Disusun Oleh :
1. Tri Abdul Rohman (2833123017)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika Nabi Saw akan mengutus Mu’adz ibn Jabl (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk
bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau
lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz
menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di
dalam Kitab Allah (Al-Qur’an)“ Nabi bertanya lagi : “Bagaimana jika
didalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab: “Dengan
berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw” Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika
ketentuan tersebut tidak terdapat pula didalam Sunnah Rasulullah” Mu’adz
menjawab “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan
suatu perkara pun tanpa putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah
kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakanku.[1]
Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan, bahwa sumber-sumber hukum
Islam adalah al-Quran dan Sunnah, dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat
ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Karena itu
dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad banyak digunakan. Hakikat ajaran
al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Ayat-ayat al-Quran
yang jumlahnya lebih dari 6300, hanya lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan
ulama, yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut,
pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut
mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat-
ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan
hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat
Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2.
Bagaimana hukum dan syarat ijtihad?
3.
Bagaimana kebenaran hasil ijtihad?
4.
Bagaiman pendapat para ulama tentang
ijtihad?
5.
Bagaimana cara melakukan ijtihad?
6.
Bagaiman ijtihad dan contoh
pemikiran imam empat madzhab?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui hukum, syarat, dan
kebenaran hasil ijtihad.
2.
Mengetahui pendapat para ulama
tentang ijtihad dan cara melakukannya.
3.
Mengetahui metode ijtihad dan contoh
pemikiran imam empat madzhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
الإِجْتِهَادُ
هُوَ إِسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيقِ
الإِسْتِنْبَاطِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
“Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan
cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung)
pada Alquran dan sunah”.[2]
Ijtihad secara bahasa berarti
berusaha bersungguh-sungguh. Mengerjakan segala sesuatu dengan segala
keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqih, ijtihad identik dengan kata “istinbath”
yang artinya, mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Sedangkan menurut
istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijtihad, diantaranya:
1.
Menurut Kasuwi Saiban: ijtihad adalah
segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti
fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya.
2.
Ibrahim Hosen: ijtihad adalah
penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab
Allah dan sunnah rasul, baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan
tujuan umum hikmah syariah yang disebut mashlahat.
3.
Ahmad Azhar Basyir: ijtihad adalah
penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum
syara’.
4.
Jumhur Ulama: mengarahkan segenap
kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian
tingkat dzani mengenai hukum syara’.
5.
Depag RI: ijtihad adalah mengerahkan
semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk mendapatkan hukum-hukum
syariah berdasarkan dalil-dalil syara’.
B.
Ruang Lingkup Ijtihad
Permasalahan yang dapat diijtihadi
ialah:
a) Masalah-masalah yang ditunjuk
oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih
lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak
jelas dan tegas).
b) Masalah-masalah yang tidak ada
nashnya sama sekali.
Sedangkan bagi masalah yang telah
ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud
(kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud
dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka
tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash
tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù
¨@ä.
7Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ... ( ÇËÈ
“Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah
masing-masing dari keduanya seratus kali.” (Q.S.
An-Nur: 2)
C.
Hukum Ijtihad
1.
Wajib ‘ain, Yaitu bagi seorang
mujtahid yang ditanya tentang masalah, sedang masalah tersebut akan segera
hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain
apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
2.
Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang
mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya
atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid
lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka
berdosa.
3.
Sunnat, yaitu ijtihad terhadap
sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.
D. Syarat-Syarat Ijtihad
1. Bersifat adil dan takwa.
2. Memahami Al-Quran dan Al-Hadits. Kalau tidak memahami salah
satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini menjadi
syarat utama, karena ijtihad hanya boleh dilakukan apabila telah diketahui
tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits.
3. Mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan oleh Ijma’. Sehingga
ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang
kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
4. Mengetahui serta memahami bahasa Arab. Mujtahid juga harus
mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am,
khash, muhkam, mutasyabihat, mutlaq, muqayad, mantuq, dan mufham. Semua ini
perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
5. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqh dan harus menguasai ilmu ini
dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang
mujtahid menguasai ilmu ushul fiqh ini sehingga sampai kepada kebenaran, dengan
demikian ia mudah mengambalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokoknya.
6. Mengetahui nasikh dan mansukh. Sehingga ia tidak
mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.
E. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
1. Mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat-syarat ijtihad
dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu
madzhab.
2. mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai sarat-syarat
ijtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti
cara-cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut dalam berijtihad.
F. Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan
Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil
berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua mujtahid
mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada
yang tidak.
Sabda
Rasulullah saw. Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian
ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad
dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala”
(HR. Bukhari).
Hadits
tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian mujtahid dapat
mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan mendapat dua
pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu
pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.
G. Pendapat Para Ulama tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat.
Para
Ulama sepakat bahwa Nabi boleh berijtihad dalam masalah yang berhubungan dengan
soal dunia seperti dalam soal peperangan, perdamaian, menentukan startegi dan
lain-lain.
Adapun
ijtihad Nabi dalam hukum-hukum syari’ah, maka para ulama berbeda pendapat:
1.
Menurut golongan Asy’ari Nabi tidak
berijtihad sebab ia terhindar dari kemungkinan salah. Mengapa Nabi boleh
berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
2.
Menurut golongan yang lain, Nabi boleh
berijtihad, dan kalaupun salah maka Allah akan memperbaiki kekeliruannya.
Adapun mengenai kebolehan para
sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pendapatnya. Pendapat yang kuat
membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun
dikala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin
Ash: putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata: apakah saya boleh
brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi: Ya, apabila tidak benar kamu
mendapat satu pahala’.
H. Cara Melakukan ijtihad
Seseorang
yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan-urutan di bawah ini.
Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya,
barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Urutan tersebut adalah sebagai berikut:
Dalil
dalam bentuk:
1.
Nash-nash Al-Quran
2.
Hadits Mutawattir
3.
Hadits Ahad
4.
Zhahir Al-Quran
5.
Zhahir Hadits
6.
Dalil Mafhum
7.
Mafhum Al-Quran
8.
Mafhum Hadits
9.
Perbuatan dan Taqrir Nabi
10. Qiyas
11. Bara’ah Ashaliyah
Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang
berlawanan, hendaknya ditempuh beberapa alternatif berikut:
1.
Memadukan/mengkompromikan
dalil-dalil tersebut
2.
Mentarjihkan (menguatkan salah satunya)
3.
Menashkan; yaitu dicari mana yang lebih dulu dan mana yang kemudian,
yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak berlaku lagi)
4.
Tawaqquf,
yakni membiarkan atau tidak menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut.
5.
Menggunakan dalil yang lebih rendah
tingkatannya
I. Ijtihad dan Contoh Pemikiran Imam Empat Madzhab
1.
MADZHAB HANAFI (80-150 H/ 699-767 M)
Metode ijtihad pokok Imam Hanafi :
a.
Al-Qur’an
b.
Sunnah Rasulullah
dan atsar yang shahih yang diriwayatkan orang tsiqah.
c.
Ijma sahabat. Apabila yang di carinya tidak di temui
pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada ijma' sahabat yaitu
ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang sama dalam suatu
masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah satu pendapat yang
paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan meninggalkan pendapat
yang lain.
d.
Qiyas. Apabila beliau
tidak menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat, beliau
melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu.
f.
Qaul sahabat, apabila ada ikhtilaf, aku akan mengambil pendapat sahabat
yang aku kehendaki dan aku tidak akan berpindah dari pendapat satu ke pendapat
sahabat lain.
g.
Apabila didapatkan pendapat Ibrahim,
Sya’bi dan Ibn Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.
h.
'Urf. Metode ijtihad
yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi.
Contoh Pendapat Imam Hanafi:
a.
Benda wakaf masih tetap milik wakif.
Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ’ariyah (pinjam meminjam). Karena
masih tetap milik wakif, maka benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan
dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk mesjid, wakaf yang
ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan
secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal
dunia. (Istihsan).
b.
Perempuan boleh menjadi hakim di
pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkata
pidana. Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana,
perempuan hanya dibenarkan menjadi sanski perkara perdata. Karena itu
menurutnya perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.
Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah
qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai ashl dan menjadikan hakim sebagai
far’i.
Masalah-masalah fiqh yang terdapat
dalam Madzhab Hanafi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.
Al-Ushul,
yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir riwayah, yaitu pendapat yang
diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad.
Adapun kitab yang termasuk zhahir riwayah ada enam buah, yaitu al-Mabsuth atau
al-Ashl, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar
al-Shaghir dan al-Ziyadat. Keenam kitab itu kemudian disusun menjadi satu kitab
yaitu al-Kafi oleh Hakim al-Syahid. Selanjutnya, kitab ini disyarahi oleh
Syamsuddin al-Syarkhasi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth (30 jilid).
b.
Al-Nawadir, yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah
dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam zhahir riwayah. Kitab-kitab yang
termasuk Nawadir yaitu al-Kaisaniyyat, al-Ruqayyat, al-Haruniyyat dan
al-Jurjaniyat.
c.
Al-Fatawa, adalah pendapat-pendapat para pengikut Abu Hanifah
(Hanafiyah), yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah, seperti Kitab al-Nawazil
karya Abi Laits al-Samarqandi.
2.
MADZHAB MALIKI
Dalam proses Istinbath al-Ahkam Imam
Malik menempuh cara sebagai berikut:
a.
Mengambil dari al-Qur’an
b.
Menggunakan “zhahir” al-Qur’an,
yaitu lafadz umum.
c.
Menggunakan “dalil” al-Qur’an, yaitu
mafhum muwafaqah
d.
Menggunakan “mafhum” al-Qur’an yaitu
mafhum mukhalafah
e.
Menggunakan “tanbih” al-Qur’an,
yaitu memperhatikan illat.
Dalam Madzhab Maliki, lima langkah di atas disebut sebagai Ushul
Khamsah, langkah berikutnya adalah: ijma’, qiyas, amal penduduk Madinah,
istihsan, sadz dzara’i, mashlahah mursalah, qaul shahabi, mura’at al-khilaf,
istishhab dan syar’u man qablana. Sementara itu salah satu penerus Madzhab
Maliki yaitu al-Syathiby menjelaskan bahwa dalil hukum bagi Madzhab Maliki
adalah al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas. Salah satu dalil hukum yang
sering dijadikan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Beliau lebih
mengutamakan ijma’ dan Amal ulama Madinah daripada qiyas, khabar ahad dan qaul
shahabat.
Contoh pendapat Imam Malik :
Ulama sepakat bahwa adzan shalat dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang jumlah jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat
shalat dilakukan satu kali-satu kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat
yang dilakukan dua kali-dua kali, imam malik menjawab, “Tidak sampai
kepadaku dalil tentang adzan dan qamat salat,aku hanya mendapatkannya dari amal
manusia… qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali. Itulah yang senantiasa
dilakukan oleh ulama dinegeri kami. (Ijma’ Ulama Madinah)
3.
MADZHAB SYAFI’I
Cara ijtihad Imam Syafi’i secara umum yaitu berdasarkan:
a.
Al-Qur’an dan al-Sunnah
b.
Ijma’terhadap sesuatu yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ lebih diutamakan atas khabar
mufrad.
c.
Qaul sebagian sahabat tanapa ada
yang menyalahinya.
d.
Pendapat sahabat nabi yang ikhtilaf.
e.
Qiyas terhadap al-Qur’an dan
al-Sunnah.
f.
Apabila hadits telah muttashil dan
sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha).
g.
Makna dzahir hadits diutamakan. Ia
menolak Hadits munqathi’, kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn Musayyab.
h.
Pokok (al-Ashl) tidak boleh
diqiyaskan kepada pokok. Bagi pokok, tidak perlu dipertanyakan mengapa dan
bagaimana, keduanya itu yaitu mengapa dan bagaimana hanya boleh dipertanyakan
kepada cabang (furu’).
i.
Qiyas dapat menjadi hujjah jika
pengqiyasannya benar.
Pendapat-Pendapat Imam Syafi’I
antara lain :
a.
Tertib dalam wudhu Orang yang
wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang wudunya tidak tertib
meskipun karena lupa adalah tidak sah
b.
Menyentuh dubur tidak membatalkan
wudhu
c.
Shalat isya lebih utama dilaksanakan
dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan
diakhirkan (ta’khir)
d.
Waktu pengeluaran zakat fitrah.
Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu subuh tiba)
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari
terbenam (waktu maghrib tiba)
e.
Meninggalkan bacaan Fatihah karena
lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa,
salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah
karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya
sebelum berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika
berdiri tersebut apabila yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua,
maka rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan
baru teringat setelah salam, maka shalatnya wajib diulangi.
f.
Tayammum dengan pasir. Seseorang
dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang tidak dibolehkan tayammum dengan
pasir.
4.
MADZHAB HANBALI
Metode ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal. Ibnu Qayyim
al-Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal di bangun atas
lima dasar, yaitu sebagai berikut:
a.
Al-Nushush dari al-Qur’an dan
al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari keduanya, ia berpendapat sesuai
dengan makna tersurat (manthuq), sementara makna tersiratnya (mafhum)
ia abaikan.
b.
Apabila tidak ditemukan dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa sahabat dan memilih pendapat sahabat
yang disepakati sahabat lainnya.
c.
Apabila fatwa sahabat berbeda-beda,
ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah.
d.
Menggunakan hadits mursal dan
dha’if, apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma
yang menyalahinya.
e.
Apabila hadits mursal dan dha’if
sebagaimana disyaratkan di atas tidak didapatkan, ia menganalogikan (mengqiyaskan).
Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
f.
Langkah terakhir adalah menggunakan Sadz
al-dzara’i.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ayat-ayat
al-Qur’an pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih
Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaan dan sebagainya, untuk itu
ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran
dan hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh
para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.[5]
Ijtihad
adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hal
pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan
sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad
dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat
dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani
adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan
sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa. Ijtihad al-Ra’yi dilakukan
dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab,
maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan
ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah,
dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami
masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul
fiqh.
Mujtahid
dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam
realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad,
sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara
qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak
dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai
hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam
ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang
hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang
dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
Kaum
Muslim menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan mampu memecahkan semua
persoalan-persoalan kontroversial, khususnya persoalan hukum perundang-undangan
dan peribadatan. Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan
wilayah, di mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaan-kebiasaan dan
tradisi-tradisi yang sangat berbeda dengan orang-orang Arab pedalaman dan
orang-orang yang “menyaksikan pewahyuan”, maka konflik-konflik dengan mudah
muncul antara perintah lama dan yang baru.[6]
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang (muslim) mampu memahami
Islam secara jelas, benar dan menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi
seluruh umat manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan,
pembebasan, perdamaian, ilmu dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
B.
Saran
Di sarankan kepada
pembaca, supaya lebih memahami tentang ijtihad agar lebih baik mencari
referensi lain selain makalah ini. Karena makalah ini jauh dari kata Sempurna
untuk di jadikan sebuah buku pedoman dalam system pembelajaran dan penulis mengharapkan saran dan kritik dari bapak
dosen untuk perbaikan makalah ini.
Daftar
Pustaka
Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Iskandar, Usman. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum
Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Juhdi, Mashfuk. 1981. Ijtihad dan Problematikanya dalam
Memasuki Abad XV Hijriyah. Surabaya: Bina Ilmu.
Ma;arif, Ahmad Syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam
Indonesia. Bandung: mizan.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1982. Pembaruan dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
[1] Lihat Hadis riwayat
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III. Yaitu hadits tentang diutusnya Muaz
bin Jabal oleh Rasulullah Ke Yaman.
[2] Amin Muchtar. Metodologi Ijtihad Dalam
Perspektif Imam Madzhab.
[3] Fathur Rahman al-Azis. 2011. Ijtihad
madzhab hanafi.
[5] Harun
Nasution.”ijtihad, sumber ketiga ajaran islam” dalam Ijtihad dalam Sorotan.Op.
Cit. hal.108.
[6] Annemarie Schimel, Introduction
to Islam, diterjemahkan oleh M. Chafrul Annam dengan judul “Islam
Interpretatif’, Cet. I ; (t.tp: Inisiasi Press, 2003), hal. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar