kekosongan (sunyata), yakni, kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan seluruh ciri-ciri khusus itu hanya tipuan-khayal (maya) belaka. Jalan satu-satunya bagi mendekati kebenaran terakhir itu ialah melalui samadhi, yang terbagi dalam dua macam:[7]
1.    Tathagatha-Meditation, yaitu cara samadhi dari Budha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
2.    Patriarchal-Meditation, yaitu cara samadhi yang diajarkan Patriach Bodhidarma, meniadakan pemikiran dan memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
Sedangkan dasar ajaran dari Cha’n atau Zen sebagai berikut :[8]
a.    Berhubungan dengan jiwa
Tidak terbawa oleh yang lain, memikul tanggung jawab sendiri untuk berlatih mencari diri untuk mencapai kesempurnaan diri.
b.    Berhubungan dengan pengetahuan
Zen tidak membicarakan pengetahuan. Ajaran zen menganggap pengetahuan adalah musuh terbesar karena dapat memunculkan perbedaan.
c.    Berhubungan dengan kehidupan
Ajaran zen bukan sesuatu untuk dibicarakan atau dipelajari namun ajaran ini adalah sesuatu untuk menolong mengubah kehidupan.
Banyak jalur menuntun  ke Sang Jalan, tetapi pada dasarnya hanya ada dua yaitu kebijaksanaan dan praktik. Memasuki melalui kebijaksanaan berarti mencapai  intisari melalui petunjuk dan meyakini semua makhluk hidup memiliki hakikat sejati yang sama. Sedangkan melalui praktik menunjuk empat praktik yang meliputi menderita ketidakadilan, beradaptasi dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun dan mempraktikkan Dharma.
Bagi mereka meditasi adalah bagian dari kehidupan mereka, namun meditasi tidak bisa menjamin seseorang menjadi Buddha. Segala sesuatu harus diresapi dan di realisasikan agar dapat menghayati setiap momen kehidupan. Mereka begitu mencintai ketenangan, keheningan serta keindahan alam karena hal-hal demikian banyak membantu dalam usaha untuk mencari diri pribadi dan mengenal diri sendiri.
D.    Aliran-aliran budhisme Zen
Seiring dengan berjalannya waktu aliran Budhisme zen melahirkan beberapa aliran. Ada beberapa sekte atau aliran Zen yang berkembang menurut metode yang berbeda atau keadaan setempat. Diantaranya sebagai berikut: Aliran Lin Chi, dikembangkan oleh Master Lin Chi (kira-kira 850 M) Aliran Chau Tung, dikembangkan oleh Master Tung San Liang Chie (807-869) dan Chau San (840-901) Aliran Kuei Yang, dikembangkan oleh Kuei San (771-853) dan Yang San (807-883) Aliran Yun Men, dikembangkan oleh Yun Men (862-853) Aliran Fa Yen, dikembangkan oleh Fa Yen (885-958) Zen kemudian berpecah menjadi 5 aliran, dan di kemudian, hari kelima aliran ini dilebur menjadi dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Karena itu sampai sekarang yang kita kenal hanyalah dua aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai yang pada abad ke XII bermigrasi dari China ke Jepang. Aliran Soto menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran (kontemplasi), sedangkan aliran Rinzai menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi yang diarahkan kepada aliran tertentu.[9]
Adapun yang bisa dilakukan untuk sampai pada inti diri adalah sebagai berikut:[10]
1.    Meditasi untuk pencerahan
Seorang Guru Besar Zen - Hakuin - pernah pada suatu ketika ditanya : Sensei – bagaimanakah Buddhisme yang benar itu? ' Hakuin menjawab singkat : Mata Lurus, Hidung Tegak, Itulah Buddhisme yang Benar ! Pesan jelas dari jawaban yang sangat lugas ini adalah bahwa Buddhisme adalah Meditasi ! Pencarian Jalan di dalam diri untuk menemukan Pencerahan. Meditasi dan Pencerahan. Dua hal inilah Tulang Punggung, Tonggak dari Ajaran Buddhisme Zen.
2.    Pencarian di dalam, yaitu melepas segala konsep dan kata
Meditasi sebagai tonggak dalam ajaran Zen menuntut pencarian di dalam, bukan di luar. Meditasi Zen berarti menyatukan ' diri ' yang terbatas, dengan ' Diri ' yang tak terbatas, yang berada tidak jauh - dalam diri sendiri. Ketika seorang Bima dalam kisah Dewaruci masih mencari di luar : mencari hal-hal di luar untuk dikalahkan- naga di dasar laut, raksasa di atas gunung, ia belum menemukan Zen. Ketika ia telah menemukan Dewaruci yang ternyata berada dekat sekali dengannya yaitu di dalam tubuhnya sendiri, di telinganya dan ia mulai mendengarkan bisikan dari Dewaruci yang merupakan replika dirinya itu dan pada saat itu ia mulai memahami Zen. Proses masuk ke Zen baru dimulai ketika seseorang mulai melepas pencarian di luar, melepas konsep dan kata-kata. 
3.    Pengalaman Langsung
Zen menuntut pengalaman langsung, bukan hasil pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya iman yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta dan meditasi harus dijalani dengan tubuh ini bukan dengan pikiran atau yang lain. Seorang Master Zen pernah mengatakan : “Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha!”
4.    Laku - bukan Filsafat
Zen adalah Laku, bukan Filsafat, Zen adalah Za-Zen. Duduk diam, punggung lurus, buka mata hati, dan masuk ke dalam diri yaitu meditasi.
5.    Kesadaran Hishiryo - menjadi sederhana 
Menurut Taisen Deshimaru, Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup. Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana. Dunia modern dengan segala corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu yang telah menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks. Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dan lain sebagainya. Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita yaitu alam, manusia, makhluk lain dan terutama juga dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi yaitu kesadaran murni, kesadaran kosmis, kesadaran no - mind , shunyata (pencerahan total).
6.    Jalan Tengah
Zen mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun. Latihan Zen yang keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi keras. Sebaliknya latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu ekstrim ataupun dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain. Agar kita dapat selalu berada dalam kesadaran mental yang seimbang dan menjalani hidup yang tidak tergoyahkan oleh hedonism atau pun pelarian dari dunia.
Ada orang yang terus hidup sangat duniawi dan ada yang lain yang seolah melarikan diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi batin sangat penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme adalah produk dari pikiran dan Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan mensintesakan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
7.    Mushotoku yaitu berhenti mengejar
Melakukan apa yang harus dilakukan, tanpa pamrih, tanpa terlebih dahulu memikirkan hasil atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma yaitu sesuatu yang memang telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.
8.    Sekarang, di sini, saat ini
Inilah pragmatisme yang harus dilakukan dalam memandang kehidupan yang terus berubah. Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya yang paling nyata yaitu saat ini. Masa lalu tidak akan kembali dan masa depan belum nyata. Di sini Zen bertemu dengan Konfusius. Konfusius selalu menekankan pada sekarang. Konfusius mementingkan apa yang nyata terlihat dan apa yang ada dihadapan kita, yang sangat membumi.
9.    Wu - Wei 
Istilah ini sulit diartikan dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai tidak berbuat atau dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai Action in No Action sebuah terjemahan yang mungkin artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti sesungguhnya dari wu-wei mungkin adalah kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang di alami. Let nature takes care of itself  yaitu biarkan yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi dan biarkan hukum alam bekerja. Harmoni dengan alam.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin "Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali "jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ध्यान ). Dalam bahasa vietnam Zen dikenal sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”. Jhana atau Dhyāna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata ‘dhyāna’ (Sansekerta) atau ‘jhana’ (Pali). Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek meditasi atau Samadhi.
Ajaran zen berasal dari India, diceritakan bahwa selama pertemuan di atas puncak Grdhrakuta, Sang Buddha memetik setangkai bunga dan membawanya hingga ke tempat pertemuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Berjuta-juta makhluk surga dan manusia, yang berkumpul di saat pertemuan itu, tidak memahami maksud Sang Buddha, kecuali Mahakasyapa yang tersenyum. Jadi, Ch’an diwariskan tanpa menggunakan bahasa lisan atau tertulis, tetapi diteruskan langsung dari pikiran ke pikiran. Selanjutnya, Ch’an diperkenalkan di Cina.
Terdapat banyak cara menuntun ke Sang Jalan, tetapi pada dasarnya hanya ada dua yaitu kebijaksanaan dan praktik. Memasuki melalui kebijaksanaan berarti mencapai intisari melalui petunjuk dan meyakini semua makhluk hidup memiliki hakikat sejati yang sama. Sedangkan melalui praktik menunjuk empat praktik yang meliputi menderita ketidakadilan, beradaptasi dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun dan mempraktikkan Dharma.

DAFTAR PUSTAKA
Huston Smith,  Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
Enis khaerunisa, Budhisme Zen Dan Aliran-Alirannya, http: /buddhisme 03.blogspot . com /2012 / 06/ budhdhisme –zen .html
Joesoef Sou’yb dalam Kifudyartanto, Psikologi Kepribadian Timur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Ujam Jaenudin, Psikologi Transpersonal, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012


[1]Huston Smith,  Agama-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h.156
[2]Enis khaerunisa, Budhisme Zen Dan Aliran-Alirannya, (http: /buddhisme 03.blogspot . com /2012 / 06/ budhdhisme –zen .html)., 30 Maret 2015, 12.30 WIB
[3]Huston Smith, Agama-agama Manusia..., h. 165
[4]Joesoef Sou’yb dalam Kifudyartanto, Psikologi Kepribadian Timur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 9
[5]http://en.wikipedia.org/wiki/shinkataza, diakses pada 30 Maret 2015 pukul 12.10 WIB
[6]http://tamandharma.com , diakses pada 30 Maret 2015, pukul 12.35 WIB
[7]http://tamandharma.com , diakses pada 30 Maret 2015, pukul 12.40 WIB
[8]Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita  dalam Ujam Jaenudin, Psikologi Transpersonal, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 144
[9]http://tamandharma.com , diakses pada 30 Maret 2015, pukul 13.00 WIB
[10]Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita  dalam Ujam Jaenudin, Psikologi Transpersonal...,  h. 149-152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar