Selasa, 11 Oktober 2016

Makalah Tarekat & Suluk tentang Maqamat dan Ahwal



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Maqamat dan macam-macam sistematikanya menurut tokoh-tokoh sufi?
2.      Bagaimana Pengertian Ahwal dan Keterkaitanya dengan Maqamat?
3.      Bagaimana Maqamat taubat syarat dan rukun yang harus di penuhi oleh seorang salik?
C.      Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian Maqamat dan macam-macam sistematikanya menurut tokoh-tokoh sufi
2.      Mengetahui Pengertian Ahwal dan Keterkaitanya dengan Maqamat
3.      Mengetahui Maqamat taubat syarat dan rukun yang harus di penuhi oleh seorang salik

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Maqamat dan Macam-macam Sistematikanya menurut para Tokoh Sufi
1.      Pengertian Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]
2.      Macam-macam sistematikanya maqamat menurut para tokoh sufi
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya sebagai berikut:
a.        Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al- Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.[2]
b.      Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.[3]
c.       Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[4]
d.      Abu Qasyim abdal Karim al Qusyairi dalam bukunya Ar-Risalah Al-Qusyairy memberikan maqam sebagai berikut: tobat, mujahadah, khalwat, uzla, taqwa, wara’, zuhud, khauf, raja’, qanaah, tawakal, syukur, sabar, muraqabah, ridha, ikhlas, faqr, mahabbah, dan syauq.[5]
e.       Asy-syukhrawar didalam bukunya yang berjudul Al-Awarif al Ma’rif merumuskan maqam menjadi sembilan yaitu, tobat, wara, zuhud, sabar, faqr, syukur, khauf, tawakal, dan ridho.[6]
f.        Harun Nasution merumuskan maqam menjadi lima yaitu, tobat, zuhud, sabar,  tawakal, dan ridho.[7]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan Ittihad.[8]
B.      Pengertian Ahwal dan Kaitannya dengan Maqamat
1.      Pengertian Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu. Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut Al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih.[9]  Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[10]Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah,dan al-yaqin.[11]
2.      Keterkaitan Ahwal dengan Maqamat
Seorang salik yang serius hatinya di penuhi dengan bersitan-bersitan hati, sehingga banyak hal dan sifat yang kemudian berubah dalam dirinya. Sebagian sufi sepakat menyebut gejala ini sebagai ahwal, dan sebagian sufi lain menyebut sebagai maqamat. Jika hal ini di miliki seorang hamba, maka ia tidak akan meninggalkannya. Ia akan menjadi perilaku dan manhaj. Akhirnya ia menjadi sifat yang melekat erat pada hamba tersebut, kemudian sifat itu dinamakan maqam.[12]
Salain itu, Imam Asy-Sya’rani mengatakan, hal adalah sebuah pemberian, tidak di dapatkan dan tidak dicari, yang mendapatkanya hanyalah hati yang saleh. Ia juga mengatakan, hal adalah pintu gerbang menuju maqam. Artinya suatu maqam tidak akan ada tanpa adanya hal. Sesuatu itu bisa saja berupa hal, namun setelah bertahan dan menetap lama, maka ia disebut sebagai maqam.[13]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara maqam dan ahwal dari hal yang diakui oleh para tokoh sufi adalah sama-sama sebagai suatu kondisi batin seorang sâlik yang sedang berjalan menuju tingkat pencapaian akhir bertaqarrub kepada Allah SWT. Manakala sifatnya permanen, maka disebut dengan maqam dan yang berubah sifatnya disebut hal. Keadaan-keadaan yang datang dengan sendiri merupakan pemberian Allah SWT sedangkan maqam adalah hasil upaya, latihan, kesengajaan, pemaksaan dan lainya dari seorang hamba itu sendiri secara terus menerus hingga dia bisa menduduki maqamnya secara sah. Sementara, pemilik hal sering mengalami pasang surut, berubah-ubah, naik turun keadaan hatinya.

C.    Maqam Taubat, syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh seorang Salik
1.      Maqam Taubat
Definisi taubat menurut bahasa adalah ‘kembali’. Dengan demikian, taubat diartikan sebagai “kembali dari yang dicela syara’ menuju pada sesuatu yang di puji syara”. Taubat adalah rumah tingkat pertama bagi seorang salik. Ia adalah maqam pertama bagi seorang pencari.
Imam Al-Ghazali berkata, “taubat dari dosa dengan kembali pada tirai yang bisa menutup dosa dan kembali kepada Dzat yang mengetahui alam ghaib adalah prinsip pertama jalan seorang salik. Taubat adalah modal utama orang yang beruntung; langkah pertama seorang murid; dan kunci keistiqomahan seorang yang hatinya cenderung kepada Allah.[14]
a.     Makna Taubat
Imam Al-Ghazali mengatakan,”ketahuilah bahwa taubat adalah sebuah ungkapan tentang makna yang disususn secara berurutan diatas tiga pilar: ilmu, hal dan perbuatan. Ilmu meniscayakan keberadaan hal; hal meniscayakan keberadaan perbuatan. Keniscayaan ini setara dengan keniscayaaan keteraturan sunatullah atas alam, malaikat dan semesta.
Keterangan diatas menjelaskan kepada kita bahwa taubat bisa dilakukan jika syaratnya telah di penuhi, yaitu pengetahuan tentang taubat. Jika pengetahuan tersebut telah dimiliki, maka dibutuhkan hal. Jika hal telah ada, maka diperlukan tindakan nyata sebagai wujud pelaksanaan taubat. Adapaun yang harus dilakukan oleh orang yang ingin bertaubat adalah:
Pertama, ilmu. Ilmu disini yaitu pengetahuan tentang besarnya bahaya yang ditimbulkan dosa. Dosa menjadi penghalang antara seorang hamba dengan tuhanya dan segala sesuatu yang dicintainya.
Kedua, Penyesalan. Jika seorang hamba telah mengetahui bahwa dosa menjadi penghalang antara dirinya dengan kekasihnya, maka hatinya akan sakit dan sedih karena kehilangan kekasihnya. Sakitnya hati karena memikirkan perbuatan yang menyebabkan hilangnya kekasih itulah yang disebut dengan penyesalan.
Ketiga, niat. Jika penyesalan itu telah begitu mendalam dalam hatinya, maka penyesalan itu akan membangkitkan sebuah hal yang disebut dengan iradah dan niat untuk melakukan sesuatu yang mempunyai keterkaitan dengan masa kini, masa lalu dan masa mendatang.
b.      Perbedaan antara Taubat, Inabah dan Aubah
            Taubat adalah maqam yang dimiliki oleh orang mukmin awam. Artinya adalah kembali dari dosa-dosa besar menuju ketaatan. Sebagaimana Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R 4Ó|¤tã öNä3š/u br& tÏeÿs3ムöNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6n=Åzôãƒur ;M»¨Zy_ ̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$# ÇÑÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8)
            Inabah adalah maqam para wali dan muqarrabin. Inabah adalah kembali dari dosa-dosa kecil menuju kecintaan Allah. Allah berfirman:
ô`¨B zÓÅ´yz z`»uH÷q§9$# Í=øtóø9$$Î/ uä!%y`ur 5=ù=s)Î/ A=ŠÏZB ÇÌÌÈ  
Artinya: “(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.”(QS. Qaf: 33)
            Aubah adalah maqam para nabi dan rosul. Artinya adalah kembali dari jiwa sendiri menuju Allah. Allah berfirman:
$uZö7ydurur yŠ¼ãr#yÏ9 z`»yJøŠn=ß 4 zN÷èÏR ßö7yèø9$# ( ÿ¼çm¯RÎ) ë>#¨rr& ÇÌÉÈ  
Artinya: “...Dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya).”(QS. Shad: 30)
c.       Hukum Tubat
            Menurut Imam Al-Ghazali, taubat hukumnya wajib dan harus segera dilaksanakan. Taubat wajib bagi semua orang tanpa membedakan tingkatan hal-nya. Al-Ghazali mengatakan, “ketahuilah, bahwa hukum wajibnya taubat didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.”
            Imam Al-Ghazali melihat bahwa taubat wajib dilaksanakan secepat mungkin, dan hukum wajib ini berlaku bagi semua orang tanpa pengecualian. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Qur’an. Allah berfirman:
4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
Artinya: “dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.An-Nur: 31)
            Perintah taubat dalam ayat ini ditujukan kepada semua orang beriman tanpa terkecuali. Dalam surat lain, Allah mengatakan:
̍Ïù%yñ É=/R¤9$# È@Î/$s%ur É>öq­G9$# ÇÌÈ  
Artinya: “yang mengampuni dosa dan menerima taubat... ”( QS.Al-Mukmin: 3)
Allah juga berfirman:
ÎoTÎ)ur Ö$¤ÿtós9 `yJÏj9 z>$s? z`tB#uäur Ÿ@ÏHxåur $[sÎ=»|¹ §NèO 3ytF÷d$# ÇÑËÈ  
Artinya: “dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap dijalan yang benar.” (QS.Thaha: 82)
2.      Syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh seorang Salik
      Imam Al-Ghazali telah menetapkan syarat-syarat taubat yang bisa kita rangkum dalam pembicaraan tentang taubat. Ia mengatakan, “taubat adalah rasa penyesalan yang di ikuti dengan tekad dan maksud untuk meninggalkan dosa.”
      Kemudian Imam al-Gazali menjelaskan tanda-tanda sahnya penyesalan adalah lembutnya hati, derasnya air mata, dosa yang semula dirasa manis berubah menjadi pahit. Sikapnya yang semula menyenangi perbuatan dosa itu berubah menjadi membenci.
      Syarat sah taubat ada yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu intropeksi diri. Ia harus mengingat apa yang harus di perbuatnya tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari. Ia harus memeriksa kembali amal ketaatan mana yang pernah di lalaikanya, dan juga perbuatan maksiat mana yang pernah di lakukanya.
      Adapun syarat taubat yang berkaitan dengan masa mendatang adalah tekad untuk meninggalkan dosa. Ia harus mengikat janji setia dengan Allah untuk tidak mengulangi dosanya dan dosa yang sejenis.
      Imam Al-Ghazali juga menegaskan bahwa tekad untuk meninggalkan dosa harus muncul setelah seseorang berniat taubat. Karena ia tidak disebut sebagai orang taubat jika menguatkan tekadnya pada waktu itu juga.
      Agar taubatnya diterima Allah, seseorang harus menghentikan perbuatan dosa pada waktu itu, menyesali dosanya, bertekad untuk tidak mengulangi dosanya, mencari kebaikan yang hilang akibat dosa itu, dan memperbaiki perbuatan di masa mendatang, mengganti kewajiban yang pernah di lalainya, dan menggembalikan hak orang lain yang pernah di rampasnya. Jika semua syarat ini telah dilampaui, maka taubatnya diterima Allah.[15] Allah berfirman:
$yJ¯RÎ) èpt/öq­G9$# n?tã «!$# šúïÏ%©#Ï9 tbqè=yJ÷ètƒ uäþq¡9$# 7's#»ygpg¿2 ¢OèO šcqç/qçGtƒ `ÏB 5=ƒÌs% y7Í´¯»s9'ré'sù Ü>qçGtƒ ª!$# öNÍköŽn=tã 3 šc%x.ur ª!$# $¸JŠÎ=tã $\KŠÅ6ym ÇÊÐÈ  
Artinya: “Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS: An-Nisa’:17)
BAB III
KESIMPULAN
Maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy,maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapunal- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, 2013, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Ahmad, Abdul Fattah Muhammad Sayyid, 2005, Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Jakarta: Khalifa
Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, pemikiran, kontekstualitas, 2004, Ciputat: Gaung Persada Press
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, 1973, Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, 2011, Jakarta: Rajawali Pers
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2011, Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA Press
Yusuf, Ali Anwar, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, 2003, Bandung: Pustaka Setia


[1]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h.243
[2]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.56-57
[3]Ibid., h.56-57
[4]Ibid., h.56-57
[5]Ibid., h.56-57
[6]Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2013), h.48
[7]Jamil, CakrawalaTasawuf: Sejarah, pemikiran, kontekstualitas, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2004), h.48
[8]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.193-194
[9]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h.262-263
[10]Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.200
[11]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,h.263-264
[12]Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, (Jakarta:Khalifa, 2005), h. 107
[13]Ibid., h. 107
[14]Ibid., h. 111
[15]Ibid., 115-116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar