Kamis, 27 Juni 2013

Makalah tentang Kalam Murji'ah


Disusun Oleh :
1.      Fitri Lutfiani               (2833123004) 
2.      Tri Abdul Rohman     (2833123017)



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama yaitu setiap orang yang mendalami agamanya secara mendalam. Mempelajari ilmu kalam akan memberikan keyakinan yang kuat terhadap seseorang dengan berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang tidak mudah diombang-ambing oleh kemajuan zaman.
Islam tidaklah sesempit yang dipahami pada umumnya, dalam sejarah terlihat bahwa Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan masyarakat luas. Akidah pada saat Rasulullah wafat telah melekat dengan kokoh dalam hati setiap muslim, mereka hidup dalam ikatan persatuan yang sangat kuat, penuh dengan kesucian dan kemuliaan. Namun, setelah itu mulai bermunculan bid’ah-bid’ah seperti bid’ahnya aliran Murji’ah. Kemunculan Murji’ah pada mulanya ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Ustman bin Affan terbunuh. Dalam makalah ini akan dibahas tentang sejarah, tokoh-tokoh, sekte-sekte, doktrin-doktrin dan implikasi pemikiran kalam Murji’ah dalam kehidupan sehari-hari.
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir dan mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar. Setelah berkembangnya aliran ini banyak sekali para ulama yang menyatakan bahwa aliran ini sesat dan menyimpang dari ajaran agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari kalam Murji’ah?
2.      Bagaimana sejarah pemikiran kalam Murji’ah ?
3.      Apa dalil-dalil Pemikiran Kalam Murji’ah ?
4.      Apa saja doktrin-doktrin kalam Murji’ah ?
5.      Apakah ada sekte-sekte pada kalam Murji’ah ?
6.      Bagaimana implikasi pemikiran kalam Murji’ah ?
C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian dari kalam Murji’ah.
2.      Mengetahui sejarah pemikiran kalam Murji’ah.
3.      Mengetahui dalil-dalil Pemikiran Kalam Murji’ah.
4.      Mengetahui doktrin-doktrin kalam Murji’ah.
5.      Mengetahui sekte-sekte kalam Murji’ah.
6.      Mengetahui implikasi pemikiran kalam Murji’ah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Murji’ah
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a. Ada beberapa pendapat tentang arti arja’a, diantaranya ialah:
1.      Menurut Ibn ‘Asakir,
Dalam uraiannya tentang asal-usul kaum Murji’ah mengatakan bahwa arja’a berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumnya sebagai orang kafir.
2.      Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam
Mengatakan bahwa arja’a juga mengandung arti membuat sesuatu,  mengambil tempat-tempat dibelakang, dalam arti memandang sesuatu kurang penting. Dinamakan sesuatu kurang penting, sebab yang penting adalah imannya. Amal adalah nomor dua setelah iman.
3.      Ahmad Amin
Mengatakan bahwa arja’a juga mengandung arti memberi pengharapan. Dinamakan demikian, karena di antara kaum Murji’ah ada yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah menjadi kafir, ia tetap sebagai mukmin, dan kalau ia dimasukkan ke dalam neraka, maka ia tidak kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.[1]
4.      Al Azhari
Menyebutkan perihal kata-kata Raja’ yang mempunyai arti ‘takut’ yaitu apabila  lafadz Raja’ bersama dengan huruf  nafi. Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemikiran kalam Murji’ah merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, akan tetapi tetap mukmin dan urusan dosa besar yang telah dilakukan ditunda penyelesaiannya sampai hari kiamat.
B.     Sejarah pemikiran kalam Murji’ah
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah, diantaranya ialah:
1.      Mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.[2]
2.      Mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a, yang merupakan basis doktin Islam, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Penggagas teori ini adalah Watt. Watt menegaskan teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah pada tahun 680 H, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa faham syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687 H. Ibnu Zubair mengklaim kekhalifahan yang ada di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan. Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun 695 H oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya, dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan,”kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, ‘Ali dan Zubair (seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan sikap politik ini Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan ‘Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan  Ustman.
3.      Aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengkafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah. Bagi mereka sahabat-sahabat yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu tetap mereka anggap sebagai sahabat-sahabat Nabi yang dapat dipercaya keimanannya. Oleh karena itu mereka tidak menyatakan siapa yang sebenarnya salah, tetapi  menyerahkannya kepada tuhan pada hari perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka menjadi kafir atau tidak.[3]
C.     Dalil-dalil Pemikiran Kalam Murji’ah
1.      Firman Allah:
إِنَّ اللهَ لايَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآء  
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.”
2.      Firman Allah:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3.      Rasululllah SAW bersabda:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ.   قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍوَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَاتَ  لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”,  Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: "Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.”
4.      Dalam hadits qudsi  Rasulullah SAW meriwayatkan dari Allah: 
يَا ابْنُ أَدَ مَ اِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ  بِقِرَابِ اْلَأرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَـــنِيْ لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَ تَـيْتُــكَ  بِقِرَابِهَا   مَغْفِرَةً
“Hai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui Aku tanpa berbuat syirik  sedikit pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan maghfirah yang sebanding.”
5.      Nabi SAW bersabda:
اللَّهُمَّ ثّبِّتْ قَـْلبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
 “ Ya  Allah, tetapkanlah hatiku pada dien-Mu.”
Orang-orang Murji’ah berdalil dengan hadits ini untuk menguatkan  faham mereka  dengan  mengambil ungkapan dari hadits di atas:
1.      Mereka adalah orang-orang yang  Allah bebaskan, kemudian dimasukkan  kedalam syurga   tanpa sebuah amal yang mereka kerjakan . Kemudian  orang Murji’ah  berkomentar, kalau saja  mereka bisa masuk syurga tanpa amalan sedikit pun, lalu bagaimana kalau mereka punya amalan? Maka jawabnya  menurut mereka  adalah bahwa  mereka itu masih menyisakan  tashdiq  dan hal tersebut bermanfaat bagi mereka  tanpa harus melihat pada  amalan karena  hakekat iman  itu menurut Murji’ah adalah tidak sampai pada amalan.
2.      Dan termasuk syubhat yang mereka  pergunakan juga ialah  bahwa  amalan  bukan  termasuk  dalam iman, sesuai dengan pendapat mereka
3.      Kafir itu berlawanan dengan iman. Maka selama ada kekafiran, keimanan akan hilang dan demikian juga sebaliknya.
4.      Sedangkan dalil  para pengikut Hanafi adalah: bahwasanya iman ialah perkataan dan i’tikad  saja sedangkan amalan tidak termasuk di dalamnya, cukuplah amalan itu hanya sebagai  bagian dari syari’at Islam yang apabila seseorang melakukan sebuah kemaksiatan maka berkuranglah syari’at Islamnya dan amalan bukanlah termasuk tashdiq terhadap Islam.
D.     Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran-ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah,
W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
1.      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di Akhirat kelak.
2.      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3.      Pemberian harapan terhadap orang muslim yang  berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.[4]

Abu ‘A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
1.      Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapat pengampunan manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari Syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[5]

Harun Nasution menyebutkan ajaran pokoknya yaitu :
1.      Menunda hukuman atas Ali, Muawwiyah, Amr bin Ash, dan Musa al Asy ‘ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari akhir kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
4.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan di sisi Allah.[6]
Dari doktrin-doktrin teologi Murji’ah yang dikemukakan oleh W. Montgomery Watt, Abu ‘A’la Al-Maududi, Harun Nasution dapat kita simpulkan bahwa doktrin-doktrin Murji’ah sebagai berikut:
1.      Penangguhan hukum atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Musa al Asy ‘ary yang terlibat tahkim.
2.      Iman itu adalah tashdiq ( pembenaran ) saja, atau pengetahuan hati atau ikrar.
3.      Amal tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak masuk dalam bagiannya. Mereka ( Murji’ah) berkata “iman adalah membenarkan dalam hati atau membenarkan dalam hati dan di ungkapkan dengan lisan. Adapun amal, menurut mereka merupakan syarat kesempurnaan iman saja dan tidak masuk di dalam pengertian iman. Barangsiapa yang membenarkan dengan hatinya dan mengucapkan dengan lisannya, maka dia adalah seorang beriman yang sempurna imannya menurut mereka, walau dia telah meninggalkan perbuatan–perbuatan yang berupa meninggalkan kewajiban, mengerjakan keharaman, dia berhak masuk surga meskipun belum beramal kebaikan sama sekali. Menetapkan atas hal itu ketetapan–ketetapan yang bathil, seperti : membatasi kekufuran dengan kufur takdzib (kufur bohong) dan menganggap halal hanya dengan hati.” (Majmu’ Fatawa Al Lajnah Ad Daimah).
4.      Orang yang bermaksiat dikatakan mukmin yang sempurna imannya. Sebagaimana sempurnanya tashdiq di akhirat kelak tidak akan masuk ke neraka. Bahkan perbuatan kafir dan zindiq tak sedikitpun membahayakan keimanan seorang muslim.
5.      Manusia pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya di akhirat nanti (ini seperti faham mu’tazilah).
6.      Sesungguhnya imamah ( khalifah ) itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy.
7.      Iman adalah mengenal Allah secara mutlak, dan bodoh kepada Allah adalah kufur kepada – NYA
E.     Sekte-sekte Murji’ah.
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Ibnul Jauzi mengatakan  bahwa Murji’ah terbagi menjadi  11 bagian:
1.      At Tarikah
Mereka mengatakan: “Tidak ada  kewajiban bagi seorang hamba kepada Allah selain hanya  beriman saja. Barang siapa yang telah beriman kepada-Nya dan telah mengenal-Nya maka dia boleh berbuat sesukanya.”
2.      As Saibiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya Allah  membiarkan hamba-Nya untuk berbuat sesukanya.”
3.      Ar Raji’ah
Mereka mengatakan: “Kami  tidak mengatakan taat bagi orang yang taat, dan juga tidak menyebut maksiat bagi orang yang melakukan perbuatan maksiat karena kami tidak mengetahui   kedudukan  mereka di sisi Allah.”
4.      Asy- Syakiah
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya ketaatan itu bukanlah dari iman.”
5.      Baihasyiah  (nisbah pada  Baihasy bin Haisham)
Mereka mengatakan: “Iman itu adalah ilmu, barang siapa yang tidak mengetahui yang hak dan yang batil, juga tidak mengetahui halal dan haram maka dia telah kafir.”
6.      Manqushiah
Mereka mengatakan: “Iman itu bertambah tapi tidak berkurang.”
7.      Mustatsniah
Mereka  adalah orang-orang yang menafikan, atau  “istitsna’“ (pengecualian) dalam hal keimanan.
8.      Musyabbihah
Mereka mengatakan: “Allah mempunyai  penglihatan  sebagaimana penglihatanku dan juga mempunyai tangan  sebagaimana tanganku.”
9.      Hasyawiah
Mereka menjadikan  hukum hadits semuanya adalah satu, dan menurut mereka  orang-orang yang meninggalkan amalan sunnah sama halnya dengan orang yang  meninggalkan  amalan fardhu.
10.  Dzahiriyah
Mereka adalah orang-orang yang menafikan (tidak menggunakan) qiyas.
11.  Bid’iyyah
Mereka adalah orang pertama yang memulai bid’ah pada ummat ini. Ghalib  Ali Awwaji dalam firaq muashirah membagi Murji’ah I’tiqadiyah  (secara keyakinan) menjadi beberapa bagian yang sangat banyak, akan tetapi yang beliau sebutkan hanyalah  secara garis besarnya saja sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ulama Firaq:
a)      Murji’ah sunnah
Mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad  bin Abi Sulaiman  juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah  orang-orang  yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
b)      Murji’ah Jabariyah
Mereka adalah Jahmiyyah  (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka  hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja .Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman  dan bahwasanya ikrar dengan lisan  dan amal bukan dari iman.
c)      Murji’ah Qadariyyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah.
d)      Murji’ah Murni
Mereka adalah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
e)      Murji’ah  Karamiah
Mereka adalah kawan-kawan Muhammad bin Karam, mereka berpendapat bahwa iman hanyalah ikrar dan pembenaran dengan lisan tanpa pembenaran dengan hati.
f)       Murji’ah Khawarij
Mereka adalah Syabibiyyah dan sebagian kelompok Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar.[7]

Menurut Harun Nasution pemikiran kalam Murji’ah dibagi menjadi dua sekte, yaitu:
1.      Murji’ah moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tidak menjadi kafir karenanya, dan tidak kekal dalam neraka. Orang tersebut akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia kerjakan. Bahkan apabila ia mengampuni dosanya itu ada kemungkinan ia tidak masuk neraka sama sekali. Jadi, menurut golongan ini orang Islam yang melakukan dosa besar itu masih tetap mukmin. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam golongan murj’ah adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli Hadits.[8]
2.      Murji’ah ekstrim
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut:
a)    Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b)   Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahhui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c)    Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbutan jahat yang tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, mutaqil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbutan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d)   Hasaniyah, menyebutkan bahwa seseorang mengatakan, “saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak, apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan “saya tahu tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau di tempat lain.[9]

F.      Implikasi Pemikiran Kalam Murji’ah
Implikasi buruk pemikiran kaum Murji’ah dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya:
1.      Sebagai satu kebid’ahan, maka Murji`ah bila masuk dalam aqidah kaum muslimin dapat memporak-porandakan persatuan dan kesatuannya. Sebab kebid’ahan bila muncul dan berkembang dalam tubuh umat Islam akan menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka. Hal ini karena pelaku kebid’ahan akan membela kebid`ahanya, padahal Sunnah Rasulullah  pasti ada pendukung yang menegakkannya. Dengan demikian umat akan terpecah.
2.      Membuat pemilik aqidahnya masuk dalam 72 golongan yang diancam masuk neraka dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam :

إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَان وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

 “Sesungguhnya orang sebelum kalian dari ahli kitab telah berpecah belah dalam 72 golongan dan sungguh umat ini akan pecah menjadi 73 golongan; 72 golongan di neraka dan satu disyurga yaitu al-Jama’ah” (HR Abu Daud)”
Membuat banyak hukum Islam yang hilang yang merupakan satu sebab hilangnya syari’at dan membuat kerusakan pada keindahan Islam yang merupakan  sebab orang berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah. Ini merupakan salah satu dampak buruk kebid’ahan secara umum dan Murji`ah masuk didalamnya.
3.      Telah berdusta atas nama Allah dan memiliki pemikiran yang telah dicela seluruh ulama. Imam al-Ajuri (wafat tahun 360H) menyatakan, “Siapa yang memiliki pemikiran seperti ini (Irja`) maka telah berdusta atas nama Allah dan membawa lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari seluruh ulama, karena pemilik pemikiran ini menganggap bahwa orang yang telah mengucapkan La Ilaha Illa Allah maka dosa besar yang dilakukannya dan kekejian yang ia laksanakan tidak merusaknya sama sekali dan menurutnya orang yang baik dan takwa yang tidak melakukan sedikitpun hal-hal tersebut dengan orang yang fajir adalah sama. Ini jelas kemungkaran. Allah berfirman:

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

 “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu” (QS. Al-Jatsiaat: 21) dan firman Allah Ta’ala :

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
 “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?” (QS. Shaad: 28).
4.      Meyakini bahwa amalan tidak mempengaruhi imannya, sehingga banyak orang menyatakan bahwa yang penting adalah hatinya dalam berbuat kemaksiatan seakan-akan perbuatan tersebut tidak mempengaruhi keimanan dihatinya.
5.      Menghilangkan unsur jihad fisabilillah dan amar ma`ruf nahi mungkar.
6.      Menyamakan antara orang shalih dengan yang tidak dan orang yang istiqamah diatas agama Allah dengan yang fasik. Sebab menurut versi mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang sebagaimana amal maksiat tidak mempengaruhi iman.
7.      Mewaspadai Faham Murji’ah
Faham Murji’ah telah muncul dan berkembang pada beberapa abad yang lalu. Dan sekarang mungkin tidak ada orang yang berfaham Murji’ah secara mutlak. Para ulama pun telah menjelaskan dan memperingatkan kepada umat atas kesesatan mereka. Namun bukan tidak mungkin bahaya laten Murji’ah akan muncul kembali. Terbukti ada sebagian golongan dari kaum muslimin pada saat ini yang mempunyai beberapa pemikiran yang sama dengan Murji’ah.
Murji’ah zaman sekarang walaupun mereka menyelisihi pendahulunya dalam penamaan iman dan definisinya saja, akan tetapi sesungguhnya mereka menyelarasi Murji’ah dahulu pada banyak konsekuensi definisi iman tersebut. Mereka, walaupun mendefinisikan iman dengan definisi yang shohih dan memasukkan di dalamnya uacapan dan perbuatan disamping I’tiqad (keyakinan), pada hakikatnya masalahnya adalah mereka tidak mengkafirkan kecuali dengan I’tiqad (keyakinan) saja. Hal ini bisa kita lihat dari pemahaman mereka dalam memandang perbuatan kufur. Mereka memandang bahwa perbuatan kufur tidak menjadikan pelakunya kafir, dan tidak membahayakan keimanannya. Orang yang melakukan kekufuran tetap disebut sebagai seorang mu'min yang sempurna selama hatinya tidak istihlal (menganggap halal perbuatannya). Karena mereka hanya membatasi kekufuran dalam I’tiqad (keyakinan) atau juhud Qalbiy (pembangkangan) atau istihlal (menganggap halal perbuatannya).[10]








BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemikiran kalam Murji’ah merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, akan tetapi tetap mukmin. Dan urusan dosa besar yang telah dilakukan ditunda penyelesaiannya sampai hari kiamat.
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah. Bagi mereka sahabat-sahabat yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu tetap mereka anggap sebagai sahabat-sahabat Nabi yang dapat dipercaya keimanannya. Oleh karena itu mereka tidak menyatakan siapa yang sebenarnya salah, tetapi mereka lebih baik menunda persoalan tersebut, dan menyerahkannya kepada tuhan pada hari perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka menjadi kafir atau tidak.
B.     Saran
Umumnya orang berpikir, apabila mempelajari ilmu kalam itu akan menyebabkan seseorang menjadi sesat padahal Mempelajari pemikiran kalam sangat diperlukan untuk menambah wawasan kita terhadap agama yang kita anut sehingga menambah keyakinan kita akan agama kita.
Oleh karena itu, menurut kami janganlah mudah terpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran yang baru kita ketahui, apalagi pemikiran tersebut keluar dari pokok-pokok ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Di sarankan kepada pembaca, supaya lebih memahami tentang “Kalam Murji’ah” agar lebih baik mencari referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam sistem pembelajaran dan penulis  mengharapkan saran dan kritik dari bapak dosen untuk perbaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Basri, Hasan dkk. 2007. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung: Azkia Pustaka Utama.
Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia Press


[2]Abdul Rozak dkk, ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 56
[3]Ibid, hal. 57
[4]Ibid, hal.58
[5]Ibid. hal.59
[6]Nasution, Teologi  Islam. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), hlm. 22
[8]Hasan Basri dkk, Ilmu Kalam sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran, (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2007), hlm.28
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar