Selasa, 11 Oktober 2016

Makalah Psikologi Sufistik dan Ruang Lingkup



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya pemikiran Islam, maka sudah sepatutnya kita berusaha menanamkan nilai-nilai keislaman pada berbagai macam disiplin ilmu sebagai identitas jiwa intelektual seorang muslim yang kian lama kian kabur diterpa kemajuan ilmu dan teknologi. Psikologi merupakan suatu jembatan untuk menelusuri perjalanan hidup manusia dengan mengenal segala potensi yang dimiliki untuk menghadapi kerasnya kehidupan dunia.[1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.[2]
Selain di kalangan ulama dan teolog, psikologi juga dikembangkan dikalangan para sufi. Tetapi di dunia tasawuf, psikologi tidak dikembangkan terutama untuk tujuan teoritis, melainkan untuk melakukan transformasi jiwa. Karena bagi para sufi transformasi jiwa adalah yang terpenting dalam menuntut sebuah ilmu. Ilmu yang tidak menghasilkan sebuah transformasi jiwa akan dipandang rendah.[3]
Perbincangan mengenai Psikologi sufistik tidak pernah surut di telan oleh masa, karena gaya hidup di zaman sekarang serba rasional dengan pertimbangan yang logis dan bersifat duniawi. Oleh karena itulah, spiritualitas pada diri seseorang sangatlah kurang. Kegersangan diri akan dimensi spiritualitas ini membuat manusia yang hidup pada masa modern mencari sesuatu yang bisa membuat kehidupanya tenang dari segi jasmani dan rohani.
B.        Rumusan Masalah
1.       Bagaimana penjelasan Integrasi Psikologi dengan Islam?
2.       Bagaimana Telaah kritis atas Psikologi dengan Islam?
3.       Bagaimana Islamisasi sains dengan Psikologi (sebagai Ilustrasi)?
4.       Bagaimana Diferensiasi Psikologi Sufistik dengan Ilmu Psikologi Barat?
C.       Tujuan Masalah
1.       Mengetahui penjelasan Integrasi Psikologi dengan Islam.
2.       Mengetahui Telaah kritis atas Psikologi dengan Islam.
3.       Mengetahui Islamisasi sains dengan Psikologi (sebagai Ilustrasi).
4.       Mengetahui Diferensiasi Psikologi Sufistik dengan Ilmu Psikologi Barat.
BAB I
PEMBAHASAN
A.       Integrasi Psikologi dengan Islam
Integrasi antara piskologi dan Islam (yang kemudian disebut dengan psikologi Islam) ternyata tidak semudah yang di bayangkan, sebab secara tidak disadari integrasi itu memadukan dua kewenangan bidang keilmuan. Kewenangan pertama pada label islam yang syarat akan ilmu-ilmu ke islaman, sedangkan kewenangan kedua pada label psikologi yang syarat akan cabang-cabang kepsikologianya.
Sebagai bagian dari diskursus yang sedang berkembang terminologi psikologi islam memunculkan berbagai ragam interpretasi. Setidak-tidaknya terdapat empat pemahaman yang mengemuka di kalangan para peminat dan pemerhati psikologi islam.
Pertama, Psikologi Islam disamakan dengan psikologi agama. Pengertian ini sering dimunculkan bagi mereka yang belum pernah terlibat langsung dalam kegiatan psikologi Islam, sehingga meraka salah memahaminya. Psikologi agama merupakan cabang dari psikologi yang membicarakan tingkah laku keberagaman individu dari sudut pandang psikologi yang kedudukannya telah resmi sebagai salah satu cabang dari psikologi. Psikologi agama ini memiliki kedudukan yang sama dengan psikologi kepribadian, psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan sebagainya. Sedangkan psikologi Islam merupakan salah satu mazhab dalam psikologi yang kedudukannya masih diperselisihkan. Psikologi Islam ini memiliki kedudukan yang sama dengan psikoanalisis, psikobehavioristik, psikohumanistik dan psikotranspersonal.
Kedua, Psikologi Islam dipandang sebagai bidang studi atau mata kuliah. Psikologi Islam dalam kedudukan ini memiliki posisi yang sama dengan mata kuliah yang lain, yang memiliki bobot SKS dan ditawarkan kepada mahasiswa. Sebagai mata kuliah, psikologi Islam telah ditawarkan di institut/universitas yang berbasis Islam, misalnya pada institut/universitas yang berbasis Islam, misalnya pada fakultas/jurusan Psikilogi UIN/IAIN/STAIN atau Perguruan Tinggi Islam Swasta. Pemasaran mata kuliah itu ada yang langsung menggunakan nama Psikologi Islam, ada yang Islam dan Psikologi, dan ada juga yang menyebut Islam untuk disiplin Psikologi.
Ketiga, psikologi Islam dipandang sebagai cara pandang, pola berpikir, atau sistem pendekatan dalam mengkaji psikilogi. Psikologi Islam merupakan satu keutuhan cara berpikir dalam memahami universalitas ajaran Islam ditinjau dari sudut pandang psikologis. Atau, “Kajian atau studi Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pemahaman ini mengacu pada pola kurikulum terpadu yang nantinya akan melahirkan mazhab baru dalam psikologi yang pada gilirannya memunculkan cabang-cabang psikologi yang berparadigma Islam, seperti Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Kpribadian Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Kesehatan Mental Islam, Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Sosial Islam, Psikologi Komunitas Islam, dan sebagainya.
Keempat, psikologi Islam dipandang sebagai lembaga. Lembaga Psikologi Islam adalah lembaga psikologi yang concern dalam melahirkan dan mengembangkan mata kuliah dan mazhab psikologi Islam. Tujuan lembaga psikologi Islam adalah
1.    Menyusun konsep dan teori psikologi Islam, baik diperoleh melalui pengajaran seperti kuliah di kelas, pengkajian keilmuan seperti simposium, seminar, dialog begitu juga penelitian dan eksperimen,
2.    Menerapkan hasil temuan teoretisnya pada tingkat praktis, yang karenya dibentuk biro atau lembaga psikologi Islam,
3.    Mempublikasikan hasilnya di dalam berbagai media, baik media cetak seperti surat kabar, majalah atau jurnal dan juga media elektronik seperti televisi dan internet. Lembaga-lembaga psikologi Islam ada yang berbentuk formal, yaitu Fakultas psikologi pada Perguruan Tinggi yang memiliki komitmen terhadap pendekatan keislaman, dan ada juga dalam bentuk non-formal, yaitu lembaga independen yang mengembangkan psikologi Islam baik secara teoretis maupun praktis.[4]
B.        Telaah Kritis atas Psikologi Modern
Sebagai suatu disiplin ilmu yang merupakan hasil spekulasi pikiran dan keterbatasan pengamatan manusia, psikologi tentu mempunyai sejumlah kelemahan. Kelemahan itu antara lain dapat dilihat dari kemampuan psikologi yang sangat terbatas dalam menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata dirinya, sehingga mencapai kesuksesan dalam menjalani kehidupannya. Kita saksikan bahwa Psikologi dengan sangat mudah mereduksi fenomena-fenomena siapa sesungguhnya manusia.
Mencermati adanya kekurangan, kelemahan dan bias dalam teori yang dikembangkan para ahli dalam khazanah psikologi, maka seharusnya setiap orang yang menaruh perhatian terhadap psikologi dan melakukan telaah kritis, baik dengan cara membandingkan ataupun dengan cara penilaian. Metode penilaian dapat dimanfaatkan untuk menilai konsep-konsep atau teori-teori psikologi dengan menggunakan sudut pandang tertentu. Salah satu sudut pandang yang perlu dikedepankan adalah sudut pandang Islam. Pemakaian sudut pandang Islam dilakukan dengan pertimbangan bahwa Islam adalah sumber pedoman, pandangan dan tata nilai kehidupan bagi manusia. Secara normatif, jelas sekali Islam dapat dimanfaatkan sebagai cara penilaian untuk melihat apakah konsep-konsep psikologi dapat dipertanggungjawabkan secara moral Islam atau tidak. Selain itu, Islam sendiri merupakan sumber pengetahuan yang dengannya kita dapat menilai apakah suatu konsep sesuai dengan pandangan Islam atau tidak.
Telaah kritis ini akan diarahkan kepada pendapat tiga aliran besar dalam khazanah psikologi modern tentang perilaku keagamaan. Seperti diketahui, dalam psikologi modern terdapat tiga arus utama (mainstream) yang kini diakui sebagai aliran psikologi yang mapan. Ketiga aliran tersebut adalah Behaviorisme, Psikoanalisis dan Psikologi Humanistik.
Selanjutnya, akan di bahas telaah kritis terhadap ketiga aliran besar dalam psikologi. Meskipun demikian, dalam rangka mendapatkan pengertian yang lebih jelas, maka akan di uraikan dengan jelas pendapat ketiga aliran psikologi tersebut tentang konsep manusia itu sendiri.
1.    Aliran Behaviorisme
Behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dari Rusia, Jhon B.Watson, B.F. Skinner dari Amerika, mendasarkan diri pada konsep stimulus-respons. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Mereka berpendapat bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan-luar adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa psikologi Perilaku ini menganggap manusia pada hakekatnya adalah netral. Baik buruknya perilaku tergantung dari pengaruh situasi dan perlakuan yang dialami. Asumsi-asumsi ini diperoleh melalui eksperimen-eksperimen dengan hewan dengan tujuan untuk mengetahui pola dasar perilaku manusia dan proses perubahannya.
Setiap bentuk tingkah laku manusia dapat ditelusuri di luar peristiwa kesadaran, maka diri manusia disebut sebagai kompleks reflek-refleks, atau mesin reaksi saja. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk.  Lingkungan  yang baik akan menghasilkan manusia yang baik.
Pandangan semacam ini memberikan penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya.
Terhadap Aliran Behaviorisme ini, kritik dapat diarahkan pada pengingkaran terhadap potensi alami yang dipunyai manusia. Padahal secara empirik perbedaan individual antara manusia satu dengan manusia lain begitu banyak terlihat. Ketika bayi dilahirkan sudah terdapat perbedaan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Ketika masih bayi, ada anak yang pandai tersenyum sementara anak yang lain lebih suka mengatupkan bibirnya. Perbedaan individual adalah sebuah kenyataan yang diingkari oleh Behaviorisme.
Di samping itu aliran ini mempunyai kecenderungan untuk mereduksi manusia. Bahkan menurut pandangan ini manusia tak memiliki jiwa, tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia laksana benda mati. Malik B. Badri, seorang psikolog Muslim yang populer dengan bukunya Dilema Psikolog Muslim juga mengecam kecendrungan reduksionistis yang menganggap perilaku manusia yang sangat unik dan majemuk itu tak ubahnya sebagai “mesin” yang bekerja karena menerima faktor-faktor penguat berupa ganjaran dan hukuman. Kompleksitas dalam diri manusia dipandang secara simplistis oleh Behaviorisme.
Kritik lain terhadap aliran ini adalah anggapannya terhadap manusia sebagai makhluk hedonis yang memiliki motif tunggal untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial dengan sikap mementingkan ke-kini-an  dan  ke-disini-an (here and now). Padahal, lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan lingkungan, manusia mampu mengatur kehidupan dirinya dan lingkungannya. Dengan kemampuan mengatur bahkan menaklukkan lingkungan, maka manusia mampu melakukan revolusi atau perubahan secara besar-besaran terhadap arah sejarah bangsa manusia. Padahal lebih dari sekedar mencari kenikmatan, manusia juga berkehendak untuk mengabdikan dirinya pada Tuhannya dengan tulus, ikhlas dan penuh kepasrahan.
Menurut DR. Jalaluddin, hampir seluruh ahli jiwa sependapat bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Berdasarkan hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan.
Dalam hal perilaku keagamaan, behaviorisme menyamakan dengan perilaku lain, yaitu merupakan ungkapan bagaimana manusia dengan pengkodisian peran belajar hidup di dunia yang dikuasai oleh hadiah dan hukuman (reward and punishment). Salah satu tokoh aliran Behaviorisme ini adalah Skinner. Skinner menolak mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan perilaku dan pengalaman keagamaan. Ucapan seperti “saya merasa suka pergi ke tempat ibadah” dipandang dari sudut pengertian Behaviorisme tidak berbicara apa-apa. Apakah perasaan menjadi penyebab orang pergi ke tempat ibadah atau Tuhan yang membangkitkan perasaan untuk pergi ke tempat ibadah. Masalah pokoknya menurut Skinner adalah orang yang bersangkutan mengetahui apa yang terjadi dengan orang yang suka pergi ke tempat ibadah itu yakni memperoleh kepuasan. Bisa pula karena ia sendiri punya pengalaman yang memuaskan ketika pergi ke tempat ibadah. Faktor pengalaman yang memberikan kepuasan itulah yang mendorongnya pergi ke tempat ibadah dan tidak pergi ke tempat lain. Dalam pandangan Skinner kegiatan keagamaan diulangi karena faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Di samping Skinner, J.B.Watson mengatakan bahwa aksi dan reaksi manusia terhadap suatu stimulus hanyalah dalam kaitan dengan prinsip reinforcement. Manusia tidak mempunyai will power.  Ia hanyalah sebuah robot yang mereaksi secara mekanik atas pemberian hadiah dan hukuman. Dengan demikian  konsep Tuhan tidak masuk sama sekali di dalam konteks Behaviorisme.
Watson begitu yakin bahwa penentu kehidupan manusia adalah faktor-faktor eksternal yang mengenai manusia itu. Faktor eksternal itu sama sekali bukan Tuhan, karena Tuhan tidak pernah masuk dalam konsep Watson. Dengan pandangannya yang radikal seperti itu, Watson dapat dipandang melecehkan manusia, dan terutama ia mengabaikan kekuasaan Tuhan atas diri manusia.
Memperhatikan uraian di atas, sebagian sisi-sisi kelemahan Behaviorisme telah dapat terungkap, sehingga para psikolog dan pendidik Muslim perlu lebih berhati-hati.
2.    Aliran Psikoanalisis
Psikoanalisis, aliran Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud seorang neurolog dari Austria dengan keturunan Yahudi, berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan atau yang biasa disebut dengan id dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya. Id adalah komponen yang alami pada manusia, sementara Superego terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.
Melalui analisa terhadap jiwa, yaitu melalui psikoanalisa, Freud berusaha menembus kedalaman dari ketidaksadaran, lalu mengenali macam-macam dorongan dan sisi-sisi lainnya yang ada dalam ketidaksadaran. Dalam ketidaksadaran itu terus menerus beroperasi dorongan-dorongan dan tenaga-tenaga asal. Semuanya merupakan penampilan dari libido atau dorongan seksualitas. Oleh karena itu, orientasi psikoanalisa ialah pada seksualistis.
Teori Freud yang mengungkapkan bahwa satu-satunya hal yang mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id adalah teori yang mendapatkan tantangan keras. Sebab  menurutnya dalam libido, seseorang berusaha mempertahankan eksistensinya karena bermaksud memenuhi hasrat seksualnya. Teori semacam ini dipandang sebagai menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Dalam kaca pandang Psikologi Humanistik, teori Freud ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan yang paling mendasar dari manusia, yaitu kebutuhan fisiologis dan tak mampu memberikan penjelasan untuk keempat kebutuhan manusia yang lain.
Teori Freud ini akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan kebutuhan seseorang akan aktualisasi diri atau juga kebutuhan untuk beragama. Teori ini tak mampu menjelaskan tentang dorongan yang dimiliki Muslim untuk mendapatkan ridha dari Allah.SWT.
Apabila dicermati lebih lanjut pendapat Freud, maka dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia tidak ada kebaikan yang bersifat alami atau biologis. Ketika  lahir ia hanya mempunyai nafsu/libido/id dan sama sekali tidak mempunyai dorongan-dorongan kebaikan atau hati nurani. Hati nurani lahir bersamaan dengan tumbuh kembangnya individu  dalam  masyarakat.   Karena  itu  dalam pandangan Freud dorongan beragama bukanlah suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan. 
Dalam kaitannya dengan perilaku beragama, lebih lanjut Freud melihat bahwa agama itu adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri.  Dalam bukunya Totem and Taboo Freud mengatakan bahwa Tuhan adalah refleksi dari Oedipus Complex, kebencian kepada ayah yang dimanifestasikan sebagai ketakutan kepada Tuhan.
Freud mengungkapkan bahwa agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan (wishfulfillment). Manusia lari kepada agama disebabkan oleh ketidak berdayaannya menghadapi bencana seperti bencana alam, takut mati, keinginan agar manusia terbebaskan dari siksaan manusia lainnya, dan lain sebagainya.
Dari penjelasan di atas dapat diungkapkan bahwa orang melakukan tindakan  keagamaan semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindari dari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberikan rasa aman bagi diri sendiri. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya. Tuhan yang diciptakannya sendiri itulah yang akan disembahnya. Sementara bagaimana ritual penyembahan terhadap Tuhan sangat tergantung dari contoh-contoh yang diperlihatkan oleh orang-orang yang terlebih dahulu melakukannya.
Tokoh lain yang berpendapat hampir sama dengan Freud adalah  Fredrick Schleimacher.  Schleimacher berpendapat perilaku keagamaan itu muncul dalam diri seseorang karena adanya sense of depend (rasa ketergantungan yang mutlak). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung kehidupannya kepada sesuatu kekuasaan yang berada di luar dirinya. Berdasarkan rasa ketergantungan inilah timbul konsep tentang Tuhan. Ditambahkannya lagi, bahwa manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam yang selalu dialaminya, makanya mereka menggantungkan harapannya kepada sesuatu kekuasaan yang mereka anggap mutlak adanya. Berdasarkan konsep ini timbullah upcara-upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Rasa ketergantungan ini menyebabkan manusia merasa lemah, tunduk dan pasrah kepada sesuatu yang diyakininya sebagai tempat bergantung.
Rasa ketergantungan ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan pengabdian para penganut agama kepada sesuatu kekuasaan yang mereka namakan Tuhan. Dengan demikian baik Freud maupun Schleimacher sama-sama berpendapat bahwa Tuhan / agama adalah hasil ciptaan manusia dalam pikirannya sendiri. 
Uraian tentang manusia dan perilaku beragamanya, sebagaimana dikemukakan oleh Freud lalu ditambah dengan pendapat Fredrick Schleimacher,  adalah suatu konsep yang sangat jauh dari realitas. Suatu konsep yang dapat menyesatkan kehidupan manusia. Sebab sebagaimana yang telah ditemukan oleh para ahli jiwa, bahwa beragama merupakan kebutuhan asasi manusia yang telah ada bersamaan dengan lahirnya seseorang. Jadi bukan hasil interaksi manusia dikemudian hari. 
Selain pendapatnya di atas,  Psikoanalisis juga memiliki konsep yang terlalu menekankan pengaruh masa lalu terhadap perjalanan hidup manusia. Konsep ini perlu dipertimbangkan. Sebab jika pendirian atau pendapat ini diterima, maka kita telah terjebak dalam pesimisme yang mendalam terhadap segenap upaya pengembangan diri manusia. Itu berarti upaya pendidikan tidak perlu dilakukan sebab tidak memiliki pengaruh. Seakan-akan Psikoanalisa berpendapat, seseorang yang masa kecilnya kelam, niscaya tidak ada lagi harapan baginya untuk hidup secara normal.
3.    Aliran Humanistik
Karena adanya keragu-raguan yang mendasar terhadap Aliran Behaviorisme dan Psikoanalisa, maka sejumlah ahli menganjurkan untuk memperhatikan aliran ketiga, yaitu Psikologi Humanistik.
Aliran yang dipelopori oleh Abraham H. Maslow dan Carl Ransom Rogers ini sangat menghargai keunikan pribadi, penghayatan subyektif, kebebasan, tanggung jawab, dan terutama kemampuan mengaktualisasikan diri pada setiap individu. Bahkan Logoterapi, suatu ragam Psikologi Humanistik yang ditemukan seorang neuro psikiater Yahudi dari Austria yang bernama Viktor E. Frankl, mendapatkan acungan jempol oleh Malik M. Badri  seorang Psikolog Muslim, sebagai pendekatan psikologis yang optimis dan banyak kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Islam maupun pandangan masyarakat Timur tentang manusia.
Akhirnya begitu banyak psikolog Muslim yang terpesona dengan Psikologi Humanistik. Bahkan sebagian Psikolog Muslim menganggap Psikologi Humanistik mewakili suara Islam pula.
Secara selintas Psikologi Humanistik mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif, mencoba tidak terpenjara dan tidak terperangkap oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan antar manusia. Akan tetapi  bila  ditelaah  lebih lanjut,  akan   ditemui   begitu   banyak kejanggalan-kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal  yang mampu melakukan  play-God (peran Tuhan).
Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga aliran Psikologi Modern di atas yakni Behaviorisme, Psikoanalisa dan Psikologi Humanistik walaupun telah menyajikan uraian dan pembahasan secara ilmiah, namun tetap memiliki celah-celah kelemahan. Apalagi jika celah-celah tersebut ditinjau menurut kacamata Islam, sebagai dasar dan pedoman hidup Muslim. Karena itu sangat dianjurkan agar para Psikolog dan Pendidik Muslim untuk berhati-hati dalam menerapkan konsep-konsep psikologi terutama dalam bidang pendidikan agar anak didik  tidak menjadi korban dari kesalahan konsep-konsep psikologi yang diaplikasikan.
Konsekuensi lain adalah hendaklah para peminat psikologi dan para pendidik Muslim menggali konsep-konsep psikologi tersebut dari sumber-sumber yang sangat diyakini kekokohannya, dalam hal ini adalah al-Quran dan al-Hadits. Namun ini merupakan suatu tantangan besar bagi kita semua.[5]
C.       Islamisasi Sains dengan Psikologi
Keyakinan bahwa sains dan agama pada hakekatnya merupakan ayat-ayat Allah, yang karena sejarah dan perkembangannya menjadi terpisah, terkotak-kotak, seakan-akan tak ada hubungannya antara satu dengan lainnya. Keadaan serupa ini jelas akan sangat merugikan kehidupan manusia, karena sains makin jauh dari nilai-nilai etis-agamis, dan agama sendiri makin tak mengakar pada realitas dan penalaran. Islamisasi sains berupaya menghubungkan keduanya kembali, dengan jalan memberi landasan dan warna islami kepada sains.
Ada enam pola pemikiran islamisasi sains yaitu similarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi. Diajukan pula sebuah pola pemikiran islamisasi sains sebagai alternatif, yaitu fondasi falsafi dan  sikap islami, yang memberikan landasan filsafat islami kepada sains, dan mengembangkan sikap para ilmuwan untuk setuju bahwa dalam agama terkandung azas-azas ilmiah yang patut menjadi pedoman dan rujukan sains.
Selanjutnya, sebagai ilustrasi dikemukakan islamisasi psikologi yang pada dasarnya menempatkan wawasan Islam mengenai manusia sebagai landasan filsafatnya, serta berusaha agar para psikolog Muslim sepakat untuk menjadikan agama sebagai rujukan utama dalam mendapatkan kebenaran mengenai manusia.
Islamisasi sains, termasuk islamisasi psikologi, merupakan kerja raksasa dan waktu yang lama serta menuntut kerja sama yang terbuka antara para ilmuwan dan agamawan untuk dapat mewujudkan sains yang berwajah islami, sains yang menyelamatkan. Inilah peluang yang menantang cendekiawan Muslim untuk menghadirkannya dalam kurun sains dan teknologi sekarang.[6]
D.       Diferensiasi Psikologi Sufistik dengan Psikologi Barat
Beberapa perbedaan antara psikologi Sufistik dengan Psikologi Barat yaitu sebagai berikut:
1.       Dalam psikologi barat, penggambaran sifat manusia memusatkan perhatiannya pada keterbatasan manusia dan tendensi-tendensi neurotik atau pada kebaikan lahiriah dan sifat positif dasar manusia dengan menggunakan pendekatan psikologi klinis atau psikologi humanistik. Sedangkan menurut psikologi sufi, seluruh manusia berkedudukan antara malaikat dan hewan. Maksudnya, kita memiliki kedua sifat tersebut dan memiliki potensi untuk jauh melebihi malaikat atau jauh lebih rendah dari hewan.
2.       Menurut psikologi tradisional barat, puncak kesadaran kita adalah kesadaran rasional, sedangkan menurut psikologi sufi tingkat kesadaran meliputi mengingat Tuhan, kebersahajaan, dan persatuan dengan Tuhan. Selain itu, psikologi sufi juga membedakan kondisi temporer dan kondisi stabil dari perkembangan spiritual. Tahapan-tahapan perkembangan ini diantaranya, kesadaran awal, sabar dan syukur, takut dan harap, Pengendalian diri dan kemiskinan, Tawakal, Cinta, rindu, intim, dan ridha, Niat, tulus, dan jujur, Kontemplasi dan pemeriksaan diri, Mengingat mati
3.       Psikologi barat menyakini bahwa harga diri dan perasaan yang kuat akan jati diri ego adalah penting, dan hilangnya identitas tersebut merupakan suatu penyakit. Sedangkan menurut psikologi sufi perasaan akan identitas yang terpisah antara kita dengan Tuhan, merupakan perasaan yang mengacaukan dan menghalangi kita untuk mengetahui sifat ketuhanan kita, sehingga hal tersebut harus dihindari. Selain itu, psikologi sufi juga membedakan antara ego positif yang sehat dan ego negatif yang mementingkan diri sendiri.
4.       Psikologi barat beranggapan bahwa kepribadian adalah struktur yang relatif utuh. Sedangkan menurut psikologi sufi, kepribadian merupakan sekumpulan dari bermacam-macam sifat dan kecenderungan yang mengalami evolusioner dan kesatuan kepribadian (kesatuan batin sejati) adalah kondisi yang dituju.
5.       Psikologi barat menempatkan nalar logika sebagai puncak keahlian manusia dan jalan untuk memperoleh pengetahuan dan kearifan. Sedangkan menurut psikologi sufi, kecerdasan yang abstrak dan logis disebut sebagai kecerdasan yang rendah, sebab kecerdasan tersebut hanya digunakan sebagai alat bagi ego untuk mempelajari keahlian-keahlian yang berkaitan denagan kesuksesan duniawi.
6.       Psikologi barat menyakini bahwa hampir seluruh pengetahuan penting hanya dapat disampaikan melalui kalimat-kalimat rasional yang ditata secara logis. Sedangkan menurut psikologi sufi, kalimat tertulis bersifat terbatas sehingga kondisi perkembangan spiritual tertinggi adalah melampaui penjelasan rasional. Untuk memperoleh hal tersebut, ego rasional yang terpisah harus dilepaskan dan puisi merupakan salah satu media yang terbaik untuk mengekspresikan pengalaman manusia yang mendalam.
7.       Bagi psikologi barat, iman berarti menyakini sesuatu yang tidak nyata atau sebuah ide yang tidak memiliki bukti kuat. Sedangkan menurut psikologi sufi, iman berarti menyakini kebenaran yang berada dibalik beragam penampakan benda material, dan iman menempatkan manusia kedalam hubungan yang benar dengan alam semesta dan Tuhan.[7]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Integrasi antara piskologi dan Islam (yang kemudian disebut dengan psikologi islam) ternyata tidak semudah yang di bayangkan, sebab secara tidak disadari integrasi itu memadukan dua kewenangan bidang keilmuan. Kewenangan pertama pada label islam yang syarat akan ilmu-ilmu ke islaman, sedangkan kewenangan kedua pada label psikologi yang syarat akan cabang-cabang kepsikologianya.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang merupakan hasil spekulasi pikiran dan keterbatasan pengamatan manusia, psikologi tentu mempunyai sejumlah kelemahan. Kelemahan itu antara lain dapat dilihat dari kemampuan psikologi yang sangat terbatas dalam menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata dirinya, sehingga mencapai kesuksesan dalam menjalani kehidupannya. Kita saksikan bahwa Psikologi dengan sangat mudah mereduksi fenomena-fenomena siapa sesungguhnya manusia.
Islamisasi sains, termasuk islamisasi psikologi, merupakan kerja raksasa dan waktu yang lama serta menuntut kerja sama yang terbuka antara para ilmuwan dan agamawan untuk dapat mewujudkan sains yang berwajah islami, sains yang menyelamatkan. Inilah peluang yang menantang cendekiawan Muslim untuk menghadirkannya dalam kurun sains dan teknologi sekarang.
Diferensiasi Psikologi Sufistik dan Psikologi barat intinya mengacu pada penggambaran sifat manusia memusatkan perhatiannya pada keterbatasan manusia dan tendensi-tendensi neurotik atau pada kebaikan lahiriah dan sifat positif dasar manusia dengan menggunakan pendekatan psikologi klinis atau psikologi humanistik. Sedangkan menurut psikologi sufi, seluruh manusia berkedudukan antara malaikat dan hewan. Maksudnya, kita memiliki kedua sifat tersebut dan memiliki potensi untuk jauh melebihi malaikat atau jauh lebih rendah dari hewan.

DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. Kepribadian Dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Habibah, Integrasi Psikologi dengan Islam (Sebuah Upaya Membangun Metodologinya), http://habibah-kolis.blogspot.com/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html
Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi sains dengan psikologi sebagai ilustrasi, http://mangabuy.blogspot.com/2014/10/islamisasi-sains-dengan-psikologi.html

Irsyadus Syifa’, integrasi psikologi dengan islam menuju psikologi islami, https://mabadik.wordpress.com/2010/07/06/integrasi-psikologi-dengan-islam-menuju-psikologi-islami/

Nanang, Psikologi Sufi, http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/01/psikologi-sufi.html

Muhtar Gojali, Pengertian, Perbandingan Psikologi Tasawuf dan Barat, http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2013/02/pengertian-perbandingan-psikologi_21.html


[1]Irsyadus Syifa’, integrasi psikologi dengan islam menuju psikologi islami, (https://mabadik.wordpress.com/2010/07/06/integrasi-psikologi-dengan-islam-menuju-psikologi-islami/), 3 Maret 2015. 22:06 WIB.

[2]Habibah, Integrasi Psikologi dengan Islam (Sebuah Upaya Membangun Metodologinya), (http://habibah-kolis.blogspot.com/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html), 3 Maret 2015. 22:30 WIB.
[3]Nanang, Psikologi Sufi, (http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/01/psikologi-sufi.html), 5 Maret 2015. 11:07 WIB.
[4]Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5-10.

[5]Elsaelsi, Mengajarkan hidup tanpa Tuhan, (http://www.elsaelsi.com/2012/10/mengajarkan-hidup-tanpa-tuhan.html), 5 Maret 2015. 10:24 WIB.

[6]Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi, (http://mangabuy.blogspot.com/2014/10/islamisasi-sains-dengan-psikologi.html), 4 Maret 2015. 13:01 WIB.
[7]Muhtar Gojali, Pengertian, Perbandingan Psikologi Tasawuf dan Barat, (http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2013/02/pengertian-perbandingan-psikologi_21.html), 5 Maret 2015. 10:39 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar