Disusun Oleh :
1. Fitri Lutfiani (2833123004)
2. Tri Abdul Rohman (2833123017)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ilmu kalam
adalah ilmu yang membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama yaitu
setiap orang yang mendalami agamanya secara mendalam. Mempelajari ilmu kalam
akan memberikan keyakinan yang kuat terhadap seseorang dengan berdasarkan pada
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang tidak mudah diombang-ambing oleh kemajuan zaman.
Islam tidaklah sesempit yang dipahami pada umumnya,
dalam sejarah terlihat bahwa Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
dapat berhubungan dengan masyarakat luas. Akidah pada saat Rasulullah wafat
telah melekat dengan kokoh dalam hati setiap muslim, mereka hidup dalam ikatan
persatuan yang sangat kuat, penuh dengan kesucian dan kemuliaan. Namun, setelah
itu mulai bermunculan bid’ah-bid’ah seperti bid’ahnya aliran Murji’ah.
Kemunculan Murji’ah pada mulanya ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya
persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Ustman
bin Affan terbunuh. Dalam makalah ini akan dibahas tentang sejarah,
tokoh-tokoh, sekte-sekte, doktrin-doktrin dan implikasi pemikiran kalam Murji’ah
dalam kehidupan sehari-hari.
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya
yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir dan mengkafirkan terhadap orang yang
melakukan dosa besar. Setelah berkembangnya aliran ini banyak sekali para ulama
yang menyatakan bahwa aliran ini sesat dan menyimpang dari ajaran agama.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kalam Murji’ah?
2. Bagaimana sejarah pemikiran kalam Murji’ah ?
3. Apa dalil-dalil Pemikiran Kalam Murji’ah ?
4. Apa saja doktrin-doktrin kalam Murji’ah ?
5. Apakah ada sekte-sekte pada kalam Murji’ah ?
6. Bagaimana implikasi pemikiran kalam Murji’ah ?
C.
Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari kalam Murji’ah.
2. Mengetahui sejarah pemikiran kalam Murji’ah.
3. Mengetahui dalil-dalil Pemikiran Kalam Murji’ah.
4. Mengetahui doktrin-doktrin kalam Murji’ah.
5. Mengetahui sekte-sekte kalam Murji’ah.
6. Mengetahui implikasi pemikiran kalam Murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murji’ah
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a. Ada
beberapa pendapat tentang arti arja’a, diantaranya ialah:
1. Menurut Ibn ‘Asakir,
Dalam uraiannya tentang asal-usul kaum Murji’ah
mengatakan bahwa arja’a berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu
berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari
perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumnya sebagai orang kafir.
2. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam
Mengatakan bahwa arja’a juga mengandung arti membuat
sesuatu, mengambil tempat-tempat
dibelakang, dalam arti memandang sesuatu kurang penting. Dinamakan sesuatu
kurang penting, sebab yang penting adalah imannya. Amal adalah nomor dua
setelah iman.
3. Ahmad Amin
Mengatakan bahwa arja’a juga mengandung arti memberi
pengharapan. Dinamakan demikian, karena di antara kaum Murji’ah ada yang
berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah
menjadi kafir, ia tetap sebagai mukmin, dan kalau ia dimasukkan ke dalam
neraka, maka ia tidak kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa
besar masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.[1]
4. Al Azhari
Menyebutkan perihal kata-kata Raja’ yang mempunyai
arti ‘takut’ yaitu apabila lafadz Raja’ bersama dengan huruf nafi. Dari
pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemikiran kalam Murji’ah
merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar
tidaklah menjadi kafir, akan tetapi tetap mukmin dan urusan dosa besar yang
telah dilakukan ditunda penyelesaiannya sampai hari kiamat.
B.
Sejarah pemikiran kalam Murji’ah
Ada beberapa teori yang
berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah, diantaranya ialah:
1.
Mengatakan
bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan
menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik
dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.[2]
2.
Mengatakan
bahwa gagasan irja atau arja’a, yang merupakan basis doktin Islam, muncul
pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Penggagas teori
ini adalah Watt. Watt menegaskan teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah
kematian Muawiyah pada tahun 680 H, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil.
Al-Mukhtar membawa faham syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687 H. Ibnu Zubair
mengklaim kekhalifahan yang ada di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan
Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan.
Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun 695 H oleh cucu Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya, dalam
surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan,”kita
mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang
terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, ‘Ali dan Zubair
(seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan sikap politik ini Al-Hasan mencoba
menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan
kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan ‘Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui
kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan Ustman.
3.
Aliran ini
di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah
(kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan, umat Islam
terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok
Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela
Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut
Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan
Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti
Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah
menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya
milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah
karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga
golongan tersebut terjadi saling mengkafirkan. Di tengah-tengah suasana
pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin
terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian
berkembang menjadi golongan Murji’ah. Bagi mereka sahabat-sahabat yang terlibat
dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu tetap mereka anggap sebagai
sahabat-sahabat Nabi yang dapat dipercaya keimanannya. Oleh karena itu mereka
tidak menyatakan siapa yang sebenarnya salah, tetapi menyerahkannya kepada tuhan pada hari
perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka menjadi kafir atau tidak.[3]
C.
Dalil-dalil Pemikiran Kalam Murji’ah
1. Firman Allah:
إِنَّ اللهَ لايَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.”
إِنَّ اللهَ لايَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.”
2. Firman Allah:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3. Rasululllah SAW bersabda:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ. قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ: وَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”, Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: "Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.”
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ. قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ: وَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”, Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: "Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.”
4. Dalam hadits qudsi Rasulullah SAW meriwayatkan
dari Allah:
يَا ابْنُ أَدَ مَ اِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقِرَابِ اْلَأرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَـــنِيْ لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَ تَـيْتُــكَ بِقِرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Hai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui Aku tanpa berbuat syirik sedikit pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan maghfirah yang sebanding.”
يَا ابْنُ أَدَ مَ اِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقِرَابِ اْلَأرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَـــنِيْ لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَ تَـيْتُــكَ بِقِرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Hai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui Aku tanpa berbuat syirik sedikit pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan maghfirah yang sebanding.”
5. Nabi SAW bersabda:
اللَّهُمَّ ثّبِّتْ قَـْلبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“ Ya Allah, tetapkanlah hatiku pada dien-Mu.”
اللَّهُمَّ ثّبِّتْ قَـْلبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“ Ya Allah, tetapkanlah hatiku pada dien-Mu.”
Orang-orang Murji’ah berdalil dengan hadits ini untuk
menguatkan faham mereka dengan mengambil ungkapan dari hadits
di atas:
1. Mereka adalah orang-orang yang Allah bebaskan, kemudian
dimasukkan kedalam syurga tanpa sebuah amal yang mereka
kerjakan . Kemudian orang Murji’ah berkomentar, kalau saja
mereka bisa masuk syurga tanpa amalan sedikit pun, lalu bagaimana kalau mereka
punya amalan? Maka jawabnya menurut mereka adalah bahwa
mereka itu masih menyisakan tashdiq dan hal tersebut bermanfaat
bagi mereka tanpa harus melihat pada amalan karena hakekat
iman itu menurut Murji’ah adalah tidak sampai pada amalan.
2. Dan termasuk syubhat yang mereka pergunakan juga
ialah bahwa amalan bukan termasuk dalam iman,
sesuai dengan pendapat mereka
3. Kafir itu berlawanan dengan iman. Maka selama ada
kekafiran, keimanan akan hilang dan demikian juga sebaliknya.
4. Sedangkan dalil para pengikut Hanafi adalah:
bahwasanya iman ialah perkataan dan i’tikad saja sedangkan amalan tidak
termasuk di dalamnya, cukuplah amalan itu hanya sebagai bagian dari
syari’at Islam yang apabila seseorang melakukan sebuah kemaksiatan maka
berkuranglah syari’at Islamnya dan amalan bukanlah termasuk tashdiq terhadap
Islam.
D.
Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran-ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber
dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak
persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Berkaitan dengan doktrin
teologi Murji’ah,
W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga
Allah memutuskannya di Akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam
peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.[4]
Abu ‘A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran
Murji’ah, yaitu:
1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja.
Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman.
Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan
perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada
iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan
atas seseorang. Untuk mendapat pengampunan manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari Syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[5]
Harun Nasution menyebutkan ajaran pokoknya yaitu :
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash, dan
Musa al Asy ‘ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari
akhir kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim
yang berdosa besar.
3. Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan di sisi Allah.[6]
Dari
doktrin-doktrin teologi Murji’ah yang dikemukakan oleh W. Montgomery Watt, Abu
‘A’la Al-Maududi, Harun Nasution dapat kita simpulkan bahwa doktrin-doktrin
Murji’ah sebagai berikut:
1. Penangguhan hukum atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan
Musa al Asy ‘ary yang terlibat tahkim.
2. Iman itu adalah tashdiq ( pembenaran ) saja, atau pengetahuan
hati atau ikrar.
3. Amal tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak masuk
dalam bagiannya. Mereka ( Murji’ah) berkata “iman adalah membenarkan dalam hati
atau membenarkan dalam hati dan di ungkapkan dengan lisan. Adapun amal, menurut
mereka merupakan syarat kesempurnaan iman saja dan tidak masuk di dalam
pengertian iman. Barangsiapa yang membenarkan dengan hatinya dan mengucapkan
dengan lisannya, maka dia adalah seorang beriman yang sempurna imannya menurut
mereka, walau dia telah meninggalkan perbuatan–perbuatan yang berupa
meninggalkan kewajiban, mengerjakan keharaman, dia berhak masuk surga meskipun
belum beramal kebaikan sama sekali. Menetapkan atas hal itu ketetapan–ketetapan
yang bathil, seperti : membatasi kekufuran dengan kufur takdzib (kufur bohong)
dan menganggap halal hanya dengan hati.” (Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Daimah).
4. Orang yang bermaksiat dikatakan mukmin yang sempurna
imannya. Sebagaimana sempurnanya tashdiq di akhirat kelak tidak akan masuk ke
neraka. Bahkan perbuatan kafir dan zindiq tak sedikitpun membahayakan keimanan
seorang muslim.
5. Manusia pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat
melihatnya di akhirat nanti (ini seperti faham mu’tazilah).
6. Sesungguhnya imamah ( khalifah ) itu boleh datang dari
golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy.
7. Iman adalah mengenal Allah secara mutlak, dan bodoh
kepada Allah adalah kufur kepada – NYA
E.
Sekte-sekte
Murji’ah.
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah
tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas)
dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa Murji’ah terbagi
menjadi 11 bagian:
1. At Tarikah
Mereka mengatakan: “Tidak ada kewajiban bagi
seorang hamba kepada Allah selain hanya beriman saja. Barang siapa yang
telah beriman kepada-Nya dan telah mengenal-Nya maka dia boleh berbuat
sesukanya.”
2. As Saibiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya Allah membiarkan
hamba-Nya untuk berbuat sesukanya.”
3. Ar Raji’ah
Mereka mengatakan: “Kami tidak mengatakan taat
bagi orang yang taat, dan juga tidak menyebut maksiat bagi orang yang melakukan
perbuatan maksiat karena kami tidak mengetahui kedudukan
mereka di sisi Allah.”
4. Asy- Syakiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya ketaatan itu bukanlah
dari iman.”
5. Baihasyiah (nisbah pada Baihasy bin
Haisham)
Mereka mengatakan: “Iman itu adalah ilmu, barang siapa
yang tidak mengetahui yang hak dan yang batil, juga tidak mengetahui halal dan
haram maka dia telah kafir.”
6. Manqushiah
Mereka mengatakan: “Iman itu bertambah tapi tidak
berkurang.”
7. Mustatsniah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan,
atau “istitsna’“ (pengecualian) dalam hal keimanan.
8. Musyabbihah
Mereka mengatakan: “Allah mempunyai
penglihatan sebagaimana penglihatanku dan juga mempunyai tangan
sebagaimana tanganku.”
9. Hasyawiah
Mereka menjadikan hukum hadits semuanya adalah
satu, dan menurut mereka orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah sama
halnya dengan orang yang meninggalkan amalan fardhu.
10. Dzahiriyah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan (tidak
menggunakan) qiyas.
11. Bid’iyyah
Mereka adalah orang pertama yang memulai bid’ah pada
ummat ini. Ghalib Ali Awwaji dalam firaq muashirah membagi Murji’ah I’tiqadiyah
(secara keyakinan) menjadi beberapa bagian yang sangat banyak, akan tetapi yang
beliau sebutkan hanyalah secara garis besarnya saja sebagaimana yang
telah disebutkan oleh Ulama Firaq:
a) Murji’ah sunnah
Mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di
dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman
juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang
lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari
hakekat iman.
b) Murji’ah Jabariyah
Mereka adalah Jahmiyyah (para pengikut Jahm bin
Shafwan), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja
.Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan
bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
c) Murji’ah Qadariyyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad
Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah.
d) Murji’ah Murni
Mereka adalah kelompok yang oleh para ulama
diperselisihkan jumlahnya.
e) Murji’ah Karamiah
Mereka adalah kawan-kawan Muhammad bin Karam, mereka
berpendapat bahwa iman hanyalah ikrar dan pembenaran dengan lisan tanpa
pembenaran dengan hati.
f) Murji’ah Khawarij
Mereka adalah Syabibiyyah dan sebagian kelompok
Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar.[7]
Menurut
Harun Nasution pemikiran kalam Murji’ah dibagi menjadi dua sekte, yaitu:
1. Murji’ah moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan
dosa besar itu tidak menjadi kafir karenanya, dan tidak kekal dalam neraka.
Orang tersebut akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia
kerjakan. Bahkan apabila ia mengampuni dosanya itu ada kemungkinan ia tidak
masuk neraka sama sekali. Jadi, menurut golongan ini orang Islam yang melakukan
dosa besar itu masih tetap mukmin. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam golongan
murj’ah adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dan beberapa ahli Hadits.[8]
2. Murji’ah ekstrim
Adapun yang
termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah,
Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan
seperti berikut:
a) Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para
pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan
kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b) Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi,
berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak
tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah
adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahhui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa,
dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c) Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa
melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbutan jahat yang tidaklah merugikan
orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, mutaqil bin Sulaiman berpendapat bahwa
perbutan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai
musyrik.
d) Hasaniyah, menyebutkan bahwa seseorang mengatakan, “saya
tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak, apakah babi yang diharamkan
itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu
pula orang yang mengatakan “saya tahu tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah,
tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau di tempat lain.[9]
F.
Implikasi Pemikiran Kalam Murji’ah
Implikasi
buruk pemikiran kaum Murji’ah dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
1. Sebagai satu kebid’ahan, maka Murji`ah bila masuk
dalam aqidah kaum muslimin dapat memporak-porandakan persatuan dan kesatuannya.
Sebab kebid’ahan bila muncul dan berkembang dalam tubuh umat Islam akan
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka. Hal ini karena pelaku
kebid’ahan akan membela kebid`ahanya, padahal Sunnah Rasulullah pasti ada pendukung yang menegakkannya. Dengan
demikian umat akan terpecah.
2. Membuat pemilik aqidahnya masuk dalam 72 golongan yang
diancam masuk neraka dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam :
إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَان وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Sesungguhnya orang sebelum kalian dari ahli kitab telah berpecah belah dalam 72 golongan dan sungguh umat ini akan pecah menjadi 73 golongan; 72 golongan di neraka dan satu disyurga yaitu al-Jama’ah” (HR Abu Daud)”
Membuat banyak hukum Islam yang hilang yang merupakan
satu sebab hilangnya syari’at dan membuat kerusakan pada keindahan Islam yang
merupakan sebab orang berpaling dan
tidak mengagungkan syari’at Allah. Ini merupakan salah satu dampak buruk
kebid’ahan secara umum dan Murji`ah masuk didalamnya.
3. Telah berdusta atas nama Allah dan memiliki pemikiran
yang telah dicela seluruh ulama. Imam al-Ajuri (wafat tahun 360H) menyatakan,
“Siapa yang memiliki pemikiran seperti ini (Irja`) maka telah berdusta atas
nama Allah dan membawa lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari
seluruh ulama, karena pemilik pemikiran ini menganggap bahwa orang yang telah
mengucapkan La Ilaha Illa Allah maka dosa besar yang dilakukannya dan kekejian
yang ia laksanakan tidak merusaknya sama sekali dan menurutnya orang yang baik
dan takwa yang tidak melakukan sedikitpun hal-hal tersebut dengan orang yang
fajir adalah sama. Ini jelas kemungkaran. Allah berfirman:
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu” (QS. Al-Jatsiaat: 21) dan firman Allah Ta’ala :
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?” (QS. Shaad: 28).
4. Meyakini bahwa amalan tidak mempengaruhi imannya,
sehingga banyak orang menyatakan bahwa yang penting adalah hatinya dalam
berbuat kemaksiatan seakan-akan perbuatan tersebut tidak mempengaruhi keimanan
dihatinya.
5. Menghilangkan unsur jihad fisabilillah dan amar ma`ruf
nahi mungkar.
6. Menyamakan antara orang shalih dengan yang tidak dan
orang yang istiqamah diatas agama Allah dengan yang fasik. Sebab menurut versi
mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang sebagaimana amal
maksiat tidak mempengaruhi iman.
7. Mewaspadai Faham Murji’ah
Faham Murji’ah telah muncul dan berkembang pada
beberapa abad yang lalu. Dan sekarang mungkin tidak ada orang yang berfaham
Murji’ah secara mutlak. Para ulama pun telah menjelaskan dan memperingatkan
kepada umat atas kesesatan mereka. Namun bukan tidak mungkin bahaya laten
Murji’ah akan muncul kembali. Terbukti ada sebagian golongan dari kaum muslimin
pada saat ini yang mempunyai beberapa pemikiran yang sama dengan Murji’ah.
Murji’ah zaman sekarang walaupun mereka menyelisihi
pendahulunya dalam penamaan iman dan definisinya saja, akan tetapi sesungguhnya
mereka menyelarasi Murji’ah dahulu pada banyak konsekuensi definisi iman
tersebut. Mereka, walaupun mendefinisikan iman dengan definisi yang shohih dan
memasukkan di dalamnya uacapan dan perbuatan disamping I’tiqad (keyakinan),
pada hakikatnya masalahnya adalah mereka tidak mengkafirkan kecuali dengan
I’tiqad (keyakinan) saja. Hal ini bisa kita lihat dari pemahaman mereka dalam
memandang perbuatan kufur. Mereka memandang bahwa perbuatan kufur tidak
menjadikan pelakunya kafir, dan tidak membahayakan keimanannya. Orang yang
melakukan kekufuran tetap disebut sebagai seorang mu'min yang sempurna selama
hatinya tidak istihlal (menganggap halal perbuatannya). Karena mereka hanya
membatasi kekufuran dalam I’tiqad (keyakinan) atau juhud Qalbiy (pembangkangan)
atau istihlal (menganggap halal perbuatannya).[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa pemikiran kalam Murji’ah merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, akan tetapi tetap
mukmin. Dan urusan dosa besar yang telah dilakukan ditunda penyelesaiannya
sampai hari kiamat.
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan
politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah
Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok
Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu
golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari
barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok
lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah
lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang
kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut
kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij
tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam
pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di
tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan
diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok
inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah. Bagi mereka
sahabat-sahabat yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu
tetap mereka anggap sebagai sahabat-sahabat Nabi yang dapat dipercaya
keimanannya. Oleh karena itu mereka tidak menyatakan siapa yang sebenarnya
salah, tetapi mereka lebih baik menunda persoalan tersebut, dan menyerahkannya
kepada tuhan pada hari perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka menjadi
kafir atau tidak.
B.
Saran
Umumnya orang berpikir, apabila
mempelajari ilmu kalam itu akan menyebabkan seseorang menjadi sesat padahal
Mempelajari pemikiran kalam sangat diperlukan untuk menambah wawasan kita
terhadap agama yang kita anut sehingga menambah keyakinan kita akan agama kita.
Oleh karena itu, menurut kami
janganlah mudah terpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran yang baru kita
ketahui, apalagi pemikiran tersebut keluar dari pokok-pokok ajaran Islam
(Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Di sarankan kepada pembaca, supaya lebih memahami tentang “Kalam Murji’ah” agar lebih baik
mencari referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna
untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam sistem pembelajaran dan penulis mengharapkan saran dan kritik dari bapak
dosen untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak.
2003. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Basri,
Hasan dkk. 2007. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung:
Azkia Pustaka Utama.
Nasution, Harun. 2002. Teologi
Islam. Jakarta: Universitas Indonesia Press
[2]Abdul Rozak dkk, ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), hlm. 56
[4]Ibid, hal.58
[5]Ibid. hal.59
[6]Nasution, Teologi Islam. (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2002), hlm. 22
[7]http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/murjiah-pemikiran-doktrin-dan-sekte.html, 24 April 2013, 22:34
[8]Hasan Basri dkk, Ilmu Kalam sejarah dan Pokok Pikiran
Aliran-aliran, (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2007), hlm.28
[9]http://izzudinrifqi.blogspot.com/2011/04/makalah-murjiah-dan-sekte-sektenya.html, 24 April 2013, 23:01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar