Disusun Oleh :
1. Tri Abdul Rohman (2833123017)
2. Umi Soimah (2833123018)
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hadits sebagai sumber ajaran Islam
kedua setelah al-Qur’an telah di sepakati oleh hampir seluruh ummat Islam
sebagai salah satu undang-undang yang wajib di taati. Namun demikian telah di
akui pula bahwa hadis itu sendiri di dalamnya masih banyak hal yang bersifat
kontriversi, dimana salah satu hal penyebabnya adalah,terjadinya periwayatan
hadis secara maknawi. Sehingga sering menimbulkan interpretasi yang
bermacam-macam terhadap pemahaman suatu matan atau sanad yang ada dalamnya.
Untuk menjembatani banyaknya perbedaan pemahaman terhadap matan hadis tersebut,
telah dilakukan berbagai pendekatan interpretasi yang di anggap paling tepat
sebagai upaya untuk menjelaskan kandungan makna hadis yang telah di bukukan
dalam berbagai macam kitab-kitab hadis dengan cara memberi ulasan atau
komentar-komentar, sehingga memudahkan untuk dijadikan pedoman dan rujukan bagi
generasi selanjutnya. Salah satu kegiatan yang di lakukan oleh para ulama hadis
dalam rangka mengembangkan, mempelajari dan memudahkan pemahaman terhadap makna
dan isi kitab-kitab hadis yang ada adalah dengan cara menyusun
kitab-kitab syarah, yaitu suatu kitab hadis yang di dalamnya memuat uraian danm
penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil
yang lain, baik dari al-Qur’an, hadis maupun dari kaidah-kaidah syara’ lainnya.
Kegiatan syarah hadis sesungguhnya merupakan salah satu wujud perhatian ulama
hadis dalam usahanya melestarikan hadis sebagai sumber hukum Islam. Dan dalam
mesyarah kitab-kitab himpunan hadits, kebanyakan para pensyarah mempergunakan
sejumlah teknik, metode atau pendekatan interpretasi sesuai dengan
kecenderungan dan kapasitas ilmiah yang mereka miliki.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Urgensi Hadits?
2.
Meliputi
Apa Saja Ruang Lingkup Studi Hadits?
- Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui
Urgensi Hadits.
2. Untuk Menjelaskan
Ruang Lingkup Studi Hadits.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS DAN ILMU HADITS
1. Pengertian Hadits
Secara etimologis, hadits ialah
al-jadid (yang baru) atau al-khabar (berita) Al-qorib (dekat). Secara
terminologis, hadits berarti segala sesuatu yang diberitakan oleh Nabi Muhammad
SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan hal-ihwal Nabi[1].
2. Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu hadits ialah ilmu tentag
hadits. Ilmu ialah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dalam
bidang atau disiplin teetentu, serta memiliki objek kajian yang jelas. Ilmu
musthalah menurut bahasa yaitu sesuatu yang telah disetujui. Menurut istilah
yaitu ilmu untuk mengetahui tentang apa yang telah dimufakati oleh para ahli
hadits dan telah lazim dpiergunakan dalam pembahasan diantara mereka. Ada dua
pembagian ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits dalam arti luas yaitu :
1.
Pembagiannya pada ilmu Hadits dan ilmu
ushul al-Hadits
2.
Pembagiannya pada ilmu Riwayah dan
dirayah.
Ilmu hadits riwayah membahas tentang
proses periwayatan Hadits (bersifat ) ilmu Hadits dirayah membicarakan kaidah
tentang keadaan matan yang diriwayatkan, al-ihwal rawi dan yang tercatat pada
sanad[2].
B. URGENSI DAN RUANG LINGKUP STUDI HADITS
1. Urgensi atau pentingnya mempelajari
hadits dan ilmu Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an[3]. Hadits (sunnah) merupakan sumber
bagi ajaran Islam. Karena ia merupakan salah satu pokok syari’at, yakni sebagai
sumber syari’at Islam yang kedua setelah al-quran. Tadwin hadits sebagai proses
periwayatan telah selesai pada abad III hijriah. Pentingnya menggunakan kaidah
atau criteria yang digunakan para Muhaditsin dalam menyeleksi Hadits. Kaidah
tersebut tersusun secara berkemabang pada ilmu Hadits dirayah, baik yang
berkaitan dengan rawi, sanad, maupun matan. Karena dengan memahami teori
atau kaidah tersebut, bukan saja kita tahu bagaimana para Muhadits dari
kalangan mutaqaddimin menyeleksi Hadits, dan siapapun dapat melanjutkan
pengkajian kualitas Hadits dengan menggunakan kaidah-kaidah yang tersusun dan
petunjuk dari hasil karya muhaditsin terdahulu.[4]
2. Ruang lingkup pembahasan Hadits dan
Ilmu Hadits
Hadits dapat di artikan sebagai
perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan (taqrir) dan sifat, keadaan,
himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu ruang
lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam criteria
qauliyah, fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri.
Pada
periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni:
1.
Rawi ialah subjek periwayatan, rawi
atau yang meriwayatkan Hadits.
2.
Sanad atau thariq ialah jalan
menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi
atau sumber yang memberitahukan Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan
yang meriwayatkan Hadits.
3.
Matan adalah materi berita, yakni
lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang
diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya suatu Hadits
pada penghujung sanad.
4.
Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh
terkemuka periwayat hadits yang di akui ke absahannya dalam bidang hadits.
Dengan demikian untuk mengetahui seseorang di sebut sebagai rijalul hadits ditentukan oleh ilmu
rijalul hadits[5].
Ruang
lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai
aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup pembahasan
ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu Hadits
Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini
ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun obyek ilmu Hadits Dirayah terutama
ilmu musthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi, keadaan sanad
dan keadaan marwi (matan)-nya.
Manfaat
atau tujuan Ilmu Hadits ini adalah untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) dan
mardud (ditolak)nya suatu hadits, dan selanjutnya yang maqbul untuk diamalkan,
dan yang mardud ditinggalkan.
Ruang lingkup ilmu Hadits ini yang dikaitkan dengan aspek
rawi, matan dan sanad pada Hadits, dari jenis-jenis ilmu Hadits yang banyak itu
digolongkan kepada ilmu Hadits yang berkaitan dengan rawi atau sanad, yang
berkaitan dengan matan, dan yang berkaitan dengan ketiganya (rawi, sanad, dan
matan).
Cabang ilmu Hadits dari segi rawi dan sanad, antara lain:
ilmu Rijal al-Hadits, ilmu Thahaqah al-Ruwat, dan ilmu Jarh wa al-Ta’dil.
Adapun cabang ilmu hadits dari segi matan, antara lain ilmu gharib al-Hadits,
ilmu Asbab Wurud al-Hadits, ilmu Nasikh mansukh, ilmu Talfiqal al-hadits, ilmu
fan al-mubhamat, dan ilmu tashhif wa al-tahrif.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PRA-KODIFIKASI
1. Hadits
pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
a. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah hidup di tengah-tengah
masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada
peraturan atau larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan
beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat
menjadikan nabi sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada
permasalahan baik dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan
bisa langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di
luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala
permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk pergi
mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan ketika mereka
kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi) yang
baru mereka terima. Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat
berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga
berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada
orang-orang yang mereka temui. Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat
cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk
menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Karena boleh jadi, banyak
orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri)
yang mendengar (langsung dariku). Perintah tersebut membawa pengaruh yang
sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh
masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan
segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka
akan memperoleh dari saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari
Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan
wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di
masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
b. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
b. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
Penyebaran hadits-hadits pada masa
Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan
hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga
karena Nabi melarang untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur
dengan ayat-ayat Al-Quran.Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits
yang melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa’id
al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Riwayatkanlah dari saya.
Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada)
tempatnya di neraka ” (HR. Muslim). Disini Nabi melarang para sahabat menulis
hadits, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan
hadits dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits
tersebut merupakan satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis
hadits. Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar
yang semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas dari
cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits. faktor-faktor
utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan
hadits:
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang yang baru masuk Islam.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus
setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah
terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa
ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak
dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar
dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat
agar menuliskan untuk Abu Syah.
2.
Hadits
pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
a. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
a. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak
sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk
percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat
meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut.
Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits.
Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode
tersebut disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits. Pembatasan tersebut
dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama
Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang
umum. Namun. Pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua khalifah tersebut
anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan
hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan
mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan
oleh Imam Malik.
Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak
meriwayatkan hadits, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak
meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, "Sekiranya aku
meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan
mencambukku dengan cambuknya. Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan
ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits
pada masa pemerintahannya.
b. Masa Pemerintahan Utsman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan
Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah
yang diterapkan tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam
sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits
yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya,
periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahn
sebelumnya.
Keleluasaan periwayatan hadits
tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak
jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin
luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan Sedangkan riwayat
secara maksimal.
pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
c. Situasi Periwayatan Hadits
pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
c. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan
para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya
meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak
meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa
pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan
hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan,
mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan
diriwayatkannya.
3. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
a. Masa Penyebarluasan Hadits
3. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
a. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah
masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan
meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan
tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk
menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan
hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada
periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif
meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat
hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu
sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan
tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan
golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir
masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih
mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode
ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah. Seorang ulama Syi'ah, Ibnu
Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa asal
mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah
dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan
Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits
untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu "Karena banyaknya hadits
palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik
menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
D. KEDUDUKAN
HADITS DALAM SYARI’AT ISLAM
1.Hadits Sebagai Dasar Tasyiri’i
Yang dimaksud dengan tasyri’ adalah
menetapkan ketentuan syari’at Islam atau hukum Islam. Hukum Islam adalah firman
syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung
tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya
yang lain.
Syari’at adalah hukum yang
ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah SAW
supaya para hamba melaksanakan dasar iman, baik hokum itu mengenai amaliah
lahiriah, maupun yang mengenai akhlak dan aqidah yang bersifat batiniah. Hukum
Islam meliputi : Hukum taklifi, dan hukum Wadh’i. Dasar syari’at dan hokum
Islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan
Islam adalah Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijtihad. Hasil ijtihad Nabi SAW terus
berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. sudah layak sekali kalau
peraturan-peraturan dan inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham, maupun ijtihad beliau, ditempatkan sebagai sumber hukum.
2.Fungsi Hadits Sebagai Bayan
Al-Qur’an
Umat Islam mengambil hukum-hukum Islam dari al-Qur’an yang
diterima dari Rasul SAW. Memang banyak hukum dari Al-Qur’an yang tidak dapat
dijalankan bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan dengan
syarat-syarat, rukun-rukunnya, batal-batalnya dan lain-lain dari Hadits
Rasulullah.
Hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum Islam,
menerangkan segala yang dikehendaki al-Qur’an, sebagai penjelas, penyerah,
penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang mempertanggungkan kepada yang bukan
zhahirnya. Menurut ulama ahl al-Ra’y
(Abu Hanifah), bayan Taqrir adalah keterangan yang didatangkan hadits untuk
menambah kokoh apa yang diterangkan oleh al-Qur’an. Sedangkan bayan tafsir
adalah menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui pengertiannya, yang
mujmal dan musytarakfihi.
3. Pandangan Problematik Tentang Hadits
Pada abad II Hijriyah, muncul faham
yang menyimpang dari garis khittah yang telah dilalui oleh shahabat dan
tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima Hadits sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum, atau bila tidak dibantu oleh al-Qur’an, ada pula yang tidak
menerima Hadits Ahad. Tentang hukum menulis Hadits dan pemalsuan Hadits telah
dibahas walaupun ada Hadits Maqbul yang melarang menulis Hadits, namun ada
Hadits lain yang Maqbul yang justru memerintahkan menulis Hadits.
adapun ikhtilaf tentang penerima
hadits dan atau Hadits Ahad sebagai dasar Tasyri’ dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa
ahli Hadits Ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan landasan amal walaupun
bersifat zhan.
2. Ahmad, al-Mahasibi, al-Karasibi, Abu Sulaiman dan Malik
berpendapat bahwa hadits Ahad bisa qath’I dan wajib diamalkan.
3. kaum Rafidhah, al-Qasimi, ibn Dawud dan sebagian kaum
Mu’tazilah mengingkari hadits Ahad sebagai hujjah[6].
BAB III
- KESIMPULAN
Ilmu hadits ialah ilmu tentang hadits. Ilmu ialah kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dalam bidang atau disiplin
teetentu, serta memiliki objek kajian yang jelas. Ilmu musthalah menurut bahasa
yaitu sesuatu yang telah disetujui. Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam
agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum
dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini,
kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Salah satu ruang lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah
al-ihwal hadits dalam criteria qauliyah, fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan
hamiyah Nabi itu sendiri. Perkembangan hadits pra kodifikasi terbagi menjadi 4
periode.
Yang
dimaksud dengan tasyri’ adalah menetapkan ketentuan syari’at Islam atau hukum
Islam. Hukum Islam adalah firman syari’ yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu
sebagai syarat adanya yang lain. Syari’at adalah hukum yang ditetapkan Allah
SWT untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah SAW supaya para hamba
melaksanakan dasar iman, baik hokum itu mengenai amaliah lahiriah, maupun yang
mengenai akhlak dan aqidah yang bersifat batiniah.
- SARAN
Di sarankan kepada
pembaca, supaya lebih memahami tentang Urgensi
dan ruang lingkup studi Hadits agar
lebih baik mencari referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh
dari kata Sempurna untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam sistem
pembelajaran dan penulis mengharapkan
saran dan kritik dari bapak dosen untuk perbaikan makalah ini.
Daftar Pustaka
Sutoyo dkk, Alquran hadits untuk madrasah aliyah semester 2 kelas X
(Surakarta,CV Pratama,2010)
Soetari, Endang, Ilmu Hadits kajian riwaya (Bandung: CV Mimbar Pustaka, 2008)
http://islamic.net63.net/pendahuluan/pengertian_hadits.htm,
September27, 2012. 11:19 PM
http://ariynatalovers.blogspot.com/2009/12/resume-ulumul-hadits.html.
September29, 2012. 6:23 PM
.
[3] http://islamic.net63.net/pendahuluan/pengertian_hadits.htm,
September27, 2012. 11:19 PM
[4] Ibid, hlm. 16-17.
[5] Soetoyo dkk, Op.Cit., hlm. 12-16.
[6] http://ariynatalovers.blogspot.com/2009/12/resume-ulumul-hadits.html.
September29, 2012. 6:23 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar