Disusun oleh :
1.
Lisna Mufidah
Chasanah (2833123008)
2 2. Tri
Abdul Rohman (2833123017)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam ilmu tasawuf
terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai
manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu
‘arabi dan ‘Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad
SAW.
Khalayak biasanya
mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai
aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok
Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat
dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya
dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau.
Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis,
menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf
"wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh
"perilaku" Nabi Muhammad.
Bagaimana konsep
insan kamil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
insan kamil?
2.
Bagaimana
konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf?
3.
Bagaimana insan
kamil dalam Al-qur’an?
4.
Bagaimana
kedudukan insankamil?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian insan kamil
2.
Mengetahui
konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf
3.
Mengetahui
insan kamil dalam Al-qur’an
4.
Mengetahui kedudukan
insankamil
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Insan Kamil
Insan kamil
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan
kamil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil
Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus
digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa
Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang,
mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik
sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara
langsung mengarah pada hakikat manusia.
Adapun kata kamil
dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan
pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya
sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik
lainnya.[1]
B.
Insan Kamil
Menurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh
tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya. Yaitu:
1.
Insan Kamil
Menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan
pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan
manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama
dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah
karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan
esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.[2]
Kesempurnaan
insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli
secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah).
Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna.[3]
Jadi, dari satu sisi, insan kamil
merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna,
sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena
pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik
alam fisika maupun metafisika.
2. Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli
Al-Jili merumuskan insan kamil
ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia
ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur
(cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal
sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad
juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya
monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa
al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang
Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan
insan kamil dengan dua pengertian.
a. Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang
sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut
dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat
sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan
diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah
dirinya.
b. Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan
sempurna itu mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.
Bagi al-Jili, manusia dapat
mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik,
bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat.
Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan
sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta
mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Al-Jili
membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1) Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan
kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2) Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan
kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih
Tuhan (al-haqāiq
ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan
kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena
sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3) Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan
kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada
insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[4]
C. Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an
Nabi Muhammad Saw disebut
sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al-
Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
Allah SWT tidak membiarkan
kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard
seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah
hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak
ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia
adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang
mulia.” (QS. Al-Qolam:4)
Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai
seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan
karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi
kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat
sesuai dengan firman Allah SWT
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al
Maidah 15-16)
D. Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda
dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki
kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain.
Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai
khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan
pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi
lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah
al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga
kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
Di sisi lain,
insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang
dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār), ilmu ladunni atau
pengetahuan gaib. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql
dan qalbnya
dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian
berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan
kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan
berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir
membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu,
dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah
dimasukinya.[5]
Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah
seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga
dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur
hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para
wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman.[6]
Dari kajian di atas dapat dipahami
bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan
sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli
Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya
sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan
kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia
adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.
BAB III
KESIMPULAN
Insan kamil berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti
manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna.
Menurut Ibnu ‘Arabi, insan kamil
merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna,
sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena
pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik
alam fisika maupun metafisika.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada
diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal.
Dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah
figur insan kamil yang patut dicontoh oleh umat manusia.
Insan kamil
adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan
sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Manusia
Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Asmaran,
Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002
Asy’arie,
Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2002
spi2010b.wordpress.com/2012/11/02/insan-kamil/,diakses pada 31 Mei 2013