BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring dengan
berkembangnya pemikiran Islam, maka sudah sepatutnya kita berusaha menanamkan
nilai-nilai keislaman pada berbagai macam disiplin ilmu sebagai identitas jiwa
intelektual seorang muslim yang kian lama kian kabur diterpa kemajuan ilmu dan
teknologi. Psikologi merupakan suatu jembatan untuk menelusuri perjalanan hidup
manusia dengan mengenal segala potensi yang dimiliki untuk menghadapi kerasnya
kehidupan dunia.[1]
Dalam lintasan
sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang
dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa.
Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan
interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu,
kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan
nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini
mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus
relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.[2]
Selain di
kalangan ulama dan teolog, psikologi juga dikembangkan dikalangan para sufi.
Tetapi di dunia tasawuf, psikologi tidak dikembangkan terutama untuk tujuan
teoritis, melainkan untuk melakukan transformasi jiwa. Karena bagi para sufi
transformasi jiwa adalah yang terpenting dalam menuntut sebuah ilmu. Ilmu yang
tidak menghasilkan sebuah transformasi jiwa akan dipandang rendah.[3]
Perbincangan
mengenai Psikologi sufistik tidak pernah surut di telan oleh masa, karena gaya
hidup di zaman sekarang serba rasional dengan pertimbangan yang logis dan
bersifat duniawi. Oleh karena itulah, spiritualitas pada diri seseorang
sangatlah kurang. Kegersangan diri akan dimensi spiritualitas ini membuat
manusia yang hidup pada masa modern mencari sesuatu yang bisa membuat
kehidupanya tenang dari segi jasmani dan rohani.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penjelasan Integrasi
Psikologi dengan Islam?
2.
Bagaimana Telaah kritis atas
Psikologi dengan Islam?
3.
Bagaimana Islamisasi sains dengan
Psikologi (sebagai Ilustrasi)?
4.
Bagaimana Diferensiasi Psikologi
Sufistik dengan Ilmu Psikologi Barat?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui penjelasan Integrasi
Psikologi dengan Islam.
2.
Mengetahui Telaah kritis atas
Psikologi dengan Islam.
3.
Mengetahui Islamisasi sains dengan Psikologi
(sebagai Ilustrasi).
4.
Mengetahui Diferensiasi Psikologi
Sufistik dengan Ilmu Psikologi Barat.
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Integrasi
Psikologi dengan Islam
Integrasi
antara piskologi dan Islam (yang kemudian disebut dengan psikologi Islam)
ternyata tidak semudah yang di bayangkan, sebab secara tidak disadari integrasi
itu memadukan dua kewenangan bidang keilmuan. Kewenangan pertama pada label
islam yang syarat akan ilmu-ilmu ke islaman, sedangkan kewenangan kedua pada
label psikologi yang syarat akan cabang-cabang kepsikologianya.
Sebagai bagian
dari diskursus yang sedang berkembang terminologi psikologi islam memunculkan
berbagai ragam interpretasi. Setidak-tidaknya terdapat empat pemahaman yang
mengemuka di kalangan para peminat dan pemerhati psikologi islam.
Pertama, Psikologi
Islam disamakan dengan psikologi agama. Pengertian ini sering dimunculkan bagi
mereka yang belum pernah terlibat langsung dalam kegiatan psikologi Islam,
sehingga meraka salah memahaminya. Psikologi agama merupakan cabang dari psikologi
yang membicarakan tingkah laku keberagaman individu dari sudut pandang
psikologi yang kedudukannya telah resmi sebagai salah satu cabang dari
psikologi. Psikologi agama ini memiliki kedudukan yang sama dengan psikologi
kepribadian, psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan sebagainya. Sedangkan
psikologi Islam merupakan salah satu mazhab dalam psikologi yang kedudukannya
masih diperselisihkan. Psikologi Islam ini memiliki kedudukan yang sama dengan
psikoanalisis, psikobehavioristik, psikohumanistik dan psikotranspersonal.
Kedua, Psikologi
Islam dipandang sebagai bidang studi atau mata kuliah. Psikologi Islam dalam
kedudukan ini memiliki posisi yang sama dengan mata kuliah yang lain, yang
memiliki bobot SKS dan ditawarkan kepada mahasiswa. Sebagai mata kuliah,
psikologi Islam telah ditawarkan di institut/universitas yang berbasis Islam,
misalnya pada institut/universitas yang berbasis Islam, misalnya pada
fakultas/jurusan Psikilogi UIN/IAIN/STAIN atau Perguruan Tinggi Islam Swasta.
Pemasaran mata kuliah itu ada yang langsung menggunakan nama Psikologi Islam,
ada yang Islam dan Psikologi, dan ada juga yang menyebut Islam untuk disiplin
Psikologi.
Ketiga, psikologi
Islam dipandang sebagai cara pandang, pola berpikir, atau sistem pendekatan
dalam mengkaji psikilogi. Psikologi Islam merupakan satu keutuhan cara berpikir
dalam memahami universalitas ajaran Islam ditinjau dari sudut pandang
psikologis. Atau, “Kajian atau studi Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek
dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas
diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Pemahaman ini mengacu pada pola kurikulum terpadu yang nantinya akan
melahirkan mazhab baru dalam psikologi yang pada gilirannya memunculkan
cabang-cabang psikologi yang berparadigma Islam, seperti Psikologi Perkembangan
Islam, Psikologi Kpribadian Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Kesehatan Mental
Islam, Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Sosial Islam,
Psikologi Komunitas Islam, dan sebagainya.
Keempat, psikologi
Islam dipandang sebagai lembaga. Lembaga Psikologi Islam adalah lembaga
psikologi yang concern dalam melahirkan dan mengembangkan mata kuliah dan
mazhab psikologi Islam. Tujuan lembaga psikologi Islam adalah
1.
Menyusun konsep dan teori psikologi
Islam, baik diperoleh melalui pengajaran seperti kuliah di kelas, pengkajian
keilmuan seperti simposium, seminar, dialog begitu juga penelitian dan
eksperimen,
2.
Menerapkan hasil temuan teoretisnya
pada tingkat praktis, yang karenya dibentuk biro atau lembaga psikologi Islam,
3.
Mempublikasikan hasilnya di dalam
berbagai media, baik media cetak seperti surat kabar, majalah atau jurnal dan
juga media elektronik seperti televisi dan internet. Lembaga-lembaga psikologi
Islam ada yang berbentuk formal, yaitu Fakultas psikologi pada Perguruan Tinggi
yang memiliki komitmen terhadap pendekatan keislaman, dan ada juga dalam bentuk
non-formal, yaitu lembaga independen yang mengembangkan psikologi Islam baik
secara teoretis maupun praktis.[4]
B.
Telaah Kritis
atas Psikologi Modern
Sebagai suatu
disiplin ilmu yang merupakan hasil spekulasi pikiran dan keterbatasan
pengamatan manusia, psikologi tentu mempunyai sejumlah kelemahan. Kelemahan itu
antara lain dapat dilihat dari kemampuan psikologi yang sangat terbatas dalam
menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata
dirinya, sehingga mencapai kesuksesan dalam menjalani kehidupannya. Kita
saksikan bahwa Psikologi dengan sangat mudah mereduksi fenomena-fenomena siapa
sesungguhnya manusia.
Mencermati
adanya kekurangan, kelemahan dan bias dalam teori yang dikembangkan para ahli
dalam khazanah psikologi, maka seharusnya setiap orang yang menaruh perhatian
terhadap psikologi dan melakukan telaah kritis, baik dengan cara membandingkan
ataupun dengan cara penilaian. Metode penilaian dapat dimanfaatkan untuk
menilai konsep-konsep atau teori-teori psikologi dengan menggunakan sudut
pandang tertentu. Salah satu sudut pandang yang perlu dikedepankan adalah sudut
pandang Islam. Pemakaian sudut pandang Islam dilakukan dengan pertimbangan
bahwa Islam adalah sumber pedoman, pandangan dan tata nilai kehidupan bagi
manusia. Secara normatif, jelas sekali Islam dapat dimanfaatkan sebagai cara
penilaian untuk melihat apakah konsep-konsep psikologi dapat
dipertanggungjawabkan secara moral Islam atau tidak. Selain itu, Islam sendiri
merupakan sumber pengetahuan yang dengannya kita dapat menilai apakah suatu
konsep sesuai dengan pandangan Islam atau tidak.
Telaah kritis
ini akan diarahkan kepada pendapat tiga aliran besar dalam khazanah psikologi
modern tentang perilaku keagamaan. Seperti diketahui, dalam psikologi modern
terdapat tiga arus utama (mainstream) yang kini diakui sebagai aliran
psikologi yang mapan. Ketiga aliran tersebut adalah Behaviorisme,
Psikoanalisis dan Psikologi Humanistik.
Selanjutnya,
akan di bahas telaah kritis terhadap ketiga aliran besar dalam psikologi.
Meskipun demikian, dalam rangka mendapatkan pengertian yang lebih jelas, maka akan
di uraikan dengan jelas pendapat ketiga aliran psikologi tersebut tentang
konsep manusia itu sendiri.
1.
Aliran Behaviorisme
Behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dari Rusia, Jhon B.Watson, B.F.
Skinner dari Amerika, mendasarkan diri pada konsep stimulus-respons. Mereka memandang
bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa.
Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan
sekitarnya. Mereka berpendapat bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan-luar
adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian manusia. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa psikologi Perilaku ini menganggap manusia pada
hakekatnya adalah netral. Baik buruknya perilaku tergantung dari pengaruh
situasi dan perlakuan yang dialami. Asumsi-asumsi ini diperoleh melalui
eksperimen-eksperimen dengan hewan dengan tujuan untuk mengetahui pola dasar
perilaku manusia dan proses perubahannya.
Setiap
bentuk tingkah laku manusia dapat ditelusuri di luar peristiwa kesadaran, maka
diri manusia disebut sebagai kompleks reflek-refleks, atau mesin reaksi saja.
Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk. Lingkungan
yang baik akan menghasilkan manusia yang baik.
Pandangan
semacam ini memberikan penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan
untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi
alami manusia, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya.
Terhadap
Aliran Behaviorisme ini, kritik dapat diarahkan pada pengingkaran
terhadap potensi alami yang dipunyai manusia. Padahal secara empirik perbedaan
individual antara manusia satu dengan manusia lain begitu banyak terlihat.
Ketika bayi dilahirkan sudah terdapat perbedaan antara anak yang satu dengan
anak yang lain. Ketika masih bayi, ada anak yang pandai tersenyum sementara
anak yang lain lebih suka mengatupkan bibirnya. Perbedaan individual adalah
sebuah kenyataan yang diingkari oleh Behaviorisme.
Di
samping itu aliran ini mempunyai kecenderungan untuk mereduksi manusia. Bahkan
menurut pandangan ini manusia tak memiliki jiwa, tak memiliki kemauan dan
kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia laksana benda mati.
Malik B. Badri, seorang psikolog Muslim yang populer dengan bukunya Dilema
Psikolog Muslim juga mengecam kecendrungan reduksionistis yang menganggap
perilaku manusia yang sangat unik dan majemuk itu tak ubahnya sebagai “mesin”
yang bekerja karena menerima faktor-faktor penguat berupa ganjaran dan hukuman.
Kompleksitas dalam diri manusia dipandang secara simplistis oleh Behaviorisme.
Kritik
lain terhadap aliran ini adalah anggapannya terhadap manusia sebagai makhluk
hedonis yang memiliki motif tunggal untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan
fisik dan lingkungan sosial dengan sikap mementingkan ke-kini-an
dan ke-disini-an (here and now). Padahal, lebih dari sekedar menyesuaikan
diri dengan lingkungan, manusia mampu mengatur kehidupan dirinya dan
lingkungannya. Dengan kemampuan mengatur bahkan menaklukkan lingkungan, maka
manusia mampu melakukan revolusi atau perubahan secara besar-besaran terhadap
arah sejarah bangsa manusia. Padahal lebih dari sekedar mencari kenikmatan,
manusia juga berkehendak untuk mengabdikan dirinya pada Tuhannya dengan tulus,
ikhlas dan penuh kepasrahan.
Menurut
DR. Jalaluddin, hampir seluruh ahli jiwa sependapat bahwa sesungguhnya apa yang
menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan
makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Berdasarkan
hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada diri manusia
terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini
melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan
kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati,
berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan.
Dalam
hal perilaku keagamaan, behaviorisme menyamakan dengan perilaku lain, yaitu
merupakan ungkapan bagaimana manusia dengan pengkodisian peran belajar hidup di
dunia yang dikuasai oleh hadiah dan hukuman (reward and punishment).
Salah satu tokoh aliran Behaviorisme ini adalah Skinner. Skinner menolak
mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan perilaku dan pengalaman
keagamaan. Ucapan seperti “saya merasa suka pergi ke tempat ibadah” dipandang
dari sudut pengertian Behaviorisme tidak berbicara apa-apa. Apakah perasaan
menjadi penyebab orang pergi ke tempat ibadah atau Tuhan yang membangkitkan
perasaan untuk pergi ke tempat ibadah. Masalah pokoknya menurut Skinner adalah
orang yang bersangkutan mengetahui apa yang terjadi dengan orang yang suka
pergi ke tempat ibadah itu yakni memperoleh kepuasan. Bisa pula karena ia
sendiri punya pengalaman yang memuaskan ketika pergi ke tempat ibadah. Faktor
pengalaman yang memberikan kepuasan itulah yang mendorongnya pergi ke tempat
ibadah dan tidak pergi ke tempat lain. Dalam pandangan Skinner kegiatan
keagamaan diulangi karena faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan
ketegangan.
Di
samping Skinner, J.B.Watson mengatakan bahwa aksi dan reaksi manusia terhadap
suatu stimulus hanyalah dalam kaitan dengan prinsip reinforcement. Manusia
tidak mempunyai will power. Ia hanyalah sebuah robot yang
mereaksi secara mekanik atas pemberian hadiah dan hukuman. Dengan
demikian konsep Tuhan tidak masuk sama sekali di dalam konteks
Behaviorisme.
Watson
begitu yakin bahwa penentu kehidupan manusia adalah faktor-faktor eksternal
yang mengenai manusia itu. Faktor eksternal itu sama sekali bukan Tuhan, karena
Tuhan tidak pernah masuk dalam konsep Watson. Dengan pandangannya yang radikal
seperti itu, Watson dapat dipandang melecehkan manusia, dan terutama ia
mengabaikan kekuasaan Tuhan atas diri manusia.
Memperhatikan
uraian di atas, sebagian sisi-sisi kelemahan Behaviorisme telah dapat
terungkap, sehingga para psikolog dan pendidik Muslim perlu lebih berhati-hati.
2.
Aliran Psikoanalisis
Psikoanalisis, aliran Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud seorang
neurolog dari Austria dengan keturunan Yahudi, berpandangan bahwa manusia
adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan atau yang biasa
disebut dengan id dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya. Id
adalah komponen yang alami pada manusia, sementara Superego terbentuk
karena adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.
Melalui
analisa terhadap jiwa, yaitu melalui psikoanalisa, Freud berusaha menembus
kedalaman dari ketidaksadaran, lalu mengenali macam-macam dorongan dan
sisi-sisi lainnya yang ada dalam ketidaksadaran. Dalam ketidaksadaran itu terus
menerus beroperasi dorongan-dorongan dan tenaga-tenaga asal. Semuanya merupakan
penampilan dari libido atau dorongan seksualitas. Oleh karena itu, orientasi
psikoanalisa ialah pada seksualistis.
Teori
Freud yang mengungkapkan bahwa satu-satunya hal yang mendorong kehidupan
manusia adalah dorongan id adalah teori yang mendapatkan tantangan keras. Sebab
menurutnya dalam libido, seseorang berusaha mempertahankan eksistensinya karena
bermaksud memenuhi hasrat seksualnya. Teori semacam ini dipandang sebagai
menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Dalam
kaca pandang Psikologi Humanistik, teori Freud ini hanya menjelaskan adanya
kebutuhan yang paling mendasar dari manusia, yaitu kebutuhan fisiologis dan tak
mampu memberikan penjelasan untuk keempat kebutuhan manusia yang lain.
Teori
Freud ini akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan kebutuhan seseorang akan
aktualisasi diri atau juga kebutuhan untuk beragama. Teori ini tak mampu
menjelaskan tentang dorongan yang dimiliki Muslim untuk mendapatkan ridha dari
Allah.SWT.
Apabila
dicermati lebih lanjut pendapat Freud, maka dapat dikatakan bahwa dalam diri
manusia tidak ada kebaikan yang bersifat alami atau biologis. Ketika
lahir ia hanya mempunyai nafsu/libido/id dan sama sekali tidak mempunyai
dorongan-dorongan kebaikan atau hati nurani. Hati nurani lahir bersamaan dengan
tumbuh kembangnya individu dalam masyarakat.
Karena itu dalam pandangan Freud dorongan beragama bukanlah suatu
dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena
tuntutan lingkungan.
Dalam
kaitannya dengan perilaku beragama, lebih lanjut Freud melihat bahwa agama itu
adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Dalam bukunya Totem
and Taboo Freud mengatakan bahwa Tuhan adalah refleksi dari Oedipus
Complex, kebencian kepada ayah yang dimanifestasikan sebagai ketakutan kepada
Tuhan.
Freud
mengungkapkan bahwa agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi,
yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan (wishfulfillment).
Manusia lari kepada agama disebabkan oleh ketidak berdayaannya menghadapi
bencana seperti bencana alam, takut mati, keinginan agar manusia terbebaskan
dari siksaan manusia lainnya, dan lain sebagainya.
Dari
penjelasan di atas dapat diungkapkan bahwa orang melakukan tindakan
keagamaan semata-mata didorong oleh keinginan untuk menghindari dari keadaan
bahaya yang akan menimpa dirinya dan memberikan rasa aman bagi diri sendiri.
Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya. Tuhan yang
diciptakannya sendiri itulah yang akan disembahnya. Sementara bagaimana ritual
penyembahan terhadap Tuhan sangat tergantung dari contoh-contoh yang
diperlihatkan oleh orang-orang yang terlebih dahulu melakukannya.
Tokoh
lain yang berpendapat hampir sama dengan Freud adalah Fredrick
Schleimacher. Schleimacher berpendapat perilaku keagamaan itu muncul
dalam diri seseorang karena adanya sense of depend (rasa
ketergantungan yang mutlak). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini
manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu
tergantung kehidupannya kepada sesuatu kekuasaan yang berada di luar dirinya.
Berdasarkan rasa ketergantungan inilah timbul konsep tentang Tuhan.
Ditambahkannya lagi, bahwa manusia merasa tak berdaya menghadapi tantangan alam
yang selalu dialaminya, makanya mereka menggantungkan harapannya kepada sesuatu
kekuasaan yang mereka anggap mutlak adanya. Berdasarkan konsep ini timbullah
upcara-upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat
melindungi mereka. Rasa ketergantungan ini menyebabkan manusia merasa lemah,
tunduk dan pasrah kepada sesuatu yang diyakininya sebagai tempat bergantung.
Rasa
ketergantungan ini dapat dibuktikan dalam realitas upacara keagamaan dan
pengabdian para penganut agama kepada sesuatu kekuasaan yang mereka namakan
Tuhan. Dengan demikian baik Freud maupun Schleimacher sama-sama berpendapat
bahwa Tuhan / agama adalah hasil ciptaan manusia dalam pikirannya
sendiri.
Uraian
tentang manusia dan perilaku beragamanya, sebagaimana dikemukakan oleh Freud
lalu ditambah dengan pendapat Fredrick Schleimacher, adalah suatu konsep
yang sangat jauh dari realitas. Suatu konsep yang dapat menyesatkan kehidupan
manusia. Sebab sebagaimana yang telah ditemukan oleh para ahli jiwa, bahwa
beragama merupakan kebutuhan asasi manusia yang telah ada bersamaan dengan
lahirnya seseorang. Jadi bukan hasil interaksi manusia dikemudian hari.
Selain
pendapatnya di atas, Psikoanalisis juga memiliki konsep yang terlalu
menekankan pengaruh masa lalu terhadap perjalanan hidup manusia. Konsep ini
perlu dipertimbangkan. Sebab jika pendirian atau pendapat ini diterima, maka
kita telah terjebak dalam pesimisme yang mendalam terhadap segenap upaya
pengembangan diri manusia. Itu berarti upaya pendidikan tidak perlu dilakukan
sebab tidak memiliki pengaruh. Seakan-akan Psikoanalisa berpendapat, seseorang
yang masa kecilnya kelam, niscaya tidak ada lagi harapan baginya untuk hidup
secara normal.
3.
Aliran Humanistik
Karena
adanya keragu-raguan yang mendasar terhadap Aliran Behaviorisme dan Psikoanalisa,
maka sejumlah ahli menganjurkan untuk memperhatikan aliran ketiga, yaitu
Psikologi Humanistik.
Aliran
yang dipelopori oleh Abraham H. Maslow dan Carl Ransom Rogers ini sangat
menghargai keunikan pribadi, penghayatan subyektif, kebebasan, tanggung jawab,
dan terutama kemampuan mengaktualisasikan diri pada setiap individu. Bahkan
Logoterapi, suatu ragam Psikologi Humanistik yang ditemukan seorang neuro
psikiater Yahudi dari Austria yang bernama Viktor E. Frankl, mendapatkan
acungan jempol oleh Malik M. Badri seorang Psikolog Muslim, sebagai
pendekatan psikologis yang optimis dan banyak kesesuaiannya dengan
prinsip-prinsip Islam maupun pandangan masyarakat Timur tentang manusia.
Akhirnya
begitu banyak psikolog Muslim yang terpesona dengan Psikologi Humanistik.
Bahkan sebagian Psikolog Muslim menganggap Psikologi Humanistik mewakili suara
Islam pula.
Secara
selintas Psikologi Humanistik mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya manusia
adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini
tidak menekankan atau mendewakan masalah kuantitatif, mencoba tidak terpenjara
dan tidak terperangkap oleh dualisme subyek-obyek, dan mengakui kesamaan antar
manusia. Akan tetapi bila ditelaah lebih lanjut,
akan ditemui begitu banyak
kejanggalan-kejanggalan. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau
optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia sehingga manusia
dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran
Tuhan).
Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga aliran Psikologi
Modern di atas yakni Behaviorisme, Psikoanalisa dan Psikologi Humanistik
walaupun telah menyajikan uraian dan pembahasan secara ilmiah, namun tetap
memiliki celah-celah kelemahan. Apalagi jika celah-celah tersebut ditinjau
menurut kacamata Islam, sebagai dasar dan pedoman hidup Muslim. Karena itu
sangat dianjurkan agar para Psikolog dan Pendidik Muslim untuk berhati-hati
dalam menerapkan konsep-konsep psikologi terutama dalam bidang pendidikan agar
anak didik tidak menjadi korban dari kesalahan konsep-konsep psikologi
yang diaplikasikan.
Konsekuensi
lain adalah hendaklah para peminat psikologi dan para pendidik Muslim menggali
konsep-konsep psikologi tersebut dari sumber-sumber yang sangat diyakini kekokohannya,
dalam hal ini adalah al-Quran dan al-Hadits. Namun ini merupakan suatu
tantangan besar bagi kita semua.[5]
C.
Islamisasi
Sains dengan Psikologi
Keyakinan bahwa
sains dan agama pada hakekatnya merupakan ayat-ayat Allah, yang karena sejarah
dan perkembangannya menjadi terpisah, terkotak-kotak, seakan-akan tak ada
hubungannya antara satu dengan lainnya. Keadaan serupa ini jelas akan sangat
merugikan kehidupan manusia, karena sains makin jauh dari nilai-nilai
etis-agamis, dan agama sendiri makin tak mengakar pada realitas dan penalaran.
Islamisasi sains berupaya menghubungkan keduanya kembali, dengan jalan memberi
landasan dan warna islami kepada sains.
Ada enam pola
pemikiran islamisasi sains yaitu similarisasi, paralelisasi, komplementasi,
komparasi, induktifikasi, dan verifikasi. Diajukan pula sebuah pola pemikiran
islamisasi sains sebagai alternatif, yaitu fondasi falsafi dan sikap
islami, yang memberikan landasan filsafat islami kepada sains, dan
mengembangkan sikap para ilmuwan untuk setuju bahwa dalam agama terkandung
azas-azas ilmiah yang patut menjadi pedoman dan rujukan sains.
Selanjutnya,
sebagai ilustrasi dikemukakan islamisasi psikologi yang pada dasarnya
menempatkan wawasan Islam mengenai manusia sebagai landasan filsafatnya, serta
berusaha agar para psikolog Muslim sepakat untuk menjadikan agama sebagai
rujukan utama dalam mendapatkan kebenaran mengenai manusia.
Islamisasi
sains, termasuk islamisasi psikologi, merupakan kerja raksasa dan waktu yang
lama serta menuntut kerja sama yang terbuka antara para ilmuwan dan agamawan
untuk dapat mewujudkan sains yang berwajah islami, sains yang menyelamatkan.
Inilah peluang yang menantang cendekiawan Muslim untuk menghadirkannya dalam
kurun sains dan teknologi sekarang.[6]
D.
Diferensiasi
Psikologi Sufistik dengan Psikologi Barat
Beberapa perbedaan antara psikologi Sufistik dengan Psikologi Barat
yaitu sebagai berikut:
1.
Dalam psikologi barat, penggambaran
sifat manusia memusatkan perhatiannya pada keterbatasan manusia dan
tendensi-tendensi neurotik atau pada kebaikan lahiriah dan sifat positif dasar
manusia dengan menggunakan pendekatan psikologi klinis atau psikologi humanistik.
Sedangkan menurut psikologi sufi, seluruh manusia berkedudukan antara malaikat
dan hewan. Maksudnya, kita memiliki kedua sifat tersebut dan memiliki potensi
untuk jauh melebihi malaikat atau jauh lebih rendah dari hewan.
2.
Menurut psikologi tradisional barat,
puncak kesadaran kita adalah kesadaran rasional, sedangkan menurut psikologi
sufi tingkat kesadaran meliputi mengingat Tuhan, kebersahajaan, dan persatuan
dengan Tuhan. Selain itu, psikologi sufi juga membedakan kondisi temporer dan
kondisi stabil dari perkembangan spiritual. Tahapan-tahapan perkembangan ini diantaranya,
kesadaran awal, sabar dan syukur, takut dan harap, Pengendalian diri dan
kemiskinan, Tawakal, Cinta, rindu, intim, dan ridha, Niat, tulus, dan jujur, Kontemplasi
dan pemeriksaan diri, Mengingat mati
3.
Psikologi barat menyakini bahwa
harga diri dan perasaan yang kuat akan jati diri ego adalah penting, dan
hilangnya identitas tersebut merupakan suatu penyakit. Sedangkan menurut
psikologi sufi perasaan akan identitas yang terpisah antara kita dengan Tuhan,
merupakan perasaan yang mengacaukan dan menghalangi kita untuk mengetahui sifat
ketuhanan kita, sehingga hal tersebut harus dihindari. Selain itu, psikologi
sufi juga membedakan antara ego positif yang sehat dan ego negatif yang mementingkan
diri sendiri.
4.
Psikologi barat beranggapan bahwa
kepribadian adalah struktur yang relatif utuh. Sedangkan menurut psikologi
sufi, kepribadian merupakan sekumpulan dari bermacam-macam sifat dan
kecenderungan yang mengalami evolusioner dan kesatuan kepribadian (kesatuan
batin sejati) adalah kondisi yang dituju.
5.
Psikologi barat menempatkan nalar
logika sebagai puncak keahlian manusia dan jalan untuk memperoleh pengetahuan
dan kearifan. Sedangkan menurut psikologi sufi, kecerdasan yang abstrak dan
logis disebut sebagai kecerdasan yang rendah, sebab kecerdasan tersebut hanya
digunakan sebagai alat bagi ego untuk mempelajari keahlian-keahlian yang
berkaitan denagan kesuksesan duniawi.
6.
Psikologi barat menyakini bahwa
hampir seluruh pengetahuan penting hanya dapat disampaikan melalui
kalimat-kalimat rasional yang ditata secara logis. Sedangkan menurut psikologi
sufi, kalimat tertulis bersifat terbatas sehingga kondisi perkembangan spiritual
tertinggi adalah melampaui penjelasan rasional. Untuk memperoleh hal tersebut,
ego rasional yang terpisah harus dilepaskan dan puisi merupakan salah satu
media yang terbaik untuk mengekspresikan pengalaman manusia yang mendalam.
7.
Bagi psikologi barat, iman berarti
menyakini sesuatu yang tidak nyata atau sebuah ide yang tidak memiliki bukti
kuat. Sedangkan menurut psikologi sufi, iman berarti menyakini kebenaran yang
berada dibalik beragam penampakan benda material, dan iman menempatkan manusia
kedalam hubungan yang benar dengan alam semesta dan Tuhan.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Integrasi
antara piskologi dan Islam (yang kemudian disebut dengan psikologi islam)
ternyata tidak semudah yang di bayangkan, sebab secara tidak disadari integrasi
itu memadukan dua kewenangan bidang keilmuan. Kewenangan pertama pada label
islam yang syarat akan ilmu-ilmu ke islaman, sedangkan kewenangan kedua pada
label psikologi yang syarat akan cabang-cabang kepsikologianya.
Sebagai
suatu disiplin ilmu yang merupakan hasil spekulasi pikiran dan keterbatasan
pengamatan manusia, psikologi tentu mempunyai sejumlah kelemahan. Kelemahan itu
antara lain dapat dilihat dari kemampuan psikologi yang sangat terbatas dalam
menerangkan siapa sesungguhnya manusia dan bagaimana seharusnya manusia menata
dirinya, sehingga mencapai kesuksesan dalam menjalani kehidupannya. Kita
saksikan bahwa Psikologi dengan sangat mudah mereduksi fenomena-fenomena siapa
sesungguhnya manusia.
Islamisasi
sains, termasuk islamisasi psikologi, merupakan kerja raksasa dan waktu yang
lama serta menuntut kerja sama yang terbuka antara para ilmuwan dan agamawan
untuk dapat mewujudkan sains yang berwajah islami, sains yang menyelamatkan.
Inilah peluang yang menantang cendekiawan Muslim untuk menghadirkannya dalam
kurun sains dan teknologi sekarang.
Diferensiasi
Psikologi Sufistik dan Psikologi barat intinya mengacu pada penggambaran sifat
manusia memusatkan perhatiannya pada keterbatasan manusia dan tendensi-tendensi
neurotik atau pada kebaikan lahiriah dan sifat positif dasar manusia dengan
menggunakan pendekatan psikologi klinis atau psikologi humanistik. Sedangkan
menurut psikologi sufi, seluruh manusia berkedudukan antara malaikat dan hewan.
Maksudnya, kita memiliki kedua sifat tersebut dan memiliki potensi untuk jauh
melebihi malaikat atau jauh lebih rendah dari hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. Kepribadian
Dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Elsaelsi, Mengajarkan hidup tanpa
Tuhan, http://www.elsaelsi.com/2012/10/mengajarkan-hidup-tanpa-tuhan.html
Habibah, Integrasi Psikologi dengan Islam (Sebuah Upaya
Membangun Metodologinya), http://habibah-kolis.blogspot.com/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html
Hanna Djumhana
Bastaman, Islamisasi sains dengan psikologi sebagai ilustrasi, http://mangabuy.blogspot.com/2014/10/islamisasi-sains-dengan-psikologi.html
Irsyadus
Syifa’, integrasi psikologi dengan islam menuju
psikologi islami, https://mabadik.wordpress.com/2010/07/06/integrasi-psikologi-dengan-islam-menuju-psikologi-islami/
Nanang, Psikologi Sufi, http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/01/psikologi-sufi.html
Muhtar Gojali, Pengertian,
Perbandingan Psikologi Tasawuf dan Barat, http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2013/02/pengertian-perbandingan-psikologi_21.html
[1]Irsyadus Syifa’, integrasi psikologi dengan islam menuju psikologi islami, (https://mabadik.wordpress.com/2010/07/06/integrasi-psikologi-dengan-islam-menuju-psikologi-islami/), 3 Maret 2015. 22:06 WIB.
[2]Habibah,
Integrasi Psikologi dengan Islam (Sebuah Upaya Membangun Metodologinya), (http://habibah-kolis.blogspot.com/2008/01/integrasi-psikologi-dengan-islam.html),
3 Maret 2015. 22:30 WIB.
[3]Nanang, Psikologi
Sufi, (http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/01/psikologi-sufi.html), 5
Maret 2015. 11:07 WIB.
[4]Abdul Mujib, Kepribadian
Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5-10.
[5]Elsaelsi, Mengajarkan hidup tanpa Tuhan, (http://www.elsaelsi.com/2012/10/mengajarkan-hidup-tanpa-tuhan.html), 5 Maret 2015. 10:24 WIB.
[6]Hanna Djumhana
Bastaman, Islamisasi Sains dengan Psikologi sebagai Ilustrasi, (http://mangabuy.blogspot.com/2014/10/islamisasi-sains-dengan-psikologi.html), 4 Maret 2015.
13:01 WIB.
[7]Muhtar Gojali, Pengertian,
Perbandingan Psikologi Tasawuf dan Barat, (http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2013/02/pengertian-perbandingan-psikologi_21.html),
5 Maret 2015. 10:39 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar