BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Potensi ruhaniah manusia
sebagaimana di ketahui dasar manusia itu terdiri dari dualisme yang saling
melengkapi, yaitu manusia terdiri dari badan kasar (jasmani) dan badan halus (rohani), kalau jasmani
digerakkan oleh fikiran, perasaan dan kemauan yang melahirkan kekuatan lahir. Sedangkan
rohani digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang melahirkan kekutan batin.
Dari
sisi rohani manusia berbeda dengan hewan. Manusia mempunyai akal sedangkan
hewan tidak mempunyai. Manusia mempunyai hati (qalb) sedangkan hewan tidak
mempunyai. Konsekuensinya adalah perbuatan manusia dimintai pertanggungjawaban
oleh Allah sedang perbuatan sedangkan hewan tidak dimintai pertanggung jawaban.
B. Rumusan
Masalah
Di dalam makalah ini ada
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan yaitu :
1.
Penjelasan
tentang Al – Nafs (Nafsu), Al – Qalb (Hati), AL – Aql (Akal), dan Al – Ruh
(Roh) ?
C. Rumusan
Masalah
Setiap
kegiatan pastilah ada tujuan tertentu yang ingin dicapai, demikian juga yang
dilakukan penulis dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan membuat
makalah ini adalah bertujuan untuk:
- Menjelaslaskan maksud dari Al – Nafs (Nafsu), Al – Qalb (Hati), AL – Aql (Akal), dan Al – Ruh (Roh).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al–Nafs
Al-Nafs,[1]
secara umum al-nafs
jika dikaitkan
dengan hakekat manusia, menunjuk
kepada sisi manusia yang berpotensi baik dan buruk. Al-nafs mempunyai
sifat lembut (lathif) dan robbāni, ia adalah al-ruh
sebelum bersatu dengan jasad (tubuh kasar manusia), sebab al-ruh
diciptakan terlebih dahulu sebelum jasad.[2] Sejalan dengan
Amin al-Kurdi, Imam al-Gazali dalam menguraikan al-nafs (jiwa)
menggunakan empat terminologi, yakni al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-‘aql.[3]
Keempat
terminologi terebut mempunyai arti umum dan khusus.
Kata al-nafs merupakan kata
ambigu. Makna pertama dimaksudkan sebagai makna universal, perpaduan dari
potensi marah (fakultas emotif) dan hasrat ego (syahwat)
dalam diri manusia. Penggunaan
kata al-nafs dalam hal ini banyak digunakan dalam tradisi Sufi. Mereka
mengartikan al-nafs sebagai sumber dari keseluruhan sifat-sifat manusia
yang tercela. Karena itu mereka sering menggunakan istilah “berperang melawan
nafsu dan mematahkan ego (syahwah) adalah suatu keharusan.” Al-Nafs
dalam makna pertama ini tentu saja tidak dapat diterima melalui konsepsi kaum
sufistik untuk bisa kembali kepada Allah swt., bahkan amat jauh dari Allah
swt., dan al-nafs dalam kontek ini adalah satu partai yang memihak
kepada setan. Apabila ketenteramannya tidak sempurna, namun masih mampu menahan
nafsu syahwat, disebut nafsu lawwāmah. Sebaliknya, jika menyerah
pada tantangan nafsu, bahkan memperturutkan syahwah dan ajakan
setan, disebut sebagai nafsu amārah.
Makna kedua al-nafs adalah lathifah sebagaimana
terminologi lainnya di atas – yakni sisi yang hakiki, spirit, dan identitas
seseorang – tetapi dideskripsikan dengan sifat-sifat yang berbeda-beda menurut
perbedaan situasi dan kondisinya. Apabila al-nafs berada dalam kondisi
tentram dibawah perintah Allah swt., dan menepis segala kegundahan, maka disini
disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenteram).
Menurut al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan
kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada
awalnya tentu untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri,
mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan adanya gadlab itulah jihad
diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seseorang
dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun ketika gadlab tidak terkendali
maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. Demikian juga dengan
syahwat (syahwat sek) perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan antara
pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga akan
terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari
rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada syahwat makan,
minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan. Namun bila
syahwat tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak
tercela.[4]
B. Al–Qalb
(Hati)
Al-Qalb dalam pengertian pertama
adalah al-qalb al-jasmani atau al-lahm al-shanubari, yaitu daging
khusus yang berbentuk seperti jantung pisang Yang terletak di dalam dada
sebelah kiri. Al-Qalb dalam pengertian pertama ini erat kaitannya dengan
ilmu kedokteran dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama serta
kemanusiaan. Al-Qalb tersebut juga terdapat pada hewan. Al-Qalb
dalam pengertian kedua menyangkut jiwa yang bersifat lathif, rohāniah, dan robbāni, dan mempunyai hubungan dengan al-qalb
al-jasmani. Al-Qalb dalam pngertian kedua inilah yang merupakan
hakekat dari manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima,
berkemanuan, berfikir, mengenal, dan beramal. Selanjutnya kepadanyalah
ditujukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksaan Allah.
Sebagian dari persoalan yang patut di perhatikan di
sini adalah bahwa kalimat qalb di sebut dalam Alquran al-karim. Hanya saja
penyebutan ini tidak secara mutlak menunjukan bahwa kata qalb di artikan dalam
konteks anatomi kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam badan), melainkan di
maksud sebagai “instrumen persepsi ma’rifah yang sangat kompleks”.[5]
Menurut Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian.
Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari
(al-lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang
terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental. Qalb
dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak
menyangkut maksud-maksud agama dan kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun
mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani
ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.
Lapisan Qalb yang terluar disebut al-shadr yang
merupakan tempat masuknya godaan penyakit, unek- unek , syahwat, dan segala
kebutuhan. al-Shadr itu bisa lapang dan bisa sempit. Ia juga sekaligus
munculnya cahaya Islam. Ia juga tempat menyimpan ilmu yang bersumber dari
pendengaran.
Kadar kebodohan dan kemarahan, dada seseorang menjadi
sempit dan tidak ada batas kelapangannya. Jika al-shadr sempit dengan kebenaran
maka penuh dengan kebatilan. Lapisan Qalb yang kedua disebut al-qalb. Ia
sebagai sumber cahaya keimanan, khusu’, taqwa, ridla, yakin, khauf, raja`,
sabar, qanaah. Al-qalb ibarat raja dan nafs adalah kerajaan. Lapisan Qalb yang
ketiga adalah al-Fuad yang merupakan tempat ma’rifat, bersitan (khawatir) dan
penglihatan (al-ru`yah) Lapisan qalb yang keempat adalah al-lub yang merupakan
tempat cahaya tauhid.
C. Al–Aql
(Akal)
Hal yang perlu di
ingat adalah bahwa kata al-‘aql (sebagai kata dasar) tidak di jumpai di dalam
Al-qur’an al- Karim sama sekali, melainkan kata devirasi atau bentuk jadian
yang berupa kata kerjanya, semisal ya’qilu, na’qilu, ta’qiluna, ya’qiluna,
‘aqillu yang mencapai 50 kata[6].
Ada
beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima
pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu
yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz,
seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan
seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi.
Keempat ,aql adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat
yang mendorong pada kelezatan sesaat.
Dengan
demikian orang yang berakal adalah orang yang didalam melalukan perbuatan atau
tidak melakukan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan
didasarkan pada syahwat yang mendatangkan kelezatan sesaat. Aql yang pertama
dan kedua merupakan bawaan sedangkan aql yang ketiga dan keempat merupakan
usaha.
Di dalam al-Qur`an, kata aql
dalam bentuk kata benda tidak ditemukan yang ditemukan di dalam al-Qur`an
adalah kata kerjanya yakni ya’qilun, ta’qilun dan seterusnya. Aqala ( fi’il
Madli, kata kerja lampau) berarti menahan atau mengikat. Dengan demikian
al-A’qil (isim fail) berarti orang yang menahan atau mengikat hawa nafsunya
sehingga nafsunya terkendali karena diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang
tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya sehingga nafsunya liar tak
terkendali.
D. Al–Ruh (Roh)
Al-ruh dalam pengertian pertama adalah
organik yang lembut yang kandungannya merupakan darah kental yang bersumber
dari rongga al-Qalb al-Jasmani. Melalui nadi-nadi yang berdenyut (al-‘uraq
ad-dawārib) didistribusikan mengalir ke seluruh tubuh. Sirkulasi darah
ke seluruh tubuh menimbulkan berkas-berkas cahaya kehidupan, indera, persepsif,
penglihatan, pendengaran, indera penciuman, dari sana, dapat dimisalkan dengan
timbulnya berkas-bekas cahaya dari lampu dalam minyak lentera rumah. Para
dokter, ketika menunjuk kata al-ruh maksudnya adalah
teminologi tersebut. Pengertian kedua, al-ruh bermakna lat)ifah yang memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang ada pada manusia. Inilah salah satu makna diantara dua makna
yang dimiliki kalbu.
Para ulama berbeda–beda dalam mengartikan ruh.
Sebagaian mengartikan kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh
adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan
tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi
potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh
sebagai pusat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah. Dengan
Ruh itulah Allah menciptakan manusia menjadi hidup dan kehidupan manusia tumbuh
berkembang karena adanya cahaya ilahi yang memudahkan kita sebut dengan Hubb
atau Cinta. Dengan cinta itulah seluruh alam semesta termasuk manusia di
ciptakan sehingga seluruh kepribadian manusia pada awalnya di gerakkan oleh
energi cahaya tersebut mengisi seluruh pori-pori dan syaraf qalbu dengan cinta
yang meng-Ilahi.[7]
Ruh juga dapat di artikan sebagai “Rahmat”
sebagaimana kita lihat ketika Ya’qub yang di landa kesedihan melepaskan anak-anaknya
untuk mencari Yusuf dan Ya’qub berkata :
“…dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat (rauh)
Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir.” (Yusuf: 87)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas
dapat di simpulkan bahwa Gabungan antara aspek jasmani dan ruhani disebut
dengan al-nafs. (diri). Nafs sendiri mempunyai beberapa kekuatan ruhani seperti
ruh, akal, dan qalb. Dilihat dari sisi materi, manusia tidak berbeda dengan
hewan. Yang membedakan antara manusia dan hewan adalah sisi ruhaniahnya.
Keduanya secara biologis mempunyai kebutuhan yang sama seperti makan, minum,
seks, istirahat dan sebagainya. Dan keduanya secara biologis mempunyai sifat
yang sama bisa sakit dan mati. Dari sisi rohani manusia berbeda dengan hewan.
Manusia mempunyai akal hewan tidak mempunyai. Manusia mempunyai hati ( qalb )
hewan tidak mempunyai. Konsekuensinya adalah perbuatan manusia dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah sedang perbuatan hewan tidak dimintai pertanggung
jawaban.
B. Saran
Di sarankan kepada pembaca,
supaya lebih memahami tentang Akhlak
Tasawuf agar lebih baik mencari
referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna
untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam sistem pembelajaran dan penulis mengharapkan saran dan kritik dari bapak
dosen untuk perbaikan makalah ini.
Daftar
Pustaka
http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/potensi-ruhaniah-manusia/.
October20, 2012. 5:24 PM
Muhammad
‘Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal,
(Bandung: Pustaka Hidayah,
2003).
Toto
Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah
(Transcendental Intelligence), (Jakarta: Gema
Insani, 2001).
[1] Kata nafs dengan segala bentuknya terulang 313 kali dalam
alquran, 72 kali di antaranya disebut dalam bentuk nafs yang berdiri
sendiri. Ayat.ayat al-quran
yang menyebut kata nafs/anfus menunjukan bermacam-macam arti, di antaranya : a.
hati, al-Isra (17) : 25, b. jenis, al-Taubah (9) : 128, c. nafsu, Yunus (12)
53, d. jiwa/ruh, al-Imran (3) 145 dan 185, e. totalitas manusia, al-Maidah (5)
32, dan f. diri Tuhan, al-An’am (6) : 12, Baca : Ensiklopedia, h.
297-298
Hakiem, cet. V,
(Surabaya : Risalah Gusti, 2005), h. 69 - 72
[4]http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/potensi-ruhaniah-manusia/.
October20, 2012. 5:24 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar