Disusun Oleh :
1. Fitri Lutfiani (2833123004)
2. Lailya Eka Cahyanti (2833123006)
3. Tri Abdul Rohman (2833123017)
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Ghazali
adalah seorang ahli pikir Islam. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi
berbagai lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam
(fiqh), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi.
Sebagian besar dari buku-buku itu berbahasa Arab, dan yang lain ditulis dengan
bahasa Parsi. Pengaruh Al-Ghazali di kalangan kaum muslimin besar
sekali sehingga, menurut pandangan para ahli ketimuran (orientalis), agama
Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi
Al-Ghazali. Keistimewaan yang luar
biasa dari al-Ghazali, bahwa dia adalah seorang pengarang yang sangat
produktif, baik pada saat ia skeptis maupun setelah ia menemukan pendiriannya
yang tegas. Al-Ghazali mulai menulis sejak ia berusia 25 tahun.
Bertambah
masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan
perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami
perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak
dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali
sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam. Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka kami menyusun makalah yang berjudul Al Ghazali
sebagai kontribusi kecil kami dalam menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini
juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada
mata kuliah Sejarah Perkembangan Tasawuf.
B.
Rumusan Masalah
Masalah
yang kami angkat dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Riwayat Hidup Al
Ghazali?
2. Apa Saja Karya-karya yang pernah
Ditorehkan oleh Al Ghazali?
3. Bagaimanakah Filsafat Al Ghazali?
4. Apakah Pemikiran-pemikiran Al
Ghazali Berpengaruh terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya? Jika ya, seperti
Apakah Pengaruhnya?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun
tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai berikut:
- Mengetahui Riwayat Hidup Al Ghazali.
- Mengetahui Karya-karya yang pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali.
- Mengetahui Pemikiran-pemikiran Al Ghazali.
- Mengetahui Pengaruh Pemikiran-pemikiran Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di
kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak
pada tahun 450 H (1058 M).[1]
Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang,
karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga
diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah
yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang
tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia
juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya. Ayahnya sebelum wafat menitipkan
anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil
dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan
dan didikan.[3]
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang
menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[4]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al
Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia
pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di
kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat
dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105
M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya?’,
‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang diridhai
Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam
pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera
dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari
kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan
tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan
sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr
yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai
ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan
ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.[5]
B. Karya-karya Al Ghazali
Al-Ghazali dikenal
sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisiplin.
Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secra mendalam. Aktifitasnya bergumul
dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal
menjemputnya. Dalam ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas
keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama terhadapnya. Abdurrahman Badawi
dalam bukunya Muallafah al-ghazali menyebutkan karya al-Ghazali mencapai 457
buku.[6]
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani
maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan
argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam
dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles
tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan
tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja.
Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab
akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.[7]
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar
biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang
produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[8]
1.
Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan
para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat. Tahâfut
Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya
dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof
dengan keras.
2.
Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya
terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf
dan filsafat.
3.
Al Munqidz Min Adl Dlalâl
(penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al
Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
mencapai Tuhan.
4.
Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan
yang rasional).
5.
Misykat Al Anwâr (lampu yang
bersinar banyak), pembahasan Akhlâq Tasawuf.
6.
Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan
diri pada Tuhan).
7.
Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi
dalam akidah).
8.
Ayyuhâ Al Walad (wahai anak). Al
Mustasyfa (yang terpilih).
9.
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
10.
Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
C. Filsafat Al Ghazali
1.
Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali
memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi reaksi keras terhadap
Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para filosof, karena mereka
tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al Ghazali
mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al Farabi dan Ibn
Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut Al
Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas tersebut ingin
meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan
ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian
intelektual mereka.
Pandangan
Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a.
Masalah Wujud
Al Ghazali
mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam menetapkan wujud Tuhan. Beliau
menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil
aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al
Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan
perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai pada
pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia
menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia mempertentangkan wujud Allah
dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm, sedangkan wujud makhluk adalah
hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai
penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum
sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan digerakkan. Sedangkan jika wujud
Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang sudah
pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal yang
mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali
membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan dengan mengemukakan hadits
Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari itu,
beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan sampai mencapai dzat itu. Cukup
bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya saja. Sedangkan dalam membahas
sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para mutakallimîn dari madzhab
Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang diistilahkan dengan sifat
salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan
dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima, yaitu: Qidâm (tidak
berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits (berlainan dengan yang
baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat
ini menafikan kesempurnaan makhluk dan menetapkan kesempurnaan Allah SWT.
Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni (sifat-sifat yang melekat pada
dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya sifat ini bersamaan dengan
adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya. Sifat ma’âni ada
tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak), ‘Ilmu (Maha
Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha
Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali
berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak terbatas dalam menciptakan alam
saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya.
Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT. Manusia hanya
diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar
manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis qadar. Dalam
menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman
Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2. Tasawuf Al Ghazali
Al Ghazali
dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada kebenaran semua (oxioma atau
sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.[9]
Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya
itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siap yang menyangka bahwa
kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah
mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas… Cahaya yang dimaksud adalah
cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan
ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al Ghazali adalah pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tasawuf.[10]
Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat
serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad
tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid Umawi di Damaskus.
Tasawuf Al
Ghazali berbeda dengan tasawuf yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan
diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak
keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan
hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tasawuf mulai
digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan
dari butir-butir nilai akhlâq yang dikemukakannya adalah sebagai sarana
mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab
yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya, akhlâq sangat terkait
erat dengan filsafat ketuhanannya.[11]
Menurut Al
Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al
Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan
tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan,
kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara
masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof lainnya, Al Ghazali membagi jiwa
menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an nafs al bahîmiyyah) yang berasal
dari materi, jiwa berani (an nafs as sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an
nâthiqah) yang berasal dari Ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga
membuat tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu
kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal ini
merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan
tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi
tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi
tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali
mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al mustaqîm) yang dinyatakan lebih
halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan
jalan ini akan dapat dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ`
‘Ulûm Ad Dîn merupakan salah satu karya Al Ghazali yang mengupas tentang
pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa filsafat etika Al
Ghazali adalah Tasawuf Al Ghazali, yang bertujuan pokok:
Maksudnya
bahwa manusia semampunya meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti
pengasih, penyayang, pengampun (pema’af), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan,
seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq
merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan jalan
untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan
ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan
diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai
Allah SWT.
Al Ghazali
berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan dan
pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah
muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua, yaitu
kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan
(sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu
sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al qalb).[12]
D. Pengaruh Pemikiran-pemikiran Al Ghazali terhadap Masa dan
Generasi Sesudahnya
Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada masa
setelahnya, karena sesuai dengan ajaran Islam. Ia mendapat gelar Hujjatul Islâm
karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai
serangan dari pihak luar, baik Islam maupun orientalis Barat.
Pemikiran Al Ghazali dan Ibn Rusyd pada dasarnya memiliki
satu garis kesamaan, yaitu sebuah garis yang berangkat dari titik pemikiran Ibn
Sina dengan aliran filsafat yang memiliki bangun dasar wahdatul wujûd. Al
Ghazali mengemukakan bahwa para filosof yang mengajarkan tiga hal (keabadian
alam, pengetahuan Tuhan yang universal dan menolak bangkitnya jasad setelah
mati) adalah kafir, termasuk yang mengikutinya.[13]
Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al
Ghazali dari karya-karyanya, yaitu:[14]
1.
B Mic Donal menerjemahkan beberapa
pasal dari Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
2.
H Baeur yang menterjemahkan Qawâ’id
Al ‘Aqâ`id ditransfer ke dalam bahasanya, yaitu Dogmatic Al Ghazali’s.
3.
Carra De Vaux yang menterjemahkan
buku Tahâfut Al Falâsifah.
4.
De Boer dan Asin Palacois yang
masing-masing menterjemahkan Tahâfut Al Falâsifah.
5.
Barbier De Minard yang
menterjemahkan Al Munqizhu min Adl Dlalâl.
6.
WHT. Craidner, London yang
menterjemahkan buku Miskat Al Anwâr.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu
Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Lahir
di Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah
memintal benang wol.
Awal mula Al Ghazali mengenal tasawuf
adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan).
Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi.
Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam
pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran
ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana
sambil mengisolir diri untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada
tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan
Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam,
terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama,
pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi:
Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad
Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr,
Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa,
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
Filsafat Imam Al Ghazali meliputi
Filsafat Ketuhanan (Masalah Wujud, Dzat dan Sifat serta Af’al); Tashawuf Al
Ghazali, tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan
karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak
berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam; Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali.
Akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga
bagian, yaitu: an nafs al bahîmiyyah an nafs as sabû’iyyah dan an nafs an
nâthiqah. Ia pun mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al mustaqîm) yang
dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada mata
pisau. Filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan
pokok. Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian
amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta
latihan-latihan. Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya
adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam
Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. hlm. 155.
[2] Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama. hlm. 77.
[3] http://www.2lisan.com/2615/biografi-imam-al-ghazali/#.ULX0ZGe0UrA.
November 28, 2012. 6:33 PM
[4] Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. hlm.
178.
[5] Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam.
Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 67.
[6]http://uchinfamiliar.blogspot.com/2010/08/karya-karya-monumental-al-ghazali.html.
November20, 2012. 10:55 PM
[7] Ibid. hlm. 68.
[8] Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV
Insan Mandiri. hlm. 91-92.
[9] Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm.
224.
[10] Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan
Bintang. hlm. 31.
[11] Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam.
Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 74.
[12] Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20.
Yogyakarta: Kanisius. hlm. 33.
[13] Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa
Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif. hlm. 56-57.
[14] Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang. hlm. 137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar