BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf
merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang
dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara
menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak
mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan
analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran
yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju
Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu
secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat)
kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya
banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan
melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau
jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan
menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di
kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka‘Irfani.
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah
orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau
logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman
Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak
dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang
panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua
persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun
perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat
dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar
keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan
kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan
mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk
itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam
tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pengertian Maqamat dan
macam-macam sistematikanya menurut tokoh-tokoh sufi?
2.
Bagaimana Pengertian Ahwal dan
Keterkaitanya dengan Maqamat?
3.
Bagaimana Maqamat taubat syarat dan
rukun yang harus di penuhi oleh seorang salik?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian Maqamat dan
macam-macam sistematikanya menurut tokoh-tokoh sufi
2.
Mengetahui Pengertian Ahwal dan
Keterkaitanya dengan Maqamat
3.
Mengetahui Maqamat taubat syarat
dan rukun yang harus di penuhi oleh seorang salik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat dan Macam-macam
Sistematikanya menurut
para Tokoh Sufi
1. Pengertian Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan
jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau
pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan
istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu
Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah,
ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti
jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha
yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh
dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]
2. Macam-macam sistematikanya maqamat
menurut para tokoh sufi
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang
harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para
sufi tidak sama pendapatnya sebagai berikut:
a. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al- Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya
ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’,
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.[2]
b. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan
jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud,
al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.[3]
c. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum
al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[4]
d. Abu Qasyim abdal Karim al Qusyairi dalam bukunya Ar-Risalah
Al-Qusyairy memberikan maqam sebagai berikut: tobat, mujahadah,
khalwat, uzla, taqwa, wara’, zuhud, khauf, raja’, qanaah, tawakal, syukur,
sabar, muraqabah, ridha, ikhlas, faqr, mahabbah, dan syauq.[5]
e. Asy-syukhrawar didalam bukunya yang berjudul Al-Awarif
al Ma’rif merumuskan maqam menjadi sembilan yaitu, tobat, wara, zuhud,
sabar, faqr, syukur, khauf, tawakal, dan ridho.[6]
Kutipan tersebut
memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada
maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu terkadang para ahli tasawuf
menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan Ittihad.[8]
B.
Pengertian Ahwal dan Kaitannya dengan Maqamat
1. Pengertian Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak
dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu. Menurut
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi
secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama,
sedangkan menurut Al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi
kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik
sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian
semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai
keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan
sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di
atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah
keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan
dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang
dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada
pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih.[9] Jika maqam diperoleh
melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha,
akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya
permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[10]Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam
penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan
sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati
adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah,dan al-yaqin.[11]
2. Keterkaitan Ahwal dengan Maqamat
Seorang salik yang serius hatinya di penuhi dengan
bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah
dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal,
dan sebagian sufi lain menyebut sebagai maqamat. Jika hal ini di miliki
seorang hamba, maka ia tidak akan meninggalkannya. Ia akan menjadi perilaku dan
manhaj. Akhirnya ia menjadi sifat yang melekat erat pada hamba tersebut,
kemudian sifat itu dinamakan maqam.[12]
Salain itu, Imam Asy-Sya’rani mengatakan, hal
adalah sebuah pemberian, tidak di dapatkan dan tidak dicari, yang mendapatkanya
hanyalah hati yang saleh. Ia juga mengatakan, hal adalah pintu gerbang
menuju maqam. Artinya suatu maqam tidak akan ada tanpa adanya hal.
Sesuatu itu bisa saja berupa hal, namun setelah bertahan dan menetap
lama, maka ia disebut sebagai maqam.[13]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara maqam dan ahwal dari hal
yang diakui oleh para tokoh sufi adalah sama-sama sebagai suatu
kondisi batin seorang sâlik yang sedang berjalan menuju tingkat
pencapaian akhir bertaqarrub kepada Allah SWT. Manakala
sifatnya permanen, maka disebut dengan maqam dan yang
berubah sifatnya disebut hal. Keadaan-keadaan yang datang dengan sendiri
merupakan pemberian Allah SWT sedangkan maqam adalah hasil upaya,
latihan, kesengajaan, pemaksaan dan lainya dari seorang hamba itu sendiri
secara terus menerus hingga dia bisa menduduki maqamnya secara sah.
Sementara, pemilik hal sering mengalami pasang surut, berubah-ubah, naik
turun keadaan hatinya.
C. Maqam Taubat, syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh seorang Salik
1. Maqam Taubat
Definisi taubat menurut bahasa adalah ‘kembali’.
Dengan demikian, taubat diartikan sebagai “kembali dari yang dicela syara’
menuju pada sesuatu yang di puji syara”. Taubat adalah rumah tingkat pertama
bagi seorang salik. Ia adalah maqam pertama bagi seorang pencari.
Imam Al-Ghazali berkata, “taubat dari dosa dengan
kembali pada tirai yang bisa menutup dosa dan kembali kepada Dzat yang
mengetahui alam ghaib adalah prinsip pertama jalan seorang salik. Taubat adalah
modal utama orang yang beruntung; langkah pertama seorang murid; dan kunci
keistiqomahan seorang yang hatinya cenderung kepada Allah.[14]
a. Makna Taubat
Imam Al-Ghazali mengatakan,”ketahuilah bahwa taubat
adalah sebuah ungkapan tentang makna yang disususn secara berurutan diatas tiga
pilar: ilmu, hal dan perbuatan. Ilmu meniscayakan keberadaan hal; hal
meniscayakan keberadaan perbuatan. Keniscayaan ini setara dengan keniscayaaan
keteraturan sunatullah atas alam, malaikat dan semesta.
Keterangan diatas menjelaskan kepada kita bahwa taubat
bisa dilakukan jika syaratnya telah di penuhi, yaitu pengetahuan tentang
taubat. Jika pengetahuan tersebut telah dimiliki, maka dibutuhkan hal.
Jika hal telah ada, maka diperlukan tindakan nyata sebagai wujud
pelaksanaan taubat. Adapaun yang harus dilakukan oleh orang yang ingin
bertaubat adalah:
Pertama, ilmu.
Ilmu disini yaitu pengetahuan tentang besarnya bahaya yang ditimbulkan dosa.
Dosa menjadi penghalang antara seorang hamba dengan tuhanya dan segala sesuatu
yang dicintainya.
Kedua,
Penyesalan. Jika seorang hamba telah mengetahui bahwa dosa menjadi penghalang
antara dirinya dengan kekasihnya, maka hatinya akan sakit dan sedih karena
kehilangan kekasihnya. Sakitnya hati karena memikirkan perbuatan yang
menyebabkan hilangnya kekasih itulah yang disebut dengan penyesalan.
Ketiga, niat.
Jika penyesalan itu telah begitu mendalam dalam hatinya, maka penyesalan itu
akan membangkitkan sebuah hal yang disebut dengan iradah dan niat
untuk melakukan sesuatu yang mempunyai keterkaitan dengan masa kini, masa lalu
dan masa mendatang.
b.
Perbedaan
antara Taubat, Inabah dan Aubah
Taubat
adalah maqam yang dimiliki oleh orang mukmin awam. Artinya adalah
kembali dari dosa-dosa besar menuju ketaatan. Sebagaimana Allah berfirman:
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqç/qè?
n<Î)
«!$#
Zpt/öqs?
%·nqÝÁ¯R
4Ó|¤tã
öNä3/u
br&
tÏeÿs3ã
öNä3Ytã
öNä3Ï?$t«Íhy
öNà6n=Åzôãur
;MȬZy_
ÌøgrB
`ÏB
$ygÏFøtrB
ã»yg÷RF{$#
ÇÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan
Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8)
Inabah
adalah maqam para wali dan muqarrabin. Inabah adalah
kembali dari dosa-dosa kecil menuju kecintaan Allah. Allah berfirman:
ô`¨B
zÓÅ´yz
z`»uH÷q§9$#
Í=øtóø9$$Î/
uä!%y`ur
5=ù=s)Î/
A=ÏZB
ÇÌÌÈ
Artinya: “(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan
Yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan
hati yang bertaubat.”(QS. Qaf: 33)
Aubah
adalah maqam para nabi dan rosul. Artinya adalah kembali dari jiwa
sendiri menuju Allah. Allah berfirman:
$uZö7ydurur
y¼ãr#yÏ9
z`»yJøn=ß
4 zN÷èÏR
ßö7yèø9$#
( ÿ¼çm¯RÎ)
ë>#¨rr&
ÇÌÉÈ
Artinya: “...Dia adalah sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya).”(QS. Shad: 30)
c.
Hukum
Tubat
Menurut
Imam Al-Ghazali, taubat hukumnya wajib dan harus segera dilaksanakan. Taubat
wajib bagi semua orang tanpa membedakan tingkatan hal-nya. Al-Ghazali
mengatakan, “ketahuilah, bahwa hukum wajibnya taubat didasarkan pada al-Qur’an
dan as-Sunnah.”
Imam
Al-Ghazali melihat bahwa taubat wajib dilaksanakan secepat mungkin, dan hukum
wajib ini berlaku bagi semua orang tanpa pengecualian. Pendapat ini dikuatkan
oleh al-Qur’an. Allah berfirman:
4
(#þqç/qè?ur
n<Î)
«!$#
$·èÏHsd
tmr&
cqãZÏB÷sßJø9$#
÷/ä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÌÊÈ
Artinya: “dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.An-Nur: 31)
Perintah
taubat dalam ayat ini ditujukan kepada semua orang beriman tanpa terkecuali.
Dalam surat lain, Allah mengatakan:
ÌÏù%yñ
É=/R¤9$#
È@Î/$s%ur
É>öqG9$#
ÇÌÈ
Artinya: “yang mengampuni dosa dan menerima
taubat... ”( QS.Al-Mukmin: 3)
Allah juga berfirman:
ÎoTÎ)ur
Ö$¤ÿtós9
`yJÏj9
z>$s?
z`tB#uäur
@ÏHxåur
$[sÎ=»|¹
§NèO
3ytF÷d$#
ÇÑËÈ
Artinya: “dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi
orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap dijalan yang
benar.” (QS.Thaha: 82)
2.
Syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh seorang Salik
Imam
Al-Ghazali telah menetapkan syarat-syarat taubat yang bisa kita rangkum dalam
pembicaraan tentang taubat. Ia mengatakan, “taubat adalah rasa penyesalan yang
di ikuti dengan tekad dan maksud untuk meninggalkan dosa.”
Kemudian
Imam al-Gazali menjelaskan tanda-tanda sahnya penyesalan adalah lembutnya hati,
derasnya air mata, dosa yang semula dirasa manis berubah menjadi pahit.
Sikapnya yang semula menyenangi perbuatan dosa itu berubah menjadi membenci.
Syarat sah
taubat ada yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu intropeksi diri. Ia harus
mengingat apa yang harus di perbuatnya tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari
demi hari. Ia harus memeriksa kembali amal ketaatan mana yang pernah di
lalaikanya, dan juga perbuatan maksiat mana yang pernah di lakukanya.
Adapun
syarat taubat yang berkaitan dengan masa mendatang adalah tekad untuk
meninggalkan dosa. Ia harus mengikat janji setia dengan Allah untuk tidak
mengulangi dosanya dan dosa yang sejenis.
Imam Al-Ghazali
juga menegaskan bahwa tekad untuk meninggalkan dosa harus muncul setelah
seseorang berniat taubat. Karena ia tidak disebut sebagai orang taubat jika
menguatkan tekadnya pada waktu itu juga.
Agar
taubatnya diterima Allah, seseorang harus menghentikan perbuatan dosa pada
waktu itu, menyesali dosanya, bertekad untuk tidak mengulangi dosanya, mencari
kebaikan yang hilang akibat dosa itu, dan memperbaiki perbuatan di masa
mendatang, mengganti kewajiban yang pernah di lalainya, dan menggembalikan hak
orang lain yang pernah di rampasnya. Jika semua syarat ini telah dilampaui,
maka taubatnya diterima Allah.[15]
Allah berfirman:
$yJ¯RÎ) èpt/öqG9$# n?tã «!$# úïÏ%©#Ï9 tbqè=yJ÷èt uäþq¡9$# 7's#»ygpg¿2 ¢OèO cqç/qçGt `ÏB 5=Ìs% y7Í´¯»s9'ré'sù Ü>qçGt ª!$# öNÍkön=tã 3 c%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $\KÅ6ym ÇÊÐÈ
Artinya:
“Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan
segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (QS: An-Nisa’:17)
BAB III
KESIMPULAN
Maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah,
ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti
jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang
sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam
jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan
dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang
salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat
yang berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai
maqamat. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’,
al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad
al-Kalabazy,maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat,
zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan,
hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah
kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika
berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan,
yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba
ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan
dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang
dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada
pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih.
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di
kalangan sufi. Adapunal- hal yang paling banyak
disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum
Siregar, 2013, Akhlak
Tasawuf, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada
Ahmad, Abdul
Fattah Muhammad Sayyid, 2005, Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu
Taimiyah, Jakarta: Khalifa
Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, pemikiran, kontekstualitas, 2004, Ciputat:
Gaung Persada Press
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam
Islam, 1973, Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf, 2011, Jakarta: Rajawali Pers
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan
Ampel, 2011, Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA
Press
Yusuf, Ali
Anwar, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, 2003, Bandung:
Pustaka Setia
[1]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan
Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA
Press, 2011), h.243
[2]Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h.56-57
[6]Ahmad
Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2013), h.48
[7]Jamil,
CakrawalaTasawuf: Sejarah, pemikiran, kontekstualitas, (Ciputat: Gaung Persada
Press, 2004), h.48
[8]Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.193-194
[10]Ali
Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2003), h.200
[11]Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel, Akhlak...,h.263-264
[12]Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf
antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, (Jakarta:Khalifa, 2005), h. 107
[13]Ibid., h. 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar